Part 31 - Pulang Ke Indonesia

Beberapa hari melaksakan ibadah umroh, membuat Medina dapat beradaptasi dengan masalah yang menimpanya. Dia jadi tak begitu ambil pusing atas apa yang tengah menimpanya. Dia percaya Tuhan akan membantunya dan tak akan membiarkan dia larut dalam kesedihan.

Bahkan saat ini Medina jauh lebih tenang dibanding saat sebelum umroh. Hari ini Medina ada di rumahnya sendiri. Rumah kosong tak berpenghuni itu masih tetap jadi kenangan terindah bagi Medina. Saat ini Medina ditemani Tiara dan Sera di rumahnya. Mereka tampak membongkar oleh-oleh dari Madinah dan Mekkah.

"Akhirnya selesai juga. Gimana disana kemarin?" tanya Tiara pada Medina yang sibuk melibat abaya dari dasar koper.

"Campur aduk," balas Medina yang masih fokus dengan abayanya.

Tiara yang tak tahu maksud dari kalinat sahabatnya sontak mengerutkan dua alis tebalnya, "Campur aduk gimana?" tanyanya pada Medina.

Medina bingung mengekspresikan perasaannya. Pasalnya dikatakan bahagia dia juga agak sedikit sesak ketika mengingat kabar Rafi. Dikatakan sedih juga tak begitu, karena separuh masalahnya sudah ia limpahkan ke Tuhannya agar diberikan solusi terbaik, "Ya pokoknya ada seneng, sedih, terharu, macem-macem."

"Medina gimana Ser disana?" tanya Tiara yang tak puas dengan jawaban Medina.

"Galau mulu dia mah," balas Sera yang juga sibuk menata kue-kue yang baru saja mereka beli.

Karena jarak Sera dan Medina sedikit dekat, Medina melempar kertas bekas ke arah Sera, tak terima dengan jawaban Sera, "Mana ada," sahut Medina.

Sera terkekeh. Ya memang benar kan karena masalah yang melilit Medina, hari pertama Medina berangkat umroh, raut wajahnya tak bergitu berseri.

"Aku kemarin ketemu Rey sama Safira. Kamu nggak dihubungi Safira kalau dia mau minta maaf ke kamu?" tanya Tiara yang membuka pembahasan mengenai mantan kekasih Medina.

Medina tersenyum miring. Mungkin karena begitu dalam luka dari Rey menyayat separuh hatinya. Medina sampai tak sudi melihat laki-laki itu di hadapannya lagi saat ini, "Udah aku maafin. Nggak perlu susah payah minta maaf. Cuma mungkin aku nggak bisa seperti dulu lagi ke Safira juga. Aku sulit buat percaya orang kalau sekali udah sakit hati."

Medina lantas tersenyum miring, "Udah nggak ada waktu buat mikir urusan mereka lah, Ra! Masalahku banyak nggak cuma tentang mereka aja. Bisa gila kalau aku mikir semuanya."

"Oh iya, kamu nggak ditelfon Papa? Papa nggak cari aku?" tanya Medina ke Tiara.

"Papa kamu?"

"Iya,"

"Papa kamu sempet minta nomor baru kamu. Tapi enggak aku kasih."

Medina telah menduga bahwa Papanya memang pasti tak akan menyerah mencarinya. Tapi untung saja saat dia tak berhasil mencari keberadaan Medina, dia akhirnya menyerah. Buktinya sampai sekarang, Medina tak mendapatkan sambungan telepon dari nomor Papanya. Berarti Papanya tak mencarinya lagi.

"Sekarang kabarnya Papa kamu di Surakarta bareng sama istri barunya," seru Tiara lagi.

Medina menghentikan aktivitasnya melipat abaya ketika pendengarannya seakan panas karena ucapan Tiara. Sudah Medina duga, ada tidaknya Medina, Papanya pasti tetap tak akan membatalkan pernikahan itu, "Ya udah terserah dia aja."

"Aku bingung juga. Aku masih belum bisa terima keputusan dia. Kalau dia udah terlanjur menikah, aku nggak bisa apa-apa selain hidup sendiri tanpa Papa," sahut Medina tertawa hambar.

Tiara menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu. Dia seakan paham dengan apa yang dirasakan Medina, "Sabar ya, Med!"

Merasa tak mau terlalu dikasihani, Medina mengangkat sudut bibirnya untuk tersenyum ke arah Tiara, "Nggak papa, namanya juga hidup Ra! Banyak lika-likunya. Yang penting iman tetep kokoh, aku udah bersyukur."

Tiara kagum dengan jawaban Medina. Dia seolah-olah ingin menggoda sahabatnya walaupun godaannya garing, "Oleh-oleh dari umroh nih! Ser, sepupu kamu jadi Medina Teguh. Bijak bener. Nggak kayak dulu yang rada bego," balas Tiara yang sontak dipukul oleh Medina.

"Oh iya kemarin aku beliin kamu abaya. Bagus banget. Sengaja abaya kita couple," seru Medina yang hampir lupa bahwa dia membelikan oleh-oleh untuk Tiara. Dan saat ini waktu yang tepat untuk memberikannya.

"Oh iya? Mana? Mana?" tanya Tiara antusias.

"Bentar aku ambil di koper," jawab Medina pelan seraya menggeser koper kecilnya yang berisi beberapa abaya dan gamis yang telah ia beli di Tanah Haram. Abaya-abaya itu rencananya akan ia pakai terus setiap hari untuk mengubah penampilannya yang dulu belum pernah menutup aurat.

"Ini dia," seru Medina mengeluarkan gamis abaya yang akan dia hadiahkan ke Tiara.

Tiara membuka dua bola matanya lebar ketika melihat gamis abaya yang dipegang oleh Medina. Sontak tangannya mengambil alih gamis itu dan memujinya berkali-kali. Karena memang gamis tersebut sangat cantik. Gamis hitam dengan aksen renda putih yang melingkar di bagian pinggangnya, "Buset bagus banget. Aku suka! Tau aja kesukaanku."

"Harus suka soalnya aku belinya perjuangan disana," balas Medina seraya terkekeh.

Selain netranya tertuju pada gamis. Tiara tampaknya menatap khimar yang telah menyihir matanya. Tangan Tiara sontak mengambil khimar itu dari dalam koper Medina, "Ini khimar bagus banget. Kamu beli dua? Mau dong satu!"

"Khimar?" gumam Medina yang sontak menatap khimar di tangan Tiara.

Khimar itu? Tidak. Kenapa masih di koper Medina? Mungkin baiknya khimar itu ia berikan ke Tiara, dari pada harus terkungkung kenangannya bersama Rafi di Madinah.

"Kalau kamu suka ambil aja. Aku nggak punya gamis yang senada sama itu. Jadi kayaknya kurang cocok aja dipakai," alibi Medina pada Tiara. Padahal dia memberikan itu karena dia tak ingin mengingat-ingat tentang Rafi lagi.

"Boleh, nanti aku ambil khimar sama gamisnya. Aku coba di kamar dulu ya?" seru Tiara yang tampak antusias mencoba khimar dan gamis yang Medina berikan. Sedangkan Medina sendiri membalas kalimat Tiara dengan anggukan persetujuan.

"Siap!" sahut Medina.

Sembari menunggu Tiara ganti baju. Medina berniat untuk mengambil segelas air minum di dapur. Kebetulan di dapur ada Sera disana yang sibuk menata kue.

Medina perlahan berjalan ke arah dapur. Namun ketika mendengar suara Sera yang tengah bercengkrama dengan seseorang dalan sambungan telepon, tiba-tiba langkah Medina seakan tercekat.

"Aku masih di rumah Medina, Sayang!Mau jemput? Aku siap-siap dulu kalau mau jemput," seru Sera dalam sambungan telepon itu. Medina masih menyimak dari balik tembok dapur. Dan dia sangat hapal pasti Sera tengah menghubungi suaminya.

"Cetak undangan? Bukannya kemarin udah dicetak pihak Mbak Naira ya?" tanya Sera pada suaminya. Entah Medina tak tahu Mas Hamdan mengatakan apa. Tapi ini kedua kalinya mendengar pembicaraan Sera dalam sambungan telepon, sangat menyayat hati Medina.

Apalagi bawa-bawa masalah undangan. Sudah bisa dipastikan jika itu adalah undangan pernikahan. Tak mungkin kan undangan yasinan orang meninggal? Undangan apalagi?

"Oh undangannya udah jadi, kita yang ambil? Gara-gara Mas Rafi lagi ada urusan? Ya udah bentar aku siap-siap dulu kalau gitu," ucap Sera.

Medina masih betah menyimak percakapan Sera sampai dia lupa tujuan awalnya mengambil minum. Andaikan saja ia tak terlalu cepat berharap pada laki-laki baik itu. Pasti hatinya sembuh dan tak ada luka baru.

Tapi ini juga bukan salah Rafi. Dulu Medina sempat sok menolak saat Sera sering menjahilinya. Menganggap Rafi bukan tipenya meskipun Rafi baik padanya. Dan sekarang, dia sudah menerima kenyataan kabar itu. Apakah kabar itu benar atau tidak? Namun jika tidak? Kenapa sampai ada cincin dan undangan? Terus Naira itu siapa? Siapa lagi kalau bukan mempelai wanita. Iya kan?

"Medina," ujar Sera yang baru menyadari bahwa Medina ada di dekatnya. Sera sontak buru-buru menutup telepon itu.

"Mau pulang ya, Ser?" tanya Medina pelan.

Sera terpaksa harus undur dari rumah Medina karena suaminya memanggil. Dia mengangguk pelan sebelum mengucapkan kalimatnya, "Aku ada urusan sama Mas Hamdan. Penting banget. Aku pulang dulu ya? Mas Hamdan udah mau jemput. Maaf ya nggak bisa lama disini."

"Iya."

"Kamu nggak papa kan kalau sama Tiara dulu di rumah?" tanya Sera pada Medina.

Dan meskipun sedari tadi senyumnya kecut dia tetap tak absen memasang senyum simpul itu ke arah Sera, "Nggak papa. Sebenernya sendirian juga nggak papa. Disini aman."

"Aku pulang dulu ya?"

Bersambung ....

Besok jadwal Aidan ya soalnya aku udah bikin dialog tinggal narasi doang. Berarti besok double update Medina dan 1x update Aidan. Medina ending Aidan nyusul dan Aviola muncul dari permukaan wattpad.

Yang belum follow yuk ikuti teruss vote dan komen yang banyakkkk

Gimaanaaaa nasib Medina iniiii. Kasian banget sakit hati guaaaaaa soalnya guaa juga sering cinta bertepuk sebelah tangan sama Pangeran Dubai wkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top