Part 15 - Laki-laki Bersorban
"Medina mau kemana?" panggil laki-laki itu pada Medina yang masih sibuk berlari kecil yang entah tujuannya kemana dia sendiri tak tahu.
Laki-laki itu terus mengejar Medina, tapi Medina masih tak mau menghentikan langkahnya. Burung-burung yang bertengger di area sepanjang jalan, sontak Medina singkap dengan langkahnya karena Medina buru-buru. Dia masih menganggap laki-laki itu berniat buruk padanya. Padahal laki-laki itu sama sekali tak ada niat buruk.
"Medina!"
"Medina tunggu!"
"Hey! Saya bukan orang jahat!" seru laki-laki itu pada Medina sampai Medina menghentikan langkahnya karena kelelahan berlari.
Dua kelopak kata Medina memberanikan diri untuk menatap laki-laki itu. Dua matanya memicing dan mengamati siapa yang ada di sampingnya saat ini?
"Mas ... Ra—fi?" ejanya takut salah ketika laki-laki itu membuka sorban yang ia kenakan dan kacamata yang ia singkap agar Medina bisa mengenali wajahnya.
"Kamu pikir saya siapa tadi?" tanya Rafi. Ya benar dia Rafi. Rafi yang selama ini sering diceritakan oleh Sera. Medina heran mengapa laki-laki itu masih ada di Madinah? Sedangkan kalau diingat-ingat yang berangkat lebih dulu umrah adalah kloter rombongan Rafi. Dan rombongan Sera baru hari pertama.
"Bukannya kloter Mas Rafi udah berangkat ke Madinah lebih dulu? Kenapa masih ada disini?" tanya Medina pelan pada laki-laki itu.
Laki-laki itu lantas tertawa pelan. Sebelum dia berangkat mengikuti kloternya, dia juga sering berkabar dengan suami Sera. Dan kebetulan juga dia dipertemukan Medina di jalan seperti ini, "Rute travel saya dari Mekkah dulu baru ke Madinah terus lanjut ke Turki."
"Mau pulang ke hotel? Atau gimana? Kok bisa sendirian? Sera dimana? Bukannya kamu biasanya sama Sera?" tanya Rafi balik.
Medina menggeleng pelan, "Nggak tau. Sera kemana. Mungkin udah balik duluan," jawab Medina.
"Ya udah ayo saya antar!" Tawaran Rafi mencuat dari bibirnya yang membuat Medina sontak menggeleng. Medina masih terkadang jaim jika harus sok akrab dengan orang baru. Berbeda dengan Sera dan Tiara yang gampang akrab.
"Nggak. Nggak usah aku bisa pulang sendiri," jawabnya spontan. Ah, Medina! Pulang sendiri bagaimana? Keluar dari masjid saja bingung pintu nomor berapa sampai hampir kesasar.
Gimana bisa pulang sendiri tadi aja lupa masuk dari pintu berapa keluar dari pintu berapa? Batinnya menggerutu, tak sesuai dengan faktanya.
Saat mendengar penolakan dari Medina, Rafi menggangguk pelan. Ia tak memaksa Medina untuk ikut tawarannya. Tapi ketika Medina beranjak melangkah ke kiri, dua alis tebal Rafi mengerut heran. Bukankah kata Hamdan hotelnya sama dengan hotel Sera? Tapi, kenapa Medina jalan ke arah kiri?
"Jalan ke hotel arah ke kanan bukan ke kiri," koreksi Rafi pada Medina.
Mendengar kalimat dari Rafi Medina sontak membulatkan matanya. Ia celingukkan ke kanan dan ke kiri. Kelihatan sekali dia lupa jalan pulang tapi pura-pura sok tahu di hadapan Rafi, "Iya udah tau, tadi cuma nengok aja ke kanan bukan mau jalan ke kanan," alibinya yang membuat Rafi tersenyum simpul.
Langkah Medina buru-buru ia gerakkan lurus ke kanan tanpa menoleh ke arah Rafi terlebih dahulu. Urat malunya masih terasa saat Rafi membenarkan jalan ke arah hotel sedangkan Medina sok tahu dan hasilnya salah. Medina melangkahkan kakinya lebih cepat tapi ia merasa Rafi mengikutinya, sampai-sampai ia menoleh ke belakang dan menghentikan langkahnya, "Mas bisa nggak jangan ngikutin aku terus!"
Medina ... Medina ... Kamu ini lucu. Jalan hotelku dan hotelmu kebetulan sama, batin Rafi.
"Saya juga mau pulang ke hotel bukan mau ngikutin kamu," jawab Rafi seraya menahan tawanya yang membuat Medina mengerucutkan bibirnya dan meneruskan jalannya.
"Buku Mas Rafi ... aku kembalikan kalau udah sampai Indonesia aku titipkan Sera," Sembari berjalan beriringan, tiba-tiba kalimat Medina itu mencuat.
Rafi bingung buku apa yang dimaksud oleh Medina. Karena sejatinya, terlalu banyak buku yang ia pinjamkan ke orang lain. Bukan hanya ke Medina saja, "Buku apa?"
"Buku yang kemarin dikasih Sera yang katanya dari kamu. Aku lupa judulnya. Ada tiga buku selain buku tuntunan sholat. Itu nanti aku kembalikan," seru Medina.
Rafi baru ingat jika ia pernah meminjamkan beberapa buku tentang biografi sahabat Rasul dan kisah Rasulullah. Satu tote bag ia titipkan ke Sera karena ia iba pada kisah Medina yang pernah diceritakan Sera padanya, "Oh buku itu ...."
"Nanti kalau udah sampai Indonesia aku kembalikan," sahut Medina.
Kepala Rafi menggeleng, "Nggak usah. Itu buat kamu. Aku nggak minjami tapi aku kasih. Ada rekomendasi buku bagus selain itu, dari penerbit dan penulis yang berbeda, kalau kamu mau baca kebetulan saya punya bukunya. Tapi nggak saya bawa kesini, buku itu buku perjalanan hidup Rasulullah dari awal."
"Karena membaca buku itu, saya jadi paham arti ikhlas dalam bentuk ujian apapun. Awalnya dulu saya juga pernah di posisi paling hina. Saking hinanya saya sampai pernah berpikir cerita-cerita nabi dan Rasul itu sebenernya dongeng karangan manusia. Pernah mikir kisahnya mendetail tapi pada zaman itu belum ada kamera atau alat rekam," seru Rafi sedikit menceritakan kisahnya pada Medina.
"Saya beristigfar ribuan kali karena pernah menganggap hal itu dongeng. Ustadz ataupun ulama menyampaikan cerita tentang kisah nabi itu ada sumber. Ada yang dari Al-Hadist ada juga yang dari Al-Qurannya langsung," lanjutnya.
"Dan ternyata waktu saya buktikan sendiri memang benar, di Al-Quran udah ditulis semuanya, saya aja yang hina. Baca Al-Quran cuma sampai kerongkongan dan jarang mengamalkan artinya. Padahal kalau ditelaah satu-satu, setiap ayatnya itu adalah pedoman hidup manusia sampai hari kiamat," tutur Rafi sembari masih berjalan beriringan dengan Medina.
"Kisah-kisahnya itu Ma Syaa Allah, saya merasa masalah saya nggak ada apa-apanya dibanding masalah Rasul. Saya pikir saya banyak masalah dan saya berhak bahagia. Tapi ternyata kalau dibanding Beliau, masalah saya cuma satu titiknya dari masalah Beliau, tapi dengan hinanya saya juga pernah meragukan kuasa Tuhan waktu saya ada di titik terendah," jelas Rafi.
Mendengar cuplikan cerita singkat dari Rafi, Medina ikut tergerak penasaran dengan buku itu. Karena akhir-akhir ini dia juga sering meragukan kuasa Tuhan. Bahkan karena sering mengeluhnya ia, dia sering menganggap bahwa Tuhan tak sayang padanya. Kali ini Medina butuh buku itu. Tapi gengsi jika harus meminjam terus ke laki-laki itu.
"Kenapa bukunya nggak dibawa?" tanya Medina.
Rafi tersenyum lagi. Entah mengapa laki-laki itu sering sekali menyunggingkan senyumnya. Medina jadi bingung ia harus jaim atau sok akrab, "Kapan-kapan kalau pulang ke Indonesia saya titipkan ke Sera biar kamu bisa baca juga. Kamu suka baca buku juga?" ucap Rafi yang tahu gelagat Medina penasaran dengan buku itu.
"Nggak terlalu suka buku awalnya. Tapi aku bakal baca buku itu sampai habis kalau buku itu buat aku penasaran sama isinya," jawabnya pada Rafi.
Tak terasa langkah keduanya telah sampai di depan hotel. Medina belum tahu jika Rafi juga menginap di hotel itu. Dia mengira bahwa hotel Rafi ada di sekitar hotelnya. Makanya arah jalannya sama, "Hotelnya ada di depan kamu," ujar Rafi yang mulai menghentikan langkahnya.
Pun juga Medina. Ia sontak menghentikan langkahnya ketika mendengar aba-aba dari Rafi, "Oh iya bener itu hotelnya. Tapi kenapa Mas Rafi tahu hotelku?" gumamnya pelan tanpa didengar Rafi.
"Mungkin dari Mas Hamdan. Kan dia temennya," lanjutnya lagi menebak.
"Makasih," jawab Medina sebelum ia masuk ke dalam Lobby hotel. Karena Rafi masih mematung di tempat, Medina memilih untuk masuk terlebih dahulu dan meninggalkan Rafi yang masih ada disana. Pikir Medina Rafi ingin melanjutkan langkahnya ke hotelnya sendiri.
"Medina kamu dari mana sih? Aku nyari dari tadi!" celetuk Sera yang kebetulan akan keluar dari pintu Lobby hotel. Ia berpapasan dengan Medina disana.
Bersambung ....
Yokkk gass vote komen lovee buat update besokkkk!!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top