37 | KEMBALI

Bel berdenting saat Galang masuk ke dalam café milik Janesa. Berbeda dengan terakhir kali, kali ini tempat itu diisi beberapa pengunjung. Janesa terlihat sedang mengaduk minuman di belakang meja bar. Cowok itu mengangkat kepala saat Galang mendekat.

"Ada apa?" Dahi Janesa berkerut saat melihat wajah kacau Galang.

"Lo tau Gie dimana?"

Ah, harusnya Janesa sudah bisa menebak. Galang hanya akan datang kalau dia kehilangan jejak cewek itu.

"Tau. Kenapa?"

"Dimana?"

"Jasaku mahal. Apalagi buat nyari Gie."

"Sebut harga. Gue transfer ke elo sekarang."

Janesa mendadak tertarik. "Kalian berantem, ya?"

"Bukan urusan lo."

"Jadi urusanku kalo ini menyangkut Gie."

"Lo nggak ada hubungan apa-apa sama dia."

"Ada. Dia klien terbesarku."

"Kalo lo nggak kasih tau gue sekarang, gue jamin lo bakal kehilangan klien lo selama-lamanya." Galang mulai habis kesabaran.

"Wah, masalah kalian berat kayaknya."

"Gue nggak banyak waktu. Kasih tau gue sekarang."

Janesa terdiam cukup lama sambil memandangi Galang.

"Berapa harga lo?" Tanya Galang lagi.

"Kali ini gratis, deh. Ini buat bayar ganti rugi Gie waktu dia ditangkep sama orang-orang suruhan opanya kemarin."

"Yaudah buruan kasih tau!"

"Gie tinggal di apartemennya."

"Kasih alamatnya ke gue."

Janesa mendecakkan lidah. Ia menuliskan sesuatu di atas kertas kosong. Galang menyambar kertas itu sesaat setelah Janesa selesai menulis. Bahkan tanpa mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi.

"Otoriternya sama aja kayak Gie." Gerutu Janesa sambil mengelap meja.

***

Gie baru selesai mandi. Setelah dari gereja dan menangis puas-puas, perasaan Gie terasa lebih ringan. Ia mengenakan kamisol sutra pendek, ingin segera pergi tidur. Kemudian ia teringat kalau dirinya belum makan malam. Ah, ada anak dalam perut yang harus diberi makan.

Ia segera turun ke dapur. Sebelum pulang dia sempat belanja kebutuhan ibu hamil. Crackers, susu, dan vitamin. Kantong belanjaan yang berisi buah dan sayur masih tergeletak di atas meja makan. Ia tertawa sendiri, ingat kebiasaan saat di rumah. Biasanya Galang yang menyusun belanjaan itu di kulkas lalu lanjut memasak makanan untuk mereka. Dia lupa kalau tidak ada Galang di sini.

Gie membuat segelas susu, lalu menyusun crackers di atas piring. Ia baru akan memilih buah-buahan yang mau dia jadikan makan malam saat bel pintu berbunyi, membuat Gie mengernyit. Sebelum ini ia tidak pernah kedatangan tamu selain keluarga. Dan biasanya keluarga Tan hanya datang jika ada perlu. Tadi siang kan baru ketemu.

Ia menyeberangi ruang tengah untuk menuju pintu. Diceknya siapa tamu yang datang lewat layar kecil di ruang tamu. Ternyata Galang. Ia lupa untuk memperingatkan Janesa agar tidak memberi tahu alamat apartemennya di sini. Bel pintu berbunyi lagi berulang kali. Gie hanya memandangi sosok Galang di layar itu. Wajah suaminya kusut. Cukup lama Gie berdiri di sana tanpa ada keinginan untuk membukakan pintu.

Tiba-tiba ia mendengar kode pintunya ditekan.

Galang tahu kode pintu apartemennya?

Dalam sekali percobaan, pintu depan terbuka. Gie buru-buru balik badan untuk kabur ke kamarnya di lantai dua. Namun Galang keburu melihat. Ia mengejar Gie lalu menangkap lengannya.

"Gie..."

Cewek itu menepis tangan Galang. Langkah Gie masih lebar untuk menghindarinya.

Tiba-tiba ia berhenti. Sekelilingnya serasa berputar. Gie memegangi pelipis dengan tubuh limbung ke belakang. Untung Galang cepat menangkapnya sebelum sang istri jatuh ke lantai.

"Kamu kenapa?" Galang mengangkat tubuh Gie agar bisa duduk di sofa terdekat. Ia mendudukkan cewek itu di atas pangkuannya.

"Gie jadi sering pusing." Setelah merasa pening di kepalanya agak reda, ia mencoba bangkit dari pangkuan Galang. Namun cowok itu menahannya.

"Kita ke rumah sakit."

Gie buru-buru menggeleng. "Nggak usah. Ibu hamil emang biasa kena pusing-pusing begini." Ia keceplosan.

Galang ternganga mendengarnya. "Kamu apa?"

Belum sempat Gie menjawab, perutnya mendadak mual. Ia buru-buru bangkit lalu berlari menuju toilet. Galang menyusulnya.

Gie muntah-muntah di toilet. Galang memegangi rambut Gie agar tidak terkena muntahan. Buru-buru ia meraih sebuah handuk bersih lalu membasahinya dengan air hangat. Puas mengeluarkan isi perut, Gie terduduk di lantai. Galang membersihkan area sekitar mulut Gie dengan telaten.

"Jadi kamu udah ke dokter?" Tanya Galang hati-hati.

Gie hanya mampu mengangguk. Badannya lemas sekali. Galang mengangkat tubuhnya ke ruang tengah lagi, lalu mendudukkan Gie di sofa, sementara ia bersimpuh di kaki Gie. Dipandanginya wajah Gie lekat-lekat.

"Sudah berapa lama?"

"Tiga minggu."

Tatapan Galang turun menuju perut rata Gie. Cukup lama ia memandanginya sebelum akhirnya mendongakkan kepala lagi. "Maafin aku, Gie. Aku nggak bermaksud buat kamu salah paham."

Gie menggeleng. "Gie ngerti, kok. Kamu sama Lea udah pacaran lama. Wajar kalo kamu masih sayang dan peduli sama dia."

Galang mengernyit bingung. "Elsa punya kekhawatiran Lea kena baby blues habis melahirkan. Selama hamil dia agak depresi. Aku cemas sama anaknya. Takut dia kenapa-napa. Ternyata malah Lea pendarahan. Dia nggak punya siapa-siapa lagi, Gie. Maaf karena aku bertindak tanpa bilang kamu dulu." Ia menggenggam kedua tangan Gie.

"Kenapa kamu nggak kasih tau Lea kalo kita udah menikah?"

"Nggak sempat. Bukan bermaksud menutupi, aku memang nggak pernah komunikasi sama dia."

Gie tersenyum tipis. "Dia sering ngirimin kamu pesan, meskipun kamu nggak pernah respon. Kenapa nggak cerita?" Gie masih mengawasi Lea dari jauh. Ia tahu siapa saja yang Lea temui atau hubungi. Sekedar untuk memastikan Lea tidak mengganggu rumah tangganya dengan Galang. Hidup cewek itu ada dalam genggaman Gie.

Galang menelan ludah. "Maaf, Gie. Aku minta maaf."

"Kenapa kamu memilih nikahin Gie padahal kamu masih peduli sama dia?" Kedua mata Gie sudah berkaca-kaca. "Gie bukan pelampiasan." Hatinya sakit sekali.

Galang terkejut bukan main. "Pelampiasan?" Ulangnya. "Aku sayang sama kamu, Gie. It's you. Always been you. Aku dan Elsa bantu Lea semata-mata karena nggak bisa ngebiarin dia menderita sendirian. Lea sebatang kara. Kami juga khawatir dengan keselamatan anaknya."

"Jadi kalau lain kali Lea nyuruh kamu datang lagi, kamu bakal langsung datang?"

Galang menggeleng. "Kuakui aku bodoh kemarin."

"Gie cuma..." Gie merengkuh wajah kasar Galang yang belum dicukur dengan kedua tangan. Air matanya sudah bercucuran. "Gie kecewa sama kamu. Gie kecewa karena sekeras apapun Gie berusaha, kamu tetap milih Lea." Tangisnya pecah. Galang bangkit untuk duduk di sebelah Gie. Ia menarik Gie ke pelukannya. Perasaannya hancur melihat Gie begini.

"Maafin aku, sayang. Maaf."

"Gie capek. Capek kalau harus nungguin kamu terus."

Galang merengkuh wajah Gie. "Buat apa kamu nunggu aku, Gie? Aku di sini. Gimana caranya buat meyakinkan kamu? Aku tersiksa kalo kamu terus memikirkan hal absurd yang sama."

"Absurd?"

Galang mengangguk. "Iya, absurd. Semua yang kamu pikirkan itu absurd. Tentang aku yang masih nyimpan perasaan khusus untuk mantanku."

Gie memandangi Galang, mencari-cari kesungguhan di matanya. Galang mengusap sebulir air mata yang jatuh di pipi Gie dengan ibu jarinya. "Jangan membandingkan dirimu sama cewek lain. Mereka nggak ada apa-apanya. Bagiku kamu itu sempurna. Aku jatuh cinta sama kamu bahkan sejak sebelum aku menyadarinya." Lanjut cowok itu.

Mereka sama-sama terdiam. Saling memandang.

"I miss you, Gie. Please don't leave me like that ever again." Bisik Galang. Ia tak mampu mengatakannya lebih keras lagi. Ia menahan perasaan emosional di dadanya. Tenggorokkannya tercekat. Melihat dan menyentuh Gie seperti sekarang rasanya lebih mirip mimpi. Ditinggalkan sehari semalam saja rasanya begini tersiksa. Dia tidak bisa membayangkan kalau Gie pergi darinya lebih lama lagi.

Kepala Gie bersandar pada sentuhan Galang. Ia menarik seulas senyum tipis. "Okay." Jawab Gie akhirnya.

Gie menyentuhkan dahinya ke dahi Galang. Ia menghela napas lega. Galang sudah kembali padanya.

***

"Jadi ini apartemen kamu." Galang meletakkan piring berisi potongan buah mangga dan melon ke hadapan Gie. Ia mengusap kepala istrinya. "Besar juga buat ukuran orang yang tinggal sendirian."

"Gie kan nggak sendirian. Ada Dollar." Ia membuka mulut lebar-lebar saat Galang menyuapinya sepotong buah mangga dengan garpu.

"Kamu nggak pengen sesuatu? Orang hamil kan biasanya ngidam aneh-aneh."

Gie menggeleng. "Belum ada. Jangankan pengen sesuatu, nyium bau makanan aja Gie mual. Kalo buah-buahan masih aman."

"Nanti aku tanya bunda, deh. Resep masakan yang nggak bikin kamu mual-mual apa." Galang menyusupkan satu tangan ke balik kamisol Gie agar bisa mengusap perutnya. "Perut kamu masih datar begini. Yakin ada isinya?"

Gie memukul bahu Galang. "Ada! Dokter bilang ada. Tapi bentuknya masih kecil banget. Seujung jari mungkin."

Galang manggut-manggut. "Masih berapa bulan lagi sampai anak kita lahir?"

"Kalo di pelajaran biologi, sembilan bulan harusnya. Kamu sering bolos waktu sekolah, sih. Masalah ginian nggak tau." Gie sengaja menggoda Galang.

"Aku taunya cara bikin anak doang. Kalo proses sampe lahir nggak seberapa ngerti."

Gie mencibir. Ia merasakan tangan Galang bergerak naik ke atas, menyentuh payudaranya.

"Eh, sayang. Udah nanya dokter belum kalo lagi hamil begini boleh berhubungan seks atau enggak?" Tanya Galang tiba-tiba.

Gie menggeleng. "Nggak kepikiran buat nanya itu. Ada oma sama mami tadi siang. Jadi Gie nggak bisa leluasa."

"Kapan mau ke dokter lagi?"

"Dua minggu lagi sih jadwalnya."

"Aku aja yang temenin."

"Kamu menawarkan diri nemenin buat nanya masalah itu doang?"

"Ya, enggak. Sama sekalian nanya posisi-posisi yang aman juga. Kalo anak kita kegencet kan kasian."

Gie menyemburkan tawa.

Sebaliknya, Galang justru menghela napas berat. "Yah, puasa lagi dong sampe ketemu dokter."

"Maaf, ya." Sahut Gie di sela-sela tawanya.

Galang menarik kursi Gie lebih dekat. "Nggak papa. Yang penting boboknya masih sama kamu." Ia melingkarkan kedua tangannya di sekeliling tubuh Gie lalu mencium pipi cewek itu berkali-kali, membuat tawa Gie makin keras.

***

Malam ini mereka menginap di apartemen Gie. Kamarnya luas. Kalau dibandingkan, kamar Gie seluas lantai dua rumah Galang. Dia tidak mengerti kenapa Gie betah tinggal di rumahnya padahal dia punya apartemen sebesar ini.

Mungkin karena kesepian.

"Gie punya feeling kalau anak kita bakal kembar."

Mereka sedang berbaring di atas tempat tidur besar milik Gie. Bantal-bantalnya berisi bulu angsa. Di sekeliling tempat tidur ada tirai putih yang disangga kanopi. Tipikal tempat tidur milik tuang puteri. Untung kamar ini didominasi warna netral. Kalau diwarnai pink, mungkin Galang akan tertawa semalaman.

Galang mencium tengkuk Gie. Ia mengeratkan pelukan ke tubuh istrinya. "Tau darimana?"

"Keluarga Gie nggak ada sejarah kembar." Gie mengusap lengan Galang yang melingkari perutnya. "Kamu kan yang ada. Jadi ada kemungkinan kita punya anak kembar. Asik ya, sekali bikin langsung dapat dua." Ia terkekeh membayangkan mereka akan serepot apa mengurus dua bayi sekaligus.

"Bener juga." Kali ini bibir Galang mengecup bagian belakang bahu Gie.

Gie tahu apa niat Galang, jadi ia menyikut perut cowok itu pelan. "Katanya mau puasa? Gie lagi nggak mood ngapa-ngapain."

"Iya, tau." Galang cemberut.

"Sayang."

"Hmm?"

"Kalau semisal kita punya anak tiga gimana?"

"Hah? Kembar tiga? Perutmu nggak muat, Gie!"

Gie mendecakkan lidah. Kalau otak Galang lagi berkabut begini, jadi nggak nyambung diajak ngomong.

"Kata siapa nggak cukup? Bahkan ada loh yang ngelahirin anak kembar sembilan sekaligus." Gie buru-buru menggelengkan kepala. Bukan itu fokusnya. "Maksud Gie, seandainya kita angkat baby-nya Lea jadi anak kita gimana? Adopsi."

Galang perlu waktu beberapa detik untuk mencerna maksud Gie. "Emangnya Lea setuju?"

Gie menggeser tubuhnya agar bisa berhadapan dengan Galang. Tangan Galang otomatis menarik tubuh Gie lebih dekat, tidak ingin jauh-jauh atau tidak menyentuhnya.

"Kondisi mental Lea. Gie nggak yakin dia bisa membesarkan anak itu sendirian."

Galang mengangguk. Itu juga jadi pikirannya sejak kemarin-kemarin. "Aku sih nggak masalah. Cuma..." Ia menghela napas. "Aku belum belajar jadi orangtua. Sedangkan anak itu udah lahir. Gimana?"

"Belajar sama-sama. Ada nanny yang bantu kita. Dia pengasuh profesional bersertifikat. Nanti kita diajarin."

"Kamu lagi hamil, Gie. Kenapa nggak fokus sama kehamilanmu dulu? Anak itu biar diurus sama nanny. Setidaknya sampai kita sama-sama mampu."

Gie menggeleng. "Gie sudah janji sama Lea bakal jamin hidup anak itu." Lalu ia teringat kata-kata Lea tadi siang. Lea ingin anak itu. "Menurut kamu salah nggak sih kalo Gie mempertahankan anak Lea sedangkan Lea sendiri keukeuh mau anaknya dikembalikan?"

Kedua alis Galang terangkat. "Sebentar, sebentar." Ia memandangi Gie tak percaya. "Kamu maksain Lea buat nyerahin anaknya ke kamu?"

Gie menggaruk pelipis. "Habisnya Gie nggak percaya dia, sih. Kalo beneran kena baby blues gimana?"

"Gie, Lea itu sekarang jadi ibu. Kita nggak ada hak sama sekali buat menghalangi Lea memiliki anaknya."

"I know."

"Apa ini gara-gara kontrak yang waktu itu?"

Gie menenggelamkan wajahnya di leher Galang. "Gie tau kalo Gie keliatan kayak maniak kalo lagi pengen sesuatu. Tante Yvonne sering bilang." Ia menghela napas, membayangkan harus mengembalikan bayi Lea jika cewek itu keluar dari rumah sakit. "Gie janji nggak akan menghalangi Lea menemui baby-nya lagi. Gie akan langsung kasih kalo dia minta anaknya dibalikin."

"Emang kamu udah sesayang itu sama anaknya Lea?" Galang benar-benar heran dengan keinginan Gie yang ini.

Gie menggeleng. "Waktu pertama kali liat anak itu, Gie memang merasakan sesuatu. Tapi bukan sayang. Lebih ke... apa ya? Kasihan?"

"Karena bapaknya nggak ada?"

Gie mengangguk. "Dia nggak beruntung. Gie mau kasih semua keberuntungan yang Gie punya. Makanya Gie mau dia."

Galang terdiam cukup lama sebelum akhirnya merespon. "Kita lihat nanti, ya? Tergantung jawaban Lea apa."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top