Aksara 5

Saat aku membuka mata, entah mengapa tubuhku terasa lemas. Kepalaku sakit dan tenggorokanku serasa terbakar. Seketika itu, urutan peristiwa di ruang mandi berputar di kepalaku. Aku terkejut dan sontak duduk, yang berakibat kepalaku kian terasa nyeri. Dengan waspada kulihat ke seluruh ruangan. Aku tak melihat manusia menyebalkan itu. Puja Dewa-Dewita Mangginala!

Tubuh indahku inipun sudah berpakaian lengkap. Mungkin para dayang yang membantuku. Aku juga menduga Yudhara yang membawaku kembali ke tempat tidur.

Menjijikan!

Dia pasti memandang tubuh Medhana yang tak memakai sehelai benangpun sesuka hatinya sebelum memanggil para dayang! Bagaimana jika dia tidak hanya memandang, melainkan juga menyentuhku selama aku tak sadarkan diri?!

"Senyojira!" panggilku. Suaraku terdengar lemah sekali.

Apa yang telah terjadi sehingga tubuhku selemas ini? Tidak mungkin ini disebabkan karena aku tenggelam yang hanya barang sesaat.

Kutunggu sebentar dengan membaringkan kembali tubuhku, namun tak ada yang kunjung menjawab.

"Senyojira!" Kuulang sekali lagi dengan suara kuusahakan lebih keras.

Kali ini pintu terbuka dan Senyojira masuk. Dia menutup pintunya kembali serta menghampiriku lalu membungkuk.

"Hamba menghadap Yang Mulia Putra Mahkota. Bagaimanakah keadaan Yang Mulia? Apa yang dirasakan saat ini?"

"Entah mengapa tubuhku lemas sekali. Apakah jika orang lain menyentuhmu, tubuhmu akan lemas seperti ini?" Tanyaku malu-malu.

Senyojira tampak sangat terkejut, "Apa Syata Mulia sudah berhasil melakukannya?"

"Te-tentu saja belum! Aku juga tidak mau dia melakukannya semudah itu!" elakku cepat.

Teror di mukanya memudar. "Benar Yang Mulia! Walaupun Pangeran Yudhara telah bergelar Syata Mulia dan menikah dengan Yang Mulia, Yang Mulia tidak boleh semudah itu untuk menyerahkan diri Yang Mulia!"

"Benarkah kau berpikir seperti itu juga, Senyojira? Aku memang harus memiliki keturunan secepatnya, namun aku masih belum bisa memberikan tubuhku sepenuhnya. Tidak untuk kurun waktu dekat ini, mungkin purnama berikutnya?" kataku seraya menimbang, kapan sebaiknya aku rela melakukan hal itu bersama Yudhara.

Tahu-tahu adegan Yudhara bersama diriku di atas ranjang ini melintas di pikiran. Wajahku seketika memanas. Tidak! Buang ingatan itu jauh-jauh Medhana!

"Tentu saja! Hamba sangat mengerti Yang Mulia membenci Syata Mulia. Hamba akan memihak Yang Mulia bagaimanapun keadaannya! Asal jangan adukan Hamba, atau tidak Hamba bisa dipenggal." katanya sambil tertawa.

"Kau memang abdiku yang paling setia, Senyojira! Ah tidak, Delira! Di saat seperti ini, aku ingin sekali memanggil namamu!" seruku senang.

Senyojira yang bernama Delira, mulai diangkat menjadi Senyojira, sebutan untuk kepala dayang untuk Putra Mahkota, saat aku berusia 10 tahun. Kala itu tepat setelah aku berhasil ditemukan ketika aku tertangkap oleh Kerajaan Musuh.

Selain menjadi Kepala Dayang dan pengasuh utamaku, dia juga terasa seperti sahabat untukku, walau usia kami terpaut jauh. Meski begitu, kudengar masih banyak yang tak percaya jika dia sudah menikah bahkan memiliki anak.

"Hamba sangat tersanjung, Yang Mulia." Senyojira tersenyum, namun senyumnya kini digantikan dengan dahi yang berkerut, seperti sedang berpikir. "Yang Mulia, jika Hamba tidak salah menghitung, purnama berikutnya muncul sekitar 10 malam lagi, Yang Mulia. Sebelum itu, Yang Mulia harus menjaga agar Yang Mulia tidak diserang Syata Mulia! Hamba ada usul supaya Syata Mulia tidak menyentuh Yang Mulia malam ini!" ujarnya bersemangat.

"Apa itu? Cepat katakan padaku!" seruku ikut bersemangat, yang membuat aku terduduk, tak sabar mendengar, meski tenagaku belum terasa pulih.

"Tapi usul Hamba ini cukup bodoh, Yang Mulia. Apa Yang Mulia yakin masih mau melakukannya?" tanyanya, namun terdengar seperti dia yang bertanya pada dirinya sendiri.

"Ya apakah itu? Beritahu aku dulu, baru aku dapat memutuskan bahwa itu bodoh atau bukan!" ucapku gemas.

"Bagaimana kalau Yang Mulia membuat diri Yang Mulia berbau busuk? Namun baunya harus tidak mudah hilang dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Hamba pernah mendengar ada tumbuhan yang air rebusan daunnya bisa membuat tubuh menjadi berbau selama kurang lebih 7 hari."

Aku memutar otak dengan keras. Medhana tercinta berbau busuk? Aku jelas tidak mau! Tapi aku lebih tidak ingin disetubuhi Makhluk menjijikan itu, setidaknya untuk sementara waktu.

"Apakah air rebusan daun itu aman diminum? Tidak beracun?"

"Tentu saja tidak. Teman Hamba yang memberi tahu Hamba dan dia yang mencobanya sendiri. Saat itu dia sedang bertengkar dengan suaminya dan mogok untuk memberikan jatah malam. Dia berkata cara itu ampuh jika ingin dijauhi oleh pasangan!" jelasnya.

Haruskah aku melakukannya? Aaah aku tidak ingin tubuhku berbau! Aku juga tidak ingin bersama Yudhara! Dewita Mangginala apa yang harus aku lakukan??

"Bagaimana Yang Mulia?"

"Apa tidak ada cara lain, Senyojira?" kataku enggan.

"Usul itu adalah satu-satunya Yang Mulia. Bagaimana jika dicoba dahulu? Hamba tahu tempat daun itu tumbuh di dalam istana ini. Namun daun itu cukup sulit diraih. Hamba tidak percaya diri untuk dapat mengambilnya sendiri."

Bibirku mengkerut. "Tidak perlu kalau begitu adanya! Merepotkan sekali hanya untuk membuat tubuh indahku ini berbau!"

"Tetapi Yang Mulia, apa Yang Mulia telah merasa yakin, sudah siap diterkam Syata malam ini? Pasti tidak, bukan?" Senyojira berusaha membujukku.

Memang demikian!

"Aaargh! Baiklah! Baiklah! Akan aku lakukan! Yudhara sialan! Hanya karenamu hidupku penuh kesulitan!" kataku menyerah seraya meremas-remas selimut.

Senyojira terlihat bahagia karena aku akhirnya menerima usul miliknya. "Mari kita ke sana Yang Mulia sebelum matahari terbenam!"

"Ya ya." Aku beranjak dari tempat tidur dengan tak bersemangat. Bagaimana aku bisa bersemangat untuk pergi demi membuat tubuhku berbau? Ditambah tubuhku tak bertenaga saat ini.

Senyojira memberiku jubah berpergian. Kupakai jubah itu sambil berjalan ke arah pintu, tetapi Senyojira menghadangku. "Tunggu Yang Mulia! Yang Mulia tidak bisa pergi melalui pintu kamar Yang Mulia!"

"Apa? Mengapa?" tanyaku heran.

"Syata Mulia melarang Yang Mulia keluar dari kamar ini sebelum Beliau kembali."

"Yudhara bajingan! Sangat keterlaluan! Bagaimana bisa dia memberi perintah begitu?! Aku bukan tawanannya! Ini kamarku! Istanaku! Aku bisa berbuat sesukaku, selama aku tidak keluar Istana dan selalu di dampingi, kan?! Ayahanda dan Ibunda saja tidak pernah sampai seperti itu padaku!" Aku sungguh naik pitam saat ini. Yudharaaa! Awas kau!! Akan kubalas dengan bau badanku!!

"Ayo Senyojira kita pergi sekarang! Lewat lorong rahasia saja! Cepat buka sebelum Makhluk gila itu kembali!" Beruntung aku memiliki lorong rahasia yang dibuatkan Ayahanda untuk melarikan diri jika istana kami diserang.

Selama Senyojira membuka pintu lorong rahasia, yang hanya diketahui Ayahanda, Ibunda, aku dan Senyojira saja, aku menulis catatan kecil untuk Yudhara. Aku sangat mengenal betul tabiatnya. Jika aku tidak menulis ini, dia akan membantai seluruh abdi-abdiku dengan alasan lalai.

Aku pergi sebentar dengan Senyojira.
Jangan bunuh dayang dan pengawalku, mereka tidak bersalah.

Nah. Selesai.

"Sudah siap Yang Mulia? Mari!" ajak Senyojira.

Kami pun pergi ke tempat yang dituju. Setelah sampai, Aku mengerti kenapa Senyojira bilang tidak dapat diambilnya sendiri. Kami berada di halaman Kediaman selir Raja, yang saat ini tak berpenghuni bahkan tak dijaga. Sebab, Ayahanda terlalu mencintai Ibunda sehingga tak ingin memiliki seorangpun selir. Dan tumbuhan yang dimaksud Senyojira, menjalar di dinding bagian atas bangunan kediaman itu.

Aku menatap Senyojira tak percaya. "Apa kau yakin daunnya yang disana itu? Kau tak bercanda? Biar kita berduapun, bagaimana bisa kita mengambil daun-daun itu? Ditambah tubuhku sangat lemas saat ini. Aku mana kuat menggendongmu, Senyojira!" Ku taruh tanganku di atas kening agar cahaya matahari tak masuk langsung ke mataku, saat melihat daun yang merambat tinggi sekali di atas sana.

"Yang Mulia, Hamba mohon ampuni diri Hamba."

Aku bingung sekali dengan maksud ucapannya, segera aku menoleh ke arahnya dan terkesiap melihat Senyojira sudah berlinang air mata. Dia mengeluarkan belati dari balik pakaiannya.

"Delira! Teganya kamu berbuat begini padaku!" Aku melangkah mundur. Tubuhku yang memang sudah lemas makin terasa lemas saja. "Aku akan mengampunimu dan menganggap ini tidak pernah terjadi jika kamu membuang belati itu sekarang!"

Delira semakin melangkahkan kakinya ke depan. "Mereka mengancam akan membunuh anak-anak Hamba Yang Mulia! Hamba tak punya pilihan lain selain melakukan ini. Daripada anak-anak Hamba, lebih baik Hamba yang kehilangan nyawa!"

Tubuhku sudah mendingin sepenuhnya saat ini. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Takut, kecewa, bingung, marah, dan lainnya, semuanya beraduk jadi satu. Aku sangat tak menyangka, Delira, orang yang paling dekat denganku di Istana ini, berkhianat padaku.

Aku tetap melangkah mundur meskipun kakiku bergetar hebat. Kucoba untuk terus membujuknya agar dia mengurungkan niatnya, dan juga berusaha mengulur waktu. Namun walau aku mengulur waktu sekalipun, kurasa tidak akan ada yang tahu keberadaan kami dan datang menolongku. Berteriakpun tak akan ada yang mendengar. Tempat ini cukup terasing dan jauh dari bangunan Istana yang lain.

Akankah hidupku berakhir di sini?

Medhana, bagaimana ini? Aku bahkan belum melihatmu sejak aku bangun tadi!

Tubuhku sekarang sudah bertabrakan dengan dinding bangunan kediaman selir. Aku dan Delira hanya terpisah beberapa langkah. Dia juga bergetar luar biasa. Masih memohon ampun dan terisak hebat, tetapi langkah yang diambilnya tak berhenti meskipun dia berjalan dengan cukup pelan.

Aku tahu dia juga tidak ingin melakukan ini.

Tapi aku juga tidak ingin mati.

Apakah ini sebuah teguran karena aku egois dan mementingkan diriku sendiri daripada rakyat Shindaria?

Aku memejamkan mata kemudian menyatukan kedua telapak tangan.

Dewa-Dewita Mangginala, Hamba mohon, Hamba belum siap untuk pergi ke sisi-Mu. Hamba mohon tolonglah Hamba. Hamba mohon pada-Mu. Hamba berjanji jadi anak yang baik, tidak membantah Ayahanda dan Ibunda. Hamba juga berjanji tidak egois dan main-main lagi. Hamba akan berusaha dengan sungguh-sungguh agar cepat dapat keturunan sehingga Shindaria bisa sejahtera dengan segera.

Tubuhku melonjak, terkesiap saat mendengar suara teriakan Delira. Namun aku semakin memejamkan mataku erat. Sepertinya dia sudah yakin untuk menghilangkan nyawaku.

Aku pasrah.

Setidaknya jangan beri diriku rasa sakit ya, Dewa-Dewita Mangginala.

Lalu aku bingung. Sepertinya sudah beberapa saat berlalu tapi tak terasa apa-apa? Apa aku sudah berada di sisi-Mu Mangginala? Apa benar dirimu tidak memberiku rasa sakit sedikitpun saat membawa nyawaku?

Aku ingin sekali membuka mata dan melihat apa yang terjadi. Namun mataku sekarang terasa perih, karena keringatku bercucuran deras dan sepertinya masuk ke dalam kelopak mata. Aku ingin sekali mengusapnya tetapi aku tak berani melepas posisi berdoa.

Apa? Perih? Aku merasa perih?

Berarti aku belum-

"Mau sampai kapan kau berlagak seperti patung pendeta Rolia, Rhomega?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top