23 | SOMEWHEN AT NIGHT
Meski nggak terlalu eksplisit (akibat nulis dengan hati-hati), tetap aja part ini mengandung racun yg bisa bikin terbawa perasaan.
Silahkan baca sambil mojok, ya.
Dosa tanggung sendiri.
***
Pernikahan secara katolik harusnya tidak semudah ini. Ada proses panjang yang harus dilalui. Apalagi kalau menikah di Indonesia. Pernikahan mereka akan secepatnya didaftarkan ke catatan sipil setibanya mereka di Surabaya. Galang tidak tahu apakah proses di setiap negara akan sama atau berbeda. Yang dia tahu, Gie dengan kemampuan melobinya dapat membuat pastor Luca luluh dan menikahkan mereka di tempat. Padahal awalnya Galang juga ragu apakah mereka diperbolehkan menikah di gereja wilayah lain, apalagi di luar negeri seperti ini. Mereka kan bukan penduduk Lauterbrunnen.
Kalau sudah menikah begini, hanya kematian yang bisa menceraikan mereka. Seperti sumpah mereka untuk sehidup semati bersama.
Sekarang, pengantin baru bersama Anton dan Elsa sedang berjalan kaki sambil melawan dingin untuk mencari hotel tempat menginap. Gie digendong di belakang punggung Galang. Bagian bawah gaunnya jelas sudah kusut. Sepatu haknya ia tenteng di tangan. Sedangkan tangan yang lain sedang mengangkat sebuah surat berisi catatan dan sakramen (perjanjian) pernikahan. Di sana ada cap dan tanda tangan pastor Luca sebagai pastor yang memberkati mereka. Gie berharap catatan ini cukup untuk mendaftarkan pernikahan mereka di Indonesia.
Gie tidak merasa terlalu kedinginan. Gimana dia bisa kedinginan kalau hatinya sesenang ini? Mana sambil berada di atas punggung bidang suaminya pula!
Di antara mereka berempat, yang paling kedinginan adalah Anton. Suhu turun drastis saat malam datang. Wajar saja dingin, toh sekarang mereka diapit lembah dan gunung dengan puncak bersalju.
"Elssss!" Teriakan Anton terdengar seperti bisikan. Asap putih mengepul keluar dari mulut saat ia bicara.
"Apaan?" Elsa sibuk membrowsing hotel terdekat yang bisa ditempuh dengan jalan kaki.
"Belum dapet hotelnya? Mati beku, niiiihhh!" Anton bergidik.
"Adanya bintang tiga. Nggak papa?" Elsa menunjukkan layar hpnya pada Anton.
"Nggak papa, udah! Aku mau mandi air panas!"
Elsa mengangguk.
"Hotel paling bagus di sekitar sini jauh banget kalo jalan kaki. Cepetnya naik trem." Ujar Gie pada rombongannya.
"Hotel paling dekat ajalah. Biar bisa istirahat." Galang juga sudah pegal menggendong Gie.
"Bilang aja mau malem pertama, bangsatt!" Gerutu Anton.
Setelah menahan suhu dan angin dingin, akhirnya mereka tiba di sebuah hotel bintang tiga yang letaknya tak jauh dari Marienkapelle. Anton merasa amat beruntung karena masih ada tiga kamar kosong di saat libur kemerdekaan begini. Selesai check-in, dia langsung mengurung diri di kamar.
***
Gie memegangi kedua pipinya yang panas. Dia sudah selesai mandi dari tadi. Sekarang giliran Galang yang mandi setelah mengambilkan makan malam untuk mereka berdua dari restoran di lantai bawah. Kini Gie hanya pakai bathrobe. Di baliknya, dia tidak pakai apa-apa lagi. Bukan karena dia sengaja, meskipun kalau disengaja juga tidak ada salahnya. Kan mereka sudah menikah. Mereka diijinkan ngapa-ngapain sama Tuhan. Hanya saja, Gie mendadak merasa malu. Wajahnya sampai panas. Saking randomnya kejadian hari ini, Gie sampai tidak membawa baju ganti. Gaunnya ia letakkan di atas sofa. Gaun bridesmaid sekaligus gaun pengantinnya.
Waaaah, pipi Gie bersemu lagi. Dia malu sendiri.
"Loh, kok nggak makan?" Galang yang baru keluar dari kamar mandi hanya berbalut handuk putih untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Rambut yang basah ia keringkan dengan handuk.
Aduhh, kok suami Gie makin ganteng, sih!
"Nungguin kamu." Gie mendekati Galang lalu memeluk tubuhnya yang masih lembab dari belakang. Harum sabun dan shampo menguar dari tubuh cowok itu. Dagu Gie diletakkan di permukaan punggung Galang yang padat. Ia memperhatikan tato angka romawi di belakang tubuh cowok itu. "Tato ini artinya apa?"
Galang menarik lengan Gie agar dia bisa melingkari tubuh Gie dengan kedua tangannya. Galang tersenyum lalu mengecup pelipis Gie singkat. "Tanggal 21 bulan agustus. Hari kelahiranku dan Elsa, sekaligus hari kematian mama kami."
Wajah Gie langsung murung. "Kamu nggak punya mama? I am so sorry."
Galang menggeleng. "Nggak papa. Papa udah nikah lagi kok, jadi masih punya mama meskipun bukan kandung. Tato itu sebagai pengingat aja kalo mama berkorban untuk ngelahirin aku sama Elsa ke dunia."
Wajah Gie masih murung. Galang mengecup bibirnya singkat.
"Makan dulu. Tadi kamu nggak sempat makan apa-apa di resepsi." Lanjut Galang.
"Kok tau?"
"Nggak sadar ya kalo diperhatiin?"
Gie menggeleng. "Gie yang perhatiin kamu terus. Ngeliatin kamu lagi mesra-mesraan sama Elsa."
"Mesra-mesraan? Kapan?"
"Tadi. Sepanjang acara. Sebelum Gie tau kalo kalian saudara kembar. Kalian nggak mirip, sih!" Jawaban Gie terkesan sedang protes.
Galang tertawa. Suaranya menyenangkan bagi telinga Gie, membuatnya ikut tersenyum.
"Makanya nanya kalo nggak tau!" Galang mencubit pipi lembut Gie pelan, takut membuatnya sakit.
Gie masih menempel pada Galang sampai mereka tiba di meja kecil tempat makanan mereka menunggu. Menu mereka malam ini hanya terdiri dari sosis, kentang tumbuk, dan sayur-sayuran. Galang menambahkan beberapa cupcakes untuk Gie, cemas kalau istrinya kelaparan.
"Mau bikin Gie gendut, ya?" Baru kali ini Gie benar-benar memperhatikan makanan yang dibawa Galang. Untuk porsi makan Gie yang biasanya kecil, itu termasuk kebanyakan.
"Enggak, sayang. Kamu belum makan seharian."
Gie mengulum senyum malu saat dipanggil 'sayang' oleh suaminya. Dia tidak mendebat lagi. Cewek itu langsung duduk di kursi dan bersiap makan. Mendadak jinak.
"Gie?"
Gie yang sedang mengunyah sosis dan kentang tumbuk mendongakkan kepala, "Hmm?"
"Kita ketemu keluarga kamu kapan?"
Gie berhenti mengunyah. Dia baru ingat kalau masih punya keluarga. "Nggak usah. Sekarang Gie masuk klan Anthaka. Bukan Tan lagi." Jawabnya cuek.
"Lah? Mana bisa gitu?"
"Ajak Gie ke rumah orang tua kamu aja. Di Jakarta, kan?"
Galang mengangguk. "Tapi kita perlu juga buat ketemu orang tua kamu, Gie."
Gie menggeleng tegas. "Nggak mau. Nanti kamu diapa-apain sama mereka. Pokoknya nggak mau, titik."
Galang menghela napas. Wajar kalau Gie keras kepala begini tentang keluarganya. Galang mengalah dengan tidak membahas masalah itu lagi.
"Galang?"
Giliran Galang yang mendongak dari piringnya, "Apa?"
"Kenapa kepikiran buat nikahin Gie? Sejak kapan ngerencanain ini semua?" Tanya Gie sambil menggigit garpu. Wajahnya antusias.
"Pengen aja. Baru tadi kok ngerencanainnya."
Jawaban cuek Galang membuat Gie patah hati. Ekspresi cerianya jadi luntur. Galang baru sadar apa yang dikatakannya saat melihat wajah sedih Gie.
"Eh, tadi kamu minta jawaban jujur ato enggak, ya?" Galang gelagapan.
Wajah Gie makin sedih. Ternyata harapan Gie berbanding terbalik dengan kenyataan. Ia berpikir kalau perasaan suka Galang padanya ibarat baru disemai, belum siap berbunga apalagi dipanen. Cewek itu menghela napas, kelihatan depresi.
"Jangan cemberut, dong..." Galang meraih tangan Gie yang sedang memegang garpu. Istrinya itu mendadak diam.
"Kamu terpaksa ya nikah sama Gie?"
Galang menggeleng. Ia menarik pergelangan tangan Gie perlahan agar Gie bisa duduk di pangkuannya. "Nggak ada terpaksa-terpaksa. Aku nikahin kamu karna khawatir keduluan sama tunangan kamu. Meskipun dia nawarin kamu hubungan terbuka, aku nggak mau jadi selingkuhan. Pokoknya aku jadi satu-satunya."
Alis Gie bertaut. "Jadi karna rivalitas? Takut kalah dari Aiden?"
Galang mengusap lehernya. Salah ngomong lagi, kan!
"Bukan, sayang. I've wanted you for so long. It was an impulsive decision, I admit. But if having you for myself is the result, I don't regret it at all. Never did and never will. Gratefulness is what I feel now. (Aku menginginkanmu sejak lama. Nikahin kamu memang keputusan spontan, kuakui. Tapi kalau untuk memiliki kamu untuk diriku sendiri sebagai imbalannya, aku nggak menyesal sama sekali. Nggak pernah dan nggak akan menyesal. Rasa syukur adalah satu-satunya yang kurasakan sekarang.)"
"Meskipun Gie nggak bisa masak?"
"Aku yang masak."
"Gie nggak bisa cuci baju?"
"Ada mesin cuci, sayang."
"Gie nggak bisa cuci piring?"
"Aku yang cuci. Kalo kita sama-sama capek bisa ngegaji asisten rumah tangga. Nikah sama aku nggak ribet, kok."
Gie memeluk leher Galang. Ia membenamkan wajahnya di bahu Galang yang lebar. Sepertinya memang didesain oleh Tuhan untuk menyangga kepala Gie seorang. Galang balik memeluknya erat. "Makasih udah mau nerima Gie apa adanya. Gie nggak pernah merasa diterima orang lain seperti kamu nerima diri Gie. I love you, Galang. I love you so much it hurts."
"Aku juga." Bisik Galang. Hatinya terenyuh mendengar pengakuan rendah diri Gie.
***
Hp Galang berdering. Ia buru-buru mengangkatnya sebelum membangunkan Gie yang sudah tertidur duluan. Nama Bian muncul di layar. Ia mengangkat panggilan itu.
"Lang?"
"Iya. Ini gue. Kenapa?"
"Kamu dimana?"
"Masih di Lauterbrunnen."
"Sama Gie?"
"Iya. Ada apa?"
"Keluarga Gie ngirim orang kemana-mana buat nyari dia. Syukurlah kalo kamu masih sama Gie. Aku nggak khawatir lagi sekarang. Anton kemana? Daritadi aku cari dia nggak ada."
"Sama gue." Galang terdiam sebentar. "Bi, gue sama Gie udah nikah."
Tak ada jawaban di seberang.
"Gue nikahin Gie di gereja dekat sini. Baru tadi sore, habis dari resepsi lo."
"Nggak lucu, Lang."
"Gue serius, Bi. Dia istri gue sekarang. Sori, gue nggak kasih tau lo lebih awal. Mendadak soalnya."
"Anton yang jadi saksi?"
"Iya."
Di seberang sana, Fabian menghela napas. "Syukurlah cowok itu kamu."
Galang mengernyit. "Lo nggak marah?"
"Enggak. Justru aku berterima kasih karena kamu bertahan sama Gie sejauh ini. Butuh nyali besar buat nentang keluarga Tan. Opa Atmodjo memang perlu dikasih pelajaran sekali-sekali."
Galang menyeringai kecil.
"Apa rencana kalian besok?"
"Balik ke Zurich. Terus ke Jakarta. Baru abis itu pulang Surabaya."
"Kami masih akan beberapa hari lagi tinggal di sini. Tamu-tamu sudah diantar kembali ke Jenewa sama Zurich. Lebih baik kalian pulang bareng rombongan itu. Supaya nggak ditangkap sama orang suruhan keluarga Gie."
"Emang masih kebagian kursi?" Galang ingat kalau keluarga Hartono hanya menyewa lima pesawat airbus untuk tamu-tamunya.
"Biar kuatur sama Tania. Kalian siap-siap aja besok sore."
"Makasih, Bi."
"Nggak masalah. Tolong jaga Gie baik-baik! Kalau dia kenapa-napa, kamu yang kucari duluan."
"Galang..." Panggil Gie dari tempat tidur. Cewek itu terbangun karena Galang tidak ada.
"Gue tutup, bye." Tanpa menunggu respon Fabian, Galang menutup panggilan telepon lalu meletakkan hpnya di meja. Ia naik ke tempat tidur untuk berbaring dan langsung membawa Gie ke dalam dekapannya.
"Kenapa?" Tanya Galang lembut, dia cemas kalau Gie sedang mengigau atau sleep walkingnya kambuh. Ia menyibak sejumput rambut biru yang menutupi wajah Gie yang sedang mengantuk.
"Habis darimana?" Gie balik bertanya dengan suara parau. Kedua matanya setengah terpejam.
"Angkat telpon dari Bian." Galang mencium pipi Gie singkat. "Besok kita pulang, ya?" Lanjut Galang.
"Nggak mau."
"Kenapa?"
"Masih mau di sini." Satu tangan Gie diletakkan di atas dada Galang yang telanjang.
"Kita harus pulang besok."
Gie tidak menjawab. Galang coba menggoyangkan bahunya. "Oke, oke." Gie akhirnya merespon sambil menahan ngantuk. Tidak seperti Gie, Galang susah tidur. Banyak pikiran berkecamuk di kepalanya. Terutama tentang bagaimana dia akan menghadapi keluarga besar Gie. Cepat atau lambat keluarga Tan akan tahu kalau mereka sudah menikah.
"Mikirin apa?" Kepala Gie mendongak. Ikatan mereka tiba-tiba jadi kuat sejak dari gereja. Gie merasa kalau Galang pasti sedang gelisah karena memikirkan sesuatu. Cowok itu menggeleng. "Jangan bohong sama Gie." Ia meletakkan pipinya di atas dada Galang, tepat di atas jantung. Gie bisa mendengar detak jantung Galang saat berbohong.
Tapi Galang lebih memilih diam. Alih-alih menjawab, Galang membaringkan tubuh Gie di atas tempat tidur. Separuh tubuh Galang menindih tubuh Gie. Ia memandangi wajah istrinya lekat-lekat untuk waktu yang lama.
"Aku sudah pernah bilang kalo kamu cantik, belum?" Bisik Galang.
Wajah mereka begitu dekat. Tiba-tiba jantung Gie sudah berdegup lebih kencang. Kepala Gie menggeleng pelan untuk menjawab pertanyaan Galang.
"Kamu cantik, Gie. Dan sekarang kamu istriku." Galang mencium bibir Gie lambat-lambat, menikmati lembutnya bibir Gie. Mendadak ia melepaskan ciuman mereka, membuat Gie mengerang pelan untuk protes.
Galang membelai pipi Gie dengan jari-jarinya. "Ini malam pertama kita. Do you know what I am about to do to you (Apa kamu tau yang mau kulakukan padamu)?"
Gie menggeleng. Otaknya berkabut. Kantuknya kini hilang sudah.
Galang mengurung tubuh Gie dengan kedua lengan berotot miliknya, hasil dari kerja kasar di bengkel. Lengan yang suka dipeluk oleh Gie. Cewek itu bahkan betah bergelantungan di sana jika memungkinkan dan diperbolehkan. Galang membuka kaki Gie lebih lebar dengan satu lutut. Kini posisi tubuhnya sudah berada di antara kedua kaki Gie.
"This." Galang melumat bibir bawah Gie, sesekali menariknya pelan dengan gigi. Satu tangannya naik ke atas leher lalu turun menuju dada. Kedua mata Gie terpejam untuk menikmati sentuhan demi sentuhan. "This." Bibir Galang turun untuk memberi ciuman basah di garis rahang Gie, membuat cewek itu mendesah pelan. "Kamu cantik, sayang." Bisik Galang di telinga Gie sebelum bibirnya menyentuh daun telinga Gie yang ditindik dengan tiga berlian, sesekali menjilatnya. Gie melenguh pelan. Suaranya terdengar merdu di telinga Galang.
Diam-diam Galang tersenyum karena Gie memilih untuk tidak mengenakan apa-apa saat tidur. Satu poin seksi Gie adalah karena dia polos. Sekarang Gie sudah jadi miliknya. Galang tidak perlu menahan diri lagi.
Kedua tangan Galang turun untuk mengusap rusuk Gie. Ke atas dan ke bawah. Gerakannya lembut, berbanding terbalik dengan permukaan kulit telapak tangannya yang kasar. Gie merasakan sensasi menyenangkan yang membuat sebuah desahan lolos dari bibir merah mudanya yang sedikit terbuka. Ia mengangkat kedua tangan untuk menyentuh lengan atas Galang yang keras, padat oleh otot. Galang menciumi setiap jengkal kulit di rahang dan leher Gie, sebuah bentuk pemujaan untuk perempuan tercantik yang dinikahinya.
Kedua tungkai Gie spontan melingkari pinggang Galang, membuat cowok itu mengangkat kepala. "Turunkan kakimu sayang, kalo kamu nggak mau ini cepat berakhir." Gie menurut. Kedua kakinya kembali ke tempat tidur. Galang menyeringai tipis, puas karena Gie jadi penurut. Ia melanjutkan ciumannya yang belum usai.
Selagi bibirnya menjelajahi setiap jengkal kulit, kedua tangan Galang juga bergerak untuk melingkari payudara Gie yang ranum dan penuh, menggodanya. Sentuhan itu membuat dada Gie terangkat sedikit ke atas, meminta lebih. Galang mengabulkannya. Dengan gerakan perlahan ia meremas gundukan lembut di bawah telapak tangannya. Jari-jarinya memainkan puncak payudara Gie, menjepitnya dengan telunjuk dan ibu jari. Kedua mata Gie yang terpejam, nampak bergerak-gerak karena tidak mengantisipasi efek yang ditimbulkan oleh sentuhan sensual itu. Ia terkesiap, membuat Galang tersenyum tipis.
Kini bibir Galang berada di dada Gie, menyesap dan menghisap kulit halus di sana, meninggalkan bekas merah tipis di permukaan yang putih bersih.
"Galang..." Desah Gie.
"Kenapa, sayang?"
Gie menggeleng frustasi. Dia tidak tahu apa yang dia mau. Kepalanya berkabut. Gie ingin Galang berhenti memberinya siksaan ini. Tapi siksaan Galang begitu nikmat.
Bibir Galang kembali ke bibirnya. "Tell me what you want (Katakan apa yang kamu mau)." Bisik Galang dengan suara serak. Rupanya dia juga menikmati siksaan yang sama.
"Kiss me. Kiss me everywhere." Desah Gie.
Galang menggumamkan persetujuannya.
Gie meminta Galang untuk menciumnya dimana-mana, tapi cowok itu punya cara lain untuk membuat Gie menjadi gila. Kepalanya turun ke bawah agar bisa melumat puncak payudara Gie. Mengulum dan menghisap. Gie mendesah lebih keras. Kedua tangannya terangkat untuk menyentuh rambut Galang, menjambaknya sesekali. Galang menggeram pelan. Gie sangat sensitif. Dimanapun Galang menyentuhnya, Gie langsung memberi respon. Seakan tubuh Gie diciptakan hanya untuk memuaskan Galang.
Lidah Galang turun dari dada Gie, menuju perut rata milik istrinya. Ia mengecup permukaan kulit di sana, memberi tanda kalau tubuh ini adalah miliknya seorang. Tangan Galang turun ke salah satu tungkai Gie, mengangkat kakinya agar dia bisa menciumi paha bagian dalam Gie.
"Galang..." Desah Gie. Nadanya terdengar menuntut. Galang menjaga temponya. Belum ingin terburu-buru. "Sayang, please..."
Niat Galang untuk tidak terburu-buru mendadak batal begitu mendengar rengekan setengah memohon Gie. Galang merangkak ke atas, hingga wajahnya sejajar dengan Gie.
"Ini bakal sakit." Suara Galang sudah parau saat coba memberi Gie peringatan.
"I don't care. Just please..."
Gie terkesiap saat tubuh bagian bawahnya dimasuki. Jeritannya ditelan oleh Galang. Ia melumat bibir Gie, memaksa lidahnya masuk untuk bertemu dengan lidah Gie. Ekspresi Gie masih meringis tak nyaman karena rasa sakit akibat penyatuan tubuh mereka. Galang coba menenangkannya dengan ciuman-ciuman penuh tuntutan dan usapan lembut di payudara Gie. Setelah Gie hanyut dan tidak merasakan sakit yang menyengat lagi, ia membalas setiap ciuman Galang.
"Love, can I move now (Sayang, aku boleh gerak sekarang)?"
Gie mengangguk pelan. Kedua bibirnya nampak kemerahan. Kedua matanya berkabut oleh gairah.
Begitu mendapat persetujuan Gie, Galang mulai bergerak perlahan. Ia menahan dirinya agar tidak terlalu menyakiti Gie. Meski saat ini, berada di dalam tubuh Gie membuat gairahnya makin menjadi-jadi, ia meyakinkan diri untuk tidak buru-buru. Mereka masih punya waktu banyak. Seumur hidup, bahkan.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top