Part 11 - Keputusan

Semalaman Medina menangis karena Papanya membawa wanita lain dan meminta izin untuk menikah padahal Medina sama sekali tak menyetujui permintaan itu. Dia masih teringat perasaan Mamanya yang telah tiada. Medina benar-benar tak menyangka Papanya bisa berbicara segampang itu tanpa memikirkan perasaannya dan Mamanya.

Ujian Medina benar-benar bertubi-tubi karena laki-laki terdekatnya. Beberapa hari yang lalu Rey kekasihnya yang berselingkuh dengan sahabatnya. Kini Papanya sendiri yang menyakitinya dengan berkhianat. Lantas Medina harus apa? Dia tak akan sudi datang di pernikahan Papanya. Dia ingin lari tak mau merestui pernikahan itu.

Lantas ia harus kemana?

Dengan mata yang masih sembab karena bekas menangis, Medina memilih untuk berkunjung ke rumah Sera pagi-pagi buta seperti ini. Entah mengapa, langkah kakinya mendikte tubuhnya untuk pergi ke rumah Sera saat ini.

Tangannya sontak mengetuk pintu rumah Sera, "Ser? Sera!" panggilnya.

Tak berlangsung lama, Sera lantas keluar dari rumah itu dan menatap Medina dengan tatapan herannya, "Medina? Kamu ... mata kamu kenapa bengkak pagi-pagi kayak gini? Ada apa? Kenapa kesini pagi-pagi?" tanyanya menyumatkan ribuan pertanyaan pada Medina.

"Kamu kenapa?" tanyanya lagi saat Medina belum menjawab pertanyaannya.

"Nggak papa. Ser, Mas Hamdan di rumah?" tanya Medina balik.

Sera menggeleng. Pagi-pagi seperti ini Hamdan memang sudah berangkat kerja, "Udah kerja, kenapa? Tumben cari Mas Hamdan?" tanyanya pada Sera.

"Aku boleh main kesini?" Medina bertanya balik dengan nada kikuknya. Dia menatap Sera dengan tatapan penuh harap. Entah saat ini hanya Sera keluarganya yang bisa ia jadikan tempat berteduh.

"Ya boleh lah. Ayo masuk!" sahut Sera yang memerintahkan Medina untuk masuk ke dalam rumahnya.

Langkah Sera mendahului Medina untuk masuk ke dalam rumahnya. Dia masih belum tahu alasan mata Medina bengkak karena menangisi Papanya yang akan menikah lagi, "Tumben kamu pagi-pagi kesini? Terus mata kamu itu kenapa kok sampai bengkak?" tanyanya.

"Aku ... Aku mau tanya apa masih ada kesempatan daftar umroh untuk jadwal keberangkatan bulan depan?" tanya Medina tiba-tiba yang membuat Sera sontak mengerutkan dahinya.

Kenapa Medina tiba-tiba berubah pikiran ingin berangkat kesana?

"Medina .... Aku nggak salah dengar?" tanya Sera yang sempat tak yakin dengan ucapan Medina.

Medina menggeleng mantap. Entah seluruh tubuhnya seakan terdikte untuk pergi ke Rumah Allah yang ada di Jazirah Arab. Dia sebenarnya tak paham dengan keputusannya. Tapi tanpa alasan hatinya ingin pergi kesana saat bulan depan bertepatan dengan hari pernikahan Papanya dengan wanita lain.

"Nggak. Aku ... aku ... aku mau daftar berapapun biaya yang disediakan aku bakalan bayar. Tapi aku boleh ikut keberangkatan kloter bulan depan?" tanyanya pada Sera.

"Bulan depan kuotanya udah habis? Aku harap aku masih kebagian kuota bulan depan. Aku mau pergi kesana," seru Medina memohon pada Sera dan berharap bulan depan ada satu celah kuota yang dapat ia gunakan untuk pergi kesana. Meskipun dulu pernah ia tolak, tapi entah mengapa ia benar-benar ingin pergi kesana saat ini untuk menghilang dari hadapan Papanya.

"Masih," jawab Sera yang membuat dua bola mata Medina berbinar cerah saat mendengarnya.

"Beneran masih?" tanyanya memastikan pada Sera bahwa apa yang dia dengar saat ini memang benar.

Sera mengangguk. Dia menatap Medina dengan tatapan teduhnya dan menyemburatkan senyum simpul yang terpancar dari bibirnya, "Iya. Awalnya udah habis tapi Tiara mengundurkan diri jadi kuotanya tinggal satu," ungkapnya pada Medina.

Medina yang mendengar alasan itu sontak menatap Sera, dia tak tahu mengapa Tiara mengundurkan diri, "Kenapa Tiara mengundurkan diri?" tanyanya pada Sera.

"Mungkin bentrok sama jadwal kerjanya," sahut Sera pada Medina.

Medina tak punya pilihan lain. Hanya tersisa satu kuota dan ia tak bisa menyia-nyiakan kuota itu. Dia ingin memakai kuota itu segera, "Boleh aku pakai?" tanyanya pada Sera.

"Bisa, tapi ngurus dari awal lagi ya?" sahutnya pada Medina.

Medina mengangguk. Dia sama sekali tak keberatan jika harus mengurusnya dari awal dan sedikit terlambat dari jamaah lainnya. Wajar karena daftarnya paling akhir, "Nggak papa. Aku mau," serunya pada Sera.

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran, Med? Kenapa mau pergi kesana? Apa yang buat kamu berubah pikiran?" tanyanya pada Medina. Sera sedikit penasaran dengan keputusan Medina yang satu ini.

Sejujurnya Medina sendiripun tak tahu. Dia mengambil keputusan ini seakan didikte hatinya sendiri ketika dia mendapatkan jalan buntu mengenai masalahnya. Dia bingung harus meminta bantuan ke siapa. Dia bahkan kehilangan arah pasca banyak masalah yang merundungnya.

Tadi malam dia sempat hampir mengiris tangannya karena tak ada pilihan lain untuk hidup. Tapi entah mendapatkan dorongan dari mana, pisau yang ada di tangannya tiba-tiba terjatuh dan sama sekali tak jadi mengenai tangannya.

Medina saat ini menangis sejadi-jadinya. Dia ingin kabur dari Papanya. Dia tak ingin menghadiri acara itu, dan satu-satunya yang dia pikirkan saat otaknya buntu adalah pergi ke Madinah. Dengan begitu dia bisa menghindar dari masalahnya.

"Nggak papa, aku cuma mau berubah jadi lebih baik lagi," jawabnya seadanya tanpa menceritakan masalahnya pada Sera.

"Siapin aja barang-barang kamu biar awal bulan depan tinggal berangkat. Biar aku yang urus dokumen yang harus disiapkan. Karena jamaah yang lain udah siap semua, tinggal punya kamu!" Sera meminta Medina untuk menyiapkan barang keperluannya saja. Sedangkan mengenai dokumen akan ia urus bersama suaminya nanti.

"Makasih banyak ya Ser!" jawab Medina seraya memeluk Sera dengan erat. Begitupun juga dengan Sera yang membalas pelukan itu dengan tenang, "Sama-sama. Kamu beneran nggak papa? Mata kamu yang bengkak habis nangis ya? Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Sera.

Medina tak bisa mengatakannya saat ini. Dia tak mau banyak orang yang mengetahui masalahnya. Sudah banyak orang yang direpotkan Medina. Kali ini ia tak mau lagi merepotkan orang-orang terdekatnya, "Aku ... Nggak papa, mungkin kemarin kebanyakan tidur. Kuota untuk aku jangan dipindah alihkan lagi ya Ser?" pintanya pada Sera.

"Nggak kok," sahut Sera dengan tawa pelannya.

"Kalau gitu aku pulang dulu," Medina terlihat ingin pamit tapi Sera menahannya dan tetap meminta Medina untuk di rumahnya saja.

"Kenapa buru-buru? Kesini aja dulu. Lagian di rumahku nggak ada orang. Mas Hamdan udah pergi kerja. Nggak papa, main kesini dulu!" seru Sera.

"Nggak Ser! Aku ada urusan setelah ini. Kapan-kapan aja ya?" ungkap Medina yang akhirnya dibalas Sera dengan anggukan mengerti.

Sera lantas mengantarkan Medina keluar rumah. Karena telah mendapatkan kuota untuk pergi umroh, Medina bisa bernapas dengan lega. Apa karena dia telah diberi ketenangan, sampai ia bisa bernapas sedikit lega dari masalah-masalah yang mencekamnya akhir-akhir ini?

"Seenggaknya aku nggak di Indonesia waktu Papa mau nikah lagi. Aku nggak mau hadir di pernikahan Papa. Aku nggak bakalan sudi. Aku bener-bener nggak bisa lihat itu semua. Aku nggak bakal bisa tidur nyenyak ya Allah! Bantu aku keluar dari masalah ini. Bahkan perempuan yang baru aja Papa bawa kemarin sama sekali nggak bisa menggantikan posisi Mama. Cukup Mama. Nggak ada yang lain, Allah!" batinnya menjerit menangis dalam hati tanpa sepengetahuan Sera.

Lantas, akankah Medina berhasil menenangkan dirinya di Rumah Allah? Seperti apa yang telah tertulis di kertas yang pernah Rafi tuliskan bahwa healing terbaik adalah berkunjung ke Rumah Allah. Medina ingin membuktikan itu semua.

Bersambung ....

Yey, aku update lagiiii yeyyyyy ..... Maaf kemarin aku drop belum bisa buka hp buat nulisss. Jadi sekarang aku updateeee.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top