Bab 9 - Buku Tuntunan Sholat

Usai acara berlangsung satu setengah jam di Masjid An-Nur, Sera berhasil memancing medina untuk bercerita mengenai masalahnya. Meskipun awalnya, Medina sulit untuk diajak komunikasi. Tiap kali lawan bicaranya berbicara, Medina selalu memilih diam dan sibuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

"Jadi kamu tadi sebenernya sama Tiara? Tapi Tiara kamu tinggal?" tanya Sera yang melanjutkan ceritanya. Dia masih belum puas memancing Medina agar bercerita.

"Iya."

Di tengah perjalanan Sera mengantarkan Medina pulang, sorot mata Medina jatuh pada Al-Quran yang ada di dalam pangkuannya. Al-Quran itu terbalut totebag lucu yang ia dapatkan dari acaranya Rafi tadi. Sedari tadi ia sibuk membolak-balikkan totebag itu.

"Aku sengaja pakai mobil Mas Hamdan biar bisa antar kamu sendiri pulang, soalnya kalau kamu nunggu Mas Hamdan pasti nggak sabaran dan milih pulang sendiri. Bahaya Med, kamu cewek, ini udah malam bahaya kalau pulang sendirian," seru Sera yang tengah fokus menyetir.

Sedari tadi Sera memang sengaja meminjam mobil suaminya untuk mengantarkan Medina. Mungkin tanpa cara itu Medina tak akan mau pulang bersama. Dia lebih memilih pulang sendiri. Untungnya Sera memaksanya terus dan menyisihkan ruang untuk berdua dengan Medina agar Medina bisa bercerita dengan nyaman.

Saat pandangan Sera jatuh menatap Medina yang masih menjatuhkan pandangan ke Al-Quran yang ada di pangkuannya, Sera tersenyum simpul sembari menepuk-nepuk lengan Medina, "Jangan dilihatin doang! Tapi dibaca juga, aku tahu kamu lagi nggak baik-baik aja. Itu obat dari Mas Rafi. Mas Rafi biasanya kalo ada acara kayak tadi selalu nyumbang buku, nggak tau kenapa kali ini Quran yang dipilih buat dikasih ke orang, aku sama Mas Hamdan juga dapat."

"Obat paling ampuh buat atasi segala bidang permasalahan kata Mas Rafi," tambah Sera sembari terkekeh pelan tapi tawanya itu tak dibalas Medina, dia masih ragu-ragu untuk membuka Al-Quran itu. Mungkin saat ini, masalah Medina mengikat hatinya kuat sampai dia masih sulit tersenyum dan menerima saran seseorang.

"Kamu tadi denger sendiri kan dulu Mas Rafi juga ada di titik terendah dia tapi setelah dia belajar ikhlas dan mau memperbaiki diri, dia dapat balasan kebaikan berlipat ganda dari Tuhan," jelas Sera menceritakan kembali ucapan Rafi tadi ketika acara.

Bibir Sera menyunggingkan senyum simpulnya, "Sama kayak aku, aku juga kalau ada di titik terendah selalu nyalahin Tuhan. Dulu sih itu, tapi waktu menikah sama Mas Hamdan dia yang ubah semua mindsetku," tambahnya lagi mengatakan kalimat itu ke arah Medina.

Ya, Medina tersenyum kecut. Baginya, mungkin Sera punya takdir yang indah dan menikah dengan laki-laki paham agama makanya dia bisa dituntun ke jalan yang baik. Lantas bagaimana dengan dirinya? Siapa laki-laki yang mau dengan seorang perempuan divonis mandul dan penderita endometriosis? Medina rasa sulit seorang laki-laki memilihnya. Kekasihnya dulu saja menghianati bagaimana orang baru nantinya jika tahu dia tak bisa punya anak?

Tanpa Medina sadari dia tertawa di atas buliran bening yang menetes dari kelopak matanya. Iya, tawa itu menertawakan dirinya sendiri. Sampai Sera sadar bahwa Medina menangis di sela-sela tertawa.

Sera sontak mengoreksi kalimatnya. Dia langsung mengingat kalimat yang baru saja dia ucapkan tentang pernikahannya. Dan sebagai perempuan, Sera reflek peka dengan apa yang ia ucapkan. Berkali-kali ia beristigfar dalam hati karena tak sengaja menyakiti Medina dengan ucapannya.

"Nggak ada perempuan yang gak sempurna, selalipun dikasih ujian penyakit reproduksi. Tuhan udah menciptakan perempuan itu ditempat yang paling istimewa. Ujian pun juga ditakar dulu sebelum dikasih ke hambanya," terang Sera pada Medina.

Tangan Sera menggenggam tangan Medina yang tampak dingin, "Mungkin kamu menganggap kamu nggak kuat, tapi kalau Tuhan aja yakin kamu kuat. Kenapa ragu ke diri sendiri? Harusnya kita yakin dong sama prasangka Tuhan. Bukankah yang tahu masa depan itu Tuhan? Kita aja nggak tau hari esok kayak apa apalagi masa depan. Iya kan?" tambahnya lagi.

"Aku minta maaf ya kalau ucapanku tadi—"

Medina terkekeh meskipun sisa buliran bening di kelopak matanya itu ketara, "Eh ... Nggak papa. Kamu nggak salah. Kenapa jadi minta maaf?"

"Ser," panggil Medina yang perlahan menghapus sisa air matanya dengan tisu yang ada di mobil Sera.

Masa harus nangis terus sih ah? Mana Medina yang dulu? batin Medina.

"Hm?"

"Boleh aku pinjem buku tuntunan sholat?"

Pertanyaan dari Medina membuat Sera sedikit terheran. Dahinya berkerut ketika Medina mengatakan ingin meminjam buku sholat. Setahu dia, Medina sholat. Masa lupa tata cara sholat sampai pinjam buku tuntunan lagi?

"Ada. Kayaknya di dashboard. Coba kamu cari? Tata cara sholat sunnah kan? Buat nambah-nambah amalan kan?" tanya Sera yang kurang yakin dengan pertanyaan Medina.

"Nggak. Aku butuhnya yang wajib dulu kalau ada dua-duanya nggak papa," jawab Medina.

"Coba cari di dashboard!" perintah Sera.

Medina lantas membuka laci dashboard mobil Sera. Ternyata di dalam dashboard itu terdapat banyak buku yang entah Medina sendiri pun tak mengerti buku apa saja disana.

Hadist Shahih

Biografi Ali Bin Abi Thalib

Tentang Perang Khaibar

Khalid Sang Pedang Allah Yang Terhunus

"Waduh .... bukunya kok nggak ada yang ringan-ringan. Kayak buku doa harian. Buku tuntunan sholat mana ada kalau gini caranya?" batin Medina saat netranya membaca satu persatu buku yang ada di laci dashboard itu.

"Tata cara sholat wajib dan taubah, nah ini yang aku cari," seru Medina lagi saat membaca satu buku yang menarik perhatiannya. Buku itu paling tipis dibanding buku-buku yang lainnya.

Sejujurnya Medina ingin meminjam buku tuntunan sholat bukan karena dia lupa rakaat dan tata cara sholat. Dia hanya ingin menelaah arti bacaan sholat yang selama ini dia gunakan. Sebab, selama dia hidup ketika dia sholat. Dia hanya hapal bacaannya saja, tanpa menelaah artinya. Barangkali, dalam buku itu. Medina menemukan jawaban atas apa yang saat ini masih menjadi keraguannya.

Tapi ketika Medina membuka sampul buku itu, bukan nama Sera yang tertulis sebagai pemilik buku itu. Melainkan nama orang lain yang tak Medina kenal. Dari dulu Medina paling tak suka meminjam buku orang yang tak dikenal, "Ini bukan punya kamu," ucap Medina mengembalikan lagi buku yang dia pegang.

"Mana coba lihat?" tanya Sera saat mendengar cuitan dari Medina.

"Tulisannya nama pemilik Rafi Pratama," sahut Medina. Sera baru ingat jika buku Rafi pernah ketinggalan di mobilnya. Ah iya, kenapa dia baru ingat?

"Oh iya. Punya Mas Rafi. Kok bisa ketinggalan di mobil? Itu buku jaman kapan?" tanya Sera balik yang mencoba mengingat-ingat kapan Rafi terakhir kali meninggalkan bukunya di mobil itu.

"Kok malah tanya balik. Mana aku tau," sahut Medina.

"Ya udah, itu aja yang kamu pinjam! Soalnya punyaku di rumah. Kalau mau ya besok aja," jawab Sera.

"Aku mau punya kamu aja," Medina menutup laci dashboard yang ada di depannya. Dia tak jadi meminjam buku tuntunan sholat milik Rafi meskipun ia sangat butuh saat ini.

Sera seakan mengerti jika Medina hanya gengsi semata untuk meminjam. Sepupunya memang seperti itu. Hatinya butuh buku itu tapi mulutnya gengsi meminjam ke orang yang tak ia kenal dengan akrab, "Oh bentar, aku telfon Mas Rafi aja buat pinjem bukunya."

"Nggak usah. Aku nggak pinjem," sahut Medina menahan Sera.

Sera memilih untuk menghentikan mobilnya terlebih dahulu saat dirinya berniat untuk menghubungi Rafi. Meskipun tangan Medina melarangnya tapi tangan itu ia singkirkan terlebih dahulu dan lebih memilih menekan layar ponselnya mencari kontak milik Rafi, "Ihh ... aku tahu kamu butuh buku itu. Iya kan? Aku udah hapal kharakter kamu, Med. Nggak mungkin seorang Medina baca buku kalau bukan dia penasaran setengah nati sama isi buku itu."

"Aku yakin Med kamu mau pinjem buku itu, cuma gengsi aja pinjem ke orang yang nggak kenal. Iya kan?" tebak Sera dan meneruskan tangannya untuk menunggu jawaban sambungan telepon untuk Rafi.

"Hallo Mas Rafi?" sahut Sera cepat saat sambungan telepon itu dibalas oleh sang pemilik nomor.

"Waalaikumussalam Ser!" koreksi Rafi ketika Sera tak mengucapkan salam terlebih dahulu.

Sera terkekeh geli ketika Rafi mengoreksinya. Tangannya sontak menekan tombol pengeras agar Medina juga tahu percakapan apa yang dibahas dalam sambungan telepon tersebut, "Oh iya, Assalamualaikum. Lupa maaf! Mas aku pinjem buku tuntunan sholat yang ketinggalan di dashboard mobilnya Mas Hamdan ya?"

"Buku tuntunan sholat? Bukuku ketinggalan? Aku lupa juga," sahut Rafi.

"Iya ini ketinggalan, boleh dipinjem kan?" tanya Sera lagi meminta izin.

"Ambil aja nggak papa. Nggak usah dipinjem," jawab Rafi. Sera sontak menatap Medina sembari tersenyum.

"Sebenernya bukan aku sih Mas yang pinjem. Tapi sepupuku Medina," jawab Sera terus terang yang langsung dibalas Medina dengan tatapan tajamnya.

"Medina?" tanya Rafi lagi dalam sambungan telepon itu.

"Iya Medina."

"Oh ... Iya boleh. Nggak usah dipinjem. Bawa aja nggak papa. Di rumah juga masih ada kok," jawab Rafi.

"Mau ngomong sama Medina nggak?" tanya Sera jahil yang dibalas Medina dengan cubitan keras di lengan Sera.

"Apaan sih, Ser!" gerutu Medina yang protes ketika Sera melebih-lebihkan pembicaraan di telepon itu.

Sera terkekeh ketika sepupunya itu menggerutu. Ya kalau begini caranya kan bagi Sera ia bisa mengurangi rasa sedih Medina, "Ya udah dulu ya Mas! Medina ternyata yang nggak mau. Sera tutup dulu pintunya ... Eh teleponnya," sahutnya sebelum menutup sambungan telepon itu.

Bersambung ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top