Part 17 - Over Sharing
Untung saja tak kena. Degup jantung Medina berpacu kencang. Pasalnya ternyata pelayan yang hampir jatuh itu dengan sigap menyeimbangkan tubuhnya agar barang bawaannya tak jatuh mengenai Medina. Dan Medina terselamatkan ketika ujung lengan bajunya ditarik Rafi agar Medina tak kena guyuran sop panas dari hot plate yang dibawa pelayan itu.
"Sebelah sini aja," isyarat Rafi ke arah Medina agar Medina berpindah ke sisi sebelahnya.
Selesai membayar pesanan, Rafi mengajak duduk Medina terlebih dahulu sambil menunggu makanan itu dihidangkan. Dan karena Medina juga menunggu makanan miliknya, dia menyetujui tawaran dari Rafi.
Laki-laki itu mengapa sangat baik sekali pada Medina? Bahkan berkali-kali Medina terheran mengapa setiap kali Medina ada masalah, laki-laki itu yang selalu muncul pertama. Entah memberinya buku penenang atau menolongnya langsung.
Disaat masalah yang bertubi-tubi menghantam otak Medina sampai Medina hampir bunuh diri, tapi kali ini tiba-tiba otak Medina berkeliaran memikirkan laki-laki itu. Siapa dia sebenarnya? Apa hubungannya dengan Sera dan Hamdan? Mengapa selalu kebetulan bertemu dengannya saat dalam masalah genting?
"Jadi kamu sendirian nyari makan? Kenapa nggak makan di hotel aja?" tanya Rafi saat ia mengambil duduk di depan Medina.
Medina menggeleng, "Aku pengen jajan. Mas Rafi sendiri gimana? Nggak makan di hotelnya Mas Rafi juga?" Medina masih mengira hotel Rafi jauh dari jarak hotelnya, padahal tanpa dia sadari hotelnya sama. Hanya Medina yang tak tahu.
"Saya makan di luar karena kebetulan mau ketemuan sama sahabat yang lagi kuliah di Madinah juga. Dia minta ketemu karena kebetulan saya ada disini," jawab Rafi.
Mendengar cerita dari Rafi, Medina membalasnya dengan mengangguk-anggukan kepalanya, "Oh gitu, berarti ini mau makan bareng sama sahabatnya?" tanyanya lagi pada Rafi.
"Iya tapi dia masih ada urusan jadi agak telat katanya," jawab Rafi.
Medina jadi teringat uang yang dia pinjam dari Rafi. Baru juga mengenal, tapi dia sudah lancang meminjamnya. Berkali-kali ia menyesali mengapa tak nengingat-ingat barang bawaanya tadi, "Maaf tadi jadi ngerepotin. Secepatnya uangnya aku ganti."
"Nggak papa santai aja," sahut Rafi seraya terkekeh.
"Sera tadi nggak ikut? Karena apa? Mau makan di hotel?" tanya Rafi balik.
Medina menggeleng. Bibirnya sedikit mengerucut ketika ingin mengatakan alasannya, "Nggak. Soalnya Sera katanya lagi nyuapin Mas Hamdan. Kayak anak kecil ... disuapin segala," jawabnya.
Entah mengapa seketika ia mengingat hubungannya dulu dengan Rey yang juga sesekali sering menyuapi satu sama lain saat makan bersama. Bedanya ia menjalin hubungan dengan pacaran sedangkan Sera menikah.
Medina tersenyum getir saat kenangan dengan Rey tiba-tiba melintasi pikirannya. Sesakit itu ya? Harus menerima pengkhianatan dari banyak orang. Pacarnya yang dia percayai akan setia. Sahabatnya yang dia percayai selalu ada di sampingnya. Dan Papanya yang selalu dia percayai adalah satu-satunya tempat berpulang Medina.
Nyatanya, semua bentuk pengharapan pada manusia itu fana. Kalau tak sesuai harapan kita, sudah dipastikan hati tertindas kekecewaan.
"Maklum Sera udah nikah. Jadi dia harus mengutamakan Hamdan," jawab Rafi.
Sebuah bel yang menandakan pesanan telah selesai tiba-tiba berbunyi. Rafi menoleh memastikan apakah benar itu adalah nomor pesanannya. Dan ketika ia menjatuhkan pandangan kesana, memang benar yang ditunjuk adalah nomornya, "Pesanannya udah selesai. Ayo saya antar ke hotel!" seru Rafi yang ingin mengantarkan Medina ke hotel.
Tapi Medina menolak. Dia masih teringat Rafi ada janji dengan sahabatnya. Kalau Rafi harus mengantarkan Medina ke hotel, sepupunya gimana?
"Nggak usah. Kebetulan aku bawa hp, nanti pakai google map," jawab Medina menolak.
Akhirnya Rafi mengalah dan meminta izin Medina untuk pergi terlebih dahulu setelah memberikan makanan pesanan Medina yang ia pegang, "Kalau gitu duluan ya?" ucap Rafi.
Sebentar ....
Sebentar ....
Sebentar ....
Medina merasa nyalinya ciut jika pulang sendirian lagi. Berangkat cari makan di luar saja, google mapnya tak bisa diajak berkompromi. Bagaimana pulangnya?
"Mas," Medina reflek memanggil Rafi yang sudah beberapa langkah berjalan.
"Hm?" sahut Rafi yang akhirnya menoleh ke arah Medina.
Lidah Medina seakan kelu ingin mengatakan bahwa ia meminta antar pulang. Tapi gengsi dan takut merepotkan berkali-kali. Kedua bola mata Medina yang tampak resah sudah bisa ditebak oleh Rafi bahwa Medina tak berani pulang sendiri, "Ayo!" ajak Rafi.
"Tapi sahabatnya gimana?"
Rafi tertawa pelan saat Medina menanyakan tentang keberadaan sahabat Rafi, "Masih ada urusan. Jangan khawatir! Nanti kalau urusan dia udah kelar saya balik temui dia," jawab Rafi.
"Maaf, ngerepotin Mas Rafi kesekian kali," cicit Medina ketika mereka telah berjalan beriringan menuju hotel.
Lagi-lagi tawa pria itu mencuat dari bibirnya seolah-olah kalimat Medina adalah leluconnya, "Nggak papa, Medina! Santai aja. Kamu sepupunya Sera. Sera udah saya anggap adik sendiri. Berarti kamu juga. Nggak usah sungkan," jawabnya.
"Kata Sera kamu baru lulus kuliah tahun kemarin?" tanya Rafi yang membuka pembahasan di sela-sela mereka berjalan beriringan lagi.
Ketika mendengar pertanyaan itu. Medina reflek meringis, "Iya, molor! Bingung salah skripsinya atau salah aku. Kenapa susah banget dikerjain. Tapi sekarang agak tenang, sekarang udah lulus dan tahun pertama kerja. Makanya kalo mau cuti takut ngurusnya karena masih jadi anak bawang. Untung Bosnya baik."
"Aku udah usaha garap skripsi biar cepet selesai waktu itu. Tapi selalu ada kendala. Aku nggak fokus karena ingat Mama. Nggak fokus kuliah karena waktu itu sak—"
Medina sontak menghentikan kalimatnya karena ia baru sadar jika terlalu terbuka pada Rafi. Apa-apa diceritakan, "Kok kelewat curcol ke Mas Rafi jadinya. Maaf Mas!" lanjutnya lagi memotong kalimat sebelumnya.
Rafi tertawa pelan. Dia tak masalah jika perempuan itu menceritakan apapun masalahnya. Toh tak menjadi masalah baginya, "Nggak papa. Berarti lebih tua Sera dari kamu?" tanyanya lagi pada Medina.
Dan Medina mengangguk, "Iya. Sera itu pinter banget. Cantik juga. Makanya aku sering insucure sama dia. Aku kadang ngerasa kecil banget kalo sama Sera. Merasa nggak ada apa-apanya. Keluargaku mungkin secara eksplisit gak ngebandingin tapi karena kalau kumpul keluarga besar yang jadi spot center Sera, akunya jadi menciut padahal mereka gak ngebandingin aku."
"Aku terlalu kecil kumpul sama keluarga besar. Jadinya aku sering uring-uringan sama Sera padahal Sera baik dan nggak salah apa-apa. Kadang kayak ... Aku nggak benci Sera. Tapi karena orang-orang yang selalu memuji Sera dihadapanku, aku sering ngediemin Sera," tambah Medina menyesali perbuatannya dulu.
"Dan aku jadi sering ngerasa bersalah. Kadang itu juga yang jadi penyakit hati. Lah kok jadi curhat lagi—" Medina lagi-lagi menggerutu karena dia terlalu oversharing ke Rafi. Huh! Penyakit ini tak bisa Medina kendalikan.
Kenapa dengan mudahnya cerita ini itu ke Rafi? Apa karena selama ini dia tak punya tempat untuk bercerita sampai-sampai Rafi yang menjadi tempatnya. Tapi kan ia dan Rafi masih baru mengenal ....
Medina! Tahan oversharing-mu.
"Nggak papa. Cerita aja kalau ada yang perlu kamu ceritakan. Kamu jangan ngerasa kecil terus. Semua orang itu punya porsi takdir masing-masing. Jangan ngerasa bodoh karena semua orang punya kelebihan di atas kekurangannya," sahut Rafi seraya tersenyum tipis.
"Mas Rafi sejak kapan kenal Sera sama Mas Hamdan?" tanya Medina ke Rafi tapi Rafi tak langsung menjawab karena ponselnya tiba-tiba berdering.
"Waalaikumussalam? Iya Ran, nanti aku nyusul!" sahutnya saat mengangkat sambungan telepon tersebut.
Bersambung ....
Ayokk komen follow voteeeee .... Semoga Mas Rafi gak jomblo wkwkw sakit dong say kalo dah ada calon tapi dah terlanjur deket wkwowkwo
Terus itu sahabatnya siapa? Ayana ya wkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top