Part 14 - Tersesat

Suhu tubuh Medina pagi ini sedikit dingin. Mungkin karena AC kamar hotelnya tadi yang teramat tinggi suhunya, sedangkan Medina terkadang alergi udara dingin. Hal itu membuat dirinya saat ini menyelimuti kakinya dengan kaus kaki.

Medina saat ini tengah berada di antara hiruk pikuk orang-orang yang telah selesai menyelesaikan ibadah sholat subuh. Hari pertama Medina menginjakkan kaki di Masjid Nabawi. Baru kali ini tubuhnya bergetar saat tangannya menengadah setara dengan dadanya, dan mulai bermunajat pada Sang Pencipta.

Medina merasa kecil saat ini. Hina, tak tahu diri, dan pedosa berangsur jadi satu di tubuh Medina. Bahunya bergetar ketika Medina mengingat satu persatu dosa yang ia lakukan dulu. Kenapa baru teringat sekarang? Padahal tujuan Medina kesini untuk lari dan menghindar dari Papanya.

Tapi justru yang dia ingat saat ini dosa-dosanya pada Sang Pencipta. Tau kah? Bahkan perkara Rey dan Safira yang telah mengkhianatinya saja seketika lenyap di otak Medina ketika Medina ada di masjid itu. Seolah-olah masalah itu tak menghampirinya. Ia benar-benar diberi ketenangan namun juga masih was-was takut berkhianat pada Tuhannya lagi.

"Ya Allah, kayaknya Medina udah terlalu melampaui batas sampai Medina merasa sombong menjadi hamba. Bahkan Medina kesini aja niatnya bukan karena-Mu tapi karena hal lain. Apa masih pantas Medina disebut sebagai seorang hamba?" serunya seolah-olah berbicara dengan Tuhan.

"Sakit banget lihat Papa menikah sama orang lain tepat hari ini. Kenapa dia ingkar janji ke Medina? Kenapa pendapat Medina dihiraukan? Kenapa luka Medina yang belum sembuh masalah Rey disayat Papa habis-habisan?" tanyanya pada Tuhannya lagi seolah-olah hanya Medina dan Tuhan yang bercengkrama.

"Jujur Medina bingung harus apa. Medina punya banyak hajat tapi Medina malu mengutarakannya karena dosa Medina juga lebih banyak dibanding hajat Medina. Medina lebih butuh ampunan. Urusan Papa, urusan Rey, dan soal penyakit Medina, Medina udah nggak tau harus gimana lagi," serunya lagi dan tak sadar bahwa buliran bening dari kelopak matanya menetes tiba-tiba.

"Terserah Allah saja, yang penting kuatkan Medina biar nggak terus banyak air mata yang terkuras. Malu, kadang hal yang nggak harus Medina tangisi, tapi justru menguras air mata. Kalau pun Medina masih ditakdirkan berjodoh dengan laki-laki lain, izinkan laki-laki itu menerima Medina apa adanya diatas kekurangan Medina yang sulit diterima laki-laki," pinta Medina pada Tuhannya.

"Kalaupun nggak ada laki-laki yang bisa menerima Medina, nggak papa. Medina juga sadar diri, siapa yang mau perempuan kayak Medina Ya Allah. Dapat ampunan-Mu aja Medina udah bersyukur, urusan hajat terserah Engkau!" ucapnya lirih dengan dua bola mata yang pandangannya jatuh di atas sajadahnya.

Ketika Medina mencium kedua telapak tangan usai berdoa, Medina mengabsen beberapa orang yang masih bercengkrama dengan Tuhannya. Sangat khusuk, sedangkan dirinya khusuk beribadah hanya saat terpuruk saja. Betapa malunya Medina ketika mendapatkan nikmat dunia yang banyak, dia sering lupa Tuhannya. Tapi ketika mendapatkan masalah, dia baru ingat dan menangis di atas sajadah.

Lantas, Tuhannya masih berbaik hati menyuplai oksigen yang ia hirup tiap hari. Masih menerima doa Medina, meskipun Medina sering tak percaya dengan takdir. Medina sering mengeluh perkara takdir yang menurutnya tak baik. Tapi Tuhan tidak pernah meninggalkannya.

"Orang Indonesia?" tanya seorang perempuan paruh baya yang menepuk pundak Medina. Medina sontak menoleh dan mengamati wanita itu.

"Oh iya, Saya dari Indonesia!" jawabnya.

Gigi geraham wanita paruh baya itu tampak ketika ia terkekeh senang di hadapan Medina, "Salam kenal, saya dari Jawa Tengah Indonesia juga. Ini ada tasbih sama madu. Ibu ada makanan burung juga buat kasih makan burung-burung yang disana. Kamu mau?" tawarnya pada Medina.

Medina menatap kantong yang dibawa oleh Ibu itu. Sungguh? Baru tadi pagi Medina hanya berniat dalam hati bahwa ia ingin memberi makan dan bercengkrama dengan burung-burung sekitar masjid. Tapi dia tak punya makanan untuk ia berikan. Dan saat ini, ada orang yang memberi hadiah itu untuk Medina. Kelopak mata Medina benar-benar berkaca-kaca sebelum menerima barang itu, "Terima kasih banyak Bu!"

"Sama-sama. Kalau gitu Ibu kesana ya? Kapan-kapan semoga ketemu di lain waktu," ucap Ibu itu yang dibalas Medina dengan anggukan semangat.

Medina menatap punggung wanita paruh baya itu usai mendapatkan banyak barang darinya. Ia mengembangkan senyum simpulnya ketika tangannya saat ini menggengam barang yang wanita itu berikan, "Baik banget. Dapat madu, makanan burung, sama tasbih juga. Lumayan. Orang-orang baik banget," serunya bergumam.

Medina gegas berjalan keluar dari masjid dan ingin menghampiri burung-burung yang bebas berterbangan di area luar masjid. Bahkan ribuan burung-burung itu terbang bebas dan bertengger dimana-mana yang membuat Medina bersemangat untuk segera memberinya pakan yang ia bawa.

Tapi saat langkahnya berhasil keluar dari masjid. Medina baru saja teringat Sera. Ia terpisah dari Sera, "Loh? Sera mana? Perasaan tadi sholatnya bareng," gumamnya dengan pandangan yang beredar di area kanan dan kirinya karena mencari Sera.

"Kayaknya udah jalan ke hotel duluan. Ya udah nggak papa, nanti aku pulang sendiri aja," serunya dengan nada santai.

Namun dua langkah usai mengucapkan kalimat itu, langkah Medina terhenti seketika. Was-was menyelimuti hatinya, "Kalau nanti tersesat gimana?"

Medina menghela napas panjangnya. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri dari ketakutan yang saat ini menghadangkan. Bukan apa-apa, Medina takut tak bisa pulang sendiri karena ia pelupa. Lupa arah jalan jika jalan itu tak sering ia lewati, "Nggak bakal. Lagian tadi jalannya lurus doang kan? Nanti juga ketemu."

Otaknya berkecamuk lagi. Pikiran was-was tak bisa pulang masih menyelimuti hatinya, "Kalau nanti di jalan—" Sontak Medina memotong kalimatnya itu dengan kalimat yang menangkan dirinya, "Nggak ... nggak ... Allah yang jaga!"

Medina berusaha untuk menghiraukan pikiran buruk dari otaknya. Lebih baik ia fokus memberi makan burung-burung yang terbang di sekitarnya. Tangan Medina mulai melempar makanan yang ia bawa ke arah burung-burung itu. Dan seketika ribuan burung itu menyebar mencari makanan yang ditebarkan oleh Medina, "Burung doain ya? Semoga Allah jaga Medina terus walaupun Medina nggak yakin pulang ke hotel nanti tersesat apa enggak," teriaknya pada burung-burung itu.

"Makan yang banyak ya? Doain Medina nggak sendirian pulangnya. Ada Allah yang jaga terus," pintanya lagi meminta doa pada burung yang tengah memakan makanan yang ia berikan.

Sibuk menyebar makanan burung yang ia bawa sampai makanan itu benar-benar habis. Medina lupa ini jam berapa. Dia lantas menatap tangannya untuk mengecek jam yang biasanya melingkar disana, tapi dahinya berkerut seketika saat ia menyadari bahwa ia lupa bahwa tangannya kosong, tak ada jam tangan yang melingkar. Berarti tadi pagi ia lupa membawa jam tangan? Astaga Medina.

Oh ponsel!

Medina lantas merogoh tasnya untuk mencari ponsel yang tersimpan disana. Batin Medina tak akan tersesat jika ada ponsel yang selalu ia bawa kemana-mana. Tapi beberapa kali ia merogoh tasnya, jemarinya tak sedikitpun menemukan ponselnya disana. Jangan bilang Medina juga lupa membawa ponsel dan ponselnya ketinggalan di hotel?

"Medina yang kamu ingat-ingat apa sih tadi sampai apa-apa ketinggalan!" gerutunya pada diri sendiri saat sifat pelupanya muncul tak tahu kondisi.

Medina sedikit mulai panik ketika akan berangsur pulang ke hotel. Nalurinya meminta untuk berjalan lurus tapi bagaimana jika ada belokan kecil yang Medina lupa tadi? Dan Medina menganggap jalannya hanya lurus saja? Medina harus bagaimana? Ini baru hari pertama? Tak lucu jika tersesat di hari pertama ia menginjakkan kaki di Negeri orang.

"Astagfirullahaladzim! Ini gimana pulangnya?" rengek Medina yang tak berani melangkahkan kakinya lebih jauh.

Kaki Medina seakan kaku untuk diajak bergerak. Dilihatnya banyak orang yang berlalu lalang dengan bebas. Hanya Medina saja yang tak berani melangkahkan kakinya karena benar-benar takut tersesat lebih jauh. Medina duduk berjongkok memeluk lututnya di samping tembok yang entah itu bangunan apa Medina sendiripun tak tahu. Setidaknya menempelkan punggungnya di samping tembok itu, Medina tak menghalangi jalan orang lain.

Lantas apakah harus seperti itu terus? Medina tak akan bisa pulang jika hanya bersembunyi disana saja, tak mencari jalan keluar.

"Kenapa nangis sendirian di jalan? Sera mana?" tanya seorang laki-laki yang sontak membuyarkan lamunan Medina.

"Astagfirullah!" Medina seketika terlonjak ketika seorang laki-laki mendekat ke arahnya. Laki-laki itu memakai jubah putih dengan aksen sorban yang mengalung di leher dan sorban itu sedikit menutup bibirnya. Wajahnya tak terlihat jelas karena ia memakai kacamata hitamnya.

Apa jangan-jangan laki-laki itu berniat jahat? Batin Medina mengaung sedari tadi. Pikiran buruknya tiba-tiba terbit dari hatinya karena ia ketakutan.

Allah ... Dia siapa?

Medina berlari kencang sebelum laki-laki itu berjalan lebih mendekat ke arahnya, "Medina mau kemana!" panggil laki-laki itu.

Bersambung ....

Yey aku update lebih awal wkwkw btw setelah ini Mas Aidan. Jadi Medina sama Mas Aidan gonta ganti ya? Habis Medina Mas Aidan wkwkw

Komen terus follow tap bintang dan enjoyyyy terussss

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top