Part 2 - Endometriosis?

Ketika Medina mengabsen beberapa sudut food court, dia sama sekali tak menemukan Safira. Padahal sebelumnya Safira meminta izin pada Medina untuk mengangkat sambungan telepon dari Mamanya, tapi saat Medina selesai memesan makanan, Safira tak kunjung menyusul Medina dan malah pulang.

"Safira kemana?" tanya Medina pada Tiara yang lebih dulu duduk di bangku food court bersama makanan-makanannya yang terhidang di hadapannya.

"Katanya tadi izin pulang karena ada urusan sama Mamanya," jawab Tiara.

Mungkin Safira izin ke Tiara untuk pulang lebih dulu, tapi kenapa tak izin pada Medina juga? Tidak, barangkali Safira tak sempat meminta izin ke Medina karena buru-buru, "Oh," seru Medina.

Padahal setelah makan rencananya Medina ingin mengajak kedua sahabatnya itu untuk mengantarnya ke rumah sakit. Sungguh, sedari tadi sebenarnya Medina ingin meminta Rey yang mengantarkannya, tapi naas laki-laki itu belum bisa dihubungi Medina sampai saat ini. Apakah dia sibuk bekerja atau justru tak pegang ponsel sama sekali sampai sambungan telepon dari Medina masih belum diangkat?

"Ra, setelah makan anter aku ke Dokter Obgyn ya?" pinta Medina pada Tiara.

Medina mengerutkan dua alis tebalnya ketika mendengar permintaan dari sahabatnya itu. Dokter obgyn? Untuk apa? Apa Medina selama ini sakit? Lantas sakit apa sampai ke dokter obgyn?

"Mau ngapain?" tanya Tiara pelan di sela-sela ia menyeruput kuah opor yang ada di hadapannya.

Medina menyunggingkan bibirnya secara tipis. Kepalanya menunduk sebelum menceritakan masalahnya ke Tiara. Medina menghela napasnya pelan saat ingin menyinggung tentang penyakitnya yang baru diketahui dua bulan yang lalu, "Dari dua bulan yang lalu menstruasiku nggak lancar terus, sakit juga sampai pucet," serunya pada Tiara.

"Dua bulan yang lalu kamu baru bilang ke aku sekarang?" tanya Tiara lagi.

Bibir Medina mengerucut saat mendapatkan pertanyaan dari Tiara. Ya memang salah Medina juga tak menceritakan masalah itu ke sahabatnya sejak awal mengetahui bahwa tubuhnya tak baik-baik saja. Yang tahu tentang masalahnya hanya Sang Kekasih saja, "Aku nggak sempet cerita ke kamu," jawabnya.

Tiara menghela napas panjangnya sembari mengelus dada, "Sesibuk apa kamu sampai lupa cerita ke aku? Med ... Med ... Ya udah ... Iya nanti aku antar," sahut Tiara.

Memang nyata, seorang sahabat yang telah memiliki kekasih akan condong menceritakan masalahnya ke pasangan, sampai terkadang lupa ada sahabat yang selalu menunggu ceritanya. Iya kan? Tapi tak apa, Tiara tak mempermasalakan hal itu, hanya sedikit kecewa saja mengapa baru saat ini cerita?

"Makan dulu yang banyak! Safira udah tau penyakitmu ini?" tanya Tiara pelan.

Medina pun menggeleng menjawab pertanyaan dari Tiara, "Safira juga nggak tau, yang tahu cuma Rey aja. Bulan lalu udah ke dokter obgyn, terus ini mau kesana lagi. Bulan lalu, Rey yang antar ke dokter obgyn, tapi hari ini dari pagi aku hubungi dia nggak diangkat. Nggak tau kemana, biasanya kalau sibuk ngasih kabar dulu."

"Selingkuh mungkin?" jawab Tiara spontan.

Medina yang tak terima dengan jawaban dari Tiara sontak menepuk lengan Tiara dengan keras, "Tiara!" pekiknya. Sahabatnya yang satu itu memang kerap seperti itu. Otaknya sering dipenuhi kerangka-kerangka buruk. Bibirnya selalu mencuatkan kata-kata yang membuat Medina overthinking. Walaupun begitu, terkadang dugaan Tiara cukup akurat. Tapi entahlah semoga tidak.

"Jangan gitu dong! Aku ngerti kamu nggak suka Rey dari dulu, tapi ya jangan bilang gitu. Rey nggak mungkin melakukan hal-hal yang buruk kayak gitu. Positif thiking! Jangan negatif thinking terus!" omel Medina.

Tiara memelankan tawanya saat Medina cemberut. Mungkin, karena ucapannya yang tak ia pikir terlebih dahulu sebelum terucap membuat Medina jadi banyak pikiran. Ya gimana? Terkadang Tiara gatal ingin berpikir negatif tanpa otaknya suruh. Entah dorongan dari mana? Terkadang dia tak suka saja Medina menjalin hubungan dengan Rey, "Iya maaf, aku cuma nebak, Med! Jangan cemberut gitu ... Muka kamu udah jelek!"

"Ya udah, ayo! Udah selesai makan kan?" tanya Tiara pada sahabatnya itu.

Medina mengangguk. Ia sontak beranjak dari duduknya disusul Tiara yang juga berdiri dari kursi duduknya itu. Tiara sebenarnya bukan bermaksud menyakiti hati Medina. Tapi, taukah? Entah mengapa hati Tiara selalu tak setuju jika sahabatnya itu harus menikah dengan Reynaldi? Tiara pun juga tak tahu alasannya menolak keras hubungan Medina dan Rey. Hati kecilnya yang selalu menolak. Entah lah, semoga tidak ada apa-apa, pilihan Medina memang baik.

"Di klinik mana?" tanya Tiara.

"Rumah sakit Antara, deket sama Mall ini kok. Jalan kaki aja kali ya kita? Soalnya cuma nyebrang doang," jawab Medina.

Sembari berjalan beriringan, Tiara perlahan menanyakan hal-hal mengenai penyakit Medina, "Diagnosanya apa kata dokternya?" tanyanya pelan pada Medina.

"Endometriosis," jawab Medina dengan helaan napas yang menahan kekecewaan ketika menyebut nama penyakit itu. Pasalnya penyakit itu menakutkan, bayang-bayang kata mandul selalu terbesit di otaknya ketika menyebutnya. Tidak pantaskah dia memiliki keturunan saat menikah dengan Rey nanti?

"Kamu kenapa nggak bilang dari awal kalau udah didiagnosis dokter mengidap penyakit itu? Kalau dari awal bilang kan aku bisa bantu anter kamu check up terus. Terus sekarang gimana? Pengobatannya udah jalan?" seru Tiara.

Medina menghentikan langkahnya. Kegirangan karena kabar pernikahannya dengan Rey seketika tergeser dengan kegundahan karena saat ini dia menyinggung penyakit itu lagi. Sungguh, Medina tak mau tapi penyakit itu lama kelamaan terus mengukung tubuh Medina.

"Udah. Dan sebenernya dampaknya kemandulan. Bulan lalu aku cuma bilang ke Rey, nggak pernah bilang ke siapa-siapa. Gejalanya nyeri waktu menstruasi, terus tiap kali datang bulan nyerinya sampai buat aku pucat. Aku kira nyeri biasa wajar orang datang bulan, jadi aku nggak terlalu mikir. Tapi ... dilihat di bulan berikutnya, nyeri lagi terus sampai aku nggak tahan dan akhirnya minta antar Rey buat cek ke dokter," tutur Medina.

"Ada pemeriksaan medis disana terus dokter menyatakan kalau aku mengidap endometriosis dan tiap bulan harus check up. Harusnya hari ini aku minta antar Rey lagi buat ke Dokter, tapi Rey susah dihubungi. Mungkin dia kerja, jadi aku minta antar kamu aja ya, Ra? Soalnya Safira ada urusan sama Mamanya," tambahnya lagi menjelaskan ke Tiara.

Medina ... Medina ... Penyakit sebesar itu hanya diceritakan ke Rey saja. Padahal Tiara juga butuh cerita itu. Safira? Dia juga tak tahu mengenai masalah ini. Medina terlalu berharap pada Rey, tapi sampai saat ini Rey belum bisa dihubungi. Kemana dia sebenarnya?

"Kenapa lagi?" tanya Tiara.

Di tengah-tengah Medina menceritakan masalahnya itu ke Tiara, sebenarnya jemarinya sibuk menghubungi Rey, tapi Rey maish tetap tak bisa dihubungi Medina. Hari ini Medina lelah menghubungi kekasihnya sendiri. Sehari tanpa kabar dari Rey, rasanya sangat hampa.

"Rey masih susah dihubungi," ujar Medina di sela-sela ia menghubungi kekasihnya lagi.

Tiara yang melihat sahabatnya itu cemberut lagi sontak menyetil dahi Medina, "Ya udah lah! Nanti juga bisa dihubungi, ayo keburu tutup klinik dokternya!" seru Tiara.

"Kalau di posisi ini kadang aku butuh dukungan dia. Bentar lagi menikah, tapi masalahnya aku punya penyakit endometriosis yang harus dijalani pakai pengobatan medis. Aku takut pernikahannya nanti nggak berjalan dengan baik," Medina menatap Tiara yang ada di hadapannnya. Tatapan penuh harap itu terbit dari kelopak mata Medina, tapi Tiara tak bisa melakukan hal lebih untuk membantu sahabatnya.

"Di sisi lain aku seneng banget mau nikah sama Rey, tapi di sisi lain juga aku harus mementingkan pengobatan endometriosis-ku juga. Setiap kali ke rumah sakit buat check up, sebenernya aku butuh Rey," seru Medina lagi yang membuat Tiara ikut bergeming.

"Ya gimana? Dianya aja nggak bisa dihubungi. Ya udah lah, Med! Udah ada aku, aku juga bukan orang lain kan? Aku temenmu sendiri. Ya meskipun kadang aku sering ceplas-ceplos sampai buat kamu sakit hati, sebenernya itu buat benteng diri kamu biar kamu semangat terus, aku nggak bakal ninggalin kamu," tutur Tiara.

[Panggilan masuk]
[ Sera ]

"Malah Sera yang nelfon, bukan Rey!" sesal Medina saat dirinya menelan rasa pahit kekecewaan itu lagi. Pasalnya yang menghubunginya bukan sang kekasih, melainkan sepupunya. Pasti Sera menghubunginya untuk mengajak Medina umroh bersama. Hampir dua minggu ini Medina bak diteror Sera. Sera terus-menerus menawarinya untuk umroh bersama. Tapi Medina belum siap.

Tangan Medina perlahan mengangkat sambungan telepon dari sepupunya itu, "Hallo Ser! Ada ap-"

Akan tetapi ucapan Medina terhenti saat ponselnya jatuh di lantai karena tak sengaja tersenggol seseorang. Seorang laki-laki yang menyenggolnya itu tampak buru-buru. Dia berlari tergesa-gesa sampai tak sengaja menyenggol ponsel Medina hingga jatuh.

Apa yang dilakukan laki-laki itu? Dia hanya menangkupkan kedua tangannya di dada sebagai isyarat permintaan maafnya karena menyenggol ponsel Medina sampai jatuh. Dan laki-laki itu lantas berlari jauh ....

"Minta maaf atau apa kek, main pergi aja. Dipikir beli hp pakai daun apa?" gerutu Medina seraya memungut ponselnya yang jatuh tadi.

"Siapa sih?"

Bersambung ....

Semoga part 3 nanti malam jadi Aamiin yokk gasssss!

Yokkk tambahin ke perpus vote dan komen terusssss!!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top