Part 26 - Issue atau Fakta?

Medina memilih tak berbelanja kurma banyak. Dia hanya berbelanja keperluannya saja. Tak berharap lebih saat pulang nanti banyak yang menyambutnya. Paling saat sampai di rumah, rumahnya tampak kosong karena asisten rumah tangga banyak yang libur. Jadi terkadang dia takut jika beli kurma terlalu banyak, tak ada yang memakannya di rumahnya.

Sembari menunggu Sera dan suaminya, Medina memilih untuk memberi makan burung-burung yang berterbangan kesana-kemari. Dia sangat menyukai apapun jenis hewan, terlebih lagi kucing. Medina sampai rela bawa makanan kucing dari rumah untuk ia berikan ke kucing yang ada di sekitar Masjid Nabawi.

"Burung, ini udah mau hari terakhir aku di Madinah. Kalian gimana nanti makannya? Aku udah harus ke Mekkah," seru Medina seolah-olah berbicara pada beberapa burung yang mematuk makanan.

"Makan yang banyak. Kalian nanti cari makan yang banyak biar kenyang semoga banyak yang kasih makan kalian. Aku khawatir kalian nggak bisa makan banyak," serunya lagi sembari tangannya menyiratkan pakan untuk disebar pada burung-burung dara yang ada di hadapannya saat ini.

Sembari berjongkok melihat puluhan burung yang mematuk makanan dari Medina, seulas senyum dari bibir Medina terbit. Dia pun lebih bersemangat menyiratkan makanan yang ada di genggamannya saat ini.

"Mereka udah dijamin rejekinya sama Allah. Tenang aja. Nggak bakal kelaparan," sahut seorang laki-laki yang duduk tepat di sampinnya. Laki-laki itu ikut berjongkok di samping Medina sembari mengambil satu kantung pakan burung yang ada di depan Medina untuk ia genggam di tangannya. Dan kemudian ia lempar pada burung-burung sekitarnya.

"Mas Rafi ngagetin!" pekik Medina saat tahu Rafi menyusulnya. Datang dari mana pria ini? Perasaan tadi dia melihat Rafi masih sibuk membeli ini itu bersama Hamdan dan Sera. Tapi sekarang, sudah ada di samping Medina.

"Kamu nggak beli kurma? Aku lihat tadi kenapa belanjanya cuma dikit? Sera sama Hamdan nggak berhenti-berhenti belanja beli ini itu sampai sekarang belum balik," balas Rafi.

"Aku nggak punya keluarga. Siapa juga nantinya yang makan, nggak ada orang di rumah. Jadi aku beli secukupnya aja buat aku makan," jawab Medina.

Mendengar jawaban dari Medina, Rafi jadi tak enak bertanya. Dia hanya menganggukkan kepalanya pelan sampai suara Medina membuatnya menoleh, "Mas, kamu beli ini dimana?" tanya Medina saat sorot matanya melihat Rafi yang membawa buku tebal berjudul ilmu tajwid.

Tangan Rafi menunjuk arah timur sebuah bangunan, "Ada disana yang jual. Kebetulan nenek minta dibeliin ini. Jadi aku beli," jawabnya pada Medina.

"Kenapa? Mau beli juga?" tanya Rafi pelan. Tapi ia baru ingat jika buku yang ia pegang saat ini hanya sisa satu saat tadi ia bertanya pada penjualnya.

Rafi lantas memasukkan buku itu ke dalam kantungnya lagi. Dan memberikannya ke Medina, "Bawa aja punyaku. Kamu nggak perlu beli," serunya mengulurkan sebuah buku ke arah Medina. Ada rasa iba saat dia melihat sorot mata sayu milik Medina.

"Tapi kan ini buat neneknya Mas Rafi," tolak Medina.

Rafi menggeleng. Neneknya pasti paham jika dibelikan buku lain yang isinya hampir sama, "Di toko tadi stoknya cuma satu. Dari pada kamu bingung nyari stok ini di toko lain mending bawa punyaku aja."

"Terus neneknya Mas Rafi gimana?" tanya Medina yang masih enggan menerima buku itu.

"Nanti biar aku ganti cari buku lain yang isinya hampir sama dengan buku ini," sahut Rafi.

Medina menggeleng cepat, "Nggak ... Aku nggak enak sendiri. Nggak usah. Lagian aku juga nggak terlalu butuh buku itu. Nggak usah," tolak Medina.

"Nggak papa. Aku paham kamu lagi proses belajar baca Quran. Sera pernah bilang gitu. Itung-itung aku sama nenek sebagai perantara kamu punta fasilitas baca Quran. Nenek juga pasti paham keadaan kamu," jawab Rafi menjelaskan ke arah Medina lagi.

Medina lagi-lagi tersenyum. Pasalnya buku ini terhitung adalah buku kesekian dari puluhan buku yang diterima Medina, dari Rafi. Kalau begini caranya Medina takut jatuh hati sedangkan dia masih punya luka tersayat dari mantan kekasihnya dan Papanya sekaligus. Dia sudah berkali-kali menyalahkan dirinya sendiri perkara hatinya sangat mudah mencintai seseorang. Padahal terlalu larut dalam angan mengharapkan seseorang akan berujung kecewa.

Tapi ini bagaimana? Terkadang ia hampir jatuh cinta pada Rafi yang terlalu baik padanya. Bahkan dia belum pernah bertemu laki-laki sebaik ini sebelumnya. Medina bingung sendiri menerjemahkan hatinya.

"Makasih," jawab Medina pelan.

"Ini isinya ada tajwidnya lengkap, Mas?" tanyanya pada Rafi.

"Ada," balas Rafi pelan.

Entah saat membuka buku itu, Medina memilih halaman acak untuk ia baca. Di tengah-tengah keramaian Kota Madinah, dia agak minggir ke tepi jalan untuk membaca buku itu dan Rafi mengikutinya, "Bedanya idghom bigunnah sama bilagunnah kok sama sama idghom tapi beda huruf?"

"Kalau ada tanwin dan nun sukun kayak ini terus dia ketemu sama huruf lam dan ra' nanti bacanya tanpa mendengung," jelas Rafi sembari tangannya ikut menunjuk buku yang Medina bawa.

"Terus bedanya apa sama idghom bigunnah?" tanya Medina yang tak begitu paham. Sungguh, Medina terkadang sedikit menyesal ketika harus dihadapkan ilmu agama seperti ini. Dia begitu tak tahu apa-apa sama seperti bayi yang baru lahir. Baca Al-Quran saja terkadang masih banyak salahnya. Dan lebih sering menirukan Quran reciter tanpa tahu hukum bacaan tajwidnya.

"Kalau ada nun sukun atau tanwin terus mereka salah satunya di ayat ketemu huruf nun, wau, ya', sama mim. Bacanya dengung. Kayak gini," Rafi perlahan membaca bunyi ayat yang masuk ke dalam kategori bacaan yang ditanyakan Medina.

Suara Rafi yang membaca potongam ayat tersebut tampak begitu jelas dan indah. Bibir Medina sedikit tersungging saat menyimaknya. Terkadang bayang-bayang tak tahu diri muncul di otaknya, apa laki-laki sebaik ini bisa berjodoh dengan wanita mandul seperti dirinya?

"Paham?" Suara Rafi tadi ternyata tak disimak Medina. Dan dia hanya sibuk melamunkan hal-hal yang tidak seharusnya ia lamunkan.

"Medina?"

"Medina," panggil Rafi pelan.

"Hah? Apa?" Medina plonga-plongo saat Rafi menanyakan apakah dia benar-benar paham apa yang baru saja ia jelaskan tadi.

"Udah paham?" tanyanya lagi pada Medina.

Raut wajah Medina justru bingung tak tahu apa-apa. Dia lupa dengan pertanyaannya sendiri, "Paham apa?" tanyanya balik pada Rafi.

Saat otak Medina baru mengingatnya. Ia buru-buru membuka buku tadi karena malu dilihat Rafi,  "Paham ... paham," jawabnya ngasal.

"Tanwin kalau ketemu huruf ya' bacanya apa?" tanya Rafi spontan mengetes Medina.

Dua bola mata Medina acak membaca apapun halaman yang ada di hadapannya. Sejujurnya dia masih belum paham karena dia tak menyimak penjelasan dari Rafi malah justru membayangkan yang tidak-tidak, "Bentar ... bentar!"

"Iqlab," jawabnya spontan tanpa ragu-ragu.

"Emang tadi aku bilang iqlab?" tanya Rafi pelan.

"Iya Mas Rafi bilang iqlab," Medina bersikukuh menjawab pertanyaan Rafi dengan jawaban itu. Padahal itu bukan jawabannya. Sontak Rafi tertawa.

"Coba buka bacaan iqlab," seru Rafi yang lantas menitah Medina untuk membaca bacaan iqlab agar Medina mengerti.

Medina kemudian menurut dan membuka halaman buku yang menunjukkan bacaan iqlab. Beberapa detik tangannya menemukan bacaan itu dan Medina lantas membacanya, "Apabila ada nun sukun dan tanwin bertemu huruf hijaiyah ba' maka bacaan tersebut adalah ...."

"Salah?" seru Medina meringis tanpa dosa yang membuat Rafi menahan tawanya melihat guratan wajah Medina yang kebingungan mencari jawaban atas pertanyaannya.

"Bacaan yang aku maksud tadi jawabannya idghom bigunnah," koreksi Rafi sembari masih menertawakan Medina. Hal itu yang membuat Medina mengerucut kesal karena Rafi terus tertawa tanpa henti.

"Mas Rafi jangan ketawa terus dong! Kan cuma salah dikit aja. Besok juga kalau ditest lagi pasti bisa kalau belajar," balas Medina.

"Iya iya nggak ketawa ...." ucap Rafi dengan nada lembutnya yang membuat hati Medina terkadang tanpa aba-aba jatuh melebur padahal Rafi hanya mengatakan potongan kalimat itu. Sungguh, Medina juga tak ingin punya hati yang mudah terperangkap seperti ini. Dia takut kecewa lagi dan merasa tak pantas dengan Rafi karena penyakitnya.

"Bukunya ini bawa aja. Biar nanti aku beli lagi buku lain buat nenek," seru laki-laki itu lagi yang meminta Medina untuk membaca bukunya. Dan karena Medina suka jika dapat buku gratis, kepalanya sontak mengangguk mengiyakan.

"Mas Rafi!" panggil seorang laki-laki ke arah Rafi, Medina ikut menoleh ke arah laki-laki itu.

"Amran?" sahut Rafi saat tahu bahwa dia dipanggil seorang laki-laki yang berlari ke arahnya.

Laki-laki itu sontak menoleh ke arah Medina, "Ini adiknya Mbak Sera?" tanya laki-laki itu pada Rafi.

"Iya sepupu. Sera lagi sama Hamdan beli kurma nggak selesai selesai," jawab Rafi pelan yang dibalas laki-laki itu dengan amggukan mengerti, "Oh gitu."

Entah siapa laki-laki itu, Medina sendiri juga asing melihatnya. Apakah dia keluarga Rafi atau teman Rafi Medina sendiri tak tahu. Tapi tahukah yang membuat hati Medina seakan tertusuk tumpukan jarum? Iya, ketika laki-laki itu melontarkan kalimat yang isinya tanpa Medina duga.

"Eh gimana persiapan pernikahannya? Temen-temennya udah dikasih tau?" tanya laki-laki itu pada Rafi.

Bersambung ....

Aduhhh kannn gimana ini? Byee kaburrr .....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top