Part 20 - Salting Duluan
Selama dua hari ada di Madinah. Otak Medina masih saja dipenuhi oleh Rafi. Entah apa yang terjadi pada dirinya, Medina sendiri pun tak tahu. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba laki-laki itu terus saja menyelinap di pikirannya.
Sampai Medina sering beristigfar gara-gara laki-laki itu tanpa aba-aba terus ada dipikiran Medina. Sungguh, tiap kali Medina berdoa meminta jodoh, tiba-tiba di otaknya tanpa sengaja terlintas wajah Rafi. Ketika Medina insecure soal jodoh pula, juga Rafi yang terus menyelinap di hatinya tanpa ia suruh.
Bahkan, bayang-bayang Rey saja perlahan hilang. Meskipun belum sepenuhnya hilang, masalah yang mengukungnya dulu tiba-tiba terhenti tak dipikirkan oleh Medina.
Masalah Papanya yang masih terus menghubungi memang terkadang masih sedikit mengganggu ibadah Medina. Dari situ Medina memutuskan untuk mengganti nomor ponselnya.
Siang ini Medina memilih akan makan siang di hotel. Meskipun sesekali ia sangat suka mencari makanan di luar hotel. Tapi untuk kali ini, ia lebih memilih makan makanan di hotel bersama Sera.
Dua perempuan berkhimar abu-abu itu tampak berjalan beriringan. Sera sedari tadi menertawakan Medina karena ia baru saja mendapatkan berita panas yang menurutnya menarik. Pasalnya dia baru dapat cerita dari Rafi tentang Medina yang kesasar, "Oh jadi hari pertama kemarin kamu kesasar terus ditolong Mas Rafi?" sindir Sera.
"Gimana hati? Aman?" godanya lagi pada sepupunya.
Menyinggung soal Rafi, Medina sedikit sensitif. Karena hatinya saat ini sulit untuk ditata. Sontak bibir Medina berdecak, "Ngagetin aja ini anak!" gerutunya.
"Aku udah tau ceritanya. Nggak usah susah payah nanya kamu. Semua udah dijelasin sama Mas Rafi. Tau nggak sih Med! Mas Rafi kalau cerita adem banget. Terus nggak nyalahin kamu yang kesasar campur nggak punya duit pas di resto. Dia cerita tentang itu malah sambil senyum-senyum kayak ada yang lucu di kejadian itu," terang Sera yang menceritakan kembali apa yang ia dengar dari Rafi.
"Jangan kebiasaan melebih-lebihkan cerita. Mana ada Mas Rafi senyum-senyum-"
Sera memotong kalimat Medina- "Dibilangin nggak percaya." sahutnya pada Medina.
Gara-gara Sera pikiran Medina jadi berantakan lagi. Medina tak mau membayangkan yang tidak-tidak gara-gara ucapan dari Sera. Karena takut Sera banyak bicara tentang Rafi, Medina memutuskan untuk berjalan mendahului sepupunya. Dengan begini ia aman dari godaan Sera.
"Jantung aman nggak? Ditolongin pahlawan? Pahlawannya bening. Sayang kalau nggak kepincut" ledek Sera sembari terkekeh geli. Perempuan itu masih mengeraskan tawanya saat menatap Medina yang terus berjalan meninggalkannya.
Dirasa Sera masih jauh dan tak mungkin menyusulnya, bibir Medina menggerutu sendiri, "Sera tuh bikin orang mau ngomel aja. Ini di tanah suci harusnya aku banyak sabar. Tapi gara-gara Sera yang suka ceng-cengin. Jadi ikutan sebel," rengeknya.
"Maksudnya kayak ngapain gitu loh! Mau ditolong Mas Rafi mau ditolong siapa kek kan aku juga nggak request dulu aku minta ditolongin siapa. Kebetulan aja dia ada disana," tambahnya lagi menggerutu.
Karena menghindari Sera, Medina memilih jalan lain menuju Resto Hotel. Dia memilih untuk belok ke arah kanan. Tak apa jalannya sedikit jauh dari jalan utama. Setidaknya menghindar dari bibir Sera jauh lebih baik, "Lagian kadang pikiranku ini kenapa? Nggak ada angin nggak ada hujan tiba-tiba aneh-aneh aja mikirnya ...."
Belum sempat naik lift menuju lantai resto hotel, dua bola mata Medina membulat sempurna saat matanya tak sengaja menatap seorang laki-laki yang ia kenal duduk bersandar di salah satu tembok hotel sembari bibirnya bergumam membaca ayat suci Al-Quran, "Mas Rafi," gumamnya.
"Kok dia ada disini?" tanyanya yang tak mengerti mengapa Rafi ada di hotel yang sama dengannya. Dia masih belum tahu jika Rafi juga tinggal di hotel yang sama.
"Oh mungkin lagi ada urusan sama Sera atau Mas Hamdan makanya dia ada disini juga. Tau deh ngapain aku mikir panjang-panjang sih? Dia di hotel ini terserah dia. Bukan urusanku," serunya pelan.
Saat Medina ingin tak acuh. Hatinya tak mau diajak kompromi. Dia ingin mendengarkan lebih lama suara Rafi yang tengah mengaji, "Tapi suaranya bagus juga," gumamnya tanpa sadar.
"Laki-laki yang paham agama terus sama perempuan yang begajulan gini apa serasi sih? Bayangin aja yang satunya selalu taat yang satunya ... ngeluh terus sama Tuhan. Kayak ... Nggak bisa sinkron,'" serunya bergumam sendiri sembari telinganya masih menangkap suara Rafi secara diam-diam.
Ketika Medina tersadar, otaknya memikirkan hal yang tidak-tidak dengan Rafi. Medina spontan menggeleng-gelengkan kepalanya, "Eh ... Ngapain lagi mikir sampai sana. Otak ... Kayaknya otakku kudu diservice. Lama-lama gak waras!"
Takut Rafi melihatnya, Medina cepat-cepat memutar badannya untuk tak lewat di depan Rafi. Dia buru-buru lari dan mencari jalan lain agar Rafi tak curiga Medina tadi diam-diam melihatnya. Tidak. Jangan sampai bertemu Medina.
Medina berlari terus sampai tak mengamati jalan depan. Dia terlalu fokus melihat ke arah belakang. Sampai sebuah suara bariton terdengar tepat di hadapannya, "Medina."
"Allahuakbar!" pekik Medina dengan napas yang terengah-engah. Bagaimana tidak? Ternyata Rafi saat ini ada di depannya. Sejak kapan? Apa jangan-jangan Rafi tadi melihatnya dan dia menyusul dari jalan pintas?
"Kamu ngapain tadi lari-lari?" tanya laki-laki itu.
Bodohnya Medina bingung harus menjawab apa. Ingin berbohong tapi tak boleh. Medina sudah berjanji tak akan melakukan dosa-dosa kecil sewaktu di tanah suci, "Nggak ngapa-ngapain."
"Udah lama berdiri disitu tadi? Kenapa? Ada apa?" tanyanya lagi pada Medina.
Medina semakin bingung harus menjawab apa. Pasalnya dari jawaban Rafi, sepertinya Rafi tadi melihatnya. Aduh! Bagaimana jika Rafi mendengar ucapannya tadi?
"Nggak. Aku nggak disini awalnya ... Aku tadi mau keluar tapi karena ...." Kalimat Medina menggantung. Dia tak bisa berbohong pada Rafi. Tapi jika terus terang ....
"Anu .... Mas Rafi sendiri ngapain disini?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Ya, hanya dengan cara ini saja Medina tak berbohong pada ucapannya.
"Saya tinggal di hotel ini," jawab Rafi yang membuat dua bola mata Medina melotot.
"APA?" teriaknya.
Medina sontak membungkam mulutnya saat kelepasan berteriak, "Maaf kelepasan," serunya.
"Saya kira kamu udah tau dari Sera. Ternyata kamu belum tahu kalau saya juga tinggal di hotel ini?" tanya Rafi yang langsung dibalas Medina dengan gelengan pelan.
Sera tak memberi tahu Medina. Apa jangan-jangan Sera sengaja tak memberitahu? Pantas saja Sera lebih liar jahilnya tadi? Ah, ini bagaimana konsepnya?
"Jadi ... Waktu kemarin Mas Rafi antar aku kesini. Sebenarnya udah tinggal disini?" tanya Medina memastikan lagi.
Bibir laki-laki itu terkekeh. Gigi gerahamnya sampai terlihat dan lesung pipinya terlihat jelas saat laki-laki itu tertawa, "Iya saya lebih dulu disini, dari pada rombongan kamu."
Sera benar-benar. Kenapa tak memberitahu Medina? Lagi pula, saat ini Medina juga bingung dengan dirinya sendiri. Ketika berhadapan dengan laki-laki itu, degup jantungnya berpacu kencang. Ada apa dengan dirinya?
"Medina," panggil laki-laki itu pelan.
"Hm? Apa?"
"Rambutnya kelihatan dibenerin dulu ya?" pinta laki-laki itu dengan nada lembut.
Astagfirullah ini kenapa lagi jantung Medina? Medina spontan mengalihkan pandangannya saat tak sengaja beradu pandang dengannya. Tangannya reflek membenarkan hijabnya yang tak rapi. Maklum, Medina belum terlalu istiqomah memakai hijab. Jadi dia terkadang tak serapi Sera saat mengenakan hijabnya.
Lantas sampai kapan degup jantung Medina berpacu tak normal? Apa saat ini Medina kabur saja dari hadapan Rafi? Ah, merepotkan.
Bersambung .....
Hallo gaessss semoga sehat selalu dan terima kasih udah menyempatkan mampir kesini dan beri vote komen dan follow. Makasih banyak semoga sehat selalu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top