6 | HOUSEMATE
"Kamu jadi ngelamar si Lea?" Anton, sahabat Galang tiba-tiba bertanya. Tangan kanannya bertumpu pada satu lutut sambil menggenggam hand grippers untuk melatih otot. Ia duduk di sebelah Galang yang sedang tiduran di bawah kolong mustang. Punggungnya direbahkan di atas mechanic creeper. Kedua tangan Galang sibuk mengotak atik mesin.
"Belum tau gue. Pengennya sih jadi. Udah pacaran lima tahun masa nggak kawin-kawin!" Jawab Galang dari bawah mesin mobil. Kaos hitamnya sudah basah oleh keringat. Rambut bagian depannya ditarik ke belakang dengan bando plastik berwarna hitam.
"Lah? Emang nggak yakin ama Lea?"
"Bukan nggak yakin. Antara siap nggak siap. Tabungan gue juga belum banyak. Duitnya sering kepake buat renov rumah sama gedein bengkel."
"Dia nggak pernah nyinggung-nyinggung gitu? Nyindir pengen dinikahin?"
"Belum ada, sih. Pengertian banget dia. Adek lo gimana?"
Anton memindahkan gripper ke tangan kiri. "Nah, aku baru mau cerita. Kalo kamu masih pengen nyantai, mending nikahnya ntaran aja, deh! Contohnya liat aja Ullie sama temenmu si Bian. Ullie sekarang jadi sensitif. Dikit-dikit ngamuk, dikit-dikit ribut. Baru semalam dia kabur ke rumah gara-gara berantem sama Bian. Bian bela-belain nyusulin dia jam empat pagi demi biar dimaafin. Nggak ngerti juga masalahnya apa. Drama banget mereka!"
"Masa, sih?"
"Beneran! Mama sampe ngunci pintu kamarnya karna nggak tahan liat mereka berantem pagi-pagi buta."
Galang hanya bisa tertawa. "Gue juga lama nih nggak ketemu Bian. Sibuk banget dia belakangan."
"Iyalah, sibuk ngurus resepsi di Swiss! Keluarga orang kaya emang levelnya beda. Mereka jadi nyewa pesawat boeing buat ngangkut tamu ke Swiss. Gila nggak, tuh?"
Galang tertawa. "Duitnya Bian mah nggak bakal abis. Nyumber dari mana-mana. Beda ama kita yang kudu banting tulang meras keringet jadi darah dulu biar dapat hasil."
"Kemarin tuh anak mendadak jadi edan. Dia minta ijin buat kawin lari sama Ullie."
Galang tertawa lagi. "Terus lo kabulin?"
"Ya enggaklah!" Anton menepuk lututnya. "Kadang-kadang kesian liat Bian. Saking pusingnya kali ya, makanya pengen asal nikah aja. Yah, berhubung keluarganya dia konglomerat, jadi kudu ribet dulu. Ngomong-ngomong udah punya paspor belum?"
"Gue punya. Kan dulu pernah nonton F1 di Sepang-Malaysia. Sama elo, nyet!!"
"Lupa, bro!" Anton menertawai dirinya sendiri yang mudah pikun. Mendadak ekspresi Anton berubah kala melihat porsche merah berhenti di depan bengkel. Ia sontak bangkit berdiri.
"Coookkk! 911 Turbo S!" Pekikannya mengundang perhatian karyawan Galang yang lain. Mereka semua terkesima melihat mobil merah yang dikemudikan oleh Gie. Saat pintu mobil terbuka, Dollar turun lebih dulu diikuti oleh kaki jenjang Gie yang kelihatan berkilau di bawah matahari. Cewek itu mengenakan rok mini Alexandre Vauthier yang berpotongan tinggi di bagian pinggang dan berbahan katun. Penampilannya dipadukan dengan atasan blouse berbahan sutra dari Balmain dan alas kaki berupa stiletto bertabur kristal dari Louboutin.
Gie melepaskan kacamata Linda Farrownya saat ia masuk ke bengkel. "Siapa Gallagher Elang Anthaka?"
Galang menarik tubuhnya keluar dari kolong mesin mustang bersamaan dengan jari telunjuk semua orang yang mengarah pada dirinya. "Kenapa?" Tanya cowok itu.
Bibir Gie membentuk huruf 'O' kecil. "Surat. Gie kira salah alamat. Habisnya nama kamu kan Galang." Untuk membuktikan ucapannya, Gie menyerahkan beberapa amplop yang ia terima pagi ini dari kurir.
"Gallagher Elang. Disingkat jadi Galang." Celetuk Dani. "Dari semalam saya penasaran banget. Mbak ini artis, ya?"
Gie menggeleng. "Bukan. Gie kebetulan aja kaya makanya cantik begini."
Semua orang di bengkel kecuali Galang manggut-manggut mengerti.
Tatapan Gie beralih pada sosok Anton yang berdiri tak jauh dari Galang. Ia menghampirinya. "Muka kamu familiar." Satu telunjuk Gie diletakkan di bawah bibir. Kedua matanya memicing untuk mengingat-ingat dimana ia pernah bertemu Anton.
"Ini Anton. Kakaknya Ullie."
Gie menepuk tangannya sekali. "Pantesan! Hai!" Ia langsung mengulurkan tangannya pada Anton.
"Itu mobilnya mbak?" Tunjuk Anton pada mobil merah di belakang Gie sebelum membalas uluran tangan Gie.
Cewek itu mengangguk. "Mau Gie jual. Oh ya ngomong-ngomong..." Kali ini ia memandang Galang. "Bantu Gie jual mobil, ya? Nanti hasil penjualan, 10%-nya buat kamu."
Galang yang sedang serius membaca surat-surat sontak mengangkat kepala.
"Mobil itu serius mau lo jual?"
Gie mengangguk. "Butuh cepat. Jual aja ke temen-temen klub mobil kamu." Ujarnya seraya menyerahkan kunci rumah pada Galang. "Barang-barang Gie masih di rumah kamu. Titip dulu. Gie ada perlu hari ini."
"Mau kemana?"
"Shopping." Usai mengatakannya, Gie mengenakan lagi kacamatanya. Ia berjalan kembali ke mobil dengan Dollar mengikuti di belakang. Tak berapa lama, ia sudah lenyap secepat ia datang.
"Ckckck. Kenal dimana, Lang?" Tanya Anton penasaran.
"Mantan tunangannya Bian."
"Hah? Masa? Kok sama kamu?"
"Dia numpang tidur di rumah gue semalam."
"Bos." Dani menghampiri mereka. "Itu tadi cewek barunya bos? Buset, bening banget! Mana wangi pula! Ini kaki sampe gemeteran liat dia." Lanjutnya dengan wajah masih terkesima.
"Kalo sampe dia mau sama Galang terus si bangsat ini yang nggak mau, berarti bos kalian bener-bener bego. Menolak upgrade." Celetuk Anton.
"Lo yang bangsat, ngajarin gue selingkuh." Timpal Galang sambil melempar wajah Anton dengan kanebo basah.
"Secara bro, perbandingannya kayak bumi sama langit. Lea manis sih, tapi yang ini tuh kayak supermodel. Kupikir-pikir nih, sebenarnya Bian yang lebih bego. Mau-mau aja dia downgrade ke Ullie. Ckckck."
"Gitu-gitu adek elo, njing! Gue kasih tau Ullie, ya?"
"Kasih tau aja, ntar tinggal ngancem dia gajadi beli Bentley."
"Eh goblok, calon suami Ullie tuh Bian! Jangankan Bentley, Ferrari juga dikasih."
Anton terdiam lama. "Jangan kasih tau Ullie kalo gitu!" Ujarnya pelan.
***
Shopping dalam kamus konglomerat seperti Gie, artinya membeli saham beberapa perusahaan berkembang dengan prospek bisnis bagus sekaligus. Hari ini dia berhasil mengakuisisi tiga perusahaan biopharmacy dalam negosiasi singkat lewat perwakilannya di Bursa Efek. Tiga perusahaan itu masing-masing punya masa depan menjadi tambang uang untuk Gie. Usai 'belanja', Gie mampir ke kantor pengacara untuk membahas masalah tuntutan yang dilayangkan padanya hari ini. Saking sibuknya Gie hari itu, dia baru kembali ke rumah Galang lewat tengah malam.
"... kita pakai strategi itu aja. Pengacara yang ditunjuk oleh Stefan pasti dari firma hukum yang sama dengan kita. Kita buka mediasi dulu. Meskipun semua bukti nguntungin kita."
Gie masih berada dalam sambungan telepon dengan Yvonne saat pintu depan dibuka oleh Galang. Cewek itu menyunggingkan senyum manis yang dibalas Galang oleh sebuah helaan napas lega. Ia memberi isyarat pada Gie agar segera masuk ke dalam rumah.
"Dari CCTV restoran juga keliatan Stefan yang mulai duluan." Gie meletakkan tasnya di atas sofa. Ia menghempaskan tubuhnya juga di sana, sedangkan Galang duduk di sebelahnya.
"Stefan nggak akan menang. Percaya sama Gie. Tinggal gimana caranya berita ini nggak mempengaruhi perusahaan aja."
"Bukan hanya kamu yang dituntut. Cowok yang nolongin kamu juga. Kamu kenal dia siapa?"
Gie memandang Galang yang juga balik memandangnya. "Iya. Calon suami Gie."
Galang mengerutkan dahi.
"Dari kemarin kamu bahas calon suami terus. Dia ini siapa? Dari keluarga mana?"
"Margamu apa?" Gie menutup mic hpnya agar bisa bertanya pada Galang.
"Anthaka." Jawab Galang.
"Anthaka yang punya tambang batu bara?" Tanya Gie lagi.
Galang menggeleng. "Bokap gue punya bengkel juga. Kayak gue."
"Ah, oke." Gie kembali bicara di telepon. "Dia bukan dari keluarga konglomerat. Masalah nggak kira-kira?"
"Ya iyalah!! Papa nggak akan restuin kamu sama cowok dari keluarga nggak jelas!" Semprot Yvonne. Hal itu membuat Gie menggigit bibir bawahnya gelisah.
"Emang kalo nikah harus dapat restu Opa? Kan yang penting mami papi setuju."
"Pendapat mami papimu nggak akan berpengaruh kalo Opamu bilang ENGGAK."
"Lo bahas gue?" Galang menunjuk dirinya sendiri. Gie tersenyum simpul padanya tanpa menjawab.
"Dibahas nanti aja. Toh calon suami Gie belum putus sama pacarnya yang sekarang."
"Belum tentu juga jadi calon suami kamu!" Yvonne menghela napas di seberang. "Mami papimu terus-terusan nanya kamu. Kamu ngeblok nomor mereka, ya?"
"Iya." Gie merebahkan tubuhnya ke sandaran sofa. "Gie capek. Mau istirahat."
"Oke." Ada jeda sejenak. "Jaga diri, Gie."
"Hmm." Gie meletakkan hpnya di meja, lalu menyandarkan tubuh lagi.
"Lo bahas gue jadi calon lo ke siapa?"
"Tantenya Gie."
Lagi-lagi Galang mengernyit. "Nggak ngerti gue sama pikiran lo."
"Gie capek." Cewek itu memejamkan matanya. "Biarin Gie nginep lagi, ya?" Lanjutnya tanpa membuka mata.
"Lo darimana aja jam segini baru balik? Katanya shopping tapi nggak bawa apa-apa."
Gie tersenyum kecil. "Gie belanja buat investasi, bukan belanja barang. Tadi ke kantor pengacara juga. Stefan berencana nuntut kita berdua. Besok pengacara mau mediasi dulu."
"Gue? Dituntut? Nggak ada surat panggilan, tuh!"
"Masih rencana." Gie memandang Galang. "Seharian ini Gie sibuk banget tau!"
Cowok itu menghela napas. "Kalo lo nginep di tempat gue, lo harus ikutin peraturan di rumah ini. Cewek kok pulangnya tengah malam. Apa kata tetangga?"
Gie tersenyum lebar, wajahnya usil. "Khawatir sama Gie, ya? Udah peduli, nih?"
"Gue khawatir sama diri gue sendiri! Kalo digerebek gimana? Belum lagi kalo cewek gue tau lo masih ada di sini."
"Ngomong-ngomong tentang cewek kamu." Gie menegakkan tubuhnya. "Kalian kapan berencana putus?"
"Lah, sembarangan! Gue mau ngelamar dia!"
Kedua alis Gie menyatu. Ekspresinya berubah. "Kamu nggak serius, kan?"
"Serius. Gue ama dia udah pacaran lama."
"Emang kalo pacaran lama menjamin bakal nikah?"
"Nggak juga. Tergantung pasangannya. Ah, ngapain juga gue bahas sama lo!" Galang berdiri, berniat naik ke kamarnya. "Malam ini lo terakhir nginep di sini. Besok pagi kudu cabut."
"Makasih."
"Lo boleh tidur di kamar tamu."
"Kenapa?"
Galung menggaruk belakang kepalanya. "Nggak papa. Kamar lo jangan dikunci!"
Wajah Gie langsung sumringah senang. "Kenapa nggak bobok sekamar aja?"
Buset, ini cewek memang mulutnya sembarangan kalo ngomong!
Daripada membalas ucapan Gie, Galang lebih memilih naik ke lantai tiga.
***
Galang tidak bisa tidur karena mengkhawatirkan kondisi tamunya di kamar sebelah. Ia cemas kalau-kalau Gie tidur berjalan lagi. Setiap beberapa jam sekali ia bangun untuk mengintip kamar Gie. Cewek itu masih pulas dengan Dollar di sebelahnya. Jika sudah begitu, Galang akan kembali lagi ke kamarnya, mencoba tidur.
Baru sebentar terlelap, ia terbangun karena jilatan basah lidah Dollar di wajahnya. Ia melompat dari kasur lalu berlari ke kamar Gie. Benar saja, cewek itu sudah tidak ada di kamarnya. Ia turun ke bawah dengan tergesa dan mendapati Gie sedang berusaha membuka pintu depan yang terkunci. Galang buru-buru meraihnya.
"Gie?" Ia menepuk pelan pipi Gie agar segera sadar. Kedua mata cewek itu terbuka meski tatapannya kosong. Tak berapa lama, Gie terkulai tidur kembali. Untung saja kedua tangan Galang dengan sigap memeluknya, membuat Gie jatuh ke dada Galang.
Kepala Dollar mendongak memandangi majikannya.
"Tuan lo bikin gue repot tau, nggak?" Bisik Galang pada anjing tak bersalah itu.
Ia menggendong Gie kembali ke kamarnya. Atas inisiatifnya sendiri, ia mengikat pergelangan kaki Gie dengan tali yang diambil dari alat skipping. Tali itu ia ikatkan pada salah satu kaki tempat tidur. Selesai menyelimuti Gie, Galang kembali ke kamarnya.
"Awasi tuan lo, ya?" Ujar Galang pada Dollar. Seakan mengerti apa yang dikatakannya, Dollar melompat ke tempat tidur dan merebahkan tubuhnya di sebelah Gie. Galang menutup pintu kamar.
***
Baru satu jam Galang terlelap, ia dikejutkan oleh suara bedebum keras dari kamar sebelah. Cowok itu tergesa pergi ke kamar Gie, mengabaikan kepalanya yang berdenyut hebat karena tiba-tiba melompat bangun. Saat dibukanya kamar itu, ia terkejut melihat Gie sedang terduduk di lantai dengan wajah merah hampir menangis.
"Ada yang ngiket kaki Gie." Kedua mata Gie berkaca-kaca. Galang langsung berjongkok di sebelahnya untuk membantu melepaskan tali.
"Sori, gue yang pasang. Habisnya gue khawatir lo tidur sambil jalan lagi."
"Gara-gara kamu Gie jadi jatuh. Sakit banget kepala Gie!" Galang memeriksa dahi Gie yang memang agak benjol karena menghantam lantai. Pantas saja dia kelihatan hampir menangis.
"Sori, sori. Gue nggak tau lo bakal jatuh." Galang mengusap kepala Gie sambil menyunggingkan senyum penyesalan. "Mana lagi yang sakit?"
"Hidung."
"Lo nggak mimisan, kok."
"Tetep aja sakit!"
Kini ikatan di pergelangan kaki Gie sudah terlepas. "Terus gue kudu gimana biar lo nggak tidur sambil jalan lagi? Kalo lo kenapa-napa ntar gue yang diseret ke kantor polisi!"
"Bobok aja di sini. Jagain Gie." Ia mengatakannya dengan wajah cemberut.
"Ya masa gue sekamar sama lo!"
"Gie ngantuk. Nggak akan sempat ngapa-ngapain kamu." Tanpa menunggu respon Galang, Gie sudah naik lagi ke tempat tidur. Ia menyiapkan tempat tidur di sebelahnya untuk cowok itu. Begitu selesai, ia menepuk-nepuk bantal di sebelahnya, menyuruh Galang segera naik juga.
"Tapi kalo kamu mau ngapa-ngapain Gie juga nggak papa." Ujar Gie sambil mengerling saat melihat keengganan dari ekspresi Galang.
"Gue nggak tertarik sama lo!" Sahut Galang sambil naik ke tempat tidur. Ia berbaring di pinggir, memberi jarak agak jauh dari Gie.
"By the way, badan kamu bagus. Dari atas sampai bawah tipe Gie banget."
Galang menelan ludah. Ia baru ingat kalau dirinya hanya mengenakan boxer. Buru-buru ia menutupi tubuhnya dengan selimut untuk menahan malu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top