Aksara 7

Aku mau post tiap hari tapi masih sepi. Aku sih nggak gitu mentingin vote, kalian boleh vote kalo suka, boleh nggak kalo lagi nggak sreg. Tapi aku kepengen komen kalian. Soalnya interaksi sama kalian juga bikin aku semangat nulis. Nggak melulu pujian, saran atau kritik juga aku seneng banget. Tandanya kalian care. Atau sekedar say hello juga gpp.

Aku post Aksara 8 kalau komennya udah 10 ya. Balesan aku nggak masuk hitungan.

Oh iya, ep ini bacanya abis buka puasa ya hehehe
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan!

--------------------------------------------------

Aku terkejut setengah mati saat Medhana melontarkan kata – kata, yang sedikitpun tidak pernah terbersit di pikiranku, bahwa kata – kata itu akan ku dengar suatu hari nanti.

Apa yang harus kulakukan?

Aku juga sangat ingin menyentuh tubuh mempesonanya, tetapi cermin sialan itu bisa saja berbahaya untuknya.

Medhana tak henti menatapku, membelai tubuhnya sendiri, melepaskan desahan sesekali, berusaha mengundangku.

Persetan dengan perkara cermin. Masalah itu bisa menunggu. Pun sampai saat ini, tidak ada hal yang terjadi padanya. Pasti diapun juga selalu melakukan hal seperti tadi jika dia ingin memuaskan nafsunya sendiri.

Aku menghampirinya, dia langsung menyambutku, melingkarkan tangannya di pundakku. Kami berpagut, saling menghisap dan menjilat. Tak lama, dia memisahkan dirinya padaku, membuat diriku sedikit kecewa. "Tunggu sebentar, Yudhara. Aku sungguh tak tahan lagi."

Dia berjalan ke arah cermin tanpa memutuskan pandangannya denganku. Ingin sekali aku mencegahnya, meneriakinya bahwa apa yang dilakukannya bisa saja mencelakainya. Namun birahiku juga menggelitik, penasaran apa yang akan dia perbuat selanjutnya.

Medhana mulai menghadap cermin itu. Sesaat berikutnya, dia menjilati bayangannya dan memasukkan jari ke dalam anusnya sendiri. Tak hentinya dia mengeluarkan desahan serta memanggil-manggil namanya.

Aku mulai menikmati pemandangan yang kulihat. Tentu saja ada perasaan kesal menyelimuti diri, karena bukan namaku yang keluar dari bibir manisnya itu.

Kurasakan tatapan matanya yang tak habis pikir, mengapa berwarna biru saat berada di dalam pantulan cermin. Medhana memegang kedua pipi bokongnya dan menariknya ke samping, membuat lubang anus merah merekahnya terlihat jelas di pandanganku. "Yudha.... Bagaimana ini? Aku sudah tidak merasa puas jika kumainkan sendiri?" tanyanya bingung.

Aku bergidik. Darimana dia belajar menggodaku sampai seperti itu?

"Wah wah wah. Lihat dirimu, Rhomega. Kau yakin tidak pernah bersenggama dengan orang lain sebelumnya?" Bukan bermaksud mengejek. Aku benar-benar terheran.

Dia mengumpat padaku. Sangat menggemaskan.

Kulangkahkan kakiku cepat, mendekatinya. Mengangkat pinggulnya sedikit ke atas kemudian mulai menjilati sekitar lubang menggairahkan yang basahnya bukan main. Aromanya sangat tajam menusuk nafsuku. Hampir membuatku lepas kendali. Tubuh Rhomega memang terbaik.

Kumainkan terus lidahku di sana, sebab diriku belum merasa puas. Desahannya mulai kembali menghiasi ruangan ini. Tak seberapa lama, dia sudah mulai memprotesku lagi.

"Sudahlah cepat masukkan sesuatu ke dalam sana! Kau ini selalu melakukan sesuatu yang tidak penting!"

Kutarik badannya menghadapku, dan segera melumat bibirnya. "Kau tidak lupa kan kalau ini adalah masa hukumanmu? Berhenti memerintahku, karena aku yang seharusnya memegang kendali saat ini. Atau kita pergi menyelidiki cermin itu, tak peduli bagaimanapun keadaanmu saat ini!" ancamku.

Medhana tercengang. Raut wajahnya berubah memelas. Aku menahan tawaku. Sungguh dia manis sekali, melebihi apapun di jagat raya ini. "M-maafkan aku," gumamnya.

"Kau bicara apa? Aku tidak dengar?"

"Maafkan aku!"

"Kepada siapa Kau meminta maaf?" Ku cubit putingnya perlahan, dan menjilat puting sebelahnya, membuatnya kembali berdesis.

"Ngh... Ma-maafkan aku, Yudhara...."

"Yudhara?" Kumasukkan tiga jemariku ke dalam lubang anusnya, yang dengan mudahnya bisa kumainkan di sana.

"Aahh! Maafkan Medhana, Syata Mulia! Aahh! Yudhaaa ... Aku ternyata masih ... ngghh... cermin Yudhara, cermin!"

Ingin rasanya segera ku bawa tubuhnya ke atas ranjang, memangsanya di sana sehingga dia tidak terpikir untuk memandang bahkan menyentuh cermin sial itu. Namun aku mengerti, ini pertama kali untuknya. Aku juga tidak ingin dia jadi semakin membenciku.

Beruntunglah kamu karena aku yang mencintai dirimu dan menjadi Syatamu, Medhana.

Kulepaskan tubuhnya. Medhana segera menghampiri cerminnya kembali. Menjilat dan menyebut-nyebut namanya berulang kali. "Yudhara cepat ...."

Rasa kesalku semakin meluap. Tetapi apa boleh buat. "Begitu caramu meminta padaku, Rhomega?"

"Syata Mulia..., Medhana mohon setubuhi Medhana sekarang juga...," rengeknya.

"Dasar Tuan Putri. Benar-benar berbuat sesuka hati, hanya memikirkan dirimu sendiri saja." Aku mendekatinya, melepaskan pakaianku sepenuhnya. Mempersiapkan kelaminku yang memang sudah terasa penat sedari tadi. Kudekatkan kepadanya, dan memasukkannya dengan hati-hati.

Argh, sangat hangat dan nikmat sekali! Aku belum pernah merasakan senikmat ini. Meski tadi anusnya terasa lembut di jari-jemariku. Namun sekarang, kelaminku terasa seperti dijepit dan dilahap olehnya. Aku mulai kehilangan kendali. Kugerakkan tubuhku, Medhana pun ikut bergerak berirama denganku.

Sialnya yang keluar dari mulutnya, selain desahaan adalah namanya, bukan namaku! Bisa gila aku jika tiap kali aku bersenggama dengannya, hanya dirinya sendiri yang ada di kepalanya. Aku harus menghancurkan cermin sial itu setelah ini.

Dengan nafsu dan amarah, kuhujam tubuhnya tanpa henti. Kupercepat gerakannya, membuat Medhana semakin merintih kencang.

"Tu-tunggu ... Syata aahh... Pelan - pelaan... Sya- Angh!"

Kuputar tubuhnya menghadapku, kubaringkan di lantai, dan melumat bibirnya tanpa henti. Tak kubiarkan dia memanggil namanya sampai ini berakhir. Sepertinya sebentar lagipun aku akan sampai. Kupercepat hujamanku pada tubuhnya.

Bisa kutebak bahwa dia juga akan segera mencapai kenikmatannya. Medhana menarik rambutku, kurasakan jemarinya meremas dan mencakar punggungku, isapan bibirnya pada bibirku juga semakin terasa menuntut.

Beberapa saat kemudian aku menekan tubuhku dan memeluknya sangat erat. Melepaskan benihku jauh ke dalam tubuhnya. Rasa letih mulai menjalar merasuki tubuhku.

Medhanapun terengah-engah, seperti sulit bernapas. Matanya terpejam. Hampir kukira dia tak sadarkan diri. Kubaringkan tubuhku di sebelahnya, masih memeluk dan tak melepaskan kelaminku dari tubuhnya. Kubelai rambut yang menghalangi wajah menawannya. Menghilangkan peluh yang menghiasi dahi dan pipinya.

"Rhomega?" bisikku.

"Hm...." balasnya pelan.

"Apa kau tahu, sepanjang tadi aku kesal setengah mati karena cermin sialan itu? Juga kau yang menyebutkan namamu terus-menerus?" Aduku padanya.

"Hm...."

"Apa hanya itu jawabanmu? Di titik ini Kau harusnya paham bahwa aku cemburu! Tak bisakah kau mengerti perasaanku padamu sedikit saja, meski akupun sulit untuk mengungkapkannya padamu?!" Aku mengaku akhirnya, frustasi dengan keadaan yang aneh ini. Bagaimana bisa dia begitu haus akan dirinya sendiri?

"....." Napas memburunya sudah tergantikan dengan dengkuran halus.

Aku mengusap wajahku gusar. Kucubitnya pipi menggemaskan itu. Dia mengerang tak suka, kemudian tubuhnya mendekat mendekapku, terlelap nyaman di sana.

Curang sekali Kau Medhana, bagaimana bisa aku tetap kesal padamu, jika kamu seperti ini padaku.

Kuangkat tubuhnya dan membawanya ke atas ranjang. Aku mengambil perlengkapan membasuh di ruang mandi, dan kembali untuk membersihkan tubuhnya. Setelah ku lap semua bagian tanpa terkecuali, kupakaikan jubah tidurnya dan kuselimuti dia.

Aku memandang wajahnya yang tidur dalam damai. Mengusap perutnya, senyumpun tak kuasa merekah di wajahku. "Semoga anugerah Mangginala bisa hadir secepatnya. Aku tidak ingin kau terus-menerus berada di situasi yang dapat mengancam nyawamu kapan saja. Aku berjanji akan mengabdikan diriku padamu dan anak-anak kita nanti, Medhana."

Aku sedikit mengutuk diri. Mengapa aku kerap berbicara terus terang seperti ini, hanya pada saat dia tak sadarkan diri.

Aku beranjak dari sisinya, membersihkan diri kemudian bergegas memanggil pengawal. Aku meminta dipanggilkan Paman Sidakala, Anggila-ahli sihir dan pengobatan Kerajaan- serta Surasta-ahli pustaka dan ilmu pengetahuan- untuk hadir menemuiku di sini. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Medhana sendiri, tidak lagi. Jika aku harus ke luar, maka dia harus ikut bersamaku. Begitupun sebaliknya. Kami harus tak terpisahkan, agar aku dapat menjaganya dari marabahaya.

Kupandangi cermin yang ukurannya lebih besar dari manusia dewasa ini. Berapa kalipun aku memeriksanya, nampaknya tidak ada yang mencurigakan. Semuanya nampak seperti cermin biasa saja.

"Syata Mulia, Hamba Sidakala beserta Kenanga Anggila dan Surasta Kadari, memohon izin menghadap Syata Mulia," terdengar suara paman Sidakala dari luar.

Setelah kumenutup tirai yang menggantung di atap ranjang Medhana, kupersilakan mereka semua untuk masuk ke dalam ruangan.

"Maaf aku mengganggu waktu kalian, tetapi ini sangat mendesak. Coba kalian perhatikan cermin ini. Aku menemukan keanehan saat melihat bayangan Medhana dalam cermin ini," jelasku pada mereka.

"Mohon ampun Syata Mulia, namun keanehan bagaimana yang Syata Mulia maksud?" Tanya Surasta.

"Aku melihat bola mata Medhana berwarna biru di dalam cermin. Apa kau merasakan sesuatu Anggila?"

"Hamba tidak merasakan sedikitpun energi sihir dari cermin ini, Syata Mulia. Meski demikian, izinkan Hamba memeriksanya kembali dengan seksama." Anggila mulai meraba dan meneliti sisi demi sisi cermin aneh itu.

"Menurut Paman bagaimana?"

"Mohon ampun Syata Mulai, Hamba tak mengerti sedikitpun tentang sihir dan hal-hal gaib. Akan tetapi Hamba akan menyelidiki situasi ini lebih lanjut," ujar Paman Sidakala.

"Hamba pula akan meneliti masalah ini, Syata Mulia. Mohon beritahu Hamba apakah ada hal janggal lainnya mengenai Yang Mulia Putra Mahkota," timpal Surasta.

Aku menimbang, apakah aku sebaiknya memberi tahu keadaan aneh Medhana atau tidak tanpa sepengetahuannya. Akhirnya aku berkata, "akan kuberitahu segera setelah aku berdiskusi dengan Medhana. Bagaimanapun juga ini mengenai dirinya."

"Hamba tak menemukan satupun keanehan dari cermin ini Syata Mulia. Ini adalah cermin biasa," kata Anggila setelah meneliti cermin itu.

"Begitupun, Hamba yakin, semua barang – barang terutama yang berada di ruangan Yang Mulia Putra Mahkota, telah menjalani pemeriksaan ketat, sebelum lulus untuk diletakkan di dalam ruangan ini, Syata Mulia. Beribu ampun Hamba berpendapat, mungkin bukan dengan cermin ini, namun terdapat sesuatu yang janggal dengan diri Yang Mulia Putra Mahkota." Paman Sidakala mengusap dahinya yang berpeluh. Aku tahu Beliau mulai takut jika benar ada sesuatu yang salah dengan Medhana. Akupun merasakan hal yang sama.

"Baiklah, tolong selidiki masalah ini baik-baik. Jangan ada satupun yang mengetahui situasi ini, termasuk Yang Mulai Raja dan Permaisuri. Jika situasi ini sudah jelas, aku yang akan memberikan kabar pada Beliau."

"Baik, Syata Mulia," jawab mereka.

Setelah itu mereka undur diri. Aku menghampiri ranjang Medhana, membuka tirainya kembali dan duduk di tepi. Kupandangi dia lekat-lekat. Aku meraih tangannya, kugenggam, lalu kulekatkan di bibirku.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi pada dirimu? Aku hanya meninggalkanmu untuk sementara waktu. Apakah salah keputusanku untuk pergi dari sisimu demi memperpantas diriku? Namun jika tidak begitu aku akan kesulitan menjadi Syatamu. Terbukti saat ini aku dapat berada di sisimu selamanya sebagai Syatamu.

Namun bagaimana jika itu semua malah mencelakaimu? Medhana, aku sungguh mengkhawatirkanmu. Kumohon Dewa Mangginala, janganlah Engkau memberikan hal yang buruk pada dirinya.

"Yudhara? Mengapa kau menangis?" tiba-tiba kudengar suara Medhana.

Dengan segera kulepas genggamanku, menghapus air mata yang tanpa kusadari membasahi wajahku.

"Kemari, tidur di sampingku," ajaknya.

Aku menuruti perkataannya. Kubaringkan tubuhku, yang makin terasa lelah saat aku sudah berada di sisinya. Dia memegang tanganku, sambil menatap langit-langit ranjang.

"Kau ingat tidak, dulu kita sering tidur bersama seperti ini. Sambil berpegangan tangan sampai terlelap. Semua karena Kau takut tidur sendiri ketika kau baru saja tinggal di Istana ini," katanya sambil tertawa kecil.

"Mana mungkin aku lupa, Rhomega bodoh!" jawabku ketus menahan malu. Aku malu karena dia menangkapku basah sedang menangis, dan juga mengingatkan kisah masa kecilku yang memalukan.

Dia memukul lenganku, "aku selalu terheran. Mengapa kau berubah menjadi menyebalkan seperti ini? Kau berubah saat Kau mulai tahu bahwa aku adalah Rhomega dan Putra Mahkota. Apakah sebegitu bencinya kau padaku yang seorang Rhomega ini, sehingga Kau ingin sekali merebut tahtaku?"

Aku kaget dan bingung. Darimana dia bisa mempunyai pikiran bodoh seperti itu?

"Kau itu memang benar-benar bodoh ya? Jangan salahkan aku jika aku mengataimu bodoh terus-menerus." Aku mengetuk kepalanya pelan.

"Aku berusaha baik padamu, tapi kau begini terus! Jangan bicara bahwa aku bodoh dan salah menilaimu, jika kau masih saja terlihat seperti membenciku begini! Mengerjaiku, menyebutku dengan panggilan Rhomega! Aku tak perlu selalu diingatkan bahwa aku adalah lelaki lemah yang tugas dalam hidupnya hanyalah untuk memberikan keturunan!" ujarnya kesal.

Medhana beranjak dari tempat tidurnya. Dengan sigap aku menahan tangannya agar dia kembali duduk di atas ranjang.

"Lepaskan aku!"

"Maafkan aku. Tapi semua pikiranmu tentangku itu memang benar keliru!" bantahku buru-buru.

"Bagaimana aku bisa keliru?!" dia mulai meninggikan suaranya.

Aku memutar otak, memikirkan kata-kata yang tepat. Sungguh aku sangat buruk dalam hal ini. Aku seperti kesulitan untuk berbicara yang sebenarnya tentang perasaanku padanya.

"Sepertinya kau tak menemukan alasan berbohong yang tepat ya, Yudhara." Tanpa kusadari, tangannya sudah terlepas dari genggamanku. Aku dengan segera memeluk tubuhnya yang sudah berdiri di samping ranjang.

"Aku mencintaimu!" kupejamkan mata dan mengeratkan pelukanku. Entah mengapa hanya kata-kata itu yang akhirnya lolos dari mulutku. Padahal banyak sekali yang ingin kuutarakan padanya. Aku benar-benar mengutuk diriku sendiri.

Aku tak tahu bagaimana reaksi dan air mukanya saat ini. Tetapi dia menaruh tangannya di atas tanganku yang memeluk tubuhnya.

"Baiklah begini saja. Kita bermain tanya-jawab. Aku bertanya, kau menjawab. Mengerti?"

Sebenarnya tidak. Mengapa dia jadi bermain tanya jawab di saat genting seperti ini?! Namun tetap kujawab, "baiklah."

"Sejak kapan kau mencintaiku, dan bagaimana bisa? Sedangkan dirimu saja tak pernah menunjukkannya."

"Sejak pertama aku melihatmu di taman Ringga. Saat pertama kali kita bertemu dan berkenalan. Aku ... aku tidak tahu mengapa, aku hanya jatuh hati. Hanya saja, Kau sangat menawan dan aku sangat ingin memilikimu sejak saat itu," akuku.

Kurasakan tubuhnya bergetar, apa dia kesal?

"Kau belum menjawab pertanyaanku yang terakhir! Bagaimana bisa kau tidak pernah memberi tahuku, bahkan menunjukkan tanda-tandanya saja tidak! Menyebutku Rhomega, terus menggoda dan mengerjaiku! Apa itu bentuk cintamu, supaya aku jadi membencimu?!"

"Aku tidak pernah bermaksud begitu!" bantahku.

"Lalu mengapa kau ingin merebut posisi Putra Mahkota? Kau pernah mengatakan tentang Raja Rhomega seratus tahun lalu. Aku tahu kau hanya mengarang agar aku percaya padamu dan menyerahkan posisiku padamu dengan mudahnya, bukan?!"

Aku tidak suka ini.

Kubalikkan tubuhnya, dan mengangkatnya sehingga dia terduduk di atas pangkuanku. Wajah terkejutnya nampak jelas di mataku saat ini.

"Esok hari, akan kuajak Kau pergi ke perpustakaan kerajaan. Akan kuperlihatkan alasanku mengapa aku tidak ingin kau menjadi Raja Shindaria. Untuk perkara panggilan Rhomegamu, tak ada sedikitpun aku bermaksud untuk menyakitimu dengan panggilan itu!" ucapku tegas.

"La-lalu apa maksudmu?" katanya tergagap.

Aku menatap tajam mata Emeraldnya. "Kau sungguh tidak tahu, betapa bahagianya aku saat aku mengetahui bahwa dirimu adalah Rhomega. Demi Dewa Mangginala, aku tak peduli jikalau kau adalah seorang Putra Mahkota ataupun hanya seorang anak dayang! Kau tahu aku seorang pria dan kaupun juga demikian. Di dunia ini, hanya Rhomegalah yang dapat menjalin hubungan antara lelaki yang diakui Dewa Mangginala! Apa kau mengerti maksudku sekarang?!"

Pipinya bersemu kemerahan setelah mendengar perkataanku, "ta-tapi mengapa kau kerap mengerjaiku? Seperti anak kecil yang suka pada temannya namun malu mengungkapkannya saja." Sesaat berikutnya, dia terkesiap menyadari perkataannya, seperti mengurai semua benang-benang kusut yang selama ini mengganggu pikirannya.

Mungkin kali ini pipiku yang bersemu merah. Untuk menutupi rasa maluku, aku mencium bibirnya. Kuhisap pelan dengan irama yang tak sebegitu cepat. Bibir manisnya pun membalas hisapan bibirku. Aku membelai rambutnya lembut, mengusap-usap pipinya selama kami bercumbu. 

Kemudian kami berhenti. Kupegang kedua belah pipinya, dahi kami pun bersentuhan. Kami hanya saling memandang mata satu sama lain dalam diam.

Dewa Mangginala, aku sungguh bersyukur padamu untuk masa-masa ini.

Dia tersenyum manis sekali, kemudian berkata, "aku menyukaimu, Yudhara. Sungguh. Bahkan sudah sejak dahulu, saat kita masih sering bermain bersama. Tetapi tolong maafkan aku, aku tidak bisa mencintai dirimu karena aku sangat mencintai diriku saat ini."

Seperti dijatuhkan dari ketinggian yang teramat sangat, aku kembali teringat akan cermin sialan itu. Aku benar-benar harus menghancurkannya setelah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top