Part 23 - Perkara Pashmina Miring
Hari ketiga Medina di Madinah. Sore ini, langkah Medina tampak keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu saat orang lain mengetuknya. Di kamar, Medina terlihat sendirian karena Sera belum balik. Pasti bisa ditebak, Sera bersama Mas Hamdan. Dan Medina seorang diri di kamar.
"Medina," panggil wanita paruh baya ke arah Medina saat Medina membukakan pintu.
"Iya?"
Wanita paruh baya itu tampak tersenyum ke arahnya. Sungguh, semua teman jamaahnya disini sangat baik. Medina bersyukur umrah dengan hati yang tenang dan dikelilingi orang-orang baik, "Titipan buat kamu dari laki-laki yang tadi ketemu sama Ibu di Lobby hotel."
Medina memicingkan matanya saat menyimak kalimat dari wanita paruh baya itu. Saat tangannya mengambil surat itu, dia membolak-balikkan surat itu dan bertanya-tanya dalam hati, siapa orang yang memberinya surat sore-sore seperti ini?
"Makasih ya Bu?" serunya pada Ibu itu.
Ketika wanita paruh baya itu meninggalkannya, Medina sedikit penasaran dengan pengirim surat itu. Tangannya tak sabar membuka surat kecil yang terselip dalam amplop putih yang ia pegang saat ini. Ketika membaca surat itu ....
Aku ada buku buat bacaan kamu kalau lagi gabut di kamar. Satu jam lagi aja ke Lobby. Aku masih ada urusan. Nanti aku nyusul.
Salam, Rafi.
Seulas senyum merekah di hati Medina. Bagaimana tidak? Baru tadi pagi bertemu, sorenya akan bertemu lagi untuk memberikan buku. Entah apa yang terjadi pada hati Medina, tanpa aba-aba degup jantungnya berpacu tak normal lagi.
Oh iya, di dalam surat itu Rafi sudah tak memakai bahasa formal lagi saat berbicara dengan Medina. Iya, Medina sempat meminta Rafi untuk berbicara nonformal padanya, sama seperti Rafi berbicara pada Hamdan dan Sera. Dan Medina ingin Rafi menyamakan bahasa komunikasi antara Sera dan dirinya.
"Ke Lobby? Satu jam lagi?" gumam Medina.
Medina tampak buru-buru masuk ke dalam kamarnya lagi. Seulas senyum di bibirnya masih tak berangsur hilang. Entah mengapa senyum itu masih melekat di bibirnya, "Berarti sebelum sholat magrib, aku ke lobby dulu sambil nunggu adzan. Terus aku ketemu Mas Rafi buat ambil buku," gumamnya lagi.
"Aku ganti baju dulu deh," serunya lagi.
Medina tampak membuka kopernya dan memilih gamis yang cocok untuk ia pakai sore ini. Ia menggerutu karena bingung harus memakai gamis apa yang cocok, "Gamis coklat sama khimar coklat muda," gumamnya memilih-milih pakaiannya yang tertata rapi di dalam koper.
"Pakai khimar apa pakai pashmina ya?" tanyanya pada diri sendiri, bingung menentukan jilbab yang akan ia pakai untuk memadukan gamis dan jilbabnya.
"Tapi kalau pakai pashmina aku nggak rapi pakainya. Nanti kalau jelek gimana?" tanyanya bingung.
Karena merasa sering memakai khimar, Medina ingin tampil berbeda dari hari sebelumnya. Ia juga ingin mencoba belajar menggunakan pashmina dengan rapi. Ada seukir niat ingin mengenakan hijab secara istiqomah setelah ia pulang dari umroh. Semoga tak hanya rencana saja, "Pakai pashima aja deh! Aku kan udah sering pakai khimar. Barangkali kalau pakai pashmina .... bagus."
Medina gegas mengganti bajunya di kamar mandi. Saat semuanya telah ia kenakan, tinggal satu pashmina yang belum menutupi rambut panjangnya.
Awalnya Medina bingung harus membentuk pashmina itu dengan bentuk yang bagaimana. Akhirnya ia mencoba untuk membuka layar ponselnya dan menonton vidio tutorial memakai pashmina dengan mudah.
Langkah demi langkah Medina lakukan untuk membentuk pashmina agar rapi saat ia kenakan. Sesekali jarum pentul mengenai tangannya karena tak terbiasa mengenakan model kerudung itu. Tapi karena hari ini ia ingin tampil beda, ia mulai belajar mengenakan pashmina.
"Udah siap," serunya saat pashmina itu tertata rapi di kepalanya.
"Eh ... Tapi kan katanya sejam lagi. Ini masih lama banget kenapa aku udah siap aja?" gumamnya heran dengan dirinya sendiri.
"Nggak papa deh, lagian sejam kan cepet. Aku jalan santai aja sampai ke lobby. Sambil main hp juga nanti Mas Rafi datang sendiri. Jadi nggak bakal nunggu lama banget," ucapnya meyakinkan dirinya sendiri.
Saat Medina memutuskan untuk keluar kamar, ia tak sengaja bertemu dengan Sera. Sera sepertinya ingin masuk kamar makanya mereka bisa berpapasan di ambang pintu, "Mau kemana? Tumben pakai pashmina?"
"Nggak papa. Pengen aja. Udah dulu ya? Aku buru-buru ada urusan," sahut Medina yang tak ingin Sera banyak tanya di hadapannya saat ini.
"Urusan apa? Sore-sore gini?" gumam Sera yang tak dibalas oleh Medina karena dia sibuk berjalan meninggalkan Sera.
Medina terus melanjutkan jalannya. Tak peduli dengan ucapan Sera ia terus berjalan sampai masuk ke dalam lift menuju Lobby hotel. Disana mungkin Rafi masih belum terlihat karena Rafi sendiri sudah mengatakan jika ada urusan, "Masih lama satu jam. Aku nunggu sambil ngapain ya?"
Lift yang Medina naiki berhenti tepat di lantai dasar lobby hotel. Dan Medina lantas berjalan dengan santainya ke arah sofa lobby yang terlihat kosong tak diduduki seorang pun, "Aku nunggu Mas Rafi sambil main game aja deh ... Nggak ... Nggak! Aku dzikir aja. Aku disini udah janji mau perbanyak ibadah bukan malah main-main," serunya bermonolog.
Medina lantas mendudukkan tubuhnya di sofa panjang berwarna merah yang ada di lobby hotel. Menunggu datangnya Rafi, mungkin masih agak lama. Tangan Medina sontak mengambil tasbih digital dan memainkannya. Bibirnya komat-kamit membaca kalimat tasbih untuk mengisi rasa bosannya. Entah tak terhitung berapa kali ia berdzikir.
Ternyata menunggu Rafi lama-lama membuat Medina bosan. Rasa kantuk menyelimuti dua kelopak mata miliknya. Berkali-kali ia menguap dan menutup mulutnya dengan salah satu tangannya saat mulut itu terbuka.
"Udah lama nunggunya? Kok sampai ketiduran, hm?" suara bariton milik seorang laki-laki membangunkan tidur Medina dari sofa itu. Benar sekali, itu adalah suara Rafi. Belum ada lima menit Medina terjaga dari tidurnya, tiba-tiba suara Rafi membuyarkan kantuknya. Itu artinya, tak sampai satu jam Medina menunggu Rafi jika Rafi datang secepat itu?
"Mas Rafi?" pekiknya kaget saat melihat Rafi sudah duduk di sampingnya. Duduk mereka masih ada jarak beberapa senti karena Rafi menjaga jarak dari Medina agar tak tersentuh tangannya.
"Aku ketiduran? Jam berapa? Mas Rafi udah lama juga tahu aku tidur disini? Aku tidurnya lama?" tanyanya beribu kali ke Rafi yang membuat Rafi terkekeh pasalnya tangan Medina berkali-kali mengucek matanya seolah-olah ingin menghilangkan rasa kantuknya.
"Nggak. Baru aja sampai. Aku tadi ada urusan dikit makanya nggak sampai satu jam aku sampai sini," jawabnya pada Medina.
Melihat Rafi yang terkekeh lagi, Medina mengerutkan dahinya, "Kenapa?"
"Jilbab kamu," jawab laki-laki itu.
Jilbab? Apa yang salah dengan jilbab yang ia pakai saat ini? Apa rusak tak beraturan?
"Kenapa?" tanya Medina yang penasaran.
"Maaf nggak bisa bantu benerin. Tapi itu ...." Rafi tak melanjutkan kalimatnya karena Medina buru-buru membuka tas kecilnya untuk mengambil cermin kecil.
Saat bayangan wajahnya terpantul dalam cermin kecil itu, Medina benar-benar terkejut. Pasalnya, tatanan jilbabnya bukan hanya rusak sedikit namun miring setengah. Pasti gara-gara tadi ia tertidur tak sengaja.
Ah, bagaimana ini? Kenapa rusaknya di depan laki-laki itu? Medina susah payah menatanya sampai mengintip tutorial mengenakan pashmina di youtube, malah rusak dalam sekejap. Harusnya tadi memakai khimar instan saja. Tak udah sok-sok mengenakan pashmina, "Pashminanya miring," rengek Medina yang tak tahu harus membenarkannya.
"Nggak papa yang penting nggak kelihatan rambutnya," sahut laki-laki itu.
Tetap saja bagi Medina tak rapi. Memang iya tak kelihatan rambut karena ia memakai ciput. Tapi tahukah? Pashmina yang ia kenakan tak simetris dan miring sebelah bagaimana Medina tak malu? Rafi melihat dandanan yang acak-adul.
"Nggak ... Nggak ... bentar ... bentar! Mas Rafi jangan kemana-mana. Disini aja," ucap Medina yang sontak lari ke toilet terdekat untuk membenarkan kerudungnya.
"Kamu mau kemana?" tanya Rafi yang bingung.
"Ke toilet bentar. Pokoknya cuma bentar. Jangan pergi dulu! Medina cuma bentar aja. Mas Rafi tunggu di Sofa lobby aja dulu," sahut Medina di sela-sela ia menengok ke belakang saat berlari menuju toilet.
Rafi terkekeh melihat tingkah Medina yang agak aneh. Dia masih belum tahu Medina ke toilet untuk membenarkan kerudungnya yang tak rapi. Dia kira Medina ke toilet karena kebelet, "Medina ... Medina," serunya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan senyum tipis yang terukir dalam bibirnya.
Bersambung ....
Hari ini kalau jadi aku double update sama nanti malam.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top