Part 21 - Keceplosan
Beradu pandang dengan Rafi rasanya jantung Medina tak bisa diajak berkompromi. Medina tahu ini sangat berlebihan. Tapi tahukah? Medina juga bingung sebenarnya ada apa dengan hatinya? Kenapa sifat mudah jatuh ke dalam hati seseorang sangat mudah untuk ia lakukan? Padahal nalurinya menolak untuk tak jatuh cinta lagi. Lantas mengapa hatinya tak mau diajak kompromi saat ada di dekat Rafi? Trust issue menjalin hubungan dengan seseorang tiba-tiba patah begitu saja.
"Mau ke resto juga?" tanya Rafi pada Medina yang tampak memainkan ujung bajunya.
"Iya Mas," jawab Medina pelan.
Rafi tersenyum simpul. Sorot matanya mengisyaratkan pada Medina untuk ikut dengannya karena kebetulan saat ini dia juga akan ke resto untuk makan siang, "Ayo!"
"Bareng?" tanya Medina cepat.
"Maunya gimana?"
Medina mengangguk cepat seraya tersenyum saat Rafi menawarkan untuk jalan bersama menuju ke arah resto. Makin tak karuan jantung Medina. Kenapa harus saat ini berdegup tak beraturan?
Untuk menetralkan degup jantung itu, Medina mencoba mengalihkannya dengan membuka topik pembicaraan di tengah-tengah ia berjalan beriringan dengan Rafi, "Mas Rafi—"
"Medina—"
Kalimat Medina terpotong ketika Rafi juga ternyata ingin membuka pembicaraan yang berbeda dengannya. Medina mempersilahkan Rafi terlebih dahulu untuk bicara, "Mas Rafi duluan aja."
"Kamu dulu aja. Pertanyaan saya nggak begitu penting," jawabnya pada Medina.
Medina menurut. Entah mengapa melihat laki-laki itu Medina jadi terbawa suasana teduh sangat berbeda jika dibandingkan dengan dirinya dulu yang terlalu percaya diri menjalin hubungan dengan Rey, "Mas Rafi di Madinah berapa hari?" tanyanya.
"Kurang lima hari lagi, nanti lanjut ke Turki," jawabnya pada Medina dengan suara lembutnya.
Saking lembutnya tutur kata dari Rafi, Medina sampai berpikir apa laki-laki itu tak pernah marah sampai berbicara dengan Medina saja suaranya terlalu halus tanpa penekanan, "Lima hari? Berarti kalau nanti aku ke Mekkah Mas Rafi perjalan ke Turki nanti?"
"Iya bisa dibilang begitu," sahut Rafi dengan seulas senyum yang terukir indah dari bibir ranumnya.
Dengan kelembutan nada dan tutur kata dari laki-laki itu, Medina seakan nyaman bertanya tentang banyak hal pada laki-laki itu. Entah mengapa dirinya ingin mengulik banyak hal dari sana, "Mas Rafi sering umroh juga?"
"Nggak sering, Medina. Kalau ada rejeki saya coba buat tabung dan tabungan khusus itu untuk umroh. Kalau belum ada rejeki ya sabar dulu. Tahun kemarin sama orang tua. Hari ini sendirian. Tahun depan kalau dikasih rejeki jodoh sama jodoh," jawabnya pada Medina seraya terkekeh geli.
Medina ikut terkekeh saat kalimat terakhir itu terlontar dari bibir Rafi, "Aamiin," sahutnya.
Bibir Medina ikut membentuk sebuah simetris lebar. Sembari masih berjalan beriringan, Medina tampak sesekali menatap Rafi, "Aku juga pengen sering-sering kesini. Soalnya cuma disini entah mengapa ada ketenangan sendiri. Dulu aku bahkan sulit cari ketenangan. Banyak banget masalah yang solusinya tuh aku sering pengen mengakhiri hidup biar tenang. Ternyata salah. Itu nggak menyelesaikan masalah."
"Beberapa hari disini justru dikasih ketenangan yang banyak. Jadinya ketagihan pengen kesini terus," tambahnya lagi bercerita pada Rafi.
"Aamiin kapan-kapan kesini lagi," sahut Rafi kemudian.
Saat keduanya saling menebar tawa, tiba-tiba dari arah berlawanan tampak Sera yang berjalan ke arah Medina. Belum tepat di depan Medina, perempuan itu sudah lebih dulu terkekeh saat melihat Medina berjalan bersama Rafi, "Loh! Ini kenapa bisa barengan. Janjian ya?"
Melihat Sera yang lagi-lagi menjahilinya, Medina spontan membulatkan dua bola matanya sampai Sera menyahut, "Kenapa melotot-melotot? Pasti deg-degan nih!" candanya pada Medina.
"Sera!" pekik Medina dengan tangan yang ingin melayang ke pundak Sera tapi dengan cepat perempuan itu menghindar agar tak kena.
"Mas Rafi tau nggak? Kemarin Medina bilang ...." Belum sempat Sera melanjutkan kalimat jahilnya, Medina reflek mencubit lengan Sera sampai perempuan itu meringis kesakitan.
"Aku nggak bilang apa-apa," koreksi Medina ke arah Rafi sampai laki-laki itu bingung dengan kode Sera.
Sera tampak mencuatkan tawanya pelan melihat sepupunya yang terlihat menyemburkan rona merah di pipinya, "Gerogi banget lihat deh sepupuku yang satu ini!" cibir Sera.
"Aku nggak gerogi. Apaan sih Ser!" omel Medina.
Sera lagi-lagi puas menertawakan Medina. Setidaknya disini dia bisa menjaga perasaan Medina. Di Indonesia Medina sering larut dalam kesedihannya. Gara-gara orang terdekat yang terus menyakiti Medina, Medina bahkan tak punya jatah bahagia disana. Setidaknya disini, meskipun dia jahil, Medina tetap tak sampai sakit hati.
"Mas, nanti disuruh Mas Hamdan ke lobby, setelah makan. Mas Hamdan ada perlu katanya," seru Sera pada Rafi sebelum dia pergi meninggalkan Rafi dan Medina.
Rafi mengangguk, "Iya nanti saya kesana setelah makan," sahutnya menjawab permintaan Sera.
"Ya udah ya Mas, selamat makan! Nitip sepupu yang lagi jatuh cinta. Aku mau ke Mas Hamdan dulu," ujar perempuan itu lagi seraya mengedipkan satu matanya ke arah Sang Sepupu. Sontak Medina ingin menghujani cubitan di pinggang Sera karena gara-gara ucapan Sera, Medina takut Rafi mikir yang tidak-tidak.
"Ya Allah Sera!" pekik Medina lagi pada Sera yang membuat Sera tertawa sembari berjalan meninggalkannya.
"Sera kenapa tadi? Kok bilang—"
Belum sempat meneruskan kalimatnya, Medina sudah lebih dulu memotong kalimat dari Rafi, "Nggak papa, nggak usah dimasukin ke hati omongan Sera. Mas Rafi kalau Sera ngomong yang nggak nggak jangan dipercaya. Dia kalo ngomong ngasal aja."
"Sera ada-ada aja," Rafi terkekeh. Dia sebenarnya juga tak paham maksud Sera. Dia tak menganggap ucapan Sera adalah wujud keseriusan saat berbicara. Dia hanya menganggap bahwa Sera hanya sekedar bercanda saja. Tapi tak tahu jika Medina sudah terjebak jatuh cinta pada Rafi.
"Tau tuh Sera! Kalau ngomong ngasal aja," serunya ikut mencibir Sera.
Entah dorongan dari mana, tiba-tiba tangan Medina tanpa aba-aba mengambil dua piring. Dua piring yang dia ambil. Bukan satu, "Mas Rafi mau yang mana? Biar aku ambilin," serunya spontan bertanya pada Rafi. Hal itu juga membuat Rafi mengerutkan dahinya karena heran.
Sebentar ....
Sebentar ....
Sebentar ....
Ini Medina kenapa?
"Ini ada capcay sama nugget. Kayaknya masakannya enak. Aku ambil dulu ya, Mas! Nanti aku ambilin punya kamu," Bibirnya sibuk menyebutkan menu makanan terdekat yang masih bisa ia jangkau. Untuk makanan yang sedikit jauh belum sempat ia sebutkan untuk ditawarkan ke Rafi.
Rafi juga bingung jawab apa. Dia hanya bergeming sesaat seraya menatap tangan Medina.
Dan beberapa menit usai menyebutkan beberapa menu yang ada di hadapannya. Saat Medina menatap Rafi. Dia baru sadar apa yang telah dia lakukan ini. Hatinya berteriak, "Ini kenapa aku tadi ngomong—"
"Udah terlanjur ngomong gimana ini?" lanjutnya lagi berbicara dalam hati.
"Malu-maluin. Kenapa aku grasak-grusuk gini? Aku sebenernya kenapa sih? Nggak mau kayak gini," rengeknya dalam hati bingung harus apa sekarang. Dua piring itu masih gemetar ia bawa dalam tangannya. Lantas bagaimana respon Rafi nanti? Jika Rafi menolak, muka Medina ditaruh dimana?
Bersambung ....
Part selanjutnya hari ini ya cinta wkwkww sehat selalu makasih udah menyempatkan buat baca vote follow sama komen. Love you adik adik kak jil wkwkw
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top