Part 24 - Kelewat GR
Susah payah Medina menata kerudung pashminanya, tangannya berkali-kali tertusuk jarum yang ia sematkan di kerudungnya, "Harusnya aku tadi nggak pakai pashmina. Kalau gini jadi malu sendiri. Miringnya banyak banget," serunya menggerutu.
Saat ini Medina menatap dirinya dari pantulan cermin toilet hotel. Dia membenarkan sisi kanan dan kiri kerudungnya yang miring tadi agar sejajar. Memang, memakai pashmina agak susah jika tak terbiasa memakainya. Medina pun merasakannya sendiri. Huh! Untung saja saat ini dia berhasil membenarkannya.
Usai membenarkan kerudungnya, Medina memutuskan untuk kembali menemui Rafi yang mungkin masih ada di sofa lobby hotel. Pasti Rafi masih menertawakannya. Medina keluar dari toilet dengan hati yang sedikit berantakan, "Lagian aku ngapain sih pakai dandan pakai pashmina segala. Pakai khimar juga gampang tinggal pakai nggak usah dibentuk-bentuk segala. Kalau rusak gini jadi ribet sendiri benerinnya."
"Allah, aku nggak lagi-lagi kayak gitu ah ... Mau dandan seadanya aja. Cantik di depan Mas Rafi juga belum tentu cantik di depan Allah," gerutunya lagi sembari langkahnya terus berjalan ke arah lobby hotel lagi.
Kepala Medina sedikit menunduk menatap hijab bagian bawahnya. Dia memastikan kerapian dandanan hijabnya tanpa tutorial dari youtube, "Aduh .... Udah bener apa belum ini?" rengeknya dengan tangan yang masih sibuk membenarkan sisi kanan dan kiri bagian dekat pelipisnya.
Medina menghampiri Rafi lagi. Dua bola matanya beradu pandang dengan Rafi dari kejauhan. Tampak laki-laki itu tengah menyembunyikan senyum tipis ke arahnya, "Maaf tadi lama," cicit Medina.
Rafi hanya mengangguk saat Medina mengambil duduk di sebelahnya dengan jarak beberapa senti. Laki-laki itu masih mengembangkan senyum simpulnya sampai dua alis Medina berkerut, "Kenapa senyum-senyum? Pashminaku masih berantakan? Masa sih? Perasaan tadi udah aku benerin," balas Medina.
Laki-laki itu menggeleng. Dia sedikit terkekeh sebelum membuyarkan lamunannya. Entah apa yang dia lamunkan saat ini, "Udah can—"
"Maksudnya udah ... Udah bagus," koreksinya.
Mendengar jawaban dari Rafi, Medina mengangguk mengerti. Itu artinya dia tak memusingkan masalah pashmina lagi. Tinggal menagih buku ke Rafi apakah Rafi benar ingin memberikan buku padanya? Seperti janjinya tadi beberapa menit yang lalu, "Gimana bukunya Mas? Buku yang mana yang bisa Medina pinjem? Katanya tadi mau kasih buku," ucap Medina.
"Oh iya sampai lupa ...." Rafi menepuk jidatnya saat dia sampai lupa tujuan utamanya. Harusnya sedari tadi ia membahas buku dengan Medina. Gara-gara pashmina semuanya jadi ikut terkendala.
Tangan Rafi mengeluarkan beberapa buku yang dia bawa dari tote bag miliknya. Buku-buku tebal itu Medina yakini pasti milik Rafi semua tanpa meminjam seorang pun, "Ini buku fikih wanita. Buat kamu belajar-belajar tentang fikih. Semuanya ada disini."
"Kemarin udah, Mas Rafi pernah kasih lewat Sera," sahut Medina.
"Ini yang versi lengkap," balas Rafi pelan.
Karena Medina sendiri tak terlalu paham persoalan fikih, dia hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja saat laki-laki itu menjelaskan, "Oke."
Tangan Medina memegang beberapa buku tebal lain yang baru saja dikeluarkan oleh Rafi dari tote bag itu. Dan dahinya sontak berkerut saat Medina melihat buku-buku yang asing baginya, "Terus ini apalagi?"
"Ini buku tambahan kalau kamu mau. Ambil aja kalau mau," sahut Rafi menjawab pertanyaan dari Medina.
Medina mengukir senyum simpulnya. Mendapatkan buku-buku dari Rafi entah mengapa membuat hatinya senang membaca buku. Padahal awalnya dia tak terlalu suka, "Boleh. Makasih ya, Mas! Aku jarang baca buku tapi dari pada kebanyakan ngelamun mending aku pakai buat baca buku aja."
"Tadi aku dititipin sama temen, ini barang buat Sera sama Hamdan. Mukena sama sajadah buat Sera. Sajadah buat Hamdan. Tolong nanti bantu kasih ya?" pinta Rafi saat tangannya perlahan mengeluarkan kantung paper bag yang berisi barang titipan temannya.
"Iya," balas Medina.
Rafi juga tak hanya mengeluarkan paper bag satu. Justru dia mengeluarkan dua paper bag yang disodorkan ke arah Medina, "Buat kamu," serunya.
Medina yang tak tahu maksud Rafi memberikan paper bag itu sontak bertanya-tanya, "Apa? Aku dapat juga? Dari siapa?" tanyanya lagi pada Rafi.
"Kerudung," jawab Rafi.
"Kerudung dari Mas Rafi? Atau dari temen Mas Rafi?" tanya Medina lagi.
Rafi terkekeh saat mendapatkan pertanyaan itu, "Sebenernya itu dikasih temenku yang kuliah di Madinah. Aku dikasih dua. Awalnya mau kasih oleh-oleh buat Ibuku. Tapi aku ingat kamu, kata Sera kamu belum punya banyak kerudung. Jadi aku kasih satu. Semoga suka," balas Rafi.
Sontak senyum di bibir Medina mengembang. Tapi mati-matian ia tahan di hadapan Rafi. Sebentar, kata Rafi tadi kerudungnya dari dia? Kata Rafi tadi Rafi ingat Medina? Tak bisa dipungkiri otak Medina berkeliaran wajah Rafi yang tersenyum ke arahnya.
"Medina?"
"Medina?"
"Hey?" panggil Rafi saat Medina tak menyahut ucapannya dan malah senyum-senyum sendiri, hal itu yang membuat Rafi bingung.
Medina buru-buru membuyarkan lamunannya ketika Rafi berkali-kali memanggilnya. Astaga apa yang dipikirkan Medina? Kenapa sampai sejauh itu membayangkan hal yang belum tentu terjadi?
"Temen Mas Rafi yang kasih barang-barang ini pasti cantik ya? Kerudung model yang buat Medina ini juga pernah dipakai temen Mas Rafi?" tanyanya gamblang.
Alih-alih bukannya menjawab, Rafi malah mencuatkan tawanya saat menyimak pertanyaan dari Medina, "Temenku? Temenku yang mana?"
"Yang kuliah di Madinah kan? Yang kemarin ketemu sama Mas Rafi. Katanya Mas Rafi kemarin ketemu dia? Terus sekarang dia kasih kerudung buat oleh-oleh. Berarti dia juga nyoba kerudungnya? Makanya bisa pinter cari model kerudung yang enak dipakai," balas Medina.
Rafi tak menghentikan tawanya. Justru semakin banyak kalimat yang mencuat di bibir Medina membuat Rafi terus ingin tertawa, "Temenku yang kuliah di Madinah ada dua, laki-laki semua. Mana bisa pakai kerudung, Medina? Ada-ada aja kamu. Kok bisa kamu ngira dia perempuan cantik? Cantik dari mananya?"
"Hah? Bukannya kemarin dia perempuan? Terus sekarang dia beli kerudung ini?" tanya Medina yang masih bersikukuh menebak teman Rafi adalah perempuan. Soalnya dari kemarin dia sudah membayangkan bahwasanya teman Rafi seorang wanita sholihah yang kuliah di Madinah.
"Beli kerudung bukan berarti dia perempuan, Medina. Dia beli ini semua buat oleh-oleh keluarganya. Bukan dia yang pakai sendiri," jawab Rafi memperjelas.
Jawaban Rafi membuat Medina benar-benar kapok menyimpulkan sesuatu yang belum tentu benar adanya. Lagi pula buat apa juga Medina membayangkan jenis kelamin teman Rafi? Mau dia laki-laki atau perempuan, memangnya kolerasinya dengan Medina apa? Ah, Medina.
"Kamu ada-ada aja ngira temenku perempuan," seru Rafi.
"Udah mau magrib. Aku pamit dulu. Barangnya minta tolong antar ke Sera ya?" pinta Rafi sebelum ia beranjak dari duduknya untuk pamit.
Saat Rafi berdiri, Medina reflek berdiri juga. Dan sebelum Rafi benar-benar pergi, dia mengatakan sesuatu ke arah Medina, "Medina, kalau mau pergi misal cari makan, belanja, jangan jauh-jauh. Sekiranya mau pergi di sekitar hotel aja atau yang mudah dijangkau kalau kamu sendirian berangkatnya. Ya?" pesan Rafi pada Medina.
Medina mengangguk pelan. Bibirnya lagi-lagi tersungging saat mendengar pesan itu. Artinya apa? Artinya apa? Apa Rafi tak mau Medina tersesat lagi? Ah, apa Rafi khawatir? Apa Rafi ....
Ini kenapa aku mesti mikir yang enggak-enggak ... Kadang Mas Rafi kelewat baik padahal aku baru kenal dari Sera. Aku juga enggak ngerti sama perasaanku sendiri. Kadang bener-bener seneng kalau dekat sama dia. Tapi ... takut Mas Rafi sama kayak Rey atau Papa. Aku udah menaruh harapan ternyata menyakitkan ...."
Bersambung ....
Besok 2 part lagi .... btw ayok komen yang banyak sayyy aku double update tiap hari .... Oh iya Aidan juga besok!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top