Part 19 - Gengsi
"Sera!" Medina gegas mengejar Sera yang tampak keluar dari pintu kamar hotel. Karena ia tak mau berhutang dengan orang lain, ia harus segera membayar hutangnya ke Rafi. Sungguh, belum tentu besok ia bertemu lagi. Medina tak ingin ingkar janji. Hanya Sera yang biasa bertemu dengan Rafi.
"Kenapa?" tanyanya pelan.
Tak langsung menjawabnya, Medina lantas menarik tangan Sera untuk ikut dengannya masuk ke dalam kamar lagi. Malu jika berbincang mengenai hutang di lorong koridor hotel, "Eh ... Mau kemana?" pekik Sera saat Medina menarik tangannya.
"Aku mau bantu Mas Hamdan ngurus—"
Ucapan Sera itu terpotong oleh kalimat Medina yang mencuat, "Udah ntar dulu ini lebih penting."
Sera semakin mengerutkan dahinya. Tak tahu apa yang dimaksud Medina. Maklum, dia belum tahu persoalan hutang Medina ke Rafi. Dia juga belum tahu Medina bertemu Rafi di Madinah dua kali, "Lebih penting? Masalah apaan?" tanyanya pada Medina.
Saat langkah Medina masuk ke dalam kamarnya, ia sontak mengulurkan uang untuk membayar hutangnya. Uang itu ia letakkan di tangan Sera sampai Sera bingung itu uang apa, "Uang apa?"
"Kasihkan Mas Rafi kalau kamu ketemu. Soalnya kalau aku yang ngasih sendiri nggak mungkin ketemu, dari pada aku punya hutang dan nggak dbayar takut diakhirat dimintai pertanggungjawaban," jelas Medina sembari meletakkan uang tersebut.
"Hutang gimana sih?" tanya Sera yang masih tak mengerti.
"Ya pokoknya kasihkan dia soalnya aku hutang. Udah nggak usah banyak ngomong! Tanya ini itu. Pokoknya kasih dia aja," jawabnya pada Sera.
Sera masih setengah penasaran dengan apa yang baru saja Medina katakan. Dua matanya memicing ke arah Medina untuk mencari jawaban lain yang disembunyikan Medina. Sungguh, Sera sangat hapal sifat gengsi Medina, "Kapan hutangnya? Kok hutang ke Mas Rafi? Emang kamu habis ketemu dia? Dimana? Diem-diem ketemuan ya? Kok bisa—"
Takut Sera berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya dan Rafi, Medina sontak mengoreksi kalimatnya, "Udah jangan banyak ngomong! Kasihkan aja uang iyu dari Medina," jawabnya meminta tolong pada Sera.
Takut Sera banyak tanya, Medina secara halus mengusir Sera seraya terpaksa senyum di depan perempuan itu, "Udah sana! Keburu urusan kamu nggak selesai-selesai."
"Kamu belum jawab pertanyaanku!" desak Sera pelan dengan mata yang masih memicing kuat.
Medina menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bukan apa-apa. Pokoknya aku hutang ke dia terus sekarang udah aku kembalikan. Kamu nggak usah banyak nanya pokoknya. Kasih ke dia aja."
Sera masih mengerutkan dahinya. Karena penasaran dengan jawaban sepupunya, dia menerka-nerka dalam pikirannya, "Masalah apa sih kok nggak mau kasih tau. Jangan-jangan .... Aku coba tanya Mas Rafi aja deh—"
Karena melihat gelagat Sera yang ingin merogoh ponsel yang ada dalam saku celananya, Medina lantas mengusir Sera, "Kalo mau telfon dia nggak usah di depan aku."
Jawaban dari mulut Medina berhasil membuat pikiran Sera berkeliaran tentang Medina dan Rafi. Apalagi otak jahil Sera yang ada saja akalnya untuk menjahili Medina, "Kenapa? Nelfon kan cuma mau nanya-nanya aja. Takut deg-degan ya?" tawa Sera pecah saat mengucapkan kalimat terakhirnya.
"Apaan sih! Kebiasaan ngaco!" pekik Medina saat Sera asal bicara.
Sera puas menertawakan Medina yang kelimpungan menyembunyikan tasa kesalnya. Sejujurnya dia ingin menjodohkan Medina dengan Rafi. Sera tahu masalah percintaan Medina yang kandas secara tragis. Bagaimana tak tragis? Ini lebih dari sekedar mati dalam berperang.
Pasalnya, capek-capek dirinya mencari tahu siapa selingkuhan kekasihnya. Ternyata selingkuhannya sedang mendengarkan curhatannya sendiri. Hal itu yang membuat Sera sebagai sepupu dari Ibu dan keluarga satu-satunya yang dekat dengan Medina, dia ingin ada untuk Medina.
"Astagfirullah sabar ... sabar!" Medina beristigfar ketika dua netranya menatap Sera yang masih menertawakannya.
"Ya udah, aku ke Mas Hamdan dulu. Kalo nggak mau cerita kenapa bisa hutang Mas Rafi nggak papa, aku tanya ke sumber sebelah aja. Sumber yang lebih akurat. Barangkali sumber yang ini terlalu gerogi mau cerita ... Biasa gengsi!" ledek Sera yang membuat Medina merengut kesal.
"Sumber sebelah apaan maksud kamu?" tanya Medina yang tak mengerti kode ucapan Sera bahwa yang dimaksud sumber sebelah adalah bertanya pada Rafi langsung.
"Bye," seru Sera yang spontan berlari keluar kamsr meninggalkan Medina yang masih menggerutu kesal.
Medina menghela napas panjangnya. Terserah lah. Kalaupun Rafi menjawab pertanyaan dari Sera dengan jujurz tak masalah bagi Medina. Hanya saja. Dia tak suka jika Sera terus-menerus menjahilinya dan mengucapkan hal yang tidak-tidak dihadapan Rafi. Urat malu Medina masih berfungsi normal. Sedangkan Sera kelewat jahil.
Tak ingin larut memikirkan apa yang baru saja ia debatkan dengan Sera tadi. Ia menyingkirkan pikiran itu dengan mengamati kaca jendela hotelnya, "Bagus banget pemandangan Kota Madinah. Pantes Kota ini dijuluki Kota Tersehat di Dunia diakui WHO. Hampir jarang ada polusi udara. Jarang ada sampah di jalan. Bener-bener bersih," gumam Medina saat dirinya menatap pantulan pemandangan yang ada di luar jendela hotelnya. Kebetulan pagi ini ia membuka gorden jendelanya.
"Kapan-kapan aku kesini lagi ambil paket umroh yang lebih lama. Biar bisa berlama-lama disini. Disini tenang banget. Kayak nggak ada masalah. Tenang banget nggak kayak biasanya," gumamnya lagi.
Sembari menatap pemandangan Kota Madinah dari kaca jendela hotelnya itu. Bibir Medina mengukir senyum simpulnya, "Bener ternyata kata Mas Rafi healing dari masalah paling tenang larinya ke Allah, ke rumah Allah."
Medina reflek menggeleng-gelengkan kepalanya pelan saat lagi-lagi bayangan tentang laki-laki itu terbesit kembali di otaknya. Padahal ia tak bermaksud membayangkan laki-laki itu. Tapi tiba-tiba muncul saja tanpa diundang, "Kenapa jadi ungkit-ungkit Mas Rafi lagi sih! Medina!" gerutunya kembali.
Tak ingin bayang-bayang laki-laki itu muncul di hadapannya. Medina cepat-cepat menyingkirkannya dengan cara memikirkan hal lain, "Ke mini market dulu aja lah, habis itu sholat dhuha. Biar ada aktivitas lain kalo di kamar malah mikir yang enggak-enggak."
Medina lantas memutuskan untuk keluar dari kamar hotelnya. Sedari tadi pikirannya menggeleng penuh seolah-olah berusaha untuk menghilangkan wajah Rafi dari pikirannya, "Haduh! Hilang dong ... Jangan muncul mulu."
Sembari berusaha menghilangkan bayang-bayang itu, Medina berjalan sembari berdzikir. Entah, setidaknya dengan cara itu ia tak lagi memikirkan laki-laki yang jelas-jelas baru beberapa kali ia temui.
"Nggak ... Nggak, besok-besok juga udah lupa. Lagian aku kan udah nggak ada urusan lagi. Ngapain sih tiba-tiba muncul aja di pikiran. Kayak rentenir aja. Aku udah bayar hutangnya jangan muncul terus dipikiran," rengek Medina.
Lantas sampai kapan Medina terbayang-bayang wajah laki-laki itu? Apakah pertemuan selanjutnya lebih membuat Medina tersiksa karena terus membayangkannya?
Bersambung ...
Yuk yukkk besok part selanjutnya vote komen dan follow jangan lupaaaaa see you ... Kalo typo mon maap khilaf nanti aku revisi wkwkwkw.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top