Part 10 - Hilang Arah

Mobil Sera akhirnya sampai di rumah Medina saat selesai menempuh perjalanan dari Masjid An-Nur ke rumah Medina. Tiara telah dihubungi Sera bahwa Medina sudah sampai di rumahnya dengan selamat. Terkadang ketika Medina merasa sendirian, Tuhan kirimkan beberapa orang-orang baik yang membantunya. Hanya saja Medina belum menyadari bahwa Tuhan sebenarnya masih sayang.

Dia hanya belum menyadari, bukan tidak menyadari kebesaran Tuhan, "Makasih banyak Ser! Udah dianterin pulang," ucap Medina saat dirinya turun dari mobil Sera. Dan Sera mengangguk.

"Sama-sama, eh kenapa nggak nginep di rumahku aja sih?" Tawaran Sera ini mencuat dari bibirnya.

Tak mungkin kan Medina menumpang tempat tinggal. Sedangkan di rumah Sera ada suami Sera. Walaupun Medina di rumah kesepian tak ada orang, tapi lebih baik ia sendirian di rumahnya dari pada merepotkan sepupunya, "Kapan-kapan aja," jawab Medina.

"Ya udah aku pulang dulu, baik-baik di rumah," seru Sera saat Medina menolak tawarannya.

"Om Vero ada di rumah?" tanyanya lagi pada Sera saat ia menatap lampu langit-langit rumah Medina tampak gelap dan tak terawat, sepertinya memang tak ada siapapun di rumah itu.

"Nggak ada ... Nggak tau juga. Kayaknya nggak di rumah," jawab Medina yang sudah bisa menebaknya bahwa Papanya pasti tak ada di rumah saat ini. Laki-laki paruh baya itu hanya pulang satu tahun sekali terkadang beberapa bulan sekali sampai Medina jarang mendapatkan kabar darinya.

"Ya udah nggak papa. Kapan-kapan aku nginep di rumah kamu. Kalau gitu aku pulang ya?" pamit Sera ketika Medina akan masuk ke dalam rumahnya. Dan Medina membalas kalinat itu dengan anggukan pelan, "Hati-hati di jalan ya?"

Sera mengangguk. Dia kemudian masuk ke dalam mobilnya lagi dan meninggalkan rumah Medina. Medina kini sendirian. Kunci yang usang itu ia tancapkan ke lobangnya saat akan membuka pintu.

Sudah bisa dipastikan bahwa di rumahnya sepi tak ada orang. Bahkan saat ini asisten rumah tangganya sedang cuti di kampungnya. Kini Medina tak punya siapa-siapa di rumah. Papanya juga tak akan pulang, percuma Medina menghubungi laki-laki paruh baya itu.

Medina terlihat mengambil duduk di kursi ruang tamu saat tangannya selesai menghidupkan lampu-lampu rumahnya. Entah dorongan dari mana, buku yang ada di tote bag yang ia bawa tadi, ingin ia buka saat ini. Ketika ia membuka tote bag itu, sebuah kertas berwarna hijau menarik perhatiannya untuk ia baca.

Healing terbaik versiku adalah berkunjung di rumah Allah

"Healing terbaik? Rumah Allah? Rumah Allah maksudnya masjid? Atau Madinah Mekkah?" tanya Medina sembari bergumam saat membaca secarik tulisan di kertas yang ia pegang. Tulisan itu dari Rafi yang baru saja mengadakan acara syukuran yang besok akan berangkat Umroh.

"Oh iya, buku tuntunan shalat!" gumam Medina lagi saat mengeluarkan buku tuntunan shalat yang ia pinjam dari laki-laki yang sama sekali tak ia kenal.

Medina membuka acak halaman buku itu dan menemukan tulisan arti dari tahiyat awal dalam bacaan shalat. Reflek Medina membaca bacaan itu. Yang awalnya dia melakukan shalat hanya untuk menggugurkan kewajiban sebagai seorang muslim tanpa tahu artinya, kini Medina ingin tahu soal apa yang selama ini ia kerjakan.

"Segala penghormatan yang penuh berkah, segenap shalawat yang penuh kesucian, (semuanya) adalah milik Allah. Salam padamu wahai para Nabi, beserta rahmat dan berkah Allah. Salam bagi kami, dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah," bacanya.

Medina jadi ingat sesuatu. Dia pernah membaca sebuah buku peristiwa isra mi'raj yang Rasulullah lakukan ketika berdialog dengan Allah. Tapi dia lupa buku apa dulu yang ia baca. Dia hanya sekedar membaca saja tanpa menjelajah lebih lanjut buku itu. Dan bacaannya sama persis ketika Rasulullah memberi salam ke Allah dan Allah menjawab salam itu.

"Bukannya ini dialog Rasulullah sama Allah waktu isra mi'raj?" gumamnya pada dirinya sendiri ketika membaca bacaan tahiyat awal.

Medina bergumam dan memikirkan bacaan itu. Seketika karena rasa penasarannya dengan arti-arti lainnya, Medina sampai lupa dengan masalahnya sendiri, "Jadi selama aku shalat? Aku berdialog sama Tuhanku tapi ... kenapa setiap aku shalat pikirannya kemana-mana?"

"Medina!"

"Medina!"

Panggilan dari laki-laki paruh baya membuyarkan lamunan Medina yang membaca buku itu. Medina sontak menoleh karena ia paham siapa yang tengah memanggilnya, "Papa? Papa pulang?"

"Papa nggak tidur sini. Papa pulang karena mau bilang sama kamu. Diskusi dikit sama kamu," seru Papa Medina.

Medina mengalihkan pandangannya ke arah perempuan yang saat ini ada di samping Papanya. Perempuan itu tampak asing di hadapan Medina. Entah siapa perempuan itu, Medina sendiri pun juga tak tahu, "Ini udah terlalu larut, Pa! Diskusi besok-besok kan bisa. Emang ada apa sih? Ini siapa? Sekretaris Papa?"

Papa Medina menggeleng. Netranya menatap perempuan yang ada do sampingnya, "Bukan. Ini bukan sekretaris Papa. Ini calon Mama baru kamu," jawab Papanya.

Medina menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar, "Maksudnya? Medina nggak ngerti apa yang Papa bilang tadi. Maksudnya apa calon Mama baru?" tanya Medina lagi.

"Ini calon Mama baru kamu. Papa mau nikah sama Tante Serin. Kamu sebagai anak Papa harus mempertimbangkan keputusan kamu untuk setuju sama keputusan Papa. Tante Serin punya anak tiga, dan itu yang nantinya jadi saudara kamu," jawab Papanya.

Senyum getir sontak terbit di bibir Medina. Ia sama sekali tak percaya jika Papanya akan menikah lagi. Lantas mana janji Papanya dulu yang akan setia dengan Mamanya? Faktanya Mamanya meninggal, Papanya mencintai perempuan lain. Lantas, janji laki-laki mana yang harus Medina percaya? Jika semuanya menyakitkan?

"Papa, Papa ingkar janji sama Mama? Papa bilang sendiri kalau Papa nggak bakal nikah lagi waktu Mama masih ada. Kenapa Papa ingkar janji?" ucap Medina seraya memukul dada Papanya. Ia meminta penjelasan pada Sang Papa jika apa yang Papanya katakan itu tidak benar.

"Papa laki-laki dewasa yang juga masih membutuhkan kebutuhan biologis. Wajar Papa ada keinginan nikah lagi. Kalau Papa tua juga nggak mungkin Papa sama kamu terus. Kamu juga bakalan nikah dan milih tinggal sama suami kamu," sahut Papanya membela diri.

Medina tak habis pikir kenapa secepat ini ada masalah baru? Bahkan hatinya saja belum tenang persoalan kisah cintanya, kenapa masalah orang tuanya membuat hatinya semakin hancur?

"Pa, tapi gimana sama Mama? Papa kenapa nggak mikir perasaan Mama?" bentak Medina. Tak peduli sedari tadi wanita asing yang ada di samping Papanya itu terus menatapnya. Ia saat ini sangat membenci Papanya.

"Mama kamu udah mati. Nggak bisa cemburu juga. Papa bulan depan mau nikah sama Tante Serin. Kamu sebagai anak Papa harus datang, karena Papa butuh persetujuan kamu," jawab laki-laki paruh baya itu ke arah Medina.

Tidak. Medina tak akan sudi hadir di pernikahan Papanya. Dia tak akan pernah mau hadir di acara itu. Meskipun Mamanya telah meninggal, perasaan Mamanya masih Medina bawa. Mamanya berhak mendapatkan cinta. Tak tergantikan dengan perempuan lain.

Bersambung ...

Kemarin aku gak update karena perjalan jauh gaesss gantinya nanti double up ya kalo sembuh ini btw lagi vertigooo.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top