36 | RED DRESS
Sejujurnya aku sedih banget nulis part kemarin sama yang ini.
Ngerasa bersalah sama Gie.
Tapi ini konflik terakhir, kok.
Hari ini aku up lebih awal dari biasanya.
Semoga kalian suka.
***
Saat Galang melompat turun dari mobil, ia melihat Elsa sedang mengikat rambut di teras. Saudara kembarnya itu mengangkat sebuah baskom berisi air. Lengan blouse-nya sudah dilipat sampai lengan.
"Ambulans belum dateng?" Tanya Galang saat menghampiri Elsa. Dilihatnya wajah dan leher Elsa sudah berpeluh.
"Kejebak macet. Estimasi setengah jam lagi nyampe. Lo tolongin gue."
Galang mengambil alih baskom air di tangan Elsa. "Gue bantu apa?"
"Tolong ambilin air anget, masukin ke baskom lain. Lo cariin handuk bersih juga. Dua kalo ada."
"Kenapa nggak nunggu dokter, sih?"
"Keburu mati anaknya di dalem, bego! Lea kesakitan, ketubannya udah pecah."
"Kenapa juga anaknya mati?? Nggak bisa keluar?" Karena penjelasan irit Elsa, Galang sampai horror membayangkan yang tidak-tidak.
"Lea butuh dipandu. Lagi kontraksi bukannya tenang malah berontak nggak karuan. Sumpah, pegel gue nenangin dia. Nih, rok gue sampe robek gara-gara ditarik sama Lea." Elsa menunjukkan bagian bawah roknya yang robek panjang sampai paha.
Terdengar jeritan Lea dari dalam rumah.
"Buruan lo ambilin air anget sama handuk bersih!" Elsa langsung berlari menuju kamar tempat Lea sedang kesakitan.
Galang pergi menuju dapur. Ia langsung merebus air sambil mencari-cari handuk bersih seperti yang diminta oleh Elsa. Seorang wanita paruh baya tiba-tiba masuk ke dapur.
"Ada apa?"
Galang menghela napas lega begitu melihatnya. Wanita ini pasti salah satu orang yang dibayar Gie untuk membantu Lea selama hamil.
"Lea di kamar. Kontraksi. Mau melahirkan." Cukup tiga kalimat itu saja untuk membuat wanita itu langsung sigap berlari menuju kamar Lea. Galang bersyukur karena sekarang ada bantuan.
Selesai mengirimkan baskom berisi air hangat dan handuk ke dalam kamar bersalin, Galang menunggu dengan resah di ruang tamu. Ia berjalan hilir mudik di depan kamar Lea yang tertutup rapat. Jantungnya berdegup tak terkendali setiap Lea berteriak pilu, sesekali memanggil namanya.
Bersamaan dengan datangnya sebuah mobil ambulans di depan rumah, terdengar juga suara tangisan bayi. Galang jatuh terduduk di lantai saking leganya.
Seorang dokter dan dua orang perawat buru-buru masuk ke dalam rumah.
"Pak Galang." Dokter itu mengangguk singkat untuk menyapa Galang.
Galang tidak kenal dokter itu siapa. Tapi ia yakin kalau dokter dan para perawat itu adalah suruhan Gie juga. Mereka langsung membuka pintu kamar Lea dan masuk ke dalam. Tak berapa lama, salah seorang perawat keluar lagi untuk menyuruh seorang perawat laki-laki membawa stretcher ke dalam rumah. Mereka masuk sambil mendorong tempat tidur beroda yang biasa digunakan untuk mengangkut pasien ke dalam ambulans. Di atasnya terdapat sebuah kantong darah juga.
Elsa keluar dari kamar. Bajunya berlumuran darah. Ia menggendong bayi di dalam selimut. Galang buru-buru bangkit berdiri.
"Gimana Lea?"
"Pendarahan. Sudah ada dokter yang ngurusin. Mau dibawa ke rumah sakit." Elsa menimang bayi itu, sambil menunjukkannya pada Galang. "Cantik, ya?"
Galang mengangguk. Bayi Lea memang cantik. Wajahnya mirip sang ibu.
Perhatian mereka teralih oleh rombongan perawat yang membawa Lea di atas tempat tidur beroda. Cewek itu sudah jatuh pingsan. Tubuhnya ditutup selimut. Tangannya dipasangi selang yang terhubung ke kantong cairan infus dan juga kantong darah. Kondisinya kritis.
"Kami akan bawa dia ke rumah sakit terdekat. Bayinya sehat." Ujar dokter yang mengurus Lea. Usai mengatakannya ia langsung berlari menuju ambulans.
Elsa menyerahkan bayi merah itu ke gendongan wanita yang membantu persalinan.
"Bayi ini biar saya yang urus. Tolong salah satu dari kalian bisa menemani mbak Lea di rumah sakit. Kasihan dia, nggak punya siapa-siapa." Ujar wanita itu.
Sebelum Galang sempat menjawab, Elsa menepuk bahunya pelan. "Gue aja. Bini lo tau?"
"Gie tau gue ke sini. Dia marah banget."
Elsa menghela napas. "Mending lo bicarain berdua. Pasti dia salah paham sama lo. Gue duluan, ya?"
"Gue anterin baju ganti ke rumah sakit buat lo sama Lea."
Elsa mengangguk. "Makasih. Bantu doa supaya Lea nggak kenapa-napa. Dia pendarahan banyak banget tadi."
***
Keadaan Lea sudah stabil. Sekarang dia sudah dipindahkan ke kamar rawat setelah pendarahannya diatasi. Cewek itu belum sadar. Elsa menawarkan diri untuk menjaga Lea di rumah sakit, lalu menyuruh Galang pulang.
Galang baru kembali ke rumah lewat tengah malam. Saat ia membuka pintu depan, keadaan rumah gelap gulita.
Mungkin Gie sudah tidur. Pikir Galang.
Anehnya, tidak ada Dollar atau Euro yang berlarian menyambutnya pulang. Padahal biasanya mereka akan berebut untuk minta digendong. Ia menyalakan lampu rumah lalu naik ke lantai tiga.
Dollar dan Euro tidak tidur di depan kamar mereka. Mungkin malam ini Gie membiarkan mereka masuk dan tidur di kasur. Saat ia membuka pintu kamar, Gie tidak terlihat dimanapun. Perasaan Galang tidak enak. Ia mengecek semua kamar di rumah ini dan tak menemukan sosok yang dicarinya. Bukan hanya Gie dan anjing-anjing mereka yang hilang, koper dan baju-baju Gie juga.
"Shit. Shit. Shit." Tanpa pikir panjang, Galang langsung keluar dari rumah setelah menyambar kunci mobil.
***
Gie tersentak bangun dari tidur. Bantal di bawah kepalanya terasa lembab. Ia meraba wajahnya sendiri yang sudah basah oleh air mata. Lagi-lagi ia menangis dalam tidur. Sambil menghela napas, akhirnya ia bangkit duduk untuk mengeringkan pipi. Diambilnya hp yang tergeletak di dekat bantal. Ada puluhan panggilan tak terjawab dari Galang dan lebih banyak lagi pesan masuk. Ia tak berniat membuka pesan-pesan itu satu persatu. Ia langsung mematikan hp.
Euro dan Dollar sudah terlelap di sebelahnya. Mereka sangat akur kalau sudah tidur begini. Gie memandangi dua anjing beda jenis itu sambil merenung. Dalam keadaan sadar seperti sekarang, hatinya sakit sekali.
Kenapa Galang lebih memilih Lea daripada dirinya?
Gie kurang apalagi?
Kalau masih sayang Lea kenapa malah menikahinya?
Tanpa bisa dibendung, air mata Gie tumpah. Ia menangis sesenggukkan karena patah hati.
***
Pagi-pagi sekali, Porsche merah Gie sudah terparkir di depan rumah Lea yang sepi. Seorang wanita menyambutnya di teras. Wanita itu langsung mempersilahkan Gie masuk ke dalam rumah kontrakan Lea.
"Kemarin mas Galang dan mbak Elsa kemari. Bantuin mbak Lea lahiran." Ujar si wanita.
"Dokternya nggak dateng?" Tanya Gie dengan nada acuh.
"Datang terlambat karena terjebak macet. Mbak Lea pendarahan."
Kepala Gie sontak menoleh. "Terus?"
"Sudah dibawa ke rumah sakit sama dokter dan perawat. Naik ambulans. Kalo nggak ada mbak Elsa dan mas Galang, entah gimana nasib mbak Lea."
Rahang Gie mengeras. Ia menahan emosi sekuat mungkin. "Galang membantu persalinan?"
Wanita itu buru-buru menggeleng. "Mas Galang nunggu di depan kamar. Mbak Elsa sama saya aja yang masuk buat bantuin mbak Lea. Begitu anaknya lahir, mbak Elsa yang potong tali pusar dan memandikan dia. Saya coba menekan pendarahan mbak Lea. Untung dokter sama perawat lekas datang."
"Galang ikut ke rumah sakit?"
"Mbak Elsa yang kebagian tugas nungguin mbak Lea. Mas Galang bantuin saya ngebersihin darah di kamar mbak Lea. Habis itu nganter baju dan perlengkapan mbak Lea ke rumah sakit."
Gie tidak mau duduk di sofa atau dimanapun di rumah ini. Ia mengamati sekeliling rumah dengan tatapan menilai. Kacamata hitamnya tidak dilepas.
"Dimana anak itu?" Tanya Gie datar.
Wanita yang membantu persalinan Lea kemarin pergi ke salah satu kamar, lalu keluar tak lama kemudian sambil menggendong gumpalan kain berisi bayi yang sedang tidur. Wanita itu menunjukkan sang bayi agar Gie bisa melihat lebih jelas.
Lama sekali Gie memandangi bayi mungil itu. Entah apa yang ada dalam pikirannya.
"Siap-siap. Kita berangkat sebentar lagi." Cetus Gie setelah beberapa menit menatap bayi Lea.
***
Helena dan Mamanya sedang minum teh di tengah kolam teratai saat sebuah golf cart mendekat. Penumpangnya adalah Gie. Ia mengenakan gaun panjang merah dengan belahan dada rendah. Gaun itu berbahan sutra keluaran Alexandre Vaulthier. Rambut pendek Gie dijepit di satu sisi, memamerkan anting panjang berkilau di telinga kanannya.
Entah ini bawaan janin dalam perut, atau karena suasana hati Gie yang ingin berpenampilan mencolok hari ini. Pengemudi golf cart yang mengantarkannya ke gazebo kolam teratai membantu Gie turun dari kendaraan mini itu begitu mereka tiba.
Helena Tan mengatupkan kedua tangannya di depan mulut saat melihat bayi dalam dekapan wanita di belakang Gie.
"Ini anak siapa?" Helena mengambil bayi itu dari dekapan si nanny.
"Anaknya mantan Galang."
Oma tersedak teh yang sedang diminum. "Galang punya anak haram??"
Gie menggeleng. Ia ikut duduk di atas kursi karena merasakan kepalanya tiba-tiba pusing. Untung dia pakai kacamata, jadi silau matahari tidak seberapa mengganggunya. "Mantannya Galang punya anak di luar nikah. Bukan anak Galang."
"Kok bisa sama kamu?"
"Gie mau ambil anak ini kalau ibunya terbukti nggak becus ngurusin."
"Astaga, gimana ceritanya sih ini? Ini kok kamu datang sendiri? Suamimu mana?"
"Kerja, kali. Gie nggak tau."
Oma dan Helena saling pandang. "Kalian beneran lagi berantem? Kamu kabur dari rumah, ya?" Pertanyaan bertubi-tubi dari Oma membuat Gie sakit kepala.
Gie melepas kacamatanya. "Tau darimana kami berantem?"
"Tengah malem Galang datang kesini nyari kamu. Dia nggak percaya kalo kamu nggak tinggal di sini. Sempat ribut sama Yvonne. Dia ngira Yvonne nyembunyiin kamu."
Punggung Gie langsung tegak. "Galang kesini?"
Mami Gie mengangguk sambil menimang bayi dalam dekapan. "Kalian berantem kenapa?"
Gie menghembuskan napas berat. Ia memandangi bayi dalam gendongan Mami. "Gara-gara anak itu lahir. Galang panik. Dia bahkan nggak sempat denger kabar dari Gie. Gie lagi hamil sekarang. Habis ini dr. Evan dateng sama dokter kandungannya Gie."
Kedua wanita di depan Gie terpaku di tempat. Perlahan ekspresi mereka berubah bahagia. "Sungguhan, Gie??"
Gie mengangguk. "Baru tiga minggu. Hari ini mau diperiksa dulu."
"Terima kasih, Tuhaannn!" Pekik Oma.
Wanita yang membantu persalinan Lea kemarin ikut tersenyum mendengar kabar bahagia itu. Dia adalah seorang pengasuh anak bersertifikat yang diminta Gie untuk mendampingi Lea selama hamil sampai melahirkan. Sekarang kontraknya diperpanjang oleh Gie untuk mengurus bayi Lea sampai Gie memutuskan kapan akan berakhir.
***
Gie duduk di atas sofa tepat di depan ranjang dimana Lea sedang tidur. Cewek itu duduk sambil menyilangkan kaki. Kedua tangannya diletakkan di atas paha. Punggungnya tegak. Di balik kacamata gelap yang sedang ia kenakan, cewek itu memperhatikan Lea, menunggunya bangun.
Tepat lima menit kemudian, Lea membuka mata. Ia mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan diri. Ruangan ini asing baginya. Namun bau-bauan alkohol khas rumah sakit seharusnya bisa memberi Lea petunjuk sedang berada dimana ia sekarang.
"Just about time (Akhirnya)." Gumaman Gie cukup keras di telinga Lea. Ia melihat sosok Gie dengan gaun merah mencolok sedang duduk di seberang tempat tidur, mengamatinya.
"Kamu..." Suara Lea parau.
Gie bangkit berdiri. Sepatu hak tingginya berbunyi nyaring saat ia berjalan mendekati ranjang. "Gimana perasaanmu sekarang?" Nada suara Gie yang dingin membuat jantung Lea berdegup lebih kencang karena antisipasi.
"Capek."
"Anak kamu sama Gie sekarang. Dia bayi perempuan yang cantik."
Lea mengangguk. "Aku nggak mau tanda tangan kontrak itu."
Gie melipat kedua tangannya di atas perut, menutupi belahan dadanya. "Dokter-dokter Gie akan mengawasi kamu. Mereka yang akan nilai kamu layak membesarkan anak itu ato enggak."
"Aku berterima kasih kamu udah bantu aku selama ini. Tapi aku nggak mau kasih anakku ke kamu."
"Masa depan dia udah Gie jamin. Tetap nggak mau?"
Kedua mata Lea berkaca-kaca. "Aku mau anakku."
"Kamu nggak akan bisa besarin dia sendirian."
"Ada Galang. Kami akan menikah dan-"
Gie tertawa setengah mendengus. "Dia belum ngasih tau kamu, ya?"
Wajah pucat Lea berubah bingung. "Beritahu apa?"
"Galang sama Gie udah nikah. Dua setengah bulan yang lalu. Di Swiss. Dia suami Gie sekarang."
Hati Lea mencelos saat mendengarnya. Darah serasa dipaksa turun dari kepala. "A-apa?"
Gie menghembuskan napas berat dari hidung. Tubuhnya condong ke depan, dengan kedua tangan bertumpu di sisi ranjang. "Kami sudah menikah. Jangan harap bisa menggantungkan hidupmu sama dia lagi."
Lea tergagap. "Tapi dia janji-"
Gie menggeleng. "Galang nggak pernah menjanjikan apa-apa sama kamu. Itu hanya delusimu aja. Sudah waktunya kamu bangun, Lea."
Lea menggeleng. "Nggak mungkin! Galang cintanya sama aku!"
Gie tersenyum sinis. "Akhir-akhir ini banyak banget yang ngerebutin suami Gie. Bikin repot aja." Ia menegakkan tubuhnya lagi. "Pikirkan sekali lagi tentang apa yang mau kamu lakukan dengan anak itu. Pakai waktumu selama istirahat di sini. Gie sabar nunggu, kok." Ia mengangkat satu tangan untuk menepuk kepala Lea, namun lebih dulu ditepis kasar. Lea memandangnya penuh benci. Gie hanya tersenyum tipis.
"Putuskan dengan hati-hati." Lanjut Gie kemudian sebelum berbalik untuk berjalan keluar dari kamar.
***
"Gie?" Elsa baru kembali dari kantin rumah sakit untuk makan siang saat ia tak sengaja melihat sosok glamor Gie baru keluar dari kamar rawat Lea.
Cewek bergaun merah itu menoleh. Ia melepaskan kacamatanya, lalu berjalan menghampiri Elsa sambil tersenyum tipis. Sembab matanya tertutup oleh riasan. Meski make up Gie sempurna, Elsa masih bisa melihat jejak kesedihan di sana.
"Kok lo di sini?" Elsa mengulurkan sebotol minuman isotonik pada Gie. Cewek itu menolak dengan sebuah gelengan kepala.
"Cuma liat Lea. Gie mau langsung balik."
"Nggak nunggu Galang dulu? Semalaman dia nggak tidur nyari lo. Baru ini tadi gue suruh pulang buat istirahat."
Ekspresi Gie masih datar. Elsa agak kesulitan membaca suasana hati kakak iparnya ini.
"Kalo ini gara-gara Lea kemarin-"
Gie lebih dulu memotong. "Gie duluan, ya? Agak repot hari ini."
"Gie, tunggu! Lo tinggal dimana?" Elsa mencegah Gie.
Gie tidak menjawab. Lagi-lagi ia hanya tersenyum tipis sebelum benar-benar pergi. Elsa geleng-geleng kepala. Baru kali ini dia bertemu orang seteguh Gie. Kalau sudah marah, mengkhawatirkan.
***
Galang baru turun dari taksi. Dia sengaja tidak bawa kendaraan sendiri sore ini karena tidak percaya diri menyetir dalam keadaan emosi yang susah dikontrol. Bayangan hitam tercetak tebal di bawah kedua matanya yang agak merah akibat kurang tidur. Wajahnya tidak sempat dicukur. Sebelum naik ke lantai tempat Lea dirawat dan Elsa sedang menunggu, ia menghampiri vending machine, membeli sebotol kopi instan agar kepalanya tetap fokus.
Satu tangannya sedang membawa kantong plastik berisi dua kotak makanan untuk Elsa dan dirinya sendiri.
"Lang." Elsa menepuk bahunya.
"Abis darimana?" Tanya Galang. Ia menyerahkan kantong plastik berisi makanan pada Elsa.
"Dari ATM tadi." Elsa memandangi wajah Galang lekat-lekat. "Astaga, lo nggak tidur?"
Galang menggeleng. "Nggak bisa tidur."
"Masih nggak bisa ngehubungin Gie?"
Lagi-lagi Galang menggeleng. "Nomornya aktif, tapi dia nggak angkat ato balas pesan gue." Cowok itu benar-benar nampak kacau. "Gue udah nyoba nyari di hotel-hotel tempat dia biasa nginep. Nggak ketemu."
"Tadi Gie habis dari sini." Kata-kata Elsa barusan membuat Galang menyemburkan kopi yang sedang diminumnya.
"Serius??" Galang mengelap mulutnya dengan punggung tangan. Elsa mengangguk.
"Nggak lama. Dia langsung pergi setelah datengin Lea. Lea tadi cerita ke gue kalo anaknya sekarang dibawa sama Gie. Dia juga bilang kalo Gie udah ngasih tau tentang pernikahan kalian. Lea down banget. Makanya gue nungguin lo di sini biar lo nggak usah naik ke atas."
"Sekarang Gie dimana?"
"Udah balik."
"Kok nggak lo tahan? Kenapa nggak nelpon gue langsung?"
"Mana sempetlah! Keburu dia pergi. Dia bilang lagi repot hari ini. Dan enggak. Dia nggak bilang dia tinggal dimana." Elsa langsung tahu apa yang sangat ingin ditanyakan oleh Galang.
Bahu cowok itu otomatis merosot. Luar biasa kecewa.
Sekarang dia harus mencari Gie kemana lagi?
Tiba-tiba Galang teringat seseorang.
Janesa.
***
Gie menggenggam erat rosario di kedua tangannya sambil memejamkan mata. Waktu dua jam di depan altar tidak sepenuhnya ia gunakan untuk berdoa. Sesekali dia hanya diam dan menikmati keheningan di sekelilingnya. Saat ia mulai capek, ia bangkit berdiri. Rosarionya ia lilitkan di pergelangan tangan.
"Regie." Romo Robert menyapanya.
Gie tersenyum lebar. Sudah lama dia tidak melihat sosok Romo. "Apa kabar, romo?"
"Puji Tuhan selalu baik. Kamu sendiri bagaimana? Lama tidak muncul."
"Iya. Gie agak sibuk belakangan."
"Saya lihat kamu berdoa lama sekali." Romo Robert tersenyum. Senyumnya meneduhkan hati siapapun yang melihat.
"Sambil menenangkan diri, romo."
Mereka berdua akhirnya duduk berhadapan di bangku terdekat. "Apa ada masalah di rumah?"
Gie menggeleng sambil tersenyum. "Gie hanya merasa agak sesak."
"Apa menceritakan bebanmu pada Tuhan membuatmu merasa lebih baik?"
Gie mengangguk. "Gie merasa lebih tenang." Ia menatap rosario di tangannya. "Panti asuhan gimana, romo? Kabar anak-anak baik semua, kan?" Gie mengalihkan topik ke kabar panti asuhan yang berdiri di belakang bangunan katedral.
Romo Robert mengangguk. "Mereka semua baik, tidak kurang apapun. Berkat bantuan yang selalu kamu kirimkan setiap minggu. Beberapa dari mereka menanyakan kapan kamu berkunjung lagi, mereka mau dengar kamu bercerita."
Hati Gie serasa terbang saat mendengar itu. "Secepatnya, romo. Ngomong-ngomong, daftar anak-anak yang berpotensi untuk mendapat beasiswa apa sudah selesai dibuat?"
Romo Robert mengangguk. "Sudah. Sejauh ini ada lima belas anak cemerlang yang bisa mendapat beasiswa itu. Mereka senang sekali waktu diberitahu kalau kamu akan menyekolahkan mereka di luar negeri."
"Mereka anak-anak cerdas, romo. Sayang kalo nggak diasah di tempat terbaik."
"Kamu baik sekali, Regie. Semoga Tuhan mempermudah segala urusanmu."
"Amin." Balas Gie. "Oh iya, sekarang Gie sudah menikah, lho." Ia memamerkan dua cincin di tangannya.
"Wah, selamat, selamat." Romo Robert tersenyum makin lebar, merasa ikut gembira atas kabar baik yang dibawa Gie. "Apa pernikahanmu baik? Bahagia?"
Mendadak mood Gie jadi turun lagi. Ia menghela napas panjang. "Gie dapat laki-laki yang luar biasa. Cuma sekarang Gie mulai ragu, apa benar Gie adalah jodoh yang tepat buat suami Gie."
"Kenapa bilang begitu, nak?"
Gie tersenyum sendu. "Gia hanya merasa nggak cukup baik untuk seseorang. Siapapun."
Romo Robert memandangi Gie lekat-lekat. Ia sudah cukup lama mengenal Gie dan keluarga Tan. Dia sendiri yang membaptis Gie waktu usia Gie masih lima tahun. Sudah mengenalnya begitu lama, ia tahu betul kalau Gie adalah orang yang sangat baik.
Tiba-tiba Gie mulai sesenggukan. Ia tak dapat menahan emosinya sendiri. Hormon kehamilan membuatnya jauh lebih sensitif. Ia menyesali dirinya yang dahulu pernah mengatai Lea cengeng. Romo Robert mengulurkan sebuah sapu tangan padanya.
"Maaf, romo. Gie agak..." Gie tak sanggup meneruskan kata-katanya. Air mata sudah tak dapat dibendung lagi. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Memikirkan Galang hanya membuat dirinya makin rindu. Dia kecewa, tapi dia ingin Galang berada di sisinya sekarang. Memeluknya. Mengatakan kalau semua baik-baik saja.
"Nggak apa-apa, nak. Kalau menangis bisa membuatmu lebih baik, sebaiknya jangan ditahan."
Cukup lama Gie menangis ditemani Romo Robert. Sapu tangan yang diberikan oleh Romo Robert sudah lembab karena air mata. Pria yang usianya lebih muda sepuluh tahun dari Opa Atmodjo itu dengan sabar menunggui Gie, sesekali ia menyenandungkan lagu Amazing Grace tanpa lirik untuk menghibur hati Gie. Bukannya berhenti, tangis Gie justru makin kencang.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top