33 | PUASA
Pembukaan bengkel hari ini berlangsung meriah. Gie merasa cukup puas dengan antusiasme langganan-langganan Galang yang datang. Mobil-mobil mewah dan sports berjejal parkir memenuhi jalan di sekitar bengkel mereka. Gie sampai harus meminta lebih banyak tambahan pihak keamanan untuk berjaga di parkiran.
Karena pada dasarnya Gie kurang suka keramaian, begitu acara inti selesai, Gie langsung naik ke atas. Meninggalkan Galang bersama para tamu. Sedangkan ia sendiri beristirahat di lantai tiga sambil ngadem. Belakangan ini ia sering pegal-pegal karena kurang istirahat. Maklum, seumur hidup baru kali ini dia bekerja.
Pintu kaca diketuk dari luar. Kepala Elsa menyembul ke dalam.
"Kopi?" Ia memamerkan dua cup es kopi di tangan.
Gie mendesah lega. "Kamu penyelamat Gie!"
Kedua tangan Gie terulur, tak sabar untuk menyentuh minuman itu. Elsa sampai tertawa melihatnya. "Minum pelan-pelan."
Gie mengangguk sebelum menenggak kopi dari cup. Ia tersenyum saat merasakan guyuran dingin memenuhi tenggorokan. "Gie paling nggak betah di bawah. Panas banget."
"Kan emang ruangannya terbuka. Mau dikasih pendingin ruangan sebanyak apa juga nggak mempan."
Gie memainkan cincin pernikahan dari Galang di jari manis tangan kanannya. Kemarin cowok itu memberikan cincin ini sebagai kejutan. Cincin itu bertakhtakan berlian dan didesain oleh Tiffany & Co. Brand perhiasan favorit Gie. Cincin dari mama Galang ia pindahkan ke jari manis tangan kiri.
"Masih rame di bawah?" Tanya Gie.
"Banget! Ada aja tamu yang baru dateng. Selamat, ya! Pembukaan kalian sukses. Sampe diliput majalah otomotif juga lho si Galang. Abis wawancara tadi gue liat."
Gie mengangguk. "Padahal Gie ato Galang nggak ngundang jurnalis. Mungkin pamornya Galang emang udah bagus dari dulu." Ada sepercik rasa bangga dalam hati Gie.
"Karyawan lo juga banyak. Tumben-tumbenan Galang mau ngerekrut cewek."
"Emang kenapa kalo ada cewek?"
"Anak-anak jadi pada gagal fokus. Ngeliatin sama ngegodain mereka mulu kalo kerja. Namanya juga cowok. Kan populasi pekerja cowok di bengkel lebih banyak ketimbang ceweknya."
Gie manggut-manggut. "Ada Mareta, kok. Dia pinter ngurusin orang. Cocok jadi personalia."
"Lo nggak khawatir sama cewek-cewek baru yang pake seragam merah?"
"Seragam merah?" Gie coba mengingat-ingat. "Oh, yang kerja di bagian front liners? Kenapa sama mereka?"
Memberi seragam dengan warna berbeda sesuai dengan jobdesc adalah ide Mareta. Katanya sih biar lebih mudah mengenali karyawan. Padahal karyawan di bengkel ini juga tidak sebanyak itu sampai membuat mereka lupa nama satu sama lain.
"Gue liat mereka suka caper ke tamu-tamu cowok di bawah. Bagus sih buat bisnis, tapi kalo kebablasan gimana? Kan mereka bukan sales promotion yang bertugas buat cari klien baru." Elsa mengipasi wajahnya dengan tangan. Dia naik ke ruangan ini karena ingin ngadem juga.
"Biar nanti Gie kasih tau Mareta buat negur mereka. Gie nggak seberapa merhatiin soalnya."
Elsa mengangguk. "Lo nggak gampang cemburuan, ya?"
Gie mengedikkan bahu. "Gie pernah cemburu sama kamu waktu di Swiss."
"Gue inget yang itu. Lo ngeliatin gue sadis banget."
Gie tersenyum kecil. "Kenapa nanya Gie cemburuan ato enggak?"
Elsa terlihat tidak nyaman. "Salah satu karyawan lo. Yang pake seragam merah-merah." Elsa meringis. "Njirlah, gue kayak lagi ngadu-ngadu." Ia malah ngomel sendiri.
"Kenapa, Els?" Gie menahan tawa karena melihat ekspresi gelisah Elsa yang ia anggap lucu. "Karyawan yang pake baju merah-merah kenapa?"
"Kayaknya salah satu dari mereka naksir berat sama Galang."
Salah satu alis Gie terangkat. "Yang badannya paling montok itu, ya? Pake baju paling ketat?"
Elsa terkejut. "Nah, lo tau?"
Gie mengangguk. "Tau. Emang naksir keliatannya. Mereka semua naksir, tapi yang paling kentara ya dia doang. Meskipun ada Gie juga masih sempat-sempatnya cari perhatian."
"Terus? Lo nggak cemburu?"
Gie menggeleng. "Galang sukanya sama cewek yang plain. Hambar. Kayak Lea. Kalo yang modelnya berlebihan kayak karyawan di bawah, dia nggak bakal tertarik. Gie nggak khawatir."
"Berarti lo ngatain diri lo sendiri 'hambar'? Kan dia milih elo." Elsa mengernyit.
"Menurut kamu Gie hambar, Els?" Pertanyaan retoris dari Gie dijawab Elsa dengan sebuah gelengan kepala.
Gie jauh dari kata hambar. Galang mengalami peningkatan selera sejak kenal cewek ini. Pikir Elsa.
"Kalo Galang udah ngerasa nggak nyaman, pasti dia ngasih tau Gie. Nanti baru Gie yang turun tangan buat ngedisplinin karyawan-karyawan itu. Kalo langsung Gie pecat juga kasian, mereka kan kerja juga butuh duitnya." Lanjut Gie.
Mendengar jawaban diplomatis Gie, Elsa sampai bertepuk tangan. "Bangga gue punya ipar kayak lo. Ternyata budi pekerti lo bagus. Nggak rugi si Galang dapat bini elo."
Kedua alis Gie menyatu. "Kamu lagi muji Gie? Kok kedengerannya kayak selama ini kamu ngira budi pekerti Gie nggak bagus." Ia mendengus sambil cemberut.
Elsa hanya tertawa.
***
Tamu terakhir baru pergi pukul setengah sepuluh malam. Semua karyawan mendesah lega. Mereka langsung beres-beres bengkel, bersiap untuk buka perdana besok pagi.
Badan Galang sudah pegal dan lengket. Dia ingin segera pulang untuk mandi. Namun dia tidak tega kalau membiarkan anak buahnya bersih-bersih, sedangkan dia langsung pulang. Akhirnya dia ikut turun tangan untuk membantu.
"Reta, gue nggak liat Gie seharian. Dia udah pulang?" Tanya Galang pada Mareta yang baru turun dari lantai dua.
"Di ruangan, pak. Bu Regie lagi tidur, kecapekan." Mareta membantu Dani untuk memungut sampah-sampah yang berserakan di lantai.
Sebaiknya Galang segera menyelesaikan pekerjaan di sini supaya cepat mengajak Gie pulang dan beristirahat di rumah.
"Pak Galang nggak capek?" Irene membawa sebotol minuman isotonik dingin. Ia menawarkan botol itu pada bosnya.
"Makasih." Galang menerima botol itu dan langsung menenggak isinya sampai habis. Dia bahkan baru sadar kalau kehausan.
"Ih, keringatnya banyak gitu." Irene beringsut maju, berniat untuk mengelap wajah berkeringat Galang dengan tisu. Galang mundur selangkah secara otomatis. Ia langsung mengelap wajahnya sendiri dengan lengan baju.
"Mending lo bantuin Mareta nyapu sama ngepel, deh." Ia menunjuk Mareta yang kerepotan bersih-bersih dengan dagu.
"Bisa dibantu sama yang lain, kok. Saya di sini aja bantuin pak Galang." Sebagai bukti kesungguhannya, Irene mengambil alih kantong plastik sampah di tangan Galang.
Demi menghindari Irene, Galang pergi membersihkan area lain. Selagi memunguti sampah di lantai sambil berjongkok, Galang merasakan punggungnya menubruk kaki seseorang. Akibatnya, orang itu sampai terjungkal ke belakang. Galang yang tidak siap bakal kejatuhan orang, ikut terjerembab ke depan karena kerahnya ditarik oleh tangan si pemilik tubuh.
"Bos!" Pekikan Dani mengundang karyawan yang lain untuk bereaksi.
Irene meringis kesakitan dalam posisi terlentang di lantai, sedangkan Galang menimpa tubuhnya. Menyadari posisi kontroversial mereka, Galang buru-buru bangkit duduk. "Sori, gue nggak liat lo di belakang." Ia mengulurkan tangan pada Irene untuk membantunya berdiri. Entah Irene yang terlalu berat, atau Galang yang lagi-lagi tidak siap, cowok itu jatuh menimpa tubuh Irene di bawah untuk yang kedua kali. Ia merasa tangannya yang terulur tadi ditarik terlalu keras oleh Irene. Kali ini, Mareta dan Dani sigap untuk membantu mereka berdiri.
Galang membersihkan celananya yang kotor. Ketika ia mengangkat kepala, dilihatnya Gie sedang berdiri memandangi mereka sambil melipat tangan di depan dada.
Apa Gie tadi lihat, ya? Pikir Galang was-was. Ia menelan ludah tanpa sadar.
***
Ngomong di mulut memang gampang, tapi kenyataannya tidak selalu berbanding lurus dengan rencana. Kalau Gie tidak melihat sendiri bagaimana Irene sering mencari kesempatan untuk menempelkan tubuhnya pada Galang, mungkin Gie tidak terlalu peduli. Nah ini, ketahuan sama Gie. Gimana mau menegur pelan-pelan coba? Bawaan Gie sudah mau ngamuk aja saat melihat suaminya digerayangi begitu.
"Mareta, ikut Gie sebentar." Gie menurunkan tangannya yang sejak tadi bersedekap lalu berbalik lagi menuju lantai dua yang sepi. Padahal tadi ia sudah bersiap untuk mengajak Galang pulang.
Begitu mereka sudah sampai di atas dan jauh dari telinga karyawan lain, Mareta buru-buru bicara. "Maaf, bu. Akan saya tertibkan Irene secepatnya." Mareta cukup tahu ekspresi Gie untuk dapat langsung membaca situasi.
Gie mengangguk. "Seragamnya terutama. Emang kamu ngedesain baju kekecilan begitu?"
Mareta menggeleng, "Irene ngecilin bajunya sendiri."
"Kalo perlu kasih dia seragam baru. Ini bengkel, bukan tempat prostitusi."
"Baik, bu. Maafkan saya."
Gie memandangi Mareta cukup lama. Tidak adil juga kalau hanya Mareta yang dia tegur. Tapi itu memang tugas dia. "Sekali ini Gie maafkan. Jangan sampe terjadi hal-hal yang buruk di bengkel ini hanya karena sikap dan tingkah laku anak buah kamu nggak bisa dikontrol. Ngerti?"
"Baik, bu Regie."
"Lain kali Gie sendiri yang turun tangan kalo hal seperti ini terjadi lagi." Gie menepuk pundak Mareta sebelum turun ke bawah.
Galang sudah mencuci tangannya saat ia menyambut Gie di ujung tangga. "Pulang sekarang?"
Gie hanya mengangguk tanpa menoleh. Ia mengenakan kacamata hitam sambil berjalan menuju mobil. Dollar mengekor di belakang kakinya.
***
Sriinggg... krieettt...
Galang merinding tak nyaman saat mendengar suara mendesing garpu digesekkan berulang kali di atas permukaan piring. Mereka sedang makan malam dalam keheningan. Hanya suara mendesing garpu itu saja yang terdengar berulang kali. Ia tahu kalau Gie sedang bertingkah. Dia juga tahu penyebab Gie sampai bertingkah.
"Gie, kalo kamu mau marah-marah luapin aja. Jangan ngerusak piring. Kupingku sakit."
Gie membanting sendok dan garpunya di atas piring. Jantung Galang hampir copot karena suara berisik yang ditimbulkan mirip suara piring dibanting sampai pecah.
"Udah tau dia gatel banget sama kamu malah dibiarin aja! Suka emang badan kamu disentuh-sentuh dia?!" Semprot Gie tiba-tiba dengan wajah super galak.
Galang mengusap belakang lehernya. Mau bagaimanapun dia mengelak, penjelasannya tak akan masuk akal bagi Gie.
"Tipe idaman kamu sekarang berubah? Udah bukan yang tertutup lagi?? Mulai besok Gie pake bikini aja ke bengkel!" Lanjut Gie.
Galang sontak mengangkat kepala. "Jangan-lah! Yang bener aja kamu!" Ia ngeri sendiri membayangkan ancaman Gie barusan jadi kenyataan besok. Bisa-bisa bengkel mereka tutup lebih awal karena cowok-cowok di sana pada mimisan saat melihat istrinya pakai bikini. Bahu Galang merosot. Wajahnya memelas. "Jangan ya, sayang? Masa mau pake itu ke bengkel? Nanti masuk angin." Ia hafal kalau Gie tak pernah melontarkan ancaman kosong.
Gie mendengus. Ia memalingkan muka sambil melipat tangan di depan dada. Gayanya sudah dipasang default jadi gaya ngambek nasional.
"Gie..." Galang menghela napas. Ia bangkit dari kursi agar bisa berjongkok di samping Gie. "Kalo kamu berpikir aku bakal tergoda sama karyawan sendiri, kamu salah besar."
Kedua mata sipit Gie memicing saat menatapnya. "Dulu Gie juga bukan selera kamu. Tapi Gie terus-terusan berusaha supaya kamu ngelirik Gie. Liat sekarang, Gie jadi istri kamu. Kalo itu terjadi juga sama karyawan kita gimana? Kan tiap hari kalian ketemu!"
"Otakku udah penuh isinya kamu doang. Aku nggak mampu nambah-nambahin pikiran dengan mikirin cewek lain."
Kedua alis Gie kini bertaut. "Gie jadi beban pikiran kamu?"
Galang mendongakkan kepala ke atas. Tubuh dan pikirannya sudah pegal. Dia ingin tidur sesegera mungkin. Bagaimana caranya agar Gie tidak ngambek lagi? Galang curhat pada Tuhan sambil memandangi langit-langit rumah.
Gie mengelap ujung bibirnya dengan serbet sebelum melempar serbet itu ke atas meja. Ia bangkit berdiri. "Malam ini kamu tidur di kamar tamu!" Ujar Gie sebelum berlalu ke atas, meninggalkan Galang yang mengacak rambut frustasi.
***
Usai membereskan meja dan mencuci piring, Galang naik ke lantai tiga untuk istirahat. Pintu kamar mereka ditutup. Dollar terlihat sedang tidur di depan pintu. Ia memberanikan diri untuk mengetuk.
"Sayang? Aku boleh masuk?"
Pertanyaan konyol sebenarnya. Mana mungkin dia diijinkan masuk?
Ia mencoba membuka pintu. Dikunci dari dalam.
Tangannya terangkat untuk mengetuk lagi.
"Gie, seprai di kamar tamu belum dicuci. Masa tidur nggak pake sprei?" Galang masih tidak menyerah agar diijinkan masuk.
"TIDUR DI SOFA!" Seru Gie dari dalam kamar. Galang sampai terlonjak dari tempatnya berdiri. Ia mendesah kecewa. Dengan hati mendung ia turun lagi ke lantai dua, berniat tidur di sofa seperti yang disuruh oleh Gie.
***
Galang bergelantungan di atas power tower. Otot di kedua lengannya tegang. Ia terus bergelantungan seakan tidak ingin lagi menginjak bumi. Anton yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya melepas dumbbell ke lantai hingga berbunyi 'bedebum'.
"Udahan, yuk! Haus!" Anton mengelap keringat di wajah dan leher dengan handuk.
Hari sudah beranjak malam, sudah waktunya mereka pulang.
"Tanggung. Bentar lagi." Kini Galang bergelantungan terbalik.
"Tumben banget sih betah nge-gym? Nggak dikasih jatah sama Gie, ya?" Tanya Anton penasaran.
"Nggak dibolehin tidur sekamar tiga hari. Puasa gue."
Anton ngakak setan. "Abis bikin dosa apa?" Tanyanya di antara tawa.
Galang melompat turun dari power tower. Ia mengusap keringat dengan handuk sambil duduk. "Diem lo! Udah panas gue."
"Udah panas sampe ubun-ubun tapi nggak ada lawan sama aja bro! Nggak ada bedanya sama jomblo!"
"Kampret!" Balas Galang setengah mendengus.
"Udah minta ampun?"
"Boro-boro. Gue udah kayak hantu. Nggak dianggep sama sekali. Kamarnya dikunci tiap malem. Gondok banget gue!"
Anton ketawa lagi. "Emang salahmu apaan, sih?"
Galang mendecakkan lidah. Ia malas mengingat-ingat kejadian itu. "Gue abis jatoh niban karyawan gue. Cewek. Posisinya emang kontroversial banget, sih. Bikin salah paham yang liat. Kok ya kebeneran bini gue merhatiin. Apes banget." Ia geleng-geleng kepala, mengasihani diri sendiri.
"Udah disogok? Kasih yang dia suka." Saran Anton.
"Dia suka berlian, bro!"
"Ya kasih-lah! Jangan belagak miskin!"
"Ya bisa aja ngasih. Tapi kelamaan. Nunggu berapa minggu sampe sebulan dulu baru jadi. Dia nggak suka berlian pasaran. Maunya yang didesain khusus. Tiffany & Co. lagi! Masa gue puasa sampe berliannya dateng. Nggak kuat-lah!"
"Yang lain kalo gitu. Makanan?"
Galang menggeleng. "Dia udah stop makan steak. Sekarang nggak ada makanan khusus yang dia suka. Aduh, gue berharapnya Gie itu tipe cewek yang gampang luluh. Dikasih coklat langsung senyum, dikasih es krim bisa ketawa. Ini susah!"
"Kasih baju baru!"
Galang hanya melirik Anton sekilas. "Selera dia baju-baju yang baru keluar dari fashion week. Gue nggak ada akses."
"Astagaa... bener-bener, deh! Nggak ada lagi yang disuka emang?"
Galang nampak berpikir keras. Tak menemukan petunjuk apapun, bahunya merosot. "Sekarang dia lebih sayang sama Dollar daripada sama gue."
"Coba aja kasih peliharaan baru. Suka anjing kan dia? Kasih anak anjing yang lucu."
Punggung Galang langsung tegak. Bukan ide buruk sebenarnya. "Temenin gue adopsi anak anjing, yuk!"
"Emoh! Pegel."
"Gue kasih voucher service mobil sebulan, deh."
"Berapa?"
"Dua."
Anton menggeleng. "Lima." Ia mengangkat telapak tangannya.
"Bikin bangkrut gue aja, lo!" Ia melempar handuk bekas keringat ke wajah Anton. Namun cowok itu lebih dulu mengelak. "Yaudah, ayok!" Lanjutnya kemudian.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top