27 | HIT THE ROAD
Gie tidak berhenti mengagumi cincin rubi di tangannya, tak percaya kalau sekarang dia punya cincin pernikahan yang asli. Cincinnya juga indah dan tidak bisa didapat di toko manapun di dunia.
Tiba-tiba tangannya ditarik oleh Galang. Cowok itu mengamati cincin yang melingkar di jari manisnya.
"Kamu beli cincin? Kok ditaruh di jari manis?" Dahi Galang berkerut tak suka saat jari manis yang harusnya jadi tempat cincin pernikahan darinya melingkar malah dihiasi cincin lain yang mencolok. Gie mengulum senyum. Di kepalanya muncul sebuah ide jahil.
"Bagus, nggak?" Tanya Gie.
Galang mendengus. Ia berusaha melepaskan cincin itu dari jari manis istrinya, namun Gie lebih dulu menarik tangan.
"Itu dari siapa?" Galang balik bertanya. Nada suaranya terdengar agak kesal. Cincin pernikahan mereka masih dipesan dan baru selesai bulan depan karena didesain khusus oleh Tiffany & Co. Galang sampai menanyakan pada Tania brand perhiasan kesukaan Gie demi memberinya kejutan.
"Dari orang spesial." Jawab Gie sambil tersenyum manis.
"Spesial?" Ulang Galang. "Siapa?" Oke, sekarang dia makin kesal.
"Nggak perlu tau." Gie beranjak dari tempat tidur, tempatnya sedari tadi duduk sambil bersila. Ia berjalan menuju meja rias untuk mengaplikasikan perawatan rutinnya. Galang dan Dollar mengekor di belakang.
"Siapa? Kok aku nggak boleh tau, sih?"
"Kan sudah Gie kasih tau tadi kalo dari orang spesial."
"Orang spesial kan punya nama. Masa namanya 'spesial'?"
"Hush, ngomong jangan kenceng-kenceng! Udah malem ini." Tegur Gie.
Galang mengacak rambutnya frustasi. Wajar nggak sih kalo dia merasa cemburu dan jadi kesal karena orang spesial misterius ngasih cincin ke istrinya?
Gie menikmati ekspresi kekesalan Galang dari pantulan cermin rias. Ia mengoleskan serum ke wajah, sambil menepuk-nepuk kulitnya pelan.
"Kalo kamu nggak bilang, pikiranku bakal macem-macem. Isinya tuduhan semua." Protes Galang masih berlanjut.
"Oh, ya?" Gie tertarik. "Like what?"
"Cincin itu dikasih cowok lain. Aiden, misalnya." Lidah Galang serasa habis disiram cuka saat menyebut nama mantan tunangan Gie.
Gie tertawa kecil. Ia benar-benar menikmati kecemburuan Galang.
"Bener dikasih dia, ya?" Kedua alis Galang makin menyatu saat melihat Gie tertawa geli.
"Enggak. Bukan dia."
"Terus siapa, Gie? Keeping things from your husband is not nice (Nggak baik main rahasia-rahasiaan sama suami sendiri)."
"Gie berencana nggak mau lepas cincin ini selamanya." Ia memamerkan jarinya pada Galang. Ekspresi Galang makin mendung.
"Kamu becanda, kan?"
"Gie serius."
"Tapi itu buat tempat cincin kawin kita."
Gie menggoyangkan kelima jarinya. "Ini cincin kawinnya Gie."
"What? No!"
Gie tertawa terbahak sampai wajahnya merah.
"Kenapa ketawa? Aku lagi serius, Gie." Galang berjongkok di depan Gie. Ia mengamati cincin rubi di jari lentik istrinya dengan pandangan tak rela. "Cincinnya dilepas ya, sayang? Aku nggak suka kamu pake cincin dari orang lain di situ." Nada suara Galang kali ini setengah memohon.
Gie menyentuh pipi Galang dengan satu tangan. "Nggak bisa, sayang. Cincin ini dari orang spesial. Peninggalan mama kandung kamu."
"Iya, tapi aku nggak suka-" Ekspresi Galang mendadak berubah. "Dari siapa tadi?"
"Tadi siang dikasih bunda. Katanya ini peninggalan mama kamu sebelum meninggal. Elsa juga dapat. Kalung rubi. Masa kamu nggak merhatiin waktu makan malam tadi?"
Galang menggeleng. Sepanjang makan malam dia sibuk memperhatikan jari Gie sampai tidak melihat hal lain. Cincin itu mencolok sekali karena batu permatanya berwarna merah. Kontras dengan kulit Gie yang putih bak porselen.
Kali ini dia betul-betul mengamati cincin itu. Galang memang ingat Bunda pernah bilang kalau mamanya pernah memberikan perhiasan paling berharga untuk Galang dan Elsa. Behubung Galang laki-laki, jadi perhiasan itu akan diberikan ke istrinya kelak. Sekarang dia punya istri, wajar kalau cincin ini diberikan pada Gie. Dia merasa jadi bodoh sendiri.
Gie menarik tangannya sambil menyilangkan kaki dan bersedekap. "Ck. Masa mau cemburu ke mama sendiri. Anak durhaka." Sindirnya.
Galang mengusap leher, merasa bersalah. "Habisnya kamu sok misterius, sih!" Ia bangkit berdiri dan naik ke tempat tidur duluan.
"Loh, kok nggak minta maaf ke Gie?" Pertanyaannya diabaikan oleh Galang. Ia menyusul suaminya ke tempat tidur. "Don't ignore me (Jangan abaikan Gie)!" Gie menahan tawa saat Galang justru tidur membelakanginya. Ia mengguncang bahu Galang, minta perhatian.
Gie terkesiap saat Galang menariknya ke tempat tidur. Kedua tangannya sudah berada di bawah cengkeraman Galang. Tubuhnya ditindih hingga ia tak mungkin lolos dengan mudah.
"Jangan bikin aku cemburu lagi! Rasanya nggak enak."
Gie hendak protes namun bibirnya lebih dulu dibungkam oleh Galang. Suaminya pandai mencium. Semakin ia ingin protes, semakin menguap juga ingatan tentang apa yang ingin ia proteskan tadinya.
***
Bengkel adalah ungkapan rendah hati Galang untuk menjelaskan usaha apa yang dilakoni oleh Papanya. Papa Galang adalah pemilik Taka Auto 3000, sebuah perusahaan dealer mobil yang melayani layanan jaringan jasa penjualan, perawatan, perbaikan, dan penyediaan suku cadang mobil klasik Eropa. Cabangnya tersebar di kota-kota besar Indonesia. Gie tahu tentang latar belakang usaha orangtua Galang berkat Janesa. Itupun setelah beberapa hari dia tinggal bersama mertuanya, baru kepikiran untuk menyelidiki.
Karena pengetahuannya cukup luas mengenai otomotif, obrolan Gie dan ayah mertuanya jadi nyambung. Gie harus menahan diri untuk tidak berinvestasi pada usaha mertuanya demi menjaga perasaan. Padahal sebenarnya dia sudah gatal ingin menawarkan kontrak kerjasama.
"Kapan kalian mau ngadain resepsi?" Tanya Bunda suatu siang saat keluarga itu sedang berkumpul di ruang tengah.
Galang dan Gie tidak langsung menjawab. Mereka belum membahas itu sama sekali.
"Nanti, bun. Kalo Galang udah ketemu keluarga besar Gie, baru deh dibicarain lagi." Jawab Galang setelah terdiam cukup lama.
Gie sontak memandangnya. Kapan Gie setuju untuk bertemu dengan keluarga Tan?
"Bagus, deh. Restu keluarga memang paling penting. Minimal kamu ketemu orangtua Gie. Apa perlu papa sama bunda yang ngundang makan malam bersama lebih dulu?"
"Biar Galang sama Gie dulu yang ketemu, bun. Sikonnya kurang pas buat langsung mempertemukan kedua keluarga."
Gie bangkit dari sofa. "Sayang, bisa ngobrol sebentar?" Tanpa menunggu respon Galang, Gie sudah pergi duluan ke kamar. Galang akhirnya mengekor di belakang.
Elsa yang sedang mengusap perut berbulu Dollar sampai anjing itu ketiduran, mendongakkan kepala. Ia memandang kedua orangtuanya. "Kayaknya mau berantem." Tebak Elsa.
"Aduh, apa bunda salah ngomong ya, Els?" Bunda jadi merasa bersalah.
***
"Gie kira kita udah sepakat untuk nggak bawa-bawa keluarga Gie lagi." Gie memulai ketika Galang sudah menutup pintu, mencegah suara mereka didengar oleh keluarga. "Kita bahkan belum membahas apakah pernikahannya mau diadakan resepsi atau enggak."
Galang menghela napas. "Kira-kira etis nggak kalo aku ngambil kamu dari orangtuamu tanpa ijin atau pemberitahuan?"
"Gie nggak peduli sama mereka!" Gie berjalan mondar-mandir. Tiba-tiba ia menyimpulkan sesuatu. "Atau jangan-jangan sekarang Gie masih belum diterima di keluarga kamu?" Entah kenapa Gie merasa seperti sedang dikhianati.
"Bukan gitu, sayang! Kamu ngomong apa sih kok nyambungnya malah kesitu?" Galang buru-buru menghampiri istrinya. Ia meraih tangan Gie tapi cewek itu keburu menghindar.
"Apa keluarga kamu nggak cukup buat mengakui penikahan kita? Tanpa restu keluarga Gie-pun, pernikahan kita sudah resmi. Kan ada surat-suratnya!"
"Aku bahkan belum nyoba untuk memperkenalkan diri atau minta restu ke orangtua kamu. Setidaknya biarkan aku nyoba dulu, Gie."
"Gie sudah berusaha menghindar dari mereka selama ini, tapi kenapa kamu malah dengan sukarela datang ke mereka?! No! Nggak boleh! Kamu nggak tau apa yang bisa diperbuat opa ke kamu!" Suara Gie meninggi.
"Terus sampai kapan mau seperti ini? Kamu nggak capek lari terus? Lari nggak akan menyelesaikan masalah."
"Lebih baik begini."
"Kalau suatu saat kita nggak sengaja ketemu sama keluarga kamu, terus gimana? Atau kalau tiba-tiba kamu hamil dan melahirkan, kamu nggak kasih ijin keluargamu untuk melihat cucu mereka?"
Gie menggeleng. "Nggak akan Gie biarkan mereka mendekat." Desis Gie. Ekspresinya sungguh-sungguh.
Ekspresi Galang melunak saat melihat wajah penuh amarah istrinya. Dalam keadaan begini, Galang tahu persis kalau Gie tidak akan mau mendengarkan siapa-siapa. Lalu untuk apa mereka berdebat?
Ia menghela napas berat. "Oke." Cowok itu berbalik menuju pintu.
Gie masih berusaha meredakan amarah yang bergemuruh di dadanya saat Galang keluar dari kamar mereka. Pembicaraan mereka belum selesai, tapi entah bagaimana mereka malah berhenti membicarakannya. Gie dan Galang sibuk mengendalikan emosi mereka masing-masing.
Gie tidak keluar sama sekali seharian. Dia juga melewatkan makan malam. Pasangan itu menghindari satu sama lain, membuat keluarga mereka agak was-was.
Malam itu, untuk pertama kali sejak mereka menikah, Gie tidur sendirian.
***
"Lo yakin nggak ikut kita?" Tanya Galang saat ia memasukkan koper terakhir ke dalam mobil klasik Roll-Royce milik Papa. Dia dan Gie akan pulang hari ini dengan mobil. Gie bersikukuh untuk tidak naik transportasi umum agar tidak dilacak oleh Opa Atmodjo. Meski dianggap berlebihan, Galang tidak keberatan. Dengan begini, mereka bisa mampir ke festival mobil klasik tahunan di Yogyakarta. Dia akan hadir untuk mewakili Taka Auto 3000, menggantikan Papa.
"Terus gue jadi obat nyamuk di mobilnya pengantin baru? Enggak deh, makasih. Tiket pesawat sama kereta masih mampu gue beli." Tolak Elsa.
"Hati-hati nyetirnya. Kalo berasa capek langsung mampir istirahat. Jangan kasih Gie nyetir, kasihan." Pesan Bunda saat ia memeluk Galang. Anak tirinya itu mengangguk.
"Kalo ketemu Dodge Hemi Coronet tahun '70 langsung tawar di tempat ya, Lang!" Giliran Papanya yang memeluk Galang sambil berpesan untuk membeli mobil langka titipan di festival nanti.
"Beres, pah."
Gie lebih dulu masuk ke dalam mobil setelah berpamitan singkat dengan keluarga Galang.
"Sering-sering mampir ya, Gie!" Kedua mata Bunda berkaca-kaca. Gie melambaikan tangan sambil tersenyum.
"Duh, bunda! Kan masih ada Elsa di rumah!" Elsa menyenggol lengan Bunda sambil cemberut, pura-pura cemburu. Ketika kepala Dollar menyembul dari jendela mobil, Elsa mendekat untuk membiarkan anjing pom itu menjilat wajahnya sebagai salam perpisahan.
"Beda, Elsa. Gie ini menantu sekaligus murid masaknya bunda." Bunda menyeka air mata dengan jarinya.
***
Sejak meninggalkan rumah sampai masuk ke gerbang tol, Gie kelihatan sibuk dengan hpnya. Galang yang merasa suasana mobil jadi hening meski ada suara radio akhirnya buka mulut. "Nggak takut dilacak Janesa lewat satelit?"
"Janesa di Tokyo. Nonton konser One Ok Rock." Jawab Gie pendek. Mereka memang belum baikan sejak berdebat tentang resepsi dan keluarga Gie kemarin. Galang juga lebih memilih tidur di ruang tamu tadi malam karena merasa tidak nyaman harus satu ruangan dengan Gie yang sedang marah.
"Dia nggak bisa ngelacak kalo lagi di luar negeri?"
"Bukan nggak bisa, masih males katanya."
"Kamu masih marah, ya?" Tanya Galang hati-hati.
Justru Dollar yang menjawab dari kursi belakang dengan sebuah gonggongan.
"Maaf ya, Gie." Lanjut Galang saat Gie tidak merespon.
Gie meletakkan hp di pangkuan, lalu memandang Galang yang sedang fokus pada jalan. "Kenapa minta maaf?"
Galang pernah pacaran cukup lama dengan seseorang hingga tahu kalau pertanyaan dari Gie barusan adalah jebakan. Salah-salah menjawab, Gie tidak akan mau bicara dengannya lagi. Apalagi kalau tidak diijinkan tidur sekamar. Bayangan itu Galang tepis jauh-jauh dari kepalanya.
"Karena aku salah." Jawab Galang akhirnya.
"Salahnya karena?"
Tuh, kan! Ini pertanyaan jebakan. Bertujuan untuk mengetes apakah dia minta maaf dengan tulus atau tidak.
"Karena bikin kamu marah?" Galang terdengar ragu.
"Gie marah kenapa?"
"Karena kita debat kemarin."
Gie memutar bola mata. Ia kembali mengambil hpnya di pangkuan lalu sibuk lagi. Jawaban salah. Galang putar otak untuk mengembalikan mood Gie lagi. Masa iya sampai Surabaya diem-dieman begini?
"Gimana caranya biar kamu nggak sebel lagi?" Galang masih pantang menyerah.
Gie tidak menyahut.
"Sayang?" Panggil Galang lagi.
Gie masih mengabaikannya.
Tangan kiri Galang menyentuh paha Gie yang terbalut celana jeans. "Forgive me, okay?"
"Gie nggak mau disentuh." Sahut Gie dengan nada datar.
Galang menarik tangannya lagi. Ia mendengus frustasi.
"Gie habis browsing tentang tol trans Jawa ini. Ternyata nggak ada hotel di dekat tol, ya?"
Ya, iyalah! Tol mana yang nyediain hotel? Yang ada ya keluar dari tol dulu. Tapi Galang hanya berani menjawab dalam hati, takut istrinya makin ngambek.
"Kita lagi nggak diburu waktu, kan?" Tanya Gie lagi. Galang mengangguk singkat. "Kita mampir-mampir, ya? Ke Semarang, Solo, Yogyakarta. Gie belum pernah ke tempat-tempat itu. Sekarang Gie lagi cari hotel yang bagus buat nginep."
Kedua alis Gie menyatu saat Galang tidak menyahut. Ia menoleh dan mendapati suaminya sedang fokus pada jalan. Kedua ujung bibirnya ditekuk ke bawah.
"Kamu nyuekin Gie?" Tanya Gie.
Galang hanya melirik sekilas lalu menggeleng. "Aku denger, kok." Wajahnya masih kusut. "Ini mau makan dimana? Ada rest area deket sini. Tapi pasti rame sama bus-bus. Mau?"
"Toiletnya gantian, dong?"
Galang mengangguk. "Namanya juga rest area."
"Nggak hygiene. Keluar tol Semarang aja. Gie udah reservasi hotel. Kasian Dollar pasti bosen di mobil terus." Gie mengulurkan tangannya ke belakang. Dollar langsung melompat ke tangannya, jadi Gie bisa membawa anjing itu ke pangkuan. "Kamu bosan ya?" Dollar menggonggong sambil mengibaskan ekor antusias.
"Emang kita mau nginep di Semarang?"
"Enggak. Ke hotel buat ke toilet aja. Gie gerah mau sekalian mandi juga. Kalo kamu capek, biar Gie yang nyetir nanti."
Hotel yang dimaksud Gie pasti hotel bintang lima. Galang sudah tidak kaget dengan pilihan akomodasi Gie yang harus masuk standarnya. Jika orang lain mampir rest area, maka Gie akan pesan hotel hanya demi pinjam toilet.
***
Tiga orang pelayan menyambut dan mengantarkan mereka ke presidential suite reservasi Gie. Kamar itu luasnya 260 meter persegi dan amat mewah. Lengkap dengan cahaya matahari sore menyinari kamar mereka serta pemandangan dari atas tower. Di kamar itu juga ada dapur dan meja makan yang muat untuk diduduki tujuh orang.
Galang harus terbiasa dengan kemewahan ini.
Gie sudah menghilang ke kamar mandi saat butler selesai mengantarkan koper mereka ke dalam kamar. Galang sudah pesan makanan agar diantar ke dalam kamar selagi Gie mandi.
Ia melihat pemandangan kota dari kaca jendela besar di depan tempat tidur. Di meja kerja sudah ada kartu berisi ucapan selamat datang untuk Gie dan Galang.
"Hotelnya bagus." Ujar Galang saat Gie keluar dari kamar mandi berbalut bath robe. Cowok itu tiduran di atas kasur besar untuk meluruskan punggungnya yang pegal.
"Ini hotel paling bagus di Semarang." Gie duduk di pinggir tempat tidur untuk mengoleskan lotion ke kaki. "Kamu capek, ya? Atau kita nginep aja?" Ia kasihan melihat suaminya sudah nyaman rebahan.
"Nggak usah. Nanti makin lama nyampe Surabaya-nya. Bengkel udah kelamaan ditinggal."
"Nanti Gie aja yang nyetir sampe Solo."
"Kalo nggak nyetir nanti aku ngantuk. Lagian bunda kan sudah pesan supaya aku nggak bolehin kamu nyetir. Aku udah biasa nyetir pulang pergi Jakarta-Surabaya sendirian."
"Bunda kan nggak liat."
Galang tertawa. Benar juga. "Aku nggak capek kok, Gie." Ia mendongakkan kepala untuk melihat Gie. Kalau habis mandi, istrinya cantik sekali. Apalagi hanya mengenakan bath robe dan handuk kepala. "Sini, aku mau peluk."
Gie menggeleng. "Gie lagi nggak mau disentuh sama kamu."
Oh iya, Galang lupa kalo istrinya lagi ngambek. Ia mendecakkan lidah.
"Pembahasannya mau dilanjut nggak, nih?" Galang membalik tubuhnya hingga ia bisa meletakkan satu tangan di bawah dagu.
Gie nampak sedang berpikir. "Kayaknya kemarin Gie salah deh ngirim copy dokumen pernikahan ke opa. Pasti sekarang mereka lagi marah banget." Galang bisa menangkap nada penyesalan di suara Gie. "Kamu tau nggak kenapa Gie pake nama Regina Atmodjo kalo di sini?"
Galang menggeleng atas pertanyaan tiba-tiba itu.
"Sebenarnya Gie sayang banget sama opa. Gie pake nama depan opa supaya orang-orang tau kalo Gie cucunya opa. Bukan karena embel-embel nama keluarga Tan." Gie menghela napas. "Kamu bener. Kayaknya kita memang perlu ketemu keluarga Gie. Minta restu yang baik. Siapa tau dikasih. Kalo nggak dikasih bisa dipikir belakangan."
Galang tersenyum seraya bangkit duduk. Ia mengulurkan satu tangannya pada Gie, menyuruh cewek itu mendekat.
"Makasih, ya." Ia melingkarkan kedua tangan di sekeliling tubuh Gie.
"Just promise me you'll do everything I say when we see them, okay (Kamu harus janji bakal ngelakuin apapun yang Gie suruh saat kita ketemu mereka)?" Meski sudah setuju, Gie tidak bisa menghilangkan kecemasannya.
Alih-alih menjawab, Galang justru mengecup pipi Gie. Dia baru akan mencium bibirnya saat terdengar suara bel. Galang mengerang sebal karena interupsi itu. Gie keluar dari dekapannya untuk membuka pintu. Seorang butler mendorong sebuah tray berisi makanan. Gie mempersilahkan pelayan itu masuk untuk menata makanan di meja makan. Galang yang sudah terlanjur kecewa memutuskan untuk mandi saja.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top