4 | AFTER THE FIGHT

Makan malam dengan Lea batal karena pacar Galang itu ternyata masih lembur di kantor. Tadinya Galang baru akan pulang saat mendengar ada keributan. Tubuhnya reflek saja saat ia bereaksi untuk menghentikan cowok yang sedang menyakiti Gie.

Selama perjalanan keluar dari restoran, tatapan Galang tak lepas dari punggung telanjang Gie. Ia sukar mengalihkan pandangan ke arah lain jika ada pemandangan seindah itu di depannya. Buru-buru ia menggeleng agar kepalanya tetap fokus.

Gie mengajak Galang ke parkiran, dimana cowok itu langsung mengenali Gie dari mobil porsche yang terparkir di sana.

"Gie? Cewek yang ketemu gue di apotek tengah malem?" Tanya Galang memastikan.

Gie mengangguk. Ia meletakkan Dollar di tanah. Anjing itu menyalak senang sambil berputar mengejar ekornya sendiri. "Seharusnya kamu nggak usah ikut campur masalah tadi. Kamu tau dia siapa?"

Galang mendengus sinis. "Cowok brengsek yang beraninya sama cewek doang."

Gie tersenyum tipis. "Itu. Sekaligus calon jaksa. Orangtuanya punya firma hukum." Ia melipat kedua tangannya di depan perut.

Galang terdiam sebentar. "Waduh." Gumamnya pelan.

"Kamu ngapain di sini?" Tanya Gie.

Galang menggaruk belakang kepalanya. "Tadinya mau makan malam sama cewek gue."

Gie menurunkan tangannya. "Gie pengen banget ngobrol sama kamu." Kedua ujung bibir Gie menekuk ke bawah. "Tapi Gie harus pulang sekarang."

"Oh, oke." Galang tidak penasaran kenapa cewek itu ingin ngobrol dengannya.

Gie mengeluarkan hpnya untuk menghubungi seseorang.

Tak lama, hp Galang berdering. Cowok itu mengernyit ada nomor asing yang menghubunginya. Telepon itu ia angkat.

"Hallo?"

"Ini nomor Gie. Simpan, ya?"

Galang memandang cewek oriental yang berdiri di depannya itu. Gie mengedipkan sebelah mata sambil tersenyum.

"Kalo Gie telepon, kamu harus angkat!" Gie mematikan sambungan telepon lalu memasukkan kembali hp ke dalam tasnya. Galang belum pulih dari rasa heran saat Gie tiba-tiba beringsut maju untuk mengecup bibirnya singkat. Dia tidak sempat menolak apalagi menghindar.

Gie meletakkan kedua tangannya di pipi. "Aww... ciuman pertama Gie." Gumamnya pelan dengan wajah berseri. "Jadi begini rasanya jatuh cinta. So fun!" Gie baru ingin mencium Galang lagi saat telunjuk cowok itu mendorong dahi Gie, menjauhkan wajah cewek itu darinya.

"Lo mau ngapain?" Ekspresi Galang masih syok. Ia memasukkan hp ke saku belakang.

"Kurang. Gie mau cium lagi."

"Nyium orang sembarangan kayak tadi bisa dianggap pelecehan seksual tau nggak?!" Semprot Galang. Gie sampai terkejut dibuatnya.

"Pelecehan?" Ulang Gie.

Galang geleng-geleng kepala. "Kali ini lo gue maafin. Jangan sampe kita ketemu lagi lain kali!" Ekspresi cowok itu marah. Untung pelataran parkir sedang sepi.

"Kalo Gie yang pengen ketemu kamu gimana?"

"Enggak! Mending lo hapus nomor gue sekarang! Dapet darimana lo nomor itu?"

"Dari Aldo." Jawab Gie jujur.

"Aldo yang mana?"

"Aliando Hartono."

"Dia siapa lo?"

"Kenalan keluarga. Dia sepupunya mantan tunangan Gie, Koh Bian."

"Bian?" Dahi Galang berkerut. "Jangan bilang kalo lo Regina Atmodjo yang itu!"

Gie mengangguk semangat. Ternyata Galang tahu siapa dirinya. Gie merasa amat beruntung karena sepertinya Tuhan sedang menerangi jalannya menuju sang jodoh. Aldo memang pernah memberitahunya kalau dia kenal Galang dari Fabian. Mereka berdua adalah teman semasa kuliah di Jakarta sebelum Fabian melanjutkan sekolah di Jepang. Gie menyayangkan kenapa tidak dari dulu saja mereka bertemu.

"Gila. Mantan tunangan temen gue nyipok gue sembarangan." Gumam Galang tak percaya. Fabian pernah menunjukkan foto Gie di hpnya. Itupun cuma sekali. Dulu sekali. Itulah kenapa dia tidak dapat langsung mengenali Gie saat mereka pertama kali bertemu dua bulan yang lalu.

Galang masih dalam tahap meredakan syok. Sebuah senyum lebar di wajah Gie entah bagaimana membuat hati Galang jadi adem. Sosok Gie memang sangat cantik. Mirip seperti supermodel yang meloncat keluar dari majalah fashion. Wajahnya imut kekanakkan kalau sedang tersenyum. Galang pernah salah mengira kalau usia Gie pasti di bawah dua puluh saat mereka pertama kali bertemu.

"Kok jadi diem?" Tanya Gie heran.

"Masih syok gue." Jawab Galang terus terang.

Gie melihat jam di pergelangan tangannya yang putih mulus. "Gie balik dulu, ya?"

Galang mengangguk tanpa sadar, seperti sedang terhipnotis.

"Salam buat pacarnya." Gie mengedipkan sebelah mata lagi sebelum berbalik pergi, memamerkan punggung yang membuat cowok manapun jadi gagal fokus saat melihatnya. Galang masih mematung di tempat sampai Gie lenyap bersama mobil merahnya.

Jadi cewek itu tahu kalau Galang punya pacar, tapi masih aja nyosor dengan tidak tahu malu!

Kedua tangan Galang terkepal karena menahan kesal.

***

Wajah datar Yvonne menjadi hal pertama yang dilihat Gie saat ia membuka pintu apartemennya. Ia langsung mengundang Tantenya masuk.

"Maaf berantakan." Gie melompati Dollar yang sedang tidur terlentang di lantai.

"Kenapa menyuruhku ke sini malam-malam?" Yvonne meletakkan tas kulit ularnya di atas meja. Ia meletakkan kedua tangan di pinggang saat melihat kamar apartemen Gie yang berantakan. Nampak sebuah koper yang belum selesai di bongkar tergeletak di lantai. Gie memasukkan beberapa potong baju ke dalamnya. Itu koper yang belum selesai dibongkar atau sedang dalam perjalanan diisi?

"Kamu mau pergi lagi?" Tanya Yvonne dengan dahi mengernyit.

"Hmm~" Gie memasukkan potongan baju terakhir dan tas make upnya ke dalam koper sebelum menutup koper itu. "Selesai."

Ia menarik kopernya yang super besar ke sebelah koper kecil. Yvonne tahu koper kecil itu berisi perlengkapan Dollar.

"Mau kemana?"

"Away for a while. (Pergi sebentar.)"

"Kamu habis berbuat apa kali ini?" Nada suara Yvonne sudah mulai was-was. Apapun yang berhubungan dengan Gie pasti bukan hal bagus.

"Sebentar lagi kayaknya Gie bakal dituntut atas tindakan penganiayaan terhadap Stefan."

Yvonne sukses melongo. Kedua matanya membelalak terkejut.

"Dia habis kamu apain??"

"Dia rebut hp Gie. Terus dia dorong Gie. Dollar gigit selangkangannya. Gie dijambak sama dia. Ada cowok baik calon suami Gie nolongin dengan matahin hidungnya. Gie nendang selangkangannya. Selesai." Gie menyerahkan hp yang ia dapat dari waiter restoran tadi. "Ada videonya di dalem sini. Oh, iya. Pemilik asli hp ini bakal ngehubungin tante ntar buat minta ganti hp yang baru."

Selama penjelasan Gie tadi, ekspresi Yvonne sulit diartikan. Tapi keponakannya tahu kalau kepala Yvonne pasti mudah mencernanya. "Kenapa dia ngerebut hpmu?"

Gie mengedikkan bahu. "Orangnya temperamen."

Yvonne menerima hp itu dari tangan Gie. "Papa bakal ngamuk kalo dengar ini."

"Itu sebabnya Gie minta tolong tante. Mau, ya?" Gie mengatupkan kedua tangannya sambil memasang wajah melas. Yvonne menghela napas. Antara marah atau kasihan pada Gie.

"Nanti biar aku yang hubungi pengacara. Video yang ada di dalam sini bisa dijadikan bukti. Kirimin alamat restoran tempat kalian ketemuan tadi. Kamu sebaiknya hilang dulu dari radar."

"Memang. Gie berencana buat pergi sebentar. Jangan kasih tau mami dan papi, ya? Mereka bakal cari Gie kalau tau keributan ini."

Yvonne mengangguk. "Kamu nggak bisa pakai kartu kreditmu. Nanti kalo mereka iseng ngelacak kamu bisa panjang urusannya." Yvonne mengeluarkan dompetnya dari tas dan menyerahkan sebuah kartu kredit black mastercard pada Gie. "Tinggalkan dompetmu di sini!"

"Belum tentu juga Stefan nuntut Gie."

"Jaga-jaga aja. Kita bersiap buat kemungkinan terburuk." Tukas Yvonne.

Gie membuat gestur hormat, puas karena tidak perlu usaha keras untuk meyakinkan Yvonne. Hubungan love-hate dengan Yvonne terkadang membawa keuntungan untuknya. Gie tahu kalau Yvonne sebenarnya sangat sayang padanya. Hanya saja terkadang sifat mereka yang sama-sama keras kepala dan tidak mau kalah selalu jadi sumber pertengkaran. Jika Gie dituntut, maka nama keluarga ikut tercemar. Kalau sudah begitu, keluarga besar juga yang akan repot. Yvonne selalu jadi orang pertama yang memastikan keamanan reputasi keluarga mereka.

"Makasih ya! Sebagai gantinya, Gie kasih kunci kloset Gie. Tante boleh ambil tas Hermes Himalayan Birkin punya Gie. Tas yang lain boleh dipinjem, tapi sekalian dirawat, ya?"

Yvonne membelalak tak percaya karena mendengar tas kulit buaya mewah yang diberikan Gie padanya secara cuma-cuma. "Becanda ya kamu?"

Gie menggeleng. "Kuncinya di laci kamar Gie."

***

Gie masih berada di dalam mobilnya. Antara yakin dan tidak untuk turun. Ia sedang ada di parkiran bawah tanah hotel Shangri-La. Ragu akan menginap di sini atau di tempat lain. Kalau dia menginap di sini, bakal langsung ketahuan. Kalau bukan oleh pihak keluarga Stefan, pasti oleh orang suruhan Opa. Ia mengetukkan jari telunjuk di atas kemudi.

Suara ban berdecit menandakan sebuah mobil lain datang dengan terburu-buru. Mobil itu berhenti di sebelah mobil Gie. Meski kaca jendela mobil itu gelap, Gie masih samar-samar bisa melihat apa yang terjadi di dalam. Di dalamnya ada dua orang. Laki-laki dan perempuan. Sedang berciuman dengan panas. Gie perhatikan sudah sepuluh menit mereka tidak turun-turun. Ia mendengus kecil.

Tak lama kemudian, pasangan itu akhirnya turun dari mobil. Si cewek nampak sedang membenahi kancing kemeja atasnya saat si cowok yang berusia jauh lebih tua darinya memeluk pinggangnya dari belakang. Sesekali tangannya bergerak ke atas untuk meremas payudara si cewek. Cewek itu hanya tertawa kecil. Mereka sama-sama mengenakan setelan kerja.

Tatapan mata Gie terus mengikuti pasangan itu sampai keduanya menghilang di dalam lift.

"Ah, hilang mood Gie nginep di sini. Sehotel sama pasangan mesum." Gie menyalakan mesin mobilnya untuk keluar dari parkiran.

***

"Nggak pulang, bos?" Dani, salah satu montir Galang bertanya saat ia melihat bosnya masih tiduran di bawah mobil mustang, sibuk mengotak-atik mesin.

Galang menarik creeper yang menjadi alas tubuhnya. "Jam berapa?" Tanyanya dengan wajah dipenuhi keringat dan oli.

"Setengah satu. Besok lagi, bos! Istirahat."

Dani membantu Galang bangkit dari creeper dengan menarik tangannya. Galang menggumamkan terima kasih seraya menepuk punggung Dani.

"Yang lain udah pada balik?" Tanya Galang. Ia mengambil sebotol air mineral baru dari atas meja.

"Udah pada balik ke kamar masing-masing. Tinggal saya doang yang di sini." Dani membereskan sisa peralatan kerja yang berserakan di lantai.

Bengkel Galang ini punya lima kamar di belakang yang dikhususkan untuk para montirnya. Rumah mereka jauh di luar kota. Daripada bayar tempat kos, lebih baik menggunakan kamar kosong. Sekalian jaga bengkel.

"Sapa tuh, bos?"

Galang mengusap mulutnya dengan punggung tangan dan menoleh ke arah pandangan Dani tertuju. Di depan bengkel mereka, Gie berdiri di samping mobil porsche merahnya. Kedua tangan cewek itu sedang memeluk seekor anjing pomeranian yang tadi dilihat Galang di restoran. Kedua mata Gie dilindungi sebuah kacamata hitam berbingkai lebar. Kepala Galang menengadah ke atas, ingin memastikan kalau tidak ada matahari malam-malam begini.

"Itu kaki apa pantat bayi? Mulus amat!" Dani berdecak kagum saat memandangi kedua kaki jenjang Gie yang beralaskan sepatu hak tinggi.

Galang menoyor kepala montirnya agar lekas sadar. Ia menyerahkan botol separuh kosong bekas minum pada Dani sebelum berjalan menghampiri Gie yang masih berdiri tak bergerak mirip patung lilin.

"Ngapain di sini malam-malam?" Tanya Galang dengan nada sewot. Ia masih kesal dengan pelecehan Gie padanya saat terakhir mereka bertemu beberapa jam yang lalu.

"Butuh tempat buat nginep."

Galang mengangkat sebelah alisnya yang terpotong. "Hotel kan banyak."

"Nggak mood." Gie jadi teringat akan pasangan mesum yang ia temui di parkiran hotel. Ia mendecakkan lidah kesal karena tak bisa mengenyahkan wajah mereka dari pikiran.

"Terus ngapain ke sini?" Lagi-lagi Galang bertanya karena tak mengerti.

"Karena butuh tempat buat nginep." Ulang Gie.

"Tapi ini bengkel!"

Gie mengangguk. Ia mengangkat kacamatanya sampai kepala. "Rumahmu."

Galang mengernyit. "Rumah lo kenapa?"

"Gara-gara insiden di restoran tadi, Gie harus menghilang dari radar buat sementara waktu."

"Lo udah dituntut?"

"Malam ini belum. Mungkin besok."

Galang berpikir sebentar. "Lo nggak punya keluarga?"

"Ada. Tapi Gie nggak bisa kesana."

"Nggak punya temen emang?"

"Nggak punya."

"Satupun?"

Gie mengangguk.

"Kenapa nggak ke tempat Bian?"

"Nanti tunangannya salah paham lagi. Males ribut."

"Aldo?"

"Dia nggak bisa diandalkan. Yang ada malah minta duit terus ke Gie. Aldo cuma dapat duit 500 ribu dari kakaknya. Buat sebulan."

Galang menoleh ke belakang. Dani yang tertangkap basah sedang mencuri dengar pembicaraan mereka langsung ngacir menjauh.

"Lo tau gue punya pacar. Jadi gue nggak bisa nampung elo, meski semalam doang." Perhatian Galang kembali pada Gie.

"Gie mau numpang tidur, bukan mau perkosa kamu."

Galang tergelak oleh kefrontalan cewek di depannya ini. "Tetep aja nggak bisa. Lo cari hotel aja, deh!"

"Dibilangin Gie nggak mood ke hotel!"

"Nggak moodnya kenapa?"

"Abis liat pasangan mesum masuk hotel. Jadi kepikiran."

Galang menggaruk pelipisnya, lalu ia menghela napas. Sebenarnya ia sangat lelah juga. Ia ingin cepat-cepat pulang dan beristirahat. Jika cewek ini bukan kenalan Aldo dan Fabian, pasti sudah ditendangnya jauh-jauh daritadi. "Yaudah, tunggu bentar!"

Saat Galang berbalik masuk lagi ke bengkelnya, Gie tersenyum tipis penuh kemenangan.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top