29 | MAMI GIE

Helena Tan memandang sekeliling ruang prakter Elsa dari balik kacamata hitamnya. Wanita itu mengenakan gaun panjang berwarna hitam keluaran rumah mode The Row. Penampilannya anggun dengan rambut digelung di belakang kepala. Sepatu Prada-nya bergemeletuk saat bertemu lantai. Penampilan serba hitam Helena membuat Elsa mengira kalau wanita ini sedang berkabung.

"Selamat datang, bu Helena." Elsa bangkit untuk menyambut wanita itu. Ia mengulurkan tangan kanan yang hanya dipandangi oleh pasiennya. Mengerti kalau Helena tidak ingin bersalaman dengannya, Elsa langsung mempersilahkan duduk.

"Saya Elsa. Di sini saya baca keluhan bu Helena adalah insomnia, betul?" Tanya Elsa untuk memastikan. Postur duduk dan sikap anggun Helena mengingatkan Elsa akan Gie. Ibu dan anak ini benar-benar mirip.

"Kalau dilihat-lihat, kamu mirip sama mama kamu, ya?"

Pertanyaan Helena barusan membuat Elsa terkejut. "Bu Helena kenal mama saya?"

Wanita itu mengangguk seraya melepaskan kacamata hitam yang dipakainya. "Saya dulu pasien dr. Amanda, mama kamu. Saya nggak pernah ngira kalau salah satu anak kembar dalam perut dr. Amanda tumbuh besar dan meneruskan karir di bidang kejiwaan. Saya jadi ikut bangga."

Elsa terlalu terkejut sampai tak bisa berkata-kata.

Helena tersenyum tipis melihat ekspresi Elsa. "Waktu itu saya belum menikah. Mama kamu juga belum hamil kalian. Saya menjadi pasien dr. Amanda selama dua tahun. Terakhir ketemu dia waktu usia kehamilannya enam bulan. Terus saya sekeluarga pindah ke Singapura. Menikah. Ternyata itu benar-benar untuk yang terakhir kali." Helena tersenyum sendu. "Saya bahkan nggak bisa datang ke pemakamannya."

Elsa menunduk untuk memberi waktu pada dirinya agar cepat kembali fokus. Saat ia mengangkat kepala, wajahnya sudah dipenuhi senyum lagi. "Saya nggak kenal mama saya sebaik anda." Elsa dan Galang memang hanya tahu sosok mama mereka dari cerita Bunda. "Kalau saya boleh tau, apa keluhan waktu itu juga sama seperti yang sekarang?"

Helena menghela napas. "Hidup nggak sesederhana dulu. Waktu itu saya masih muda dan naif." Ia tersenyum. "Dulu saya depresi berat. Beberapa kali coba bunuh diri. Jiwa pemberontak saya tidak bisa keluar. Beda dengan Gie. Dia cenderung meledak-ledak dan langsung bertindak seperti yang dia mau. Mama kamu bantu saya sampai saya sembuh. Lalu saya dijodohkan, menikah, depresi lagi. Karena tidak bisa berobat dengan mama kamu, saya memutuskan berdamai dengan masalah saya. Sampai sekarang."

"Masalah apa yang membuat bu Helena sampai merasa depresi?"

"Keluarga. Orangtua saya tukang kontrol. Papa saya terutama." Helena tersenyum penuh arti. Ia yakin kalau sedikit-sedikit Elsa pasti tahu tentang masalah keluarga Tan. Toh Gie sekarang jadi saudara iparnya.

"Kalau sekarang?"

"Masih sama. Hanya saja ditambah anak pembangkang. Suami tidak berguna dan tukang selingkuh. Dan adik yang serba sempurna. Gara-gara sering bergaul dengan tantenya, sekarang Gie mengikuti jejak adik saya. Nggak suka diatur."

Elsa harus bolak-balik menekankan dalam kepalanya kalau sosok ibu mertua Galang ini datang ke kliniknya sebagai pasien. Dia harus profesional.

"Kalau bu Helena ingin lebih rileks dan memperbaiki kualitas tidur, bu Helena bisa coba terapi hipnotis. Saat bu Helena berada di alam bawah sadar, bu Helena akan lebih santai dalam menyampaikan uneg-uneg. Bangun-bangun beban terasa lebih ringan. Saya nggak jamin efeknya akan langsung terasa dalam sekali terapi, tapi setidaknya kita berusaha."

Cukup lama Helena berpikir. Niatnya datang ke sini hanya untuk bertemu dengan salah satu anak dr. Amanda, ingin melihat langsung bagaimana mereka dibesarkan. Jika terapi adalah bonus untuk menyembuhkan sakit kepala dan insomnianya, tidak ada salahnya juga untuk dicoba.

***

"Ntar lagi dilanjut, makan dulu." Galang menghampiri meja kerja Gie di kantor baru mereka. Ia duduk di pinggir meja sambil melipat tangan di depan dada.

"Dikit lagi." Sahut Gie tanpa mengangkat kepala dari layar laptop. Jari-jarinya lincah mengetik balasan e-mail pada notaris. Begitu menekan tombol send, ia menutup layar.

"Hari ini menunya apa?" Tanya Galang sambil mengulurkan tangan pada Gie agar cewek itu segera bangkit berdiri dari kursi kerjanya yang terbuat dari kulit.

Gie melingkarkan lengannya di leher Galang. "Sate lilit sama ayam betutu." Jawabnya. Galang mengelus pinggang ramping Gie.

"Masakan Bali kan itu?" Ia mencium garis rahang Gie dengan ujung hidung.

Gie mengangguk. "Anak-anak udah pada ngumpul?" Gie mendongakkan kepala untuk memberi akses pada Galang.

Galang menarik tubuh Gie semakin mendekat. Ia meletakkan wajahnya di ceruk leher Gie, menghirup aroma cewek itu dalam-dalam. "Kenapa kita nggak makan siang di rumah aja?" Galang malah balik bertanya dengan suara teredam.

"Emang kamu mau makan apa di rumah?" Tanya Gie heran.

"Kamu."

Gie tidak bisa menahan tawa kecil yang lolos dari bibirnya.

Pintu ruangan mereka diketuk dari luar. Gie mendorong tubuh Galang menjauh sebelum menjawab, "Masuk."

Kepala Dani menyembul dari balik pintu. Begitu melihat kedua bosnya sedang dalam posisi setengah berpelukan, ia hendak keluar lagi.

"Kenapa, Dan?" Pertanyaan Galang membuat Dani serba salah mau keluar atau tidak. Canggung.

"Anu, bos. Anak-anak nungguin di bawah." Dani menggaruk kepalanya yang gatal karena belum keramas.

"Bentar lagi turun."

Dani mengangguk lalu keluar lagi.

"Mereka bisa keburu kelaparan nungguin kita." Gumam Gie.

***

Dani berlari turun dengan heboh menuju lantai dua yang sudah disulap jadi ruang rapat sekaligus ruang makan. Karyawan baru dan karyawan lama berkumpul jadi satu di sana, sedang bersiap makan nasi kotak yang dikirim oleh katering.

"Kali ini no hoax! Aku liat sendiri pake biji mataku kalo pak bos sama bu bos pelukan dalem kantor!" Selain jadi montir pengawas, kadang-kadang Dani juga didapuk jadi penentu bahan ghibah of the day.

"Beneran? Pelukannya gimana?" Panjul mewakili teman-teman lain yang penasaran.

"Pak bos nyender di meja, bu bos berdiri. Kayak begini." Dani menyuruh Sanu mendekat untuk mereka ulang adegan yang dilihatnya. Ia meletakkan kedua tangan Sanu di atas pundaknya, sedangkan tangannya sendiri melingkar di sekeliling pinggang Sanu.

"Ih, co cwit banget! Emang pak bos udah putus dari mbak Lea?" Sahut Joko sambil berekspresi unyu-unyu najis.

Dani mengibaskan tangan, "Orang ganteng banyak duit mah bebaaass!"

"Siapa yang bebas?" Pertanyaan Galang langsung membuat seisi ruangan itu hening. Gie mengekor di belakangnya. Cewek itu melihat Dollar sedang tiduran di dekat mangkok makannya di sudut ruangan, kekenyangan. Semua orang sudah duduk di tempat masing-masing.

"Si Sanu, bos. Pacarnya banyak." Dani tahu-tahu menunjuk wajah Sanu yang duduk di sebelahnya. Sanu yang tak bersalah hanya bisa mengerjapkan mata habis ditunjuk oleh Dani.

Galang menarik kursi untuk Gie duduk, sebelum ia duduk di kursi sebelahnya. Setelah berdoa dan basa-basi singkat, mereka mulai makan bersama.

"Kalo renovasi selesai tepat waktu, bulan depan kita udah bisa grand opening." Ujar Galang pada Gie.

Istrinya itu mengangguk. "Barang kiriman kita juga udah 80% nyampe gudang." Tambah Gie. "Nanti sore official website kita jadi."

Delapan montir yang sedang semeja dengan mereka sering curi pandang.

"Dulu waktu aku SMA, pacar aku banyak." Pamer Dani tiba-tiba, masih membahas pacar-pacaran. Dia berharap topik pancingannya akan berbuntut penjelasan hubungan kedua bosnya itu. Teman-temannya nampak langsung tertarik karena penasaran.

"Tampang pas-pasan kayak kamu ada yang mau emang?" Sahut Bowo.

"Hmm... Jangan salah! Paling ganteng sekecamatan!" Dani makin sombong.

"Waduh, sekecamatan ancur semua dong mukanya?" Pertanyaan Panjul mengundang tawa yang lain.

"Emang berapa banyak pacarmu, Dan?" Timpal Bowo.

"Waktu itu pernah sekali pacaran langsung lima cewek. Kembang desa semua, lagi! Dulu jaman sekolah, siang-siang bolos buat ngajak kencan mereka. Gantian. Hari senin ke alun-alun sama Sri, hari selasa ke warnet sama Siti, hari rabu makan bakso sama Juleha."

"Widihhh, bukannya belajar malah bolos buat pacaran!" Seru Joko.

"Dia masih mending buat pacaran, aku dulu bolos sekolah buat mancing lele di kali." Kriting yang sedari tadi diam juga ikut-ikutan.

"Aku juga sering bolos. Manjat pager terus makan pentol sambil minum cukrik (minuman keras oplosan)" Sahut Panjul.

"Mana cocok makan pentol sambil minum cukrik?" Dani heran. "Lebih enak sama ciu (arak tradisional Jawa)."

"Pantas tampang kalian begini semua. Bolos sekolah buat mabok." Timpal Galang yang dari tadi hanya menyimak.

"Emang dulu bos nggak pernah bolos?"

"Ya bolos. Tapi bukan buat mabok."

"Buat apaan dong?" Semua orang mendadak tertarik tentang kenakalan masa remaja Galang.

"Balapan di sirkuit."

Montir-montirnya bertepuk tangan sambil geleng-geleng kepala. Bosnya ini kalau nakal tetap keren ternyata.

"Kalo bu bos?"

Gie mendongak dari makanannya sambil menaikkan sebelah alis.

"Bu bos dulu pernah bolos, nggak?" Lanjut Dani.

Sanu mendecakkan lidah, "Mana mungkin bu bos dulu bolos? Tampang-tampang anak rajin begitu!"

"Biar Gie ingat-ingat dulu, ya?" Gie meletakkan telunjuknya di dagu, ekspresinya sedang berpikir. Galang tersenyum kecil. Ia penasaran juga dengan masa kecil Gie saat sekolah. "Dulu Gie home schooling sampe umur dua belas. Terus SMPnya di International School di Jakarta. Pas lagi males belajar di sekolah pernah bolos ke Amsterdam, Tokyo, sama... New York kalo nggak salah. Oh, ke Taipei juga. Sama Makau."

Audiensnya melongo bego. "Bu bos sendirian kesananya?"

Gie mengangguk. "Kalo Gie bosen di sekolah, kabur diem-diem ke bandara. Tiap hari bawa paspor dalem tas. Terus di bandara random milih penerbangan yang paling cepet." Cewek itu tersenyum saat mengingat kenangan masa kecilnya. Galang tertawa kecil sambil geleng-geleng kepala.

"Kalo SMA-nya bu bos?"

"Pas SMA Gie pindah ke Swiss. Asrama. Ketat banget peraturannya. Jadi Gie nggak bisa bolos kayak pas jaman SMP."

"Bolos keluar negeri ngapain, bos?"

Gie mengedikkan bahu. "Makan, duduk-duduk di café sambil baca buku, kalo capek ya pulang lagi."

Para pendengar ceritanya makin melongo.

"Begitu doang? Nggak pake jalan-jalan ato belanja?"

Gie menggeleng. "Nggak cukup waktunya kalo buat jalan-jalan. Gie nggak pernah belanja, ribet bawanya."

"Pernah nggak ketinggalan pesawat terus nggak bisa balik ke Indonesia?"

"Sering. Tapi Gie bisa telepon Ryan buat jemput."

"Ryan siapa?"

"Pilotnya Gie."

Mereka baru paham. Pilot pesawat pribadi maksudnya.

"Bu bos udah sugih (kaya) dari lahir." Mereka saling bergumam dan manggut-manggut. "Levelnya beda sama kita yang minum cukrik dari plastik pake sedotan."

"Oh iya, bu bos rumahnya di daerah mana? Kita liat kok sering berangkat bareng pulang pergi sama pak bos. Tetanggaan?" Mulut usil Dani masih ingin interview.

"Tinggal serumah sama Galang." Tunjuk Gie pada cowok di sebelahnya.

Semua orang saling pandang kecuali Galang.

"Oh iya, gue lupa ngabarin kalian." Galang meletakkan sendoknya. "Gue sama Gie udah nikah."

Seisi ruangan hening.

***

Helena Tan baru selesai diterapi hipnotis. Wajahnya sembab. Ketika bangun, pipinya sudah lembab oleh air mata. Perasaannya lebih enteng daripada waktu pertama kali datang.

Elsa meletakkan segelas air putih di depan Helena. Wanita itu langsung menghabiskannya dalam sekali minum. Saudara kembar Galang itu tersenyum melihat pasiennya. Ia menulis beberapa hal hasil terapi di catatan pasien.

Helena berdeham seraya meletakkan gelas kosong ke atas meja. "Saya merasa lebih baik. Terima kasih."

Elsa meletakkan penanya. "Saya senang kalau terapi saya berdampak baik pada bu Helena."

Helena mengangguk. Mereka sama-sama hening selama beberapa detik. "Mengenai anak saya dan Gallagher, maksud saya Galang. Bagaimana keadaan mereka?"

"Mereka baik. Seperti pengantin baru lain, aura di sekeliling mereka selalu positif."

Helena terdiam lagi agak lama sebelum melanjutkan. "Apa Galang juga mencintai anak saya?"

Elsa mengernyit, namun kemudian ia tersenyum. "Kalo kakak saya nggak cinta dia, nggak mungkin dia nekat nikahin Gie. Dia sadar betul dengan resikonya."

Helena mengangguk. "Bagaimana dengan history percintaannya selama ini? Apa dia memperlakukan pasangannya dengan baik?" Ia cukup melihat Elsa adalah seorang yang profesional dan netral. Kali ini dia ingin melihat kejujurannya.

Elsa menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Umm... Galang itu orangnya susah jatuh cinta. Sekali jatuh cinta sama perempuan, maka dia menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya buat perempuan itu juga. Kalau sekali dibikin sakit hati atau kecewa, baru dia mundur dan nggak akan kasih kesempatan untuk kedua kalinya. Once he falls in love, he falls hard. Jadi saya yakin Gie diperlakukan dengan baik oleh dia. Saya juga liat sendiri waktu kami di Jakarta, di rumah orangtua kami."

Helena mengernyit. "Orangtua kamu setuju sama Gie?" Bukannya apa, sikap Gie kadang-kadang susah ditolerir. Tidak banyak yang betah berada di sekelilingnya. Tunangan saja sampai batal tiga kali.

"Suka banget. Bunda saya lebih sayang sama dia ketimbang sama saya. Gara-gara dia jadi murid tekun pas belajar masak."

"Gie belajar masak?"

Elsa mengangguk. "Masakannya masih nggak enak, sih. Tapi dalam beberapa tahun pasti jago kalo Bunda saya yang ngajarin."

"Terus anak saya makan apa kalo di rumah? Ada koki?"

"Galang pinter masak, kok. Saya yakin dia yang masak kalo mereka di rumah."

Helena manggut-manggut. Punya bengkel, bisa mengendarai pesawat, pinter masak, dan mampu membuat Gie jatuh cinta, sebenarnya bagaimana sosok menantunya ini?

"Kalo bu Helena mau, orangtua saya bakal senang sekali mengundang bu Helena dan keluarga untuk makan malam bersama." Lanjut Elsa. "Itupun jika kalian bersedia."

Helena mengangkat wajahnya untuk memandang Elsa. "Saya nggak yakin kalo Gie mengijinkan kami bertemu. Apalagi hubungan dengan Opanya makin hari makin tegang. Opanya sedang di rumah sakit sekarang."

"Sakit apa?"

"Jantungnya memburuk."

Elsa bingung harus merespon apa. "Gie belum tau ini kayaknya."

Helena menggeleng. "Mereka berdua sama-sama keras kepala."

"Apa saya perlu menghubungi Galang untuk mengantar Gie ke rumah sakit?"

Helena terkejut. Hal itu sama sekali tak pernah terlintas di kepalanya. "Papa saya memang sangat ingin ketemu Gie."

Elsa mengangguk mengerti.

"Sore ini akan ada polisi yang datang ke bengkel Galang." Lanjut Helena tiba-tiba.

Elsa mengernyit tidak mengerti. "Mau ngapain?"

"Opa Gie membayar orang untuk melaporkan Galang ke Bea Cukai karena penggelapan spareparts ilegal. Hari ini ada rencana penggeledahan."

Elsa terkejut bukan main. Tubuhnya langsung tegak. "Kok bisa?!"

Helena mengedikkan bahu. "Papa saya berencana untuk menghancurkan hidup Galang kalau Gie masih nggak mau kembali ke keluarga kami. Sebaiknya kamu hubungi mereka supaya mereka punya waktu buat memikirkan solusinya." Wanita itu bangkit dari kursi pasien sambil membawa tas. "Terima kasih atas waktunya hari ini. Minggu depan saya akan datang lagi." Ia mengenakan kacamata hitamnya lalu keluar dari ruangan Elsa.

Elsa buru-buru mengeluarkan hp dari dalam laci. Ia langsung men-dial nomor telepon Galang.

"Halo, lo dimana?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top