9 | BREAKFAST

Galang kesulitan mengambil nugget dari dalam paper bag karena satu tangannya sibuk mengendalikan kemudi.

"Gie."

Cewek di sebelah yang sedang asik makan sambil menyuapi Dollar langsung menoleh.

"Tolong bukain paper bag. Laper gue." Lanjut Galang.

Daripada membukakan paper bag, Gie lebih memilih untuk menyuapinya.

"Buka mulut."

"Bisa sendiri gue. Taruh aja di situ!"

Gie menggeleng. "Nanti kecelakaan. Buka mulut!"

"Nggak jadi makan, deh!" Galang yang hatinya sudah gondok parah akibat melihat pacarnya selingkuh di depan mata jadi makin sebal. Kalau bisa, mobil ini mau dia balik sekalian. Waktu ingat kalau harganya milyaran, Galang berubah pikiran.

"Gengsi lebih tinggi dari laper, ya?" Gie menyuapkan nugget tadi ke mulutnya sendiri. "Enak. Gurih. Juicy. Hmm." Gie terus mengunyah dengan nikmat, membuat Galang menelan ludah. Perutnya keroncongan.

"Sialan emang!" Gerutunya. "Yaudah, buruan!" Ia membuka mulut lebar-lebar agar Gie bisa menyuapinya nugget.

Cewek itu tertawa senang. Ia memasukkan dua potong nugget sekaligus ke mulut Galang. Cowok itu mengunyah pelan karena mulutnya penuh. Ia melirik sebal ke arah Gie yang masih tertawa.

"Mau kentang?" Tawar Gie begitu Galang selesai menelan. Cowok itu membuka mulut lagi. Gie memasukkan lima potong kentang sekaligus.

Sampai di hotel, isi paper bag mereka yang tersisa tinggal sedikit.

"Pulang naik apa?" Tanya Gie saat mereka melepas seatbelt secara bersamaan.

"Ojek. Gampang sih gue."

Saat hendak turun dari mobil, lengan Galang dicekal oleh Gie. "Kalau nanti malem Gie boboknya jalan lagi gimana?" Tanya cewek itu dengan wajah cemas.

Galang batal turun, ia menutup pintu mobil. "Lo iket badan lo di tempat tidur."

"Nanti kalo Gie jatuh terus gegar otak gimana?"

"Lo kan kepala batu, nggak mungkin semudah itu lo gegar otak."

Gie langsung cemberut, "Tega banget." Gerutunya.

Galang turun lebih dulu, Gie dan Dollar menyusul kemudian. Wajahnya sedih.

"Gue nggak mau nginep!" Ujar Galang seakan bisa membaca pikiran Gie. Cewek itu makin cemberut. "Lo bilang tidur berjalan lo ketrigger sama stress. Lo stress kenapa?" Lanjut Galang.

"Emang mau dengerin cerita Gie?"

Galang menggeleng, "Curhat sama psikiater sono! Ntar pasti dikasih obat. Obat tidur, kek. Anti depresi, kek!"

Kalau lagi patah hati, mulut Galang nyelekit. Gie sampai ciut dibuatnya.

"Dokter bilang nggak ada obatnya. Gie nggak mau minum obat. Nanti malah insomnia."

"Yaudah kalo nggak mau minum obat, nginep di Rumah Sakit Jiwa aja. Kan banyak perawat yang bisa jagain lo!"

"Tapi Gie nggak gila!"

"Mana ada orang gila yang nyadar dirinya gila?"

"Kok kamu ngomong gitu?"

"Kenyataan!" Bentak Galang.

"Yaudah sih, nggak usah marah sama Gie juga. Yang selingkuh pacarnya, yang jadi samsak malah Gie. Huh!" Gie mengusap sebulir air mata di ujung matanya. Ia berbalik menuju hotel sambil menghentakkan kaki di tanah. Dollar menyalak pada Galang.

"Sana!" Galang menyuruh Dollar mengikuti tuannya. Bukannya pergi, Dollar malah menggigit sepatu Galang. "Gie!!" Panggil Galang. "Anjing lo resek, nih!!"

Gie sudah menghilang ke dalam hotel. Ia meninggalkan Dollar yang masih menancapkan taring-taringnya di sepatu Galang. Cowok itu tak sampai hati untuk menendang makhluk kecil yang sudah dianggap anak oleh Gie. Ia menghela napas berat. Dilepasnya sepatu adidas yang sedang Dollar gigit. Anjing itu berusaha mengoyak-ngoyak sepatu tak bersalah milik Galang.

"Gue keterlaluan kali, ya?" Galang menyesali mulut lancangnya yang menganggap remeh kondisi mental seseorang. Wajar jika Gie tersinggung akibat ucapannya barusan. Galang hanya merasa amat marah. Entah bagaimana ia malah melampiaskannya pada Gie.

Akhirnya Galang memungut gumpalan bulu yang sedang menerkam sepatunya itu. Dollar masih menggeram marah sambil memamerkan gigi taringnya yang mungil. Bukannya takut, yang ada justru Galang tertawa. Wajah Dollar yang sedang marah selucu ibunya.

"Gigit aja, nggak papa. Puas-puasin, deh! Gue masih ada kaos kaki." Dengan tertatih Galang melangkah menuju bagian belakang hotel, berniat mengantarkan Dollar kembali pada ibunya sekaligus minta maaf.

***

"Pak Galang?" Galang berhenti saat seorang staff hotel mengenalinya.

"Ya?"

"Mari saya antar." Staff itu sudah diberi pesan oleh Gie agar mengantar cowok bernama Galang yang kemungkinan besar sedang membawa anjing pomeranian langsung ke kamarnya.

Galang mengusap-usap bagian belakang leher, merasa tidak nyaman dengan perlakuan istimewa ini. Dollar belum ingin melepaskan sepatu, jadi kini Galang separuh bertelanjang kaki mengikuti staff hotel yang mengantarnya sampai ke kamar Gie.

Ia sering lewat hotel ini, tapi tidak pernah sekalipun berpikir untuk menginap. Makan siang atau malam sesekali dengan klien memang pernah, namun Galang tidak benar-benar penasaran dengan hotel ini secara keseluruhan apalagi sampai menjadikannya tempat beristirahat.

Kalau dari luar hotel Majapahit nampak kecil. Apalagi lokasinya di pinggir jalan. Tapi di dalamnya sangat luas dan besar. Namanya juga hotel bintang lima, pasti semua sudut kelihatan mewah dan elegan. Yang membedakan adalah hotel ini sudah berdiri selama seratus tahun di lokasi yang sama. Tidak ada pemugaran yang sampai merubah arsitektur bangunan. Jadi kesan kunonya amat terasa.

Dari lobi menuju kamar Gie, perjalananannya cukup jauh. Mereka harus melewati lorong dan koridor panjang. Untungnya perjalanan jauh itu dibayar oleh keindahan taman dan arsitektur peninggalan kolonial Belanda yang masih terpelihara hingga kini.

Galang diantar menuju sebuah pintu berukir di pinggir taman. Staff itu menekan bel pintu. Tak berapa lama, pintu dibuka oleh staff hotel lain yang habis mengantar makanan ke dalam ruangan.

Ruangan?

Ini bukan ruangan. Gie memesan sebuah presidential suite untuk dirinya sendiri. Kamar Gie seukuran rumah dua lantai. Lengkap dengan ruang tamu besar, meeting room, tangga kayu, karpet, dan beberapa kamar. Galang benar-benar takjub.

"Mbak Regina ada di atas. Di master bedroom. Apa ada yang bisa dibantu lagi?" Staff yang masih menunggu di pintu bertanya dengan sopan.

"Nggak ada. Makasih, ya?"

Kedua staff hotel mengangguk sebelum mereka menutup pintu berdaun ganda.

Galang menghela napas. Ia menurunkan Dollar yang langsung berlarian ke lantai dua, mencari-cari tuannya. Sepatu penuh liur masih ada di mulut anjing itu. Galang tidak ada pilihan lain selain menyusul Gie ke atas.

"Gie?" Panggilnya.

Dollar menggonggong, seakan memberi sinyal pada Galang dimana mereka berada. Ia sempat mengambil sandal hotel yang tersedia, lalu mengganti alas kakinya agar bisa berjalan dengan lebih nyaman.

Saat ia tiba di master bedroom yang terbuka lebar, dilihatnya Gie sedang duduk di lantai. Rok tulle-nya mengembang di sekeliling tubuhnya. Jaket kulit yang tadi dikenakan cewek itu tergeletak di lantai, tak jauh dari tempatnya duduk. Ia sedang bermain lempar tangkap dengan Dollar menggunakan sepatu adidas Galang.

Galang duduk di lengan sofa.

"Gie." Panggilannya diabaikan oleh Gie. Cewek itu sedang duduk memunggunginya. "Gie, maafin gue. Nggak seharusnya tadi gue ngebentak lo."

Sepatunya dilempar ke seberang ruangan, Dollar bergerak lincah untuk menangkapnya.

Gie membalikkan badan agar bisa berhadapan dengan Galang.

"Gie nggak salah apa-apa. Kenapa kamu malah marah ke Gie?" Suara Gie bergetar saat mengatakannya, membuat Galang makin merasa bersalah. Ia menghampiri Gie, ikut-ikutan duduk di lantai.

"Gue kebawa emosi. Jadi malah lo yang jadi pelampiasan. Gue butuh nyalurin rasa marah gue. Kebetulan aja gue lagi sama lo, jadi lo yang apes." Galang meringis penuh penyesalan.

Gie mendengus dan membuang muka. Kedua pipinya merah karena menahan perasaan emosional.

"Yaelah, Gie. Udahan dong ngambeknya! Harusnya lo kesian sama gue, diselingkuhin sama cewek yang udah dipacarin 5 tahun. Tengsin banget nih gue ke elo. Kemarin-kemarin udah sombong aja mau ngelamar dia. Nah, jadi curhat kan gue!" Galang menyentuh lengan Gie dengan ujung telunjuk, berharap dimaafkan. Tapi Gie tidak juga memandangnya.

"Gie?"

"Kamu diem dulu! Gie mau ngontrol diri biar nggak nangis depan kamu."

Galang semakin merasa bersalah. Gie ini tidak seperti cewek manapun yang pernah ditemuinya. Manja adalah sifat yang mengakar kuat dalam diri Gie. Mungkin seumur hidupnya baru kali ini ada yang bicara pakai nada tinggi padanya. Pantas saja kalau dia langsung terpukul.

"Biar lo maafin gue, lo boleh peluk gue, deh!" Galang terdengar tidak yakin saat mengatakannya. Tapi jika obsesi Gie padanya bisa dijadikan senjata ampuh agar dimaafkan, kenapa tidak?

Gie meliriknya enggan. "Boleh emang?"

Galang menggaruk pelipis, tidak percaya kalau harus melalui ini. "Boleh. Sekali aja, ya?"

Gie langsung beringsut maju untuk melingkarkan kedua tangan di pinggangnya. Ia menempelkan pipinya di dada Galang. Cewek itu tanpa sungkan memeluknya begitu dapat izin. Erat sekali.

Dollar yang baru saja kembali dari pencarian sepatu langsung ikut nimbrung minta dipeluk juga. Ia menyelinap masuk di antara mereka berdua.

"Gantian Gie dulu!" Usir Gie. Dollar tetap menyelinap di antara tubuh mereka. "Dollar. Duduk!" Ujar Gie dengan nada tegas yang ditakuti oleh Dollar.

Anjing itu langsung duduk dengan patuh. Wajahnya memelas.

Galang tertawa melihat tingkah mereka. Kedua tangannya terangkat untuk balik memeluk Gie. Ia merasa lebih baik daripada tadi. Kalau saja tidak ada Gie, mungkin Galang sudah menghajar selingkuhan Lea sejak pertama kali melihat mereka ciuman di restoran. Kini perasaannya campur aduk. Kecewa sudah pasti, namun rasa sedih atau mengasihani diri sendiri yang sejak tadi ia antisipasi kedatangannya malah tidak terasa sama sekali.

***

Galang masih berada di suite Gie. Ia memutuskan menemani cewek itu sampai tertidur sekaligus mengawasinya. Jadi sekarang mereka sama-sama berada di master bedroom Gie. Di atas tempat tidur berukuran queen size.

Gie tidur di sisi kiri. Ia meringkuk sambil menggenggam jari telunjuk Galang. Tadinya dia ingin mendekat, siapa tahu diperbolehkan untuk memeluk lagi. Tapi ia mengurungkan niat karena lebih takut disemprot oleh cowok itu. Galang sendiri sedang duduk termenung di sisi kanan tempat tidur, membiarkan tangannya jadi jimat tidur Gie. Dollar tidur di tengah-tengah mereka.

Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Dia mendadak jadi malas untuk pulang ke rumah. Tanggung. Beberapa jam lagi matahari terbit. Lagipula ia belum terlalu siap untuk kembali ke rumah dimana banyak kenangan bersama Lea. Baru kemarin lusa mereka berciuman di ruang tengah. Galang mendadak kesal saat membayangkannya lagi. Ia merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Merasa tidak nyaman, ia bangun lagi. Dengan hati-hati ia melepaskan tangan Gie agar bisa mencopot kaosnya karena merasa kepanasan. Selesai mencopot kaos, ia buru-buru mengembalikan telunjuk kirinya ke dalam genggaman Gie saat melihat wajah cewek itu nampak mulai gelisah.

Sudah beberapa jam sejak Gie tertidur. Belum ada tanda-tanda dia akan tidur berjalan lagi. Galang menghela napas lelah.

***

Gie bangun dengan perasaan senang. Apalagi saat mendapati Galang berbaring di sebelahnya telanjang dada. Dia makin kesenengan. Ia bergerak perlahan dan amat hati-hati agar bisa mendekati Galang. Gie memperhatikan wajah Galang yang nampak lebih muda beberapa tahun dari biasanya. Wajah tenang dan damai Galang saat tidur membuat Gie betah menonton diam-diam.

Cowok yang sedang disukai oleh Gie ini punya wajah tampan yang tidak membosankan jika dipandang lama-lama. Mungkin karena Galang sering tersenyum, jadi dia kelihatan ramah dan mudah didekati. Jemari Gie yang lentik menyentuh permukaan alis Galang yang terpotong. Ada garis seperti bekas jahitan di kulit pelipisnya. Kelihatan samar. Ia penasaran disebabkan oleh apa luka itu. Kalau sudah tahu, ia ingin berterima kasih karena telah membuat wajah Galang makin menarik.

Suara getar hp di atas nakas membuat Gie mendengus. Waktu berharganya telah diganggu. Awalnya ia ingin mengabaikan panggilan itu, namun ketika ia melihat nama 'Janesa' di layar, ia buru-buru turun dari tempat tidur untuk mengangkat panggilan telepon.

"Gie? Aku di lobi."

"Tunggu bentar." Jawab Gie dengan suara rendah. Ia menyambar robe berbahan satin untuk menutupi tubuhnya yang hanya berbalut kamisol. Tanpa mencuci wajah, Gie setengah berlari untuk keluar kamar.

***

Gie menghampiri cowok berusia dua puluh tahunan yang mengenakan pakaian serba hitam dan sepasang combat style boots sebagai alas kakinya. Kepalanya dilindungi sebuah topi hitam juga. Begitu melihat Gie, ia langsung bangkit dari sofa.

"Mau sarapan dulu?"

Janesa menggeleng. "Aku buru-buru." Ia mengeluarkan sebuah map dari dalam tas. "Ini laporan yang kamu minta." Lanjutnya seraya menyerahkan map itu pada Gie.

Gie memeriksa isi map. Dilihatnya foto-foto Lea dan selingkuhannya dari berbagai sudut dan lokasi berbeda.

"Di dalem juga ada latar belakang mereka. Informasi pribadi, keluarga, obrolan di media sosial, semua ada. Satu lagi yang harus kamu tahu. Lea ini lagi hamil dua bulan."

Kata-kata Janesa barusan sontak membuat Gie mengangkat kepala. "Anak siapa?"

Janesa mengeluarkan sebuah ipod dan menyerahkan sepasang earset pada Gie. Cewek itu langsung memasang earset ke satu telinga.

"... ceroboh. Ini anak kamu, mas!"

"Memangnya kamu nggak pernah tidur sama pacarmu?!" Gie menduga kalau yang sedang menghardik ini adalah selingkuhan Lea. Kedengarannya mereka sedang berada di dalam sebuah ruangan tertutup. Suara mereka terdengar amat jelas dan jernih.

"Cuma sekali. Itupun udah lama banget! Selama ini aku cuma tidur sama kamu, mas! Jangan sekali-kali bilang kalo ini bukan anakmu!"

Terdengar suara berdecit seperti sebuah kursi yang didorong.

"Gugurin!"

"Kamu gila? Nggak mau!"

"Terus gimana? Aku nggak bisa nikahin kamu! Bagaimana dengan istri dan anakku?"

"Kita berani berbuat untuk mulai ini semua, kita berdua juga yang harus tanggung jawab atas anak ini!"

"Tanggung jawab apa yang kamu maksud? Istriku nggak akan kasih ijin untuk poligami."

"Pokoknya aku nggak mau gugurin anak ini!"

"Pilih anak itu atau aku?"

"Aku nggak bisa milih, mas!"

"Pilih anak itu, maka kita selesai. Kamu pilih aku, gugurin anak itu."

Lea histeris. Kini ia terdengar sedang menangis. "Aku nggak bisa milih!"

Rekaman itu berakhir bersamaan dengan Janesa yang memberikan map lain berisi data-data tentang kehamilan Lea yang baru seumur jagung.

"Kapan ini direkam?" Tanya Gie.

"Tadi malem. Mereka di hotel Shangri-La. Baru tadi pagi check out. Kalau kuamati, cewek itu masih dilema."

Gie coba mengingat-ingat. Mungkin Lea baru mengabari selingkuhannya sesaat setelah mereka kembali dari McDonald's.

"Tolong simpan dulu rekaman dan data-data tentang kehamilannya. Hari ini Gie cuma butuh bukti kalau mereka selingkuh."

Janesa memiringkan kepalanya sambil menyeringai. "Kamu punya rencana lain?"

Gie tidak tersenyum. Wajahnya datar. "Kalau firasat Gie benar, Lea akan datang lagi dan memohon buat balikan sama Galang."

"Cowokmu itu terlalu baik. Pasti dia nanti menawarkan diri buat bertanggung jawab kalau tau Lea hamil."

Gie menggigit bibir. "Itu yang Gie takutkan."

***

Gie sedang sarapan pagi di balkon saat Galang baru selesai mandi. Ia mengenakan baju yang sama dengan yang dikenakannya semalam. Ia betul-betul bangun kesiangan karena tidur jam tiga pagi.

"Lo nggak kepanasan?" Galang mengernyit ketika melihat Gie duduk di bawah matahari sambil mengoles selai jeruk di atas croissantnya. Cewek itu kelihatan segar mengenakan gaun musim panas tanpa lengan berwarna putih dengan corak bunga dari Cecilie Bahnsen. Sebuah topi fedora Gucci dengan warna senada melindungi kepalanya dari terik matahari.

"Pagi juga." Gie mengangkat cangkir tehnya dengan gestur bersulang. Ia menyesap teh hijau itu tanpa ada keinginan untuk merespon pertanyaan Galang barusan. "Merasa baikan?"

Galang mengangguk. Ia duduk di kursi kosong sebelah Gie sambil menikmati pemandangan. "Lo kenapa sih buang-buang duit nyewa kamar segede ini? Lo kan sendirian. Nyewa yang biasa-biasa juga bisa kali." Ia menggigit apel hijau yang ada di meja.

"Karena kamar suite ini lagi kosong. So, why not?"

Galang geleng-geleng kepala. "Pemborosan."

"Definisi pemborosan kita beda." Gie menyandarkan tubuhnya di kursi. Kulitnya jadi kelihatan berkilau di bawah sinar matahari. Satu kakinya diletakkan di atas kaki lain sambil melipat kedua tangan di atas perut. Galang memalingkan wajah agar tak tertangkap basah sedang mengamatinya tanpa berkedip.

"Sampe kapan lo nginep di sini?"

"Sampe kamu berubah pikiran dan nawarin Gie nginep di rumahmu lagi."

Galang tersedak apel yang belum tuntas dikunyahnya. "Lo kayak gini ke gue aja, kan?"

Gie cemberut. "Iyalah! Hati Gie cuma satu. Nggak bisa dibagi-bagi. Kenapa? Udah mulai jatuh cinta sama Gie, ya?"

Galang melempar buah ceri ke arah Gie. "Untung gue baik. Kalo lo kayak begini ke cowok lain, bisa-bisa lo diculik. Dikawinin paksa."

Gie meletakkan kedua sikunya di atas meja. "Kok kamu baik? Nyulik sama nikahin Gie juga nggak masalah, kok. Nggak pake dipaksa, Gie mau. Seneng malahan." Wajahnya jadi secerah matahari.

Galang menghela napas berat, tidak mengerti kenapa Tuhan menciptakan manusia sejenis Gie. Perhatiannya tiba-tiba tertuju pada sebuah amplop di sebelah teko teh. Pandangan Gie juga mengarah ke sana. Ia melirik Galang untuk melihat ekspresinya.

Tanpa banyak bicara Galang meraih amplop itu untuk mengecek apa isinya. Entah kenapa dia punya firasat buruk mengenai ini.

Benar saja. Amplop itu berisi bukti-bukti Lea berselingkuh dengan atasannya sendiri. Beberapa foto diambil dari kamera beresolusi tinggi. Sedangkan foto sisanya diambil dari kamera CCTV hotel dan restoran. Tiket perjalanan keluar kota atas nama mereka berdua sudah dicetak. Bahkan screenshot pesan teks mesra dari media sosial maupun What'sApp juga ada. Semua kata-kata Gie tadi malam dapat dipertanggungjawabkan karena berdasarkan bukti yang jelas dan nyata.

Galang meletakkan semua dokumen di atas meja. Dilihatnya Gie sedang menunduk sambil menyesap tehnya dengan tenang.

"Kalo lo kepo ternyata serem juga." Ujar Galang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Should I feel bad? Because I feel otherwise now. (Haruskah Gie merasa bersalah? Soalnya sekarang Gie merasakan hal sebaliknya)."

Galang menghela napas. "Nggak perlu. Gue yang harusnya berterima kasih sama lo. Jadi gue nggak tersiksa lebih lama. Semuanya clear."

Gie menuangkan segelas kopi dan mendorong cangkirnya ke arah Galang. "Minum dulu."

"Gue menyedihkan, ya?" Galang memandangnya.

Gie menggeleng. "Mereka yang menyedihkan. Kamu luar biasa karena nggak meledak-ledak. Kalo Gie yang jadi kamu, mungkin hari ini mereka udah dinyatakan hilang sama kepolisian. Tewas." Cewek itu menyesap tehnya lagi.

Galang tertawa kecil. "Semoga lo dapet cowok yang setia."

"Ngapain pake semoga? Abis ini juga dapet." Sahut Gie optimis.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top