8 | BERUBAH PIKIRAN
Klub mobil yang sedang berkumpul di sebuah sirkuit dekat stadiun itu didominasi oleh mobil-mobil mewah sekelas Lamborghini, Mini Cooper, dan Ferarri. Hanya ada beberapa Porsche yang terlihat hadir di sana. Hingar bingar musik berasal dari speaker yang dipasang dari mobil-mobil sport itu. Orang-orang yang berkerumun kompak memberi jalan pada Galang. Tatapan yang mengikuti mereka rata-rata sedang menilai mobil yang sedang mereka kendarai.
"This place is dull (Tempatnya membosankan). Gie kira bakal mirip-mirip sama yang di Fast & Furious." Gerutu Gie saat memperhatikan sekeliling.
"Biasanya kami ngumpul di tol yang terbengkalai, agak jauh dari sini. Gue juga nggak tau tumben-tumbenan mereka milih ke sini. Bukan gue panitianya!" Timpal Galang.
Galang mematikan mesin lalu keluar dari mobil. Kehadirannya disambut oleh teman-teman satu klubnya. Galang memang menjadi satu-satunya orang di klub ini yang punya bengkel besar untuk mobil sport.
"Lo sekarang pacaran sama selebgram, Lang?" Tanya Sandi begitu melihat Gie turun dari mobil bersama Dollar di pelukannya.
"Bukan pacar gue." Jawab Galang cuek.
"Elo Regina Atmodjo, bukan?" Rupanya Arnold sudah lebih dulu menghampiri Gie. Ia mengulurkan tangannya. Gie memandangi tangan yang terulur itu lalu membalasnya. Cewek itu sama sekali tidak kelihatan kaget mengetahui Arnold mengenalinya.
"Iya. Panggil aja Gie."
"Gue Arnold." Mereka sama-sama melepas jabatan tangan. "Ini mobil lo?" Gie mengangguk. "Bagus. Nggak nyangka bisa secepat ini liat generasi 992 Turbo S secara langsung. Di Indonesia kayaknya baru lo yang punya."
"Carerra kamu juga bagus." Gie memandangi Porsche kuning di belakang Arnold.
"Galang bilang lo mau jual mobil ini. Kenapa?"
"Gie pengen pake Maserati GT. Tapi garasinya nggak cukup."
"Elo punya ini malah milih Maserati GT. Nggak sayang? Jalanan di Indonesia nggak semulus itu buat dipake nyetir Maserati GT."
Gie memandang tanah beraspal di bawah kakinya. Sirkuit inipun juga sudah buruk.
Galang menarik switch agar penutup engine di belakang bisa terbuka. Para anggota klub mulai ramai mengerumuni bagian belakang mobil. Cowok itu menjelaskan mesin turbo dengan luwes dan menjawab beberapa pertanyaan dari teman-temannya. Gie tersenyum karena Galang terbukti tahu banyak tentang mobil.
Tak berapa lama, Sandi mengajak Galang untuk mencoba satu putaran. Ia tertarik ingin menikmati interior mobil yang kelihatan amat mewah dalam sekali lihat.
"Gue aja yang nyetir." Galang mengambil alih kemudi karena cemas akan keselamatan mobil Gie jika Sandi yang menyetir. Temannya itu dikenal sebagai pengemudi yang grasa-grusu. Jika tahu mobil Gie enak dipakai ngebut, bisa-bisa Sandi lupa diri dan mengancam nyawa banyak orang.
"Lo di sini bentar, ya?" Gie mengangguk saat Galang berpamitan padanya. "Eh, Nold! Titip Gie." Arnold hanya mengacungkan jempol sebagai jawaban.
Hati Gie berdesir saat ia tahu Galang masih saja mengkhawatirkannya. Ia tak bisa menahan seringaian senang di wajah. Dollar menjilat dagunya seakan memberi selamat.
"Dia manis, kan?" Bisik Gie seraya menatap kepergian Galang dan Sandi dengan mobilnya.
"Kenal Galang udah lama?" Tanya Arnold yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya.
"Baru sebentar." Jawab Gie jujur.
"Rata-rata anggota klub mobil sport Indonesia pasti kenal sama Galang. Selain jago benerin mobil, dia juga jago nyetir. Dulu sering menang balapan. Drag racing. Lo tau?"
Gie menggeleng. Dia baru dengar istilah itu.
"Balapan trek lurus. Jalurnya nggak panjang tapi lurus. Dia selalu menang kalo disuruh balapan trek lurus."
Gie manggut-manggut. Dadanya membuncah karena rasa bangga. Hal itu membuat Gie makin tertarik pada Galang.
Tidak sampai lima belas menit, Galang dan Sandi sudah kembali.
Semua orang sibuk mewawancarai Sandi yang dapat kehormatan disetiri oleh mantan pembalap.
"Halah, dia nggak kenceng bawanya. Masih jagoan gue!"
"Kecepatan berapa tadi?"
"Cuma 100!" Kerumunan berseru kecewa. Galang malah tertawa. "Rekor gue aja nggak dia kalahin!" Sandi geleng-geleng kepala.
"Berapa rekormu?" Tiba-tiba Gie bertanya.
"250 di trek lurus." Jawab Sandi dengan nada pongah.
"Pake Lambo?" Gie memang sempat memperhatikan Lamborghini milik Sandi sejak tadi.
"Iya. Kenapa? Lo terkesan, ya?"
"Rekormu berapa?" Tanya Gie pada Galang. Cowok itu hanya mengedikkan bahu, enggan menjawab. Gie mendecakkan lidah saat tahu reaksi membosankan itu. "Akselerasi 1 sampe 100 km/jam butuh berapa detik pake Lambo kamu?" Kali ini Gie bertanya pada Sandi.
Sandi yang dapat pertanyaan itu dari mulut seorang cewek otomatis agak terkejut. "4 detik. Kenapa? Lo pembalap juga?"
Gie menggeleng. "Porsche ini cuma butuh kurang dari tiga detik." Tunjuk Gie pada mobilnya sendiri.
"Tau gue. Udah liat videonya di youtube."
"Tapi belum pernah liat langsung, kan?" Gie menurunkan Dollar. Ia menyerahkan tali kekang anjingnya pada Arnold. Cowok itu langsung mengerti. Gie menghampiri Galang. "Porsche ini sama lambo kamu kita adu. Satu putaran." Lanjut Gie. Semua orang berseru semangat karena ide itu.
"Gie-" Galang menyentuh lengan Gie yang dibalut jaket kulit. "Gue nggak mau balapan."
Gie meletakkan kacamatanya di atas kepala. Mata sipitnya yang indah memandang Galang. "Bukan kamu yang nyetir." Timpalnya dengan senyum tipis.
"Gue nggak balapan sama cewek." Sahut Sandi.
Gie pura-pura cemberut. Ia meletakkan dagunya di atas kap. "Kenapa? Takut kalah?" Lagi-lagi terdengar seruan dari para penonton mereka.
"Gie, jangan sembarangan! Dia mantan pembalap. Lo nggak bakal menang." Bisik Galang di telinganya. Gie tak merespon. Kedua matanya masih fokus menatap Sandi yang sedang menimbang-nimbang. Kerumunan sudah makin bersemangat untuk nonton balapan. Jika Sandi menolak, maka dia akan kehilangan muka.
"Oke. Taruhannya apa? Nggak seru dong kalo nggak pake taruhan!" Putus Sandi akhirnya. "Kalo gue menang. Lo kasih nomor lo ke gue. Kita kencan sekali."
"Kalo Gie yang menang, kamu beli mobil Gie. Gimana?"
"Oke." Sandi langsung setuju tanpa pikir panjang.
Kerumunan langsung bersorak. Mereka mulai bersiap-siap untuk memulai balapan.
Gie yang awalnya hendak membuka pintu pengemudi, ditahan oleh Galang. Rahangnya mengatup karena menahan emosi. Wajah Galang mengeras saat menatap Gie.
"Lo apa-apaan, sih?!"
"Kamu boleh ikut kalo khawatir sama Gie."
Galang tak punya waktu untuk mendebat. Pintu mobil sudah ditutup oleh Gie dengan ia di dalamnya. Cowok itu buru-buru masuk ke kursi penumpang. Tanpa banyak bicara ia memasang seatbelt.
"Jaga jarak sama mobil Sandi, dia suka main kasar. Kecepatan nggak boleh lebih dari 100 km/jam."
"Yah, kalah dong ntar!" Protes Gie.
"Lo milih kalah apa umur lo pendek?!" Hardik Galang. Cowok itu kesal karena Gie memutuskan tanpa berkonsultasi dengannya lebih dulu.
"Gie nggak mau kencan sama dia."
"Aspal sirkuit ini nggak seberapa mulus. Kurangi kecepatan di dekat tikungan. Konsen sama jalan." Galang mengabaikan kata-kata Gie barusan.
Gie menyalakan kamera yang terpasang di belakang kemudi, untuk merekam kecepatan di speedometernya. Ia menjalankan mobil menuju garis start yang disepakati. Lamborghini Sandi sudah menunggu di sana.
"Belum terlambat kalo lo mau gue yang nyetir." Ujar Galang lagi. Kali ini giliran Gie yang mengabaikannya.
"Tadi udah nyoba mode sport?" Tanya Gie.
"Belum. Masih make mode normal."
Gie tersenyum tipis. "Gie kasih tau ya mobil ini bisa sekenceng apa."
"Nggak usah dikasih tau! Gue lebih khawatir mobil lo kecelakaan gara-gara lo nggak bisa kuasain medan!"
Lagi-lagi Gie mendecakkan lidah. Ia kesal kalau disepelekan.
Seorang cewek berpakaian minim berdiri di depan kedua mobil mereka. Ia memberi isyarat pada kedua pengemudi agar bersiap-siap sebelum mulai aba-aba.
Gie yang menyetir, tapi Galang yang deg-deg an.
Begitu si cewek pemberi aba-aba menurunkan kedua tangannya, kedua mobil sama-sama melaju kencang. Saat melihat stopwatch yang ada di mobil, Galang terkejut karena hanya butuh 2.6 detik bagi Gie untuk mengakselerasi mobil sampai kecepatan 100 km/jam. Sandi tertinggal di belakang. Cewek itu tertawa kecil. Ia lihai memindah gigi dengan kondisi stabil.
Gie berpindah pada mode sport plus. Semua rear spoiler terbuka hingga meminimalisir adanya gesekan udara. Efeknya kecepatan Gie semakin bertambah, membuat tubuh Galang agak terdorong ke belakang karena hentakan yang diakibatkan oleh perubahan kecepatan.
Gie masih santai menyetir. Saat memasuki tikungan, Gie tidak mengurangi kecepatan. Ia membawa mobilnya melewati jalur menikung tajam tanpa hambatan berarti. Jantung Galang berdegup kencang karena adrenalin sekaligus rasa takjub. Speedometer sudah menunjukkan kecepatan 250 km/jam dan terus bertambah.
"Dimana temenmu?"
Galang melirik spion. "Jauh di belakang. Lo belajar nyetir dimana?"
"Sirkuit. Kamu kira kenapa Gie suka mobil sport?"
Galang kehabisan kata-kata. Ia tertawa kecil karena sama sekali tak memikirkan kemungkinan itu.
"320 km/jam. Lo harus turunin kecepatan. Kita udah dekat garis finish."
Gie menurut.
"Lo yakin mau jual mobil ini?" Entah sudah ke berapa kali Gie dapat pertanyaan yang sama.
"Berubah pikiran. Kalo kamu nggak mau Gie jual, Gie juga nggak akan jual."
"Jangan jual!"
"Komisi 10% mu gimana?"
"Nggak peduli gue. Gue suka mobil ini."
"Kalo jadi pacar Gie nanti boleh pake sepuasnya."
"Lo tau gue nggak bisa."
"Kalo cewek kamu nggak sesuai ekspektasimu, Gie punya kesempatan?"
Dahi Galang berkerut. Ia tidak tahu apa maksudnya.
Gie menghentikan mobil di garis finish. Semua orang bersorak saat mereka tiba.
"Gie kasih waktu buat mikir, deh." Gie melepas seatbelt lalu beringsut maju untuk mengecup pipi Galang. Lagi-lagi cowok itu terlalu terkejut sampai tak sempat menghindar. Saat ia sadar, Gie sudah keluar mobil dan mengangkat tubuh Dollar. Arnold nampak memeluk pundak Gie, memberinya selamat.
Beberapa detik kemudian, Sandi baru tiba.
"Bangsat! Lo kenceng banget!" Seru Sandi sambil geleng-geleng kepala. Kalau saja ia tidak melihat sendiri Gie duduk di kursi pengemudi, mungkin dia tak akan percaya kalau sosok feminim itu yang mengalahkannya sejak meninggalkan garis start.
"2.6 detik. Porsche Gie jauh lebih kenceng dari Lambo-mu!" Timpal Gie.
Sandi mengangkat kedua tangannya tanda menerima kekalahan. "Lo terbaik."
Galang menyusul keluar dari mobil tak berapa lama kemudian. Ia memandangi Gie dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Jadi lo lepas di harga berapa mobil ini?"
"Gie berubah pikiran." Gie mengulurkan satu tangannya pada Sandi. "Makasih udah mau balapan sama Gie." Lanjutnya dengan senyum lebar. Sandi membalas uluran tangan itu.
"Lo masuk klub mobil kita aja. Jarang-jarang nemu pembalap cewek kayak elo."
Gie tak perlu pikir panjang untuk menolak tawarannya. "Gie bukan pembalap. Tapi kalo ada waktu, Gie mau dateng kapan-kapan."
***
Sepanjang perjalanan pulang dari sirkuit, Galang diam saja. Padahal Gie sudah beberapa kali jatuh tertidur saking lelahnya.
"Lo udah makan belum?" Tanya Galang tanpa memandang Gie.
"Gie belum makan seharian ini."
"Kita makan dulu, abis itu gue anter lo ke hotel."
"Oke." Gie kembali memejamkan matanya.
"Jam segini cuma ada restoran fast food sama makanan pinggir jalan yang buka. Lo mau yang mana?"
"McDonald's. Gie pengen makan burger."
Galang berbelok ke arah restoran yang dimaksud oleh Gie.
Begitu Galang mematikan mesin, ia menyentuh pundak Gie untuk membangunkannya. Dollar juga ikut bangun.
"Udah nyampe. Lo mau pesan drive-thru aja buat dimakan di hotel?" Tawar Galang.
"Kamu maunya gimana?"
"Gue terserah elo. Habisnya lo keliatan capek banget."
"Yaudah drive-thru." Gie memang malas turun dari mobil.
Galang baru akan menyalakan mesin saat pandangannya tertuju pada sosok Lea yang sedang berada di dalam restoran. Ia langsung mengambil hp untuk menghubungi pacarnya untuk memberi kejutan. Panggilannya masih berdering saat tiba-tiba ia melihat sosok laki-laki yang dikenalnya sebagai atasan Lea datang menghampiri. Laki-laki itu menyentuh punggung pacarnya lalu mencium bibir Lea sebelum duduk di depannya.
"Hai, sayang. Ada apa?"
Lea sedang menempelkan hp di telinga sekaligus menyuapi laki-laki itu kentang goreng. Ekspresi Galang mengeras melihat pemandangan itu.
"Lagi dimana?" Galang berhasil mengontrol suaranya.
"Lagi beli makan di luar."
"Malem-malem gini? Di daerah mana? Aku samperin, ya?"
"Nggak usah! Abis ini langsung balik, kok. Aku laper banget soalnya."
"Belinya sama siapa?"
"Sendirian. Kamu kok belum tidur?"
Galang meremas hp di telinganya. "Nggak papa. Yaudah selamat makan. Jangan pulang malam-malam!"
"Oke, sayang."
Begitu telepon berakhir, Lea nampak sedang tersenyum mesra pada laki-laki di depannya. Galang berusaha mengontrol emosi yang memuncak.
"Ah, pasangan itu lagi!"
Galang menoleh dan mendapati Gie sedang memandang ke arah yang sama dengannya. Cewek itu tak nampak terkejut sama sekali. Setelah mendecakkan lidah, ia memejamkan matanya kembali.
"Lo tau?" Tanya Galang.
Gie membuka satu matanya sebentar. "Hmm~"
"Sejak kapan?"
Tiba-tiba Gie duduk tegak. Ia kelihatan sedang menimbang-nimbang sesuatu sebelum akhirnya mengatur duduknya agar bisa berhadapan dengan Galang.
"Kalo Gie cerita, janji kamu nggak marah sama Gie, ya?"
"Gue udah nggak tau bisa semarah apa lagi."
Gie menggigit bibir bawahnya sebelum bicara. "Pas ketemu cewek kamu di rumah waktu itu, Gie nggak yakin apa dia orang yang sama dengan yang Gie temui malam sebelumnya. Untuk memastikannya, Gie nyuruh orang buat menyelidiki latar belakang dia."
Galang masih menunggunya meneruskan. "Ternyata dia dan cowok itu adalah orang yang sama dengan pasangan mesum yang Gie lihat di hotel waktu itu. Cowok itu atasannya di kantor, kan?"
Galang mengangguk.
"Dia udah berkeluarga. Anaknya dua kecil-kecil dan istrinya lagi hamil anak ketiga sekarang. Mereka udah jalin hubungan selama dua tahun belakangan."
Gie melirik Galang takut-takut. Cowok itu kelihatan amat marah sampai-sampai buku jarinya memutih akibat terlalu kencang mencengkeram kemudi.
"Kalo kamu mau, Gie bisa minta orang suruhan Gie ke rumah kamu besok buat ngasih semua laporannya. Gie nggak mau ngomong lebih jauh. Lebih baik kamu yang nilai sendiri."
"Kenapa lo nggak kasih tau gue lebih awal?!" Bentak Galang.
"Bukan kapasitas Gie buat ikut campur."
"Tapi lo nyewa orang buat ngikutin dia! Lo bilang itu bukan ikut campur?"
Cewek itu menggeleng. "Untuk memenuhi rasa penasaran Gie aja. Gie nggak pernah berniat untuk ngasih tau kamu karena Gie percaya cepat atau lambat dia bakal ketahuan."
Galang menghela napas berat sekaligus untuk menenangkan diri. Ia menyalakan mobil tak lama kemudian, menuju drive-thru.
"Gie kira kamu udah nggak mau makan."
"Emosi bikin gue tambah laper." Jawab Galang, nada suaranya masih jutek.
Gie mengulum senyum.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top