35 | IN BETWEEN

Irene tidak tahu apa arti senyum Gie barusan.

"Mau ngobrolin apa, buk?" Irene sebal karena niatnya untuk mengikuti Galang ke gudang supaya jauh dari cewek ini jadi batal.

"Duduk dulu." Gie menunjuk sofa tempat Galang tadi duduk dengan dagu.

"Saya berdiri aja, deh. Banyak kerjaan di bawah."

Irene sok sibuk biar tidak lama-lama berhadapan dengan Gie. Di lain pihak, senyum Gie masih belum pudar. Ia men-scroll layar hpnya.

Gie berdeham. "Malam ini dingin, telpon Irene aja buat ngangetin kamu." Ia membaca keras-keras.

Kedua alis Irene menyatu.

Gie melirik Irene. Ah, sepertinya dia belum sadar karena ini unggahan Irene dua tahun yang lalu. Gie membaca lagi. "Open BO langsung kirim pesan." Gie melirik Irene lagi, penasaran dengan raut wajahnya.

"Bu Regie buka media sosial saya? Lagi stalking?"

Senyum Gie makin lebar. Akhirnya Irene paham juga. Ia memutar layar hp agar Irene bisa lihat. "Seru, sih. Foto-foto kamu nanggung banget. Kenapa nggak sekalian telanjang?" Layar hp Gie sedang memunculkan sebuah foto Irene dengan pose menggoda. Ia hanya mengenakan bra dan celana dalam. Gie masih belum selesai. "Yang booking kamu om-om ato adek-adek? Paling mahal berapa?" Nada suaranya terdengar benar-benar penasaran.

Rahang Irene mengeras. Ingin sekali ia merobek bibir Gie yang sedang tersenyum itu.

"Kok diem?" Tanya Gie lagi.

"Akun-akun itu udah aku hapus. Kok bu Regie bisa buka?" Irene malah balik bertanya.

Gie menggaruk pelipis yang tiba-tiba gatal. "Gimana, ya? Sumbernya Gie itu banyak." Gie masih sibuk men-scroll layar hp. "Ini waktu kamu kuliah, kan? Kamu jadi ayam kampus? Bener itu bukan istilahnya? Atau sugar baby? Atau pelacur?"

Irene menggebrak meja Gie dengan kedua tangan terkepal. "Dapet darimana akun-akun itu?!"

"Tangan kamu nggak sakit?" Gie meringis membayangkan tangan Irene nyeri karena habis menghantam permukaan meja yang kokoh.

"NGGAK USAH NGALIHIN TOPIK, SIALAN!" Seru Irene.

Gie tidak terpengaruh sama sekali. Ia malah duduk sambil menyandarkan tubuh ke kursi, seakan sedang menikmati luapan emosi Irene.

"Gie pikir-pikir, sekedar mecat kamu rasanya kurang." Ujar Gie tenang. "Kalo Gie sebarin bisnis sampingan kamu gimana? Biar makin rame juga bookingan kamu."

"Maumu apa, sih?!"

"Gie mau kamu bikin surat pengunduran diri hari ini juga. Kasih ke Mareta. Gie sengaja nggak mecat kamu biar nggak perlu ngasih pesangon."

"Eh, lonte, salahku apa sampe berani nyuruh-nyuruh resign??"

"Salahmu apa? Kamu nggak nyadar sering godain suami Gie di sini?"

"Suami? Halu banget nih cewek!" Irene mendengus. "Mana buktinya kalo kalian nikah? Cuma dijadiin pasangan kumpul kebo aja ngaku-ngaku jadi istrinya!"

Gie mengerjapkan mata, agak bingung dengan arti istilah-istilah makian yang diucapkan Irene padanya. Dia belum pernah dengar. Sebaiknya nanti ia tanyakan pada Galang.

Untuk menjawab pertanyaan Irene, Gie membuka laci meja. Ia mengeluarkan beberapa lembar hasil fotokopi buku nikah serta catatan pernikahan waktu di Swiss. Ia mendorong kertas-kertas itu pada Irene agar cewek tidak tahu diri ini bisa membacanya.

"Yang asli ada di rumah." Ujar Gie.

Kedua mata Irene nyalang saat membaca kata demi kata yang tertulis di sana. Ia memandangi Gie dengan tatapan penuh benci. "Lonte sialan!" Desis Irene.

"Daritadi nyebut itu terus. Artinya apa, sih?"

Irene maju ke depan untuk meraih Gie. Namun Gie dengan santainya mendorong kursi ke belakang, membuat raihan tangan Irene tidak sempat menyentuhnya.

"Sini, kamu! Biar kurobek mukamu!" Seru Irene.

"Wah, sakit jiwa." Gumam Gie pelan. Ia bangkit berdiri saat Irene coba memanjat meja untuk mendekat ke arahnya. Cewek itu bermaksud menerkamnya, namun Gie lagi-lagi menghindar sambil memutar badan. Ia heran melihat tingkah Irene yang sudah seperti orang gila. Mereka berkejaran di ruangan itu dengan latar belakang suara teriakan Irene.

Gie melepas stiletto-nya agar bisa menghindar dengan gesit. Ia melompati sofa, membuat Irene berteriak frustasi. Cewek gila itu ikut-ikutan melompati sofa. Gie menghindar lagi ke balik guci besar bergambar naga biru yang ia dapatkan dari lelang di Shanghai beberapa tahun lalu. Irene membanting guci itu sampai pecah berkeping-keping. Kedua mata Gie membulat ngeri.

"Harganya tiga juta dollar, dasar sinting!!" Pekik Gie. Ia beringsut maju untuk menyerang Irene saat pinggangnya ditarik oleh sepasang lengan berotot seseorang.

"Lepasin! Dia ngerusak guci langkanya Gie! Itu peninggalan dinasti Han!!" Gie berontak dalam pelukan Galang. Di lain pihak, cowok itu coba melindungi Gie dari amukan Irene. Ia meringis kesakitan saat leher dan punggungnya dicakar-cakar oleh cewek itu.

Mareta yang barusan datang dengan tergopoh langsung masuk untuk menahan tubuh Irene, dibantu oleh beberapa karyawan lain.

"Kembali ke sini!" Gie menggeram penuh emosi saat melihat Irene diseret keluar dari ruangan itu.

"Gie, sudah!" Bentakan Galang akhirnya menyadarkan Gie. Ia tak lagi berontak. Napasnya memburu. Jantungnya masih berpacu cepat karena gejolak emosi. Melihat Gie sudah mulai tenang, Galang melepaskannya. "Maaf aku bentak kamu." Lanjut Galang dengan penyesalan.

Gie tidak menjawab. Cewek itu langsung menghampiri pecahan guci antik yang berserakan di lantai. Galang menarik lengan Gie saat cewek itu hampir menginjak pecahan besar di dekat kakinya.

"Cuma guci, sayang." Ujar Galang pelan.

"Guci ini umurnya ribuan tahun. Gie taruh sini supaya membawa keberuntungan buat kita." Gie memandangi pecahan gambar naga biru di dekat kakinya. "Cewek itu nggak waras."

"Udah tau dia nggak waras malah kamu ladenin." Galang membawa Gie ke pelukannya. Tanpa sengaja Gie melihat sebuah bekas cakaran memanjang beserta jejak darah di kulit leher Galang. Ia memutar tubuh suaminya dan mendapati lebih banyak bekas cakaran di sekitar tengkuk cowok itu. Kaos bagian belakangnya juga terkoyak-koyak.

"Dasar orang gila!" Amarah Gie terbit lagi. Ia ingin menyusul Irene dengan niat membunuh. Namun lagi-lagi pinggangnya ditarik oleh Galang.

"Udah dong, Gie. Aku capek, nih."

"Dia harus dapat balasan!"

"Nggak usah. Katamu dia nggak waras. Mending kita yang waras aja yang ngalah. Buang-buang tenaga, sayang."

"Gie mau dia membusuk di penjara." Kali ini ia beralih untuk mengambil hp dari atas meja kerja. Lagi-lagi Galang mencegah Gie. Ia merebut hp itu dari tangan istrinya. "Kenapa sih? Kamu belain dia??!" Semprot Gie.

"Kamu nggak rugi waktu apa?"

"Enggak! Dia udah mecahin guci antik Gie dan bikin kamu luka."

"Kita pecat dia. Selesai."

"Gie nggak puas kalo cuma mecat dia!"

Galang menghela napas. "Aku nggak mau kamu buang-buang waktu ngurusin orang kayak dia. Nggak sepadan sama tenagamu, sayang. Udahlah. Lagian itu cuma guci, dan aku nggak apa-apa."

Gie memegangi pelipisnya, tiba-tiba merasa pusing. Perutnya juga jadi mual. Seisi ruangan berputar. Galang yang menyadari wajah Gie yang mendadak pucat langsung menuntunnya untuk duduk di sofa. Gie menduga stress yang datang secara tiba-tiba memicu asam lambung sampai dia jadi begini.

"Kenapa, Gie? Kamu pusing?" Wajah Galang sudah cemas.

Gie buru-buru menggeleng. "Nggak papa. Pusing sedikit."

"Kita pulang aja, ya?"

"Nggak usah. Dipake istirahat bentar juga sembuh."

Pintu ruangan mereka diketuk. Mareta langsung masuk. "Irene sudah dianter ke kantor polisi. Bu Regie mau dia di penjara?"

Galang memandang Mareta lekat-lekat. Asisten istrinya ini mirip robot. Kesetiaannya hanya untuk Gie. Apapun yang Gie suruh, pasti Mareta akan lakukan. Mareta ini sengaja diambil Gie dari perusahaan keluarganya. Jadi ikatan mereka sudah tidak perlu diragukan lagi.

Gie mengibaskan tangan. "Nggak usah. Urus aja pemecatannya."

Mareta mengangguk. "Bu Regie mau dipanggilkan dr. Evan? Muka bu Regie pucat." Ia sudah mengeluarkan hp dari saku celana, berniat menghubungi dokter keluarga Gie.

"Nggak perlu, Reta." Gie menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Merasa tidak nyaman, ia duduk tegak lagi sebelum menyandarkan kepalanya di atas bahu Galang. Kedua matanya terpejam. Suaminya melingkarkan kedua lengan di sekeliling tubuh Gie. "Lain kali kamu adakan psikotes juga buat calon karyawan. Cari tau latar belakangnya. Gie nggak mau kamu nerima karyawan sinting kayak Irene. Apapun alasannya."

"Maafkan saya, bu Regie. Saya akan mendisiplinkan diri saya sendiri dengan memotong gaji saya selama tiga bulan."

Tuh, kan. Galang bilang juga apa. Mareta ini mirip robot.

"Nggak perlu. Ini bukan salah kamu. Urus aja pemecatan Irene sekarang. Kamu boleh keluar." Mareta mengangguk lalu berbalik keluar dari ruangan.

"Kamu yakin nggak mau ke dokter?" Tanya Galang ketika Mareta sudah pergi.

"Nggak usah. Gie pengen tidur sebentar."

Galang melihat wajah istrinya lebih pucat. Akhirnya ia putuskan untuk membiarkan Gie tidur. Galang meletakkan bantal cushion di sofa agar Gie bisa tidur dengan nyaman. Selagi cewek itu beristirahat, Galang membereskan pecahan guci di lantai.

***

Gie hamil.

Jantung Gie serasa merosot jatuh ke lantai saat dr. Evan memberitahunya.

"Baru tiga minggu. Selamat ya, Gie." Senyum teduh dr. Evan terkembang di bibir.

Gie memang sering berkata kalau dia ingin punya anak agar Opa Atmodjo senang. Tapi tidak sekarang juga.

"Kehamilan Gie nggak bisa dipending, dok? Di-undo."

Dokter itu mengernyit. "Kamu mau gugurin kandungan?"

Kedua mata Gie membelalak. "Enggak." Ia mengibaskan tangan. "Abaikan aja pertanyaan Gie barusan. Gie agak kaget tadi."

Dokter itu tersenyum lagi. "Saya tau." Ia menyodorkan sebuah kartu nama pada Gie.

"Ini dokter kandungan yang paling saya rekomendasikan untuk kamu."

Gie menerima kartu nama itu dengan sebuah anggukan.

"Suami kamu mana? Nggak ikut nemenin?" Tanya dr. Evan penasaran.

"Kerja. Dia sibuk."

"Kapan resepsi kalian digelar?"

"Ada tanggal baik bulan depan. Nanti dr. Evan akan langsung Gie kirim undangannya."

Dokter itu mengangguk. "Saya senang akhirnya kamu dapat laki-laki baik. Saya pernah dengar nama Gallagher disebut-sebut oleh mami kamu. Kelihatannya mami kamu sangat suka padanya."

Gie tersenyum tipis. "Gie pamit ya, dok. Mau langsung pulang." Ia bangkit dari kursi pasien.

"Mau saya aturkan jadwal temu dengan dokter kandungan sekalian?"

Gie mengangguk. "Boleh. Secepatnya kalo bisa."

"Hari ini juga bisa. Ruangannya di sebelah, kok."

Jadilah dr. Evan mengantarkan Gie ke ruangan dr. Imelda, seorang dokter spesialis obgyn sekaligus sahabat dr. Evan sendiri. Gie memperhatikan antrian yang mengular di depan ruang praktek dr. Imelda. Mereka semua adalah wanita hamil. Ukuran perut mereka bervariasi. Ada yang masih rata, ada yang buncit sedikit, ada pula yang sudah besar seperti balon. Tanpa sadar Gie menelan ludah. Tiba-tiba ia berbalik.

"Antriannya banyak. Gie nggak mau motong." Cewek itu langsung berubah pikiran.

Dokter Evan mengernyit. "Tumben. Biasanya kamu nggak pedulian orangnya."

"Bisa minta tolong kirimin ke Gie buku panduan kehamilan aja untuk hari ini? Gie mau ketemu dr. Imelda besok aja. Mau Gie undang ke rumah opa. Gie nggak nyaman kalo di sini."

Laki-laki itu mengangguk tanpa banyak bicara. "Besok saya dan dr. Imelda akan berkunjung ke rumah." Dokter itu menuntun Gie sampai ke lobi rumah sakit. "Kamu banyak-banyak istirahat, ya. Kurangi stress, rutin olahraga, dan jangan biarkan perutmu kosong. Sekarang bukan hanya kamu yang perlu diberi makan. Bayimu juga."

Gie masih agak syok dengan kabar kehamilannya jadi ia hanya mengangguk saja.

"Kesini naik apa?"

"Ada supir yang jemput. Makasih untuk hari ini ya, dok. Besok Gie tunggu di rumah opa."

***

Gie duduk termenung di meja makan sambil menunggu Galang pulang. Tanpa sadar ia mengusap perutnya yang masih rata. Anak ini muncul lebih awal dari rencana Gie. Tapi bukankah selama ini dia dan Galang berhubungan rutin hampir setiap hari. Ini hasilnya kalau sel telurnya dibuahi. Daridulu teorinya kan begitu. Tapi kenapa Gie masih kaget, ya?

"... sayang?" Gie terlonjak saat lengannya disentuh oleh Galang yang baru pulang dari bengkel. Raut wajahnya cemas. "Kamu kenapa? Aku panggilin daritadi tapi diem aja."

Gie buru-buru menggeleng. Ia memaksakan sebuah senyum. "Maaf, Gie tadi ngelamun."

Galang menarik kursi agar bisa duduk di sebelah Gie. "Ada apa?" Ekspresi Galang malah makin khawatir.

"Nggak ada apa-apa. Cuma..." Gie menggigit bawah bibirnya. Apa Galang akan sesenang yang dibayangkannya jika tahu dirinya hamil?

Galang mengusap lengan Gie untuk memberinya keberanian. "Cerita ada apa."

Gie menghela napas panjang. "Gie ha-"

Ucapan Gie terpotong oleh suara dering hp Galang. Cowok itu mengangkat hp yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Nama Elsa tertera di layar. Ia langsung mengangkatnya.

"Kenapa, Els?"

Terdengar samar-samar suara Elsa di ujung telepon. Apapun yang dikatakan Elsa cukup membuat Galang terkejut. Ia mengerjapkan mata agak bingung.

"Iya, gue kesana sekarang." Galang mematikan sambungan telepon.

"Kenapa sama Elsa?" Gie jadi ikut-ikutan cemas saat melihat gurat kegelisahan di wajah suaminya.

"Elsa bilang Lea melahirkan."

Gie bingung kenapa Galang harus secemas ini. "Terus kenapa?"

"Maaf ya, Gie. Aku harus ke rumah Lea sekarang. Kamu mau ikut?"

Gie masih tidak mengerti. "Ngapain kesana?"

Umur panjang, Lea menelepon Galang. Gie sempat melihat namanya di layar. Galang buru-buru mengangkatnya. Ia me-loudspeaker panggilan itu agar Gie bisa dengar juga.

"Galaaannggg!" Teriak Lea sambil mengejan.

Gie terkejut. What the heck?! Kenapa dia teriak-teriak nama suami orang, sih?!

"Aku mau kamu di sini, Lang!" Seru Lea di seberang telepon.

Gie menatap Galang dengan ekspresi yang sulit diartikan. Galang mengabaikan raut wajah Gie.

"Lo udah telepon ambulans?" Tanya Galang. Gie tahu suaminya menahan kegelisahan. Terbukti dari caranya mengusap bagian belakang lehernya dengan wajah kalut.

"Udah. Mereka dalam perjalanan." Lea terisak. "Galang, aku mohon. Aku butuh kamu di sini."

"Shit." Umpat Galang pelan. Benaknya sudah dipenuhi skenario Lea membunuh anaknya yang baru lahir akibat depresi paska melahirkan. "Elsa juga dalam perjalanan ke rumah lo. Lo tahan dulu, ya?"

"Aku ngabarin Elsa buat nyuruh kamu kesini!" Lea masih berseru sambil menahan sakit. Nadanya terdengar menyedihkan.

"Oke, tunggu. Lo tahan dulu. Gue kesana." Galang mematikan telepon. Ia langsung berbalik pergi setelah menyambar kunci mobil.

"Galang?"

Panggilan Gie menyadarkannya. Ia berbalik untuk memandang istrinya dengan perasaan serba salah. "Aku mau ke rumah Lea. Kamu denger sendiri dia lagi kesakitan."

"Terus Gie gimana?" Nada suara Gie terdengar hampir kosong saat mengatakannya. "Istri kamu kan Gie. Bukan Lea."

"Sayang, ini bukan waktu yang tepat untuk ngobrol. Aku janji kita bicara setelah aku pulang ngurusin Lea, ya?"

Gie menggeleng. "Gie nggak mau kamu kesana."

"Sayang, please. Ini masalah hidup dan mati."

Gie tetap menggeleng tegas. "Kamu keluar dari pintu itu, Gie nggak akan maafin kamu."

Bayangan akan bayi tidak berdosa di tangan Lea lebih dominan daripada rasa bersalah Galang pada Gie.

"Maaf, Gie."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Galang keluar dari pintu. Gie jatuh terduduk di kursi meja makan. Tatapannya kosong. Ia memegangi perutnya sendiri. Sebulir air mata jatuh ke atas punggung tangannya. Ia menangis tanpa suara.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top