Part 3 - Rey Lagi Rey Terus!
Seharian ini Tiara menemani Medina. Mulai dari makan dan belanja di food court sampai menemani Medina check up ke dokter obgyn. Tadinya memang Medina masih menunggu kedatangan sang kekasih. Tapi nyatanya sampai Medina selesai periksa ke dokter obgyn, Sang kekasih juga tak kunjung menemui Medina.
Pukul sembilan malam, Medina dan Tiara memutuskan untuk pulang. Tiara yang kebetulan membawa mobil, lantas mengantarkan Medina untuk pulang, "Obat kamu banyak juga ya, Med?" tanyanya pada Medina saat dua sorot matanya itu menatap obat-obatan yang ada di tangan Medina saat ini.
Medina mengangguk. Dua bola matanya yang tadinya menatap ke arah jendela mobil, sontak beralih ke arah obat yang ada di pangkuannya, "Iya, kata dokternya buat jangka 30 hari. Banyak ya?" serunya menjawab pertanyaan dari Tiara.
"Berarti kalau datang bulan emang nyeri banget?" Tiara bertanya lagi mengenai penyakit Medina.
Dan pertanyaan itu dijawab Medina dengan anggukan pelan sembari menghela napasnya, "Iya sering, kadang juga nggak datang bulan tiba-tiba nyeri," jawab Medina.
Terkadang Tiara juga memiliki belas kasih pada Medina. Pasalnya, sahabatnya itu saat ini hanya tinggal sendiri di rumah. Papanya sering keluar kota, dan Mamanya sudah meninggal dunia sejak Medina berusia belasan tahun. Ya memang benar, tumpuan Medina kalau bukan kekasih pasti ke sahabatnya. Sayangnya, Tiara sangat tidak menyukai kekasih Medina entah tanpa alasan.
"Ra, ke rumah Safira dulu ya?" pinta Medina dengan nada yang sedikit serak.
"Mau ngapain?" tanya Tiara balik seraya dua alis tebalnya itu mengerut secara bersamaan.
"Aku mau mengembalikan buku Safira. Buku dia ketinggalan, kayaknya buku penting. Aku mau antar bukunya. Kita kesana dulu baru pulang gimana? Biar nggak ada tanggungan aja," ucap Medina lagi pada Tiara, berharap Tiara mau mengikuti sarannya.
"Anter besok nggak bisa?" tawar perempuan itu pada Medina.
Medina menggeleng, "Jangan! Aku takut lupa, Ra! Kalau misal nunda besok-besok. Mumpung kita sekarang jalan, sekalian aja!" serunya.
Tiara tak mampu menolak permintaan dari sahabatnya itu. Pasalnya, melihat guratan wajah pucat yang terlihat di hadapannya, membuat Tiara mengurungkan niatnya untuk menolak apapun permintaan dari Medina. Sahabatnya itu sangat baik. Tapi terkadang terlewat bodoh hanya karena laki-laki, "Ya udah, bentar! Aku puter balik dulu."
Nomor yang anda tuju tidak menjawab!
Helaan napas dari bibir Medina membuat netra Tiara melirik pelan ke arah sahabatnya. Tiara sudah bisa menebak, pasti Medina masih berusaha menghubungi kekasihnya. Padahal jelas-jelas sedari pagi, Medina tak mendapatkan jawaban apapun dari laki-laki itu. Justru Medina menelan kekecewaan bahwa kekasihnya masih tak menjawab sambungan telepon darinya, "Masih nggak bisa dihubungi lagi," serunya pada Tiara.
Tiara tak menjawab dan malah mengalihkan pembahasannya, "Kamu beneran setelah ke rumah Safira, mau antar kue-kue itu ke rumah Rey?" tanyanya pada Medina.
"Iya."
Netra Tiara menatap spion tengah mobil yang memperlihatkan 20 kotak brownies yang dibawa Medina untuk diberikan ke Rey. Brownies itu ia tempatkan di jok belakang mobil, "Sebanyak itu kamu mau kasih ke Rey semua?"
Medina mengangguk pelan, "Iya."
"Itu kue kesukaan dia. Sebagai istri nanti, aku juga mau terus berbakti ke suami, aku yang dulunya nggak bisa masak ya harus belajar masak buat Rey. Aku yang dulunya suka bangun siang ya harus bangun pagi, aku yang dulunya boros ya harus hemat buat Rey. Aku yang dulu cuek sama orang ya harus belajar peduli melalui Rey," jelas Medina pada Tiara yang membuat sahabatnya itu menghela napas panjang mendengar penuturan dari Medina.
Apa yang membuat Medina mencintai Rey? Apa yang membuat Medina menempatkan Rey pemegang tahta tertinggi di hatinya? Dan apa yang membuat Medina tak mau kehilangan Rey? Padahal hari ini saja, menurut Tiara Rey laki-laki yang tak bisa diharapkan. Setidaknya jika tak bisa dihubungi, sekedar mengabari dengan pesan singkat apa susahnya? Entahlah ...
"Pokoknya aku mau kehidupan sesudah pernikahan nggak terlalu membebabi Rey, dan aku juga berharap Rey jadi suami yang baik. Pembahasan ini udah sering aku bahas sama Rey kalau ketemu, dan Rey setuju-setuju aja," terangnya lagi mengarah ke Tiara.
Tiara tak bisa beropini lagi karena ketidaksukaan dia terhadap Rey telah tertutupi oleh rasa belas kasih ke sahabatnya. Andai saja Rey bukan kekasih Medina, pasti Tiara akan sangat bahagia nama laki-laki itu tak tersumat di telinganya terus.
"Rey itu sosok suami idaman, Ra! Baik, pengertian, sopan, pinter akademik. Yang paling bikin aku kagum sama dia, Dari segi finansial matang dari segi emosional juga dia nggak pernah marah. Rey pernah bilang juga kalau dia pengen banget punya istri yang bisa masak. Makanya kemarin waktu buat brownies coklat, aku sampai bela-belain minta Safira buat diajari bikin kue itu. Dan hasilnya ... Rey suka brownies buatanku padahal baru pertama kali buat," ungkap Medina lagi.
"Itu artinya dia sering menghargai apa yang aku lakukan. Sejujurnya kalau masak makanan sehari-hari aku bisa. Tapi kalau masak kue dan semacamnya aku kurang bisa. Aku paksa Safira buat ngajarin aku, dan sekarang udah jago deh! Apapun makanan yang disukai Rey, aku coba bikin sendiri pakai resep yang diajarkan Safira. Ya kamu tau sendiri lah, dari dulu Safira emang pinter masak," tambah Medina lagi.
Tiara hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar kalimat-kalimat pujian untuk Rey. Ingin menghujat juga tak mungkin. Dia masih menjaga perasaan Medina. Sebegitu cintanya Medina pada Rey, sampai Tiara tak mampu membantah perkataan Medina. Ya sudah lah demi Medina, Tiara tak mau egois dengan pilihan sahabatnya sendiri ....
"Ra," panggil Medina.
"Hm?"
"Kamu mau nggak gantiin aku ambil tiket umroh dari Sera?" Akhir-akhir ini sepupunya itu memang kerap memawari Medina umroh. Sering Medina tolak tapi tetap saja Sera tak putus asa. Tapi Medina mengambil tiket umroh dari Sera untuk ditawarkan ke Tiara. Sejujurnya dia masih belum siap. Apa karena kesibukkan bekerja atau ada hal lain yang membuatnya ingin menunda panggilan itu terlebih dahulu?
"Sera chat aku lagi katanya kuotanya ada 2 orang. Tapi kayaknya yang satunya udah dipakai sama orang lain. Tinggal satu, kamu mau nggak pakai punyaku? Aku masih belum bisa pakai kuota itu," serunya pada Tiara.
Tiara yang sedari tadi memang fokus menyetir sontak sedikit memelankan kemudinya ketika mendengar permintaan dari Tiara, "Ya mau-mau aja sih, kapan?"
"Bulan depan kata Sera," sahut Medina.
Tiara terlihat mengangguk-anggukan kepalanya. Tangan kirinya sedikit membenarkan hijabnya yang sedikit berantakan sebelum ia menjawab pertanyaan dari Medina, "Boleh, aku harus ngajuin cuti dulu berarti. Oke deh nggak papa nanti aku atur. Ini kamu beneran nggak mau? Sayang banget Medina, banyak yang pengen umroh tapi masih terhalang finansial. Kamu kenapa malah nolak niat baik Sera yang kasih?"
Medina menggelengkan kepalanya. Dia ingin mengoreksi kalimat Tiara yang sedikit tak enak didengar baginya, "Bukan nolak. Aku cuma masih belum siap aja ke Rumah Allah kondisinya masih kayak gini. Belum berhijab, masih suka ghibah, suka sholat di akhir waktu, kadang suka maksiat," jawabnya.
Tangan kiri Medina yang tak terpaku pada stir mobil sontak ia gunakan untuk menyentil dahi sahabatnya itu sampai poni Medina berantakan, "Ya namanya manusia, Med! Salah itu udah makanan sehari-hari. Tapi kesempatan umroh, datangnya nggak setiap hari."
"Aku hijabin hati dulu aja, Ra! Sambil perbaiki diri," sahut Medina lagi.
Memang, hidayah jika tak dicari dia akan hilang dengan sendirinya. Terkadang saat hidayah datang pun jika tak segera diambil, perlahan akan hilang juga. Di antara ketiga sahabat itu, hanya Tiara yang berhijab. Sedangkan Medina dan Safira belum. Mungkin, karena Tiara dari background keluarga yang memupuknya dari kecil bahwa hijab itu adalah kewajiban semua muslimah, makanya dia terbiasa memakai hijab karena sudah diajarkan di keluarganya sejak dia kecil.
Tak bisa dipungkiri, walaupun Tiara sering ceplas-ceplos urusan tutur kata, tapi dia sama sekali menjaga hijabnya akan tak terlepas begitu saja. Bagi Tiara, hijab adalah kewajiban, dan akhlak bisa dipupuk seiring berjalannya waktu.
Sedangkan Medina dan Safira, tidak mendapatkan kenikmatan itu. Medina terlahir dari keluarga yang retak, sejak ibunya meninggal, Sang Ayah jarang mempedulikan Medina. Sang Ayah lebih sering meninggalkan Medina di rumah sendirian sampai Medina sebesar ini. Ayahnya sering menitipkan Medina pada asisten rumah tangganya, sedangkan dia sibuk bekerja di luar kota.
Begitupun juga dengan Safira, Safira dari kecil hanya tinggal bersama neneknya. Kedua orang tua Safira bahkan keluar negeri untuk bekerja dan jarang pulang. Saat Safira menginjak tahun pertama perkuliahan, dia ditinggalkan neneknya untuk selama-lamanya. Alhasil, sampai sekarang dia terbiasa tinggal di rumah sendiri.
Di tengah-tengah pembicaraan Medina dan Tiara tentang tiket umroh, sebuah pesan singkat terbit dari ponsel Medina. Medina lantas mengecek nama pengirim yang ada di notifikasi pop up ponselnya, "Rey?" ucapnya. Tanpa berpikir panjang Medina sontak membuka pesan itu dan membacanya.
Rey
Tunggu di rumah kamu aja, Sayang! Nanti aku kesana.
Bukan senang justru terheran, Medina mengerutkan dahinya ketika membaca pesan tersebut. Bukan apa-apa, tapi malam ini dia sama sekali tak ada janji dengan kekasihnya. Beberapa detik, otak Medina mencerna kalimat dari Rey itu.
"Kenapa?" tanya Tiara yang ikut penasaran kalimat apa yang sebenarnya Rey kirimkan ke ponsel Medina.
Medina cepat-cepat menatap Tiara dan mengadukan isi pesan yang Rey kirimkan padanya, "Rey chat katanya suruh tunggu di rumahku aja nanti dia nyusul ke rumah."
Agak aneh menurut Tiara. Ini terlalu malam untuk Rey datang ke rumah Medina, "Emang kamu ada janji sama dia? Kok malam-malam mau ke rumah kamu?" tanyanya balik.
Medina menggeleng penuh, "Nggak. Tapi tadi kan aku telfon dia berkali-kali dan nggak diangkat, terus ini dia chat aku katanya suruh tunggu di rumah nanti dia kesana. Berarti kita nggak usah ke rumah Safira aja ya? Puter balik aja ke rumahku. Bukunya dikembalikan kapan-kapan aja, langsung pulang aja, aku nggak mau Rey nunggu lama."
"Tapi ini malem-malem loh! Masa iya Rey ke rumah kamu? Aneh-aneh aja dia. Besok kan bisa ke rumah kamu," sahut Tiara yang mulai kontra dengan apa yang sahabatnya itu ucapkan.
"Ya siapa tau dia mau jelasin alasannya nggak bisa dihubungi tadi karena dia lagi sibuk. Atau dia ke rumahku karena ada hal penting yang harus diomongin buat persiapan pernikahan kan bisa jadi," jelas Medina pada Tiara yang membuat Tiara ingin menetralkan emosinya yang tadinya akan mencuat tiba-tiba. Yang benar saja, posisinya Tiara yang menyetir mobil, dan hanya gara-gara Rey, Medina mengubah rencana secepat kilat yang tadinya mau ke rumah Safira sekarang balik ke rumah Medina lagi.
"Nggak, tetep ke rumah Safira dulu. Yang bener aja woy ini tinggal sejengkal lagi rumah Safira, main puter balik aja demi Rey. Biarin aja dia nunggu, nunggu bentar aja masa nggak sabar sih!" tegas Tiara yang masih melanjutkan kemudinya agar cepat sampai ke rumah Safira sedangkan Medina masih sibuk memikirkan balasan kalimat apa yang pantas untuk ditujukan pada Rey.
Ketika Medina ingin mengetik sesuatu, tiba-tiba pesan yang tadinya dikirim oleh Rey tiba-tiba dihapus Rey. Spontan Medina membuka dua bola matanya secara lebar-lebar, "Loh kok dihapus sama Rey sih? Aku kan belum bales."
"Apanya?" tanya Tiara.
"Chat yang tadi dihapus sama Rey," sahut Medina.
Bersambung ....
Kemarin mau update tapi xl bapuk banget gabisa diapa-apain cuma bisa chat doang 😭 jadinya aku tebas hari ini ya? Oiyya kalo part 4 dah selesai langsung aku update juga yaaaa mumpung lancarrrr
Vote komen follow yukkk update tiap hari di wattpad dan facebook grub ular merit.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top