Part 32 - Menikah?

Medina membaca sebuah surat yang begitu menyakitkan. Surat undangan yang ditujukan padanya. Kenapa bukan Sera yang memberikan surat undangan itu? Saliva Medina benar-benar tercekat tak bisa tertelan saking sesaknya membaca undangan yang dia pegang saat ini.

"Medina kamu jadi ikut ke acara atau nggak? Kalau jadi ayo bareng!" ajak salah seorang teman Medina. Sepertinya teman itu adalah teman saat umroh bareng kemarin.

Tidak. Ini lebih menyakitkan dibanding perselingkuhan Rey dan Safira. Kenapa ini sangat nyata bagi Medina? Kenapa sangat berat membaca undangan itu? Apa Medina benar-benar mencintai Rafi sampai dia tak bisa melihat Rafi menikah dengan perempuan lain?

"Jadi," jawab Medina.

"Ayo masuk! Acaranya udah hampir dimulai," titah teman Medina.

Iya, saat ini Medina ada di depan gedung yang tertulis di undangan. Rasanya sakit, benar-benar sakit ketika ia akan memasuki gedung itu sebagai tamu. Kalau begini rasanya, kenapa Medina tak memilih untuk tak hadir saja tadi?

Medina mengikuti arah langkah temannya yang saat ini mulai masuk ke dalam pintu gedung itu, "Tuh ... tuh lihat udah pada ngumpul disana. Nggak kebayang Mbak Naira cantik banget," seru teman Medina.

"Nah iya bener kan? Mbak Naira cantik banget pakai gaun itu," ucapnya lagi saat teman Medina mengamati sosok pengantin perempuan yang tengah duduk di sebuah kursi akad, sedangkan mempelai laki-laki belum menyusulnya. Medina belum tahu Rafi ada disana.

"Mas Rafi beruntung banget. Mbak Naira juga beruntung dapat Mas Rafi. Iya nggak Medina? Yang satu sholihah yang satu juga paham agama. Investasi akhirat dan dunianya dapat semua. Iri banget oy dapat yang sepadan gitu," Ucapan Teman Medina lagi-lagi mengiris perasaan. Dia tak bermaksud menyakiti hati Medina. Dia hanya sekedar kagum ke Naira.

"Tapi kok Mas Rafi belum keluar ya?" tanyanya pelan pada Medina seraya mengajak Medina duduk di bangku tamu undangan paling depan sendiri.

Saat mempelai laki-laki hadir disana, terlihat Rafi mengenakan tuxedo hitam dengan aksen dasi pita berwarna hitam juga, sebelum dia melangsungkan akad nikah. Melihat guratan wajah Rafi saja Medina benar-benar sakit. Dia lantas memalingkan pandangannya karena tak kuasa dengan rasa sesak yang bernaung di dadanya, "Nah itu dia Mas Rafi," seru teman Medina lagi berceloteh.

"Aku iri lihatnya. Tau nggak Medina, aku kan kenal Mbak Naira karena Papaku satu travel sama dia waktu umroh tahun lalu, kata Papaku, Mbak Naira tuh baik banget," puji teman Medina lagi.

Medina sedikit menanggapi kalimat dari temannya, "Dia baik ya?" tanyanya pelan.

"Baik banget," sahut temannya lagi.

Medina sengaja tak membalas kalimat dari temannya lagi. Dia sibuk berkutat dengan pikirannya sendiri. Dengan menunduk, jemarinya yang dingin itu memainkan ujung bajunya.

"Saudara Rafi Pratama, saya nikahkan engkau dengan anak kandung saya sendiri Naira Syafiyah dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 124 juta dibayar tunai," ucap penghulu pada Rafi.

Medina menatap punggung laki-laki itu. Rafi sangat jelas terlihat menjabat tangan Ayah Naira. Ia menjabatnya dengan kokoh sebelum kalimat sakral itu terucap dari mulutnya, "Saya terima nikahnya Naira Syafiyah binti Harun dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 124 juta dibayar tunai."

"Para saksi sah?"

"Sah!"

"Sah!

"Alhamdulillah!" Semua orang bersorak senang ketika jawaban atas akad nikah itu terucap dari bibir Rafi. Kecuali Medina, Medina tak sengaja menjatuhkan buliran bening yang ada di kelopak matanya. Terlebih lagi, saat dia melihat Rafi mencium kening istri sahnya saat ini. Medina berhak apa? Dia bukan siapa-siapa Rafi.

"Medina kamu ikut ke acara ini? Kenapa nggak bilang aku?" Sera tak sengaja lewat di hadapan Medina entah awalnya dia dari mana, hal itu membuat Medina mempertanyakan keberadaan Sera selama ini. Apakah Sera menyembunyikan kabar ini diam-diam darinya? Lantas buat apa disembunyikan jika pada akhirnya Medina juga dapat undangan juga?

Tanpa berpikir panjang, Medina bangkit dari duduknya dan meninggalkan Sera yang masih mematung di tempat. Tak ada gunannya juga Medina berada disana. Sama sekali tak ada gunanya dan hanya akan lebih menyakiti hatinya ketika dia terus ada disana.

"Medina!"

"Medina!"

"Medina!"

Sera terus memanggil dan berusaha menyusul Medina yang keluar dari area gedung itu. Tapi Medina sengaja tak mendengarkan panggilan itu. Hatinya belum siap untuk berbicara dengan orang lain. Dia ingin sendiri. Melihat Rafi menikah dengan orang lain membuat hatinya remuk berkeping.

"Kenapa kamu nggak bilang langsung ke aku kalau Mas Rafi mau nikah? Kenapa aku tahunya dari temen yang lain? Padahal kalaupun itu kabar dari kamu aku nggak bakal nyalahin kamu karena kamu nggak salah apa-apa. Tapi kenapa harus orang lain yang kasih tau aku? Sepupuku mana?" tanya Medina pelan pada Sera.

Sera juga merasa bingung sekaligus merasa bersalah. Pasalnya mau melakukan ini itu dia juga tak enak sendiri, "Aku nggak enak sama kamu. Aku dulu pernah mau jodohin kamu sama Mas Rafi tapi kamu sendiri menghindar dan katanya belum siap buka hati. Jadi aku juga nggak bisa maksa Mas Rafi punya perempuan pilihan lain."

"Medina, aku nggak bermaksud—"

Senyum getir di bibir Medina terbit. Dia menggeleng pelan, "Kamu yang salah. Aku bohong sama diri sendiri. Aku ... Aku menyakiti perasaanku sendiri berdalih nggak mau buka hati tapi sebenernya aku butuh dia. Nggak papa. Mungkin aku enggak ditakdirkan—"

Medina tak kuasa melanjutkan kalimatnya. Dia merasa dirinya bodoh. Kenapa tak terus terang dan kenapa tak mengatakan jika dia mencintai Rafi? Kenapa harus dihadapkan pernikahan Rafi dengan orang lain dulu? Baru ia mengakui bahwa dia mencintai laki-laki baik itu?

Medina secara tak sengaja membuka lukanya sendiri dan menambah luka yang baru.

"Medina!"

"Medina tunggu!"

"Medina!"

"Medina!"

Medina tak ingin Sera mengejarnya. Dia terus berlari dan mencoba untuk menghapus buliran bening yang terus jatuh dari dua matanya, "Nggak. Harusnya aku terus terang. Jangan nikah sama perempuan lain. Aku membohongi perasaanku sendiri."

"Aku butuh kamu. Aku butuh laki-laki seperti kamu. Aku sendirian. Aku nggak punya siapa-siapa. Aku butuh laki-laki yang bisa memperkokoh imanku. Aku butuh kamu yang senantiasa mengingatkanku pada Tuhan," isak Medina.

"Jangan nikah dengan perempuan lain. Bisakah aku saja mengisi kekosongan hati kamu? Jangan orang lain! Biarkan aku masuk untuk singgah. Aku sendirian di luar sana. Tidak ada laki-laki yang mau menikah denganku." seru Medina lagi dengan tangis yang masih meraung tak karuan.

"Medina!"

"Medina!"

"Medina!"

Ketiga kalinya Tiara membangunkan Medina yang menangis dalam tidurnya. Tiara bingung sahabatnya bermimpi apa sampai menangis terisak-isak. Tak biasanya dia melihat Medina tidur sembari menangis, "Medina bangun!"

"Mas Rafi!" teriak Medina saat ia bangkit dari berbaringnya.

Sontak Tiara terperanjat karena Medina menyebut nama laki-laki yang asing baginya, "Mas Rafi? Mas Rafi siapa? Kang Cireng?"

"Tiara? Kamu ngapain di kamarku?" tanya Medina saat dia baru menyadari bahwa Tiara ada di depannya. Padahal sedari tadi Tiara membangunkan Medina yang tidur selepas sholat ashar.

Tiara lantas menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, "Amnesia nih anak sore-sore tidur! Aku dari kemarin nemenin kamu tidur di rumah kamu. Gimana sih? Kamu tadi selesai beres-beres barang langsung ketiduran. Ini nih jeleknya tidur sore. Ngang ngong ngang ngong jadinya. Mana mimpi apa tadi?"

"Mas Rafi siapa? Rafi Ahmad? Sampai teriak-teriak gitu," seru Tiara yang menagih jawaban pada Medina.

"Mas Rafi—"

Bersambung ....

Kegocek gak lu wkwkwkkw
Kemarin gak update yaa soalnya lusa double update. Kayaknya nanti aku double up. Kurang 5 part lagi dan ending wkwkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top