Part 28 - Menghindar!
"Aku ini kenapa sih sebenernya? Aku nggak ada rasa sama Mas Rafi tapi kenapa dari tadi gelisahnya nggak selesai-selesai," Medina sedari tadi mondar mandir di samping ranjang. Jemarinya dingin entah kenapa. Sejak mendengar kabar issue tentang Rafi menikah, napsu makannya berkurang. Bagaimana ini? Dia memang belum mendapatkan kejelasan tentang hal itu. Tapi Medina yakin dalam hatinya, kabar itu benar.
"Ya Allah, sejujurnya aku nggak suka perasaan ini. Aku bingung harus ngilanginnya gimana? Nggak selesai-selesai gelisahnya. Sera masih lama nggak sih pulangnya? Pasti mereka di resto lagi ngomongin pernikahan Mas Rafi. Kayak gimana calonnya Mas Rafi?" Dia selalu mengelak bahwa tak ada perasaan pada Rafi tapi nyatanya hatinya berteriak entah kemana saat mendengar kabar itu.
Medina menghela napas pelannya untuk mengatur udara yang keluar masuk melalui parunya, "Nggak. Makin aku pikirin makin nggak karuan rasanya. Mending aku ngaji aja. Nggak terlalu penting juga. Bukan urusanku. Ngapain aku ikut mikir? Kenapa kudu mikirin?"
Medina berusaha menghilangkan pikiran apapun tentang Rafi. Kebaikan Rafi, wajah Rafi atau apapun yang berhubungan dengan laki-laki itu. Semakin mengendap kenangan laki-laki itu bersamanya beberapa hari di Madinah, semakin sesak hati Medina.
Medina sampai heran, di Madinah bukan malah Rey yang hinggap di hatinya. Tapi justru Rafi. Laki-laki itu terus yang selalu terbesit dalam pikirannya. Padahal jika di logika, Rey yang menjalin hubungan dengan Medina cukup lama. Tapi kenapa? Rafi yang lagi-lagi memenuhi pikiran Medina. Bukan Rey.
Saat Medina ingin mengambil wudlu, ponselnya tiba-tiba berdering dan menandakan sebuah panggilan masuk. Dia cepat-cepat membaca nama yang tertera di layar ponselnya, "Tiara?"
"Hallo?" Tangan Medina terangkat ke dekat telinga saat ia mengangkat sambungan telepon itu.
"Hallo Medina. Dasar lupa temen. Nggak ngabarin sama sekali. Dikira temen kamu ini patung? Aku kangen sama kamu Markonah!" teriak Tiara dalam sambungan telepon itu. Medina terkekeh mendengar sahabatnya yang ngomel-ngomel tak karuan.
Bibir Medina meringis. Ternyata Tiara tak gengsi lagi padanya. Buktinya dia mengucapkan rasa kangen pada Medina secara gamblang. Beda dengan Safira. Semenjak insiden itu, dia tak muncul lagi di hadapan Medina untuk meminta maaf, "Iya maaf lama nggak ngabarin, ngegas mulu jadi orang kamu mah," sahut Medina.
"Gimana disana?"
"Alhamdulillah lancar!" balas Medina.
"Kapan pulang?"
"Masih lama, setelah di Madinah lanjut ke Mekkah."
"Kabarin kalo pulang ya?"
"Iya."
"Eh bentar ... Adikku belum makan. Nanti kita sambung lagi ya?" Terdengar dari sambungan telepon itu, Tiara pamit untuk mengakhiri sambungan telepon karena perkara adiknya belum makan. Medina juga tak mau menggangu aktivitas Tiara, dia mengangguk menyetujui.
"Oke," balas Medina sebelum sambungan telepon itu benar-benar terputus.
Medina lantas meletakkan ponselnya lagi ke arah meja nakas. Membaca Al-Quran yang dia urungkan tadi, akhirnya akan ia lakukan saat ini karena hatinya benar-benar gelisah perkara issue yang ia dapat mengenai Rafi.
Tapi ketika dia ingin mengambil wudlu dan mengambil Al-Quran di mejanya, suara ketukkan pintu membuyarkan lamunannya. Medina lagi-lagi mengurungkan niatnya karena takut ada tamu penting yang mengetuk kamarnya.
"Mbak Medin," seru wanita paruh baya yang ada di ambang pintu. Dia salah satu jamaah yang berusia setengah abad, yang sangat baik pada Medina selama umroh. Dia juga banyak membantu Medina. Medina benar-benar aman selama umroh karena banyak orang baik yang menyayanginya.
"Iya Bu Asri?"
Tangan Bu Asri menyodorkan kebab ke arah Medina. Medina sudah bisa menebaknya jika kebab itu dari Bu Asri. Karena perempuan itu sangat sering memberi apapun pada Medina selama di Madinah, "Ada kebab enak nih! Enak banget Ibu tadi udah nyicip rasanya. Dimakan ya?"
"Wah ... Pasti enak kebab pilihan Ibuk," puji Medina yang senang saat ia menerima kebab itu.
Tapi Bu Asri menggeleng, "Nggak tau, itu tadi yang kasih jamaah lain. Dia kasih brownies ini ke beberapa jamaah kayaknya. Ibu aja dapat. Nah katanya ini buat Neng Medina," seru Bu Asri.
"Makasih ya Bu?" balas Medina yang kemudian dibalas Ibu itu dengan anggukan sebelum dia berjalan meninggalkan Medina.
"Kebab? Dari ...."
Selamat makan. Dua hari lagi jangan lupa jaga kesehatan buat umroh. Semoga tetep dalam lindungan Allah. --Rafi
Membaca tulisan yang ada di bingkisan kebab itu, Medina sontak menutupnya kembali. Tanpa berpikir panjang Medina mengejar Bu Asri yang berjalan belum terlalu jauh darinya.
"Ibu ...." teriak Medina.
Wanita paruh baya itu menoleh ke belakang ketika Medina memanggilnya, "Iya?"
"Ibu mau kebab nggak? Kebetulan aku takut nggak habis kalau makan sendirian. Lumayan buat Ibu makan sama nyemil di hotel. Nggak papa ini buat tambahan aja. Jadi stok kebab Ibu banyak buat nyemil nanti malam. Mau?" seru Medina yang memberikan kebab itu pada Bu Asri.
"Boleh deh Neng! Ibu ambil ya?" balas Ibu itu pada Medina.
"Semuanya nggak papa, Bu! Medina masih ada stok cemilan kok," ucap Medina yang menyodorkan kebab itu ke arah Bu Asri.
Lagi pula buat apa Rafi memberikan kebab itu pada Medina? Kalau seperti ini mana mungkin Medina bisa menghilangkan Rafi dari pikirannya. Oh tunggu ... tunggu!
Tulisan di kebab itu sama sekali tak ada kata Medina. Itu artinya memang Rafi memberikan kebab itu pada semua jamaah. Bukan hanya untuk Medina saja. Medina tak pantas untuk percaya diri. Rafi bukan hanya mempedulikannya saja tapi jamaah lain juga dipedulikan. Iya, pasti alasannya seperti itu. Medina sangat yakin.
"Jangan! Neng Medina makan apa kalau kebabnya buat Ibu semua?" tanya Bu Asri.
Saat mendengar penolakan itu, Medina memaksa Bu Asri menerimanya, "Medina udah makan tadi. Aku lihat kan Ibu sama suami Ibu sering nolong Medina disini. Jadi dua kebab ini buat Ibu sama suami aja ya? Medina nanti bisa beli lagi kok. Di area hotel banyak yang jual."
"Makasih ya Neng?" seru Ibu itu yang lantas mengambil kebab dari Medina.
Dan Medina tersenyum lega ketika akhirnya Bu Asri menerimanya. "Iya sama-sama."
Ketika Medina selesai memberikan kebab itu, langkahnya akhirnya kembali ke kamar. Tapi belum sampai dia masuk ke dalam kamar, sebuah panggilan mencuat dari mulut seseorang untuk Medina, "Mbak Medina!"
"Hm?"
"Mbak, dapat kiriman brownies. Mau nggak?" tanya perempuan itu.
Medina mengerutkan dahinya. Sudah hampir dua kali ia mendapatkan kiriman-kiriman seperti ini. Dan dia tak mau menerima jika dari Rafi. Apa jangan-jangan brownies ini juga dari Rafi?
"Buat aku? Dari siapa? Sera?" tanya Medina.
Perempuan muda itu menggeleng pelan, "Nggak tau ini tadi dari orang yang bagi-bagi brownies di depan hotel. Ini aku juga dapat. Mungkin jamaah lain yang emang kebetulan lagi bagi-bagi," balas perempuan itu.
Sejujurnya Medina ragu menerimanya. Dia takut dari Rafi, "Nggak usah deh! Brownies buat kamu aja. Nggak papa. Aku tadi udah beli kurma kok cukup untuk cemilan malam nanti."
"Rejeki jalan ditolak Mbak. Tadi aku lihat kayaknya istrinya Ustadz Hamzah yang kasih ini. Lumayan kotak brownies-nya gede. Ayo terima aja!" sahut perempuan itu yang akhirnya diterima oleh Medina karena tak ada embel-embel nama Rafi.
Lantas apa memang benar? Mulai saat ini Medina ingin menghilangkan Rafi dari pikirannya? Bagaimana jika pikiran itu tak bisa hilang? Ah, Medina harus bagaimana? Dia terus berdoa agar Rafi tak muncul lagi di hadapannya. Tapi tetap meskipun tak muncul di hadapannya, tapi di pikirannya masih keliaran.
Bersambung ....
Sembilan part lagi ending sama kayak lapak Aidan. Kalau nanti malam ada waktu aku update lagi ya ....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top