Part 1 - Jomblo Menang Teori

Disssklemer : Gaess, ini genrenya bukan romance religi ya? Lebih ke romance meskipun judul ambil latar Madinah. Cerita ini ditujukan untuk saling muhasabah bagi pedosa kek authornya wkwkw. Semoga cerita ini bermanfaat dan ambil baiknya ya?

❤❤❤

"Safir ... Tiara!" panggilan nyaring itu terbit dari bibir Medina. Tau kah? Pagi ini Medina benar-benar mengantongi kupu-kupu di perutnya. Saking banyaknya kupu-kupu kebahagiaan di perutnya, dia ingin membagikan secercah kebahagiaan itu ke arah dua sahabatnya yang saat ini tengah terduduk di sebuah food court Mall.

Tiara dan Safira yang lebih dulu duduk di food court Mall sedangkan Medina menyusul setengah jam yang lalu. Sudah menjadi rutinitas hari minggu, mereka bertiga meluangkan waktu untuk jalan bersama. Mumpung bertemu, Medina ingin mengungkapkan kebahagiaan yang ia pendam saat ini, "Tau nggak sih?"

"Apa?" sahut Tiara yang lebih dulu antusias mendengarkan curhatan Medina. Biasanya kata-kata sakral itu bukan untuk curhat lebih tepatnya untuk mengawali ghibah.

Bibir Medina mengembang lebar sebelum dia meluapkan perasaan bahagianya, "Tinggal menghitung bulan aku sama Rey tunangan. Akhirnya oy nikah juga. Seneng banget," girang Medina.

Tiara sontak mengerutkan dahinya saat menyimak cerita dari Medina. Pasalnya, laki-laki yang dia benci disebut-sebut oleh Medina. Maklum, Medina kekasih dari Rey, jadi wajar dia kegirangan saat berita pernikahan itu terbit dari mulutnya sendiri. Sedangkan Tiara? Ya, sejak dulu Tiara sangat tidak suka dengan Reynaldi. Entah apa alasannya. Meskipun Medina sahabatnya sendiri, dia tetap tak mendukung Medina menjalin hubungan dengan Reynaldi.

"Jadi bulan apa emangnya? Jadi nikah sama Rey? Serius?" tanya Tiara dengan nada malasnya.

Medina mengangguk antusias. Memang belum tahu pasti bulan apa dia bertunangan dengan kekasihnya. Tapi setidaknya dia kegirangan karena statusnya bertambah tingkat. Dia dan kekasihnya hanya memprediksi akhir tahun saja. Masalah bulan belum dibicarakan dengan kedua orang tuanya.

"Nggak tau ya, tapi kemarin waktu aku bahas masalah ini sama Rey, antara akhir bulan November atau awal bulan desember. Emang gini ya rasanya kalau mau tunangan? Deg-degan. Aku takut acaranya berantakan. Terus gimana nanti kalau misal makanan buat tamu undangan kurang? Kebayaku sama kebaya calon mertua serasi nggak ya?"

"Nanti setelah tunangan beneran nikah kan? Gimana woy ... seneng banget. Akhirnya nikah sama Rey," serunya lagi kegirangan.

Dari dulu Medina sangat mencintai laki-laki itu. Antara mencintai dengan bodoh beda-beda tipis. Saat pertama kali menjalin hubungan, Medina yang lebih dulu menyukai Rey. Medina tanpa sungkan sering memberi perhatian ke Rey. Mulai dari membawakan makanan dari rumah untuk Rey, membawakan oleh-oleh dari luar kota untuk Rey, dan pengorbanan-pengorbanan lainnya. Mereka satu organisasi kampus, jadi peluang untuk bertemu sangatlah mudah.

"Ini nih penyakit Si Medina kalau bucin emang suka agak bego. Sebelum kamu nikah, lihat dulu karakter Rey kayak gimana? Main iya iya aja kan kamu?" omel Tiara.

Tiara salah satu sahabat yang agak sedikit tak merestui hubungan Rey dan Medina. Meskipun hubungan mereka sudah terjalin tiga tahun lamanya, sahabatnya yang satu itu entah mengapa sangat menolak keras. Tapi namanya juga Medina, dia seakan buta dengan laki-laki pemilik nama Reynaldi Pramudya.

"Ngapain dilihat lagi sih? Kan udah pacaran tiga tahun. Dari aku masih kuliah sampai udah kerja. Apanya yang dilihat? Rey juga udah bilang cinta. Tiga tahun waktu yang nggak sedikit. Aku kenal dia, dia juga kenal aku. Sama-sama udah kenal karakter masing-masing," bantah Medina.

"Ya meskipun dulu emang awalnya aku yang suka, tapi namanya hati orang kan bisa berubah-ubah. Buktinya, nggak mungkin dia nggak tulus kalau hubungan aku sama dia terjalin 3 tahun lamanya, Ra!" jelas Medina pada Tiara.

Sungguh, Tiara saat ini ingin menjitak kepala sahabatnya itu sayangnya masih bisa ia tahan, "Beda. Kamu kan baru pertama kali pacaran Med! Kenalnya orang pacaran sama menikah itu beda, Medina! Kamu bakalan kaget karakter yang nggak ditunjukin waktu pacaran tiba-tiba ditunjukin waktu nikah. Nah, kalau aku lihat menurut aku sih, Rey agak kurang dewasa."

Hati Medina sudah dipenuhi cinta dari Reynaldi. Sampai apapun hal buruk yang dilontarkan orang, membuatnya seakan hanya bualan semata, "Kurang dewasa gimana sih, Ra? Aku sama Rey seumuran. Umur juga udah legal menikah. Nggak ada salahnya nikah. Pacaran udah bertahun-tahun sia-sia kalau nggak nikah. Iya kan, Fir?" tanyanya meminta pendapat pada Safira.

Ketiga sahabat itu sebenarnya memiliki karakter masing-masing. Medina yang keras kepala dan bucin. Tiara hobi membaca karakter seseorang dari gelagat, tak lupa dia juga jomblo dari embrio. Dan Safira yang tergolong pendiam diantara keduanya.

Saat Medina meminta pendapat pada Safira, Safira hanya tersenyum simpul seraya terkekeh pelan menyimak perdebatan antara Tiara dan Medina. Sampai kalimat Medina mencuat lagi dari mulutnya, "Masa iya Fir, aku yang modelan masih kayak bocah gini nyarinya yang aki-aki buat jadi patokan dewasa? Kan nggak mungkin. Itu aku mau nyari suami apa nyari Bapak baru?"

"Ra, dewasa patokannya nggak di umur doang, bisa karakter juga. Percuma dong kalo dia dewasa tapi aku enggak cinta," seru Medina ke arah Tiara.

"Astagfirullah. Nyebut Gusti. Medina kepalanya kepala batu. Capek ngomong," geramnya mengelus dada sembari mengatur napasnya agar tak mecuatkan amarahnya pada sahabatnya.

"Kepala batu gimana sih woy? Aku serius ngomong tadi," sahut Medina.

Tapi sayang, Tiara memilih untuk tak meladeni opini sahabatnya. Bisa-bisa darah tinggi jika Tiara terus membantah opini Medina. Biarkan saja. Terkadang menasehati seseorang yang sedang jatuh cinta, sama seperti menasehati batu hitam yang keras. Tidak akan pernah bisa lunak dengan sendirinya selama batu itu tak pecah karena sebuah hantaman besar.

"Mending makan opor. Males banget ngomong sama pala batu ujung-ujungnya keluar di telinga kiri," cibir Tiara seraya beranjak dari duduknya untuk memilih stand penjual opor.

Sebagai penengah, Safira hanya menepuk-nepuk pundak Medina. Medina dan Tiara memang sama-sama keras tapi meskipun begitu, persahabatannya masih tetap utuh sampai sekarang. "Mungkin, Tiara bilang gitu ke kamu karena dia belum ngerasain pacaran. Biasanya orang yang jomblo teorinya banyak tapi prakteknya belum ada."

Medina mengangguk mengiyakan apa kata Safira. Mungkin karena ini kali pertamanya pacaran dan Tiara juga belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki manapun. Mereka sering berdebat satu sama lain jika menyangkut urusan menjalin hubungan dengan lawan jenis. Medina lebih banyak mencurahkan perasaannya ke Safira yang memang lebih sering menjalin hubungan dengan laki-laki dibanding Tiara.

"Nanti kalau udah mendekati tanggal tunangan, bantu aku ya Fir? Masalahnya Tiara kontra banget sama Rey. Satu-satunya teman yang dukung aku cuma kamu. Kasih tau aku mana yang kurang, aku nggak mau ngecewain Rey kalau nanti udah jadi istri," pinta Medina.

"Pasti," sahut Safira yang tampak menyunggingkan senyumnya ke arah medina.

Mendengar jawaban dari Safira, Medina ikut tersenyum senang. Sangat berbeda dengan Tiara yang kontra dengan pendapatnya sedari dulu. Safira lebih menghargai apa saja yang Medina ceritakan. Sebenarnya Tiara juga bisa menghargai pendapat Medina, hanya saja jika menyangkut laki-laki itu, Tiara No Komen.

Saat Medina ingin bercerita panjang lebar pada Safira mengenai Rey, tiba-tiba Safira fokus ke ponselnya yang berdering secara tiba-tiba, "Siapa yang telfon, Fir?" tanya Medina.

Safira masih sibuk dengan ponselnya ketika Medina bertanya, dia tak sadar Medina memanggilnya sedari tadi, sampai tangan Medina menyentil pelan lengan Safira, "Fir, tadi telfon dari siapa? Kok nggak di angkat malah senyum-senyum?" tanya Medina lagi.

Raut wajah Safira terkesiap, bola matanya sontak ia alihkan untuk menatap Medina lagi dan menutup layar ponselnya, "Oh ... ini Mama tanya lagi dimana. Katanya dia udah terlanjur masak tapi aku kebetulan lagi di jalan sama kamu. Aku angkat telfon Mama dulu kesana ya? Nanti kalau mau beli minum, beli minum dulu aja. Aku nyusul belakangan. Takut Mama ngamuk kalau nggak diangkat," seru Safira.

"Oke," sahut Medina yang kemudian beranjak dari duduknya, dua memilih menyusul Tiara yang tengah memesan opor ayam.

"Ra, pesenin sekalian!" teriak Medina.

"Pesen sendiri! Enak aja," sahut Tiara meskipun dalam benaknya tak tega Medina memesan sendiri sedangkan dirinya sudah memesan terlebih dahulu.

Di balik Medina dan Tiara yang saling berdebat lagi mengenai opor ayam di sebuah kedai food court, seorang perempuan masih asik bertukar kabar dalam sambungan telepon. Dia memilih untuk mengangkat sambungan telepon di balik dinding pojok food court. Dengan bibir yang tersungging rapi dan tawa ringan yang sesekali menghiasi bibir ranumnya.

Perempuan itu .....

Bersambung ....

Part 1 udah nih yookk komen yang banyak besok jadwal part dua ... Aidan malam ini juga update in shaa Allah.

Pasti lu lu pada punya sahabat model Medina kan? Atau lu salah satunya? Yang kalo dikasih tau sekali tentang pacar begonya Ma syaa Allah.

Aku sebenernya sahabat modelan Tiara wkwkw gengsi bilang peduli, alhasil ngajak ribut terus wkwkw.

Safira lembut banget ya? Wkwkwk jadi iri punya karakter yang lembut, pendiem wkwkw

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top