20 | TERLAMBAT
Perjalanan ke Zurich membutuhkan waktu satu setengah hari karena mereka harus dua kali transit ke Kuala Lumpur dan Dubai. Sekalipun naik kelas bussiness atau first class, pegal-pegal di badan Galang tidak dapat dipungkiri. Galang sih masih mending. Sesampainya di Zurich, Anton langsung K.O karena jetlag. Fabian yang sudah terbiasa keliling-keliling antar benua, kelihatan biasa saja.
Mereka naik kereta api cepat dari bandara menuju hotel. Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit hingga mereka tiba di hotel megah bernama Schweizerhof yang lokasinya berada di pusat perbelanjaan Zurich, Bahnofstrasse.
Fabian memilih hotel ini karena Galang bilang dia akan membawa Dollar ikut serta. Cowok itu berharap akan bertemu dengan Gie di resepsi dan berencana untuk mempertemukan pasangan ibu dan anak itu. Hotel ini jadi salah satu hotel yang mempersilahkan para tamunya untuk membawa hewan peliharaan. Jadilah mereka menginap di satu kamar suite dengan double bed berukuran king-size. Terserah nanti siapa mau tidur seranjang dengan siapa.
Begitu masuk kamar, Anton langsung teler di atas ranjang di kamar utama.
"Kenapa Dollar bisa sama kamu, ya?" Fabian baru ingat untuk bertanya pada Galang. "Gie titip dia ke kamu?"
Galang hanya mengangguk. Dia membiarkan Dollar berkeliaran di sekitar kamar.
"Tiga hari ini aku bakal sibuk di luar. Kalo kalian mau jalan-jalan bisa minta temani Gie besok."
Mendengar nama Gie, kedua telinga Galang langsung tegak. "Gie ke Zurich juga?"
Fabian mengangguk. "Kami ada meeting sebentar besok. Habis itu dia berangkat bareng sama kita ke Lauterbrunnen." Melihat ekspresi Galang, Fabian jadi heran. "Dia nggak ngasih tau kamu?"
"Kita lost contact berhari-hari sejak dia balik ke rumah keluarganya." Jawab Galang apa adanya. Kalau Fabian tahu Gie akan datang, maka dia juga pasti tahu kalau Gie sudah tidak tinggal bersama Galang lagi.
"Waktu Gie pindah kalian ada masalah?"
Galang menggeleng. "Nggak ada. Hp dia ketinggalan di rumah. Anjingnya juga." Galang menunjuk Dollar yang punya hobi mengejar ekornya sendiri kalau sedang tidak ada kegiatan.
"Kok tumben?" Rasa penasaran Fabian harus ditahan dulu karena hpnya berdering. Istrinya menelepon.
Galang juga baru tahu kalau Fabian dan Ullie sebenarnya sudah menikah diam-diam beberapa hari lalu. Yang tahu hanya Anton dan Mamanya, karena Ullie butuh wali dan saksi. Fabian bilang keluarga Hartono ngamuk besar begitu tahu keduanya sudah menikah duluan. Dia sendiri tidak terlalu peduli karena yakin kemarahan keluarganya akan cepat reda mengingat mereka harus tetap menyiapkan resepsi yang ribet di luar negeri.
Karena pekerjaan Fabian yang tidak bisa ditunda, ditambah Fabian sendiri yang tidak hobi menunda pekerjaan, jadilah dia pergi ke Zurich. Ditemani Galang dan Anton. Ullie beserta keluarga besar berangkat dengan jet pribadi keluarga. Sedangkan tamu-tamu undangan diangkut lima pesawat Airbus menuju Swiss. Tania dan Tante Mariska –Mama Fabian-, hanya bisa mengupayakan kurang dari sepuluh pesawat. Sedangkan tamu dan kolega bisnis yang tidak dapat kesempatan pergi bersama, dihadiahi tiket pulang-pergi dan akomodasi selama di Swiss.
Anton sampai menangis membayangkan berapa duit yang digelontorkan keluarga Fabian untuk acara resepsi ini. Bagai membakar uang, katanya.
Kembali ke Galang. Cowok itu sedang duduk di sofa karena gelisah mengantisipasi pertemuan dengan Gie di Zurich.
***
Helena Tan menyuruh Amélie dan Paula untuk pergi menemani Gie ke Zurich. Cewek itu sampai menggertakkan gigi untuk menahan emosi saat melihat kedua asisten bulenya itu sedang melakukan check in di hotel Schweizerhof.
Untungnya mereka mendapat kamar terpisah. Gie mendapat satu kamar di lantai lima. Sedangkan dua asistennya ada di lantai empat.
"Biar kuantar ke kamar ya, chéri." Paula menawarkan untuk membawakan koper Gie. Cewek itu menolak. Dia pergi ke lift dengan membawa sendiri kopernya.
Sampai di kamar, Gie berjalan mondar-mandir di depan tempat tidur. Dia ingin kabur dari sini. Kalau dia beruntung, dia bisa naik kereta menuju Milan-Italia atau Praha. Sayangnya Gie tidak diijinkan untuk punya hp sekarang, jadi dia kesulitan browsing tiket. Cewek itu mengusap pelipisnya sambil meletakkan tangan di pinggang.
***
Satu-satunya hal menyenangkan yang terjadi di minggu ini adalah bertemu dengan Fabian lagi. Meski mereka bertemu untuk pekerjaan, Gie tetap senang sekali.
"Gie." Fabian langsung memeluk Gie begitu mereka bertemu di La Soupiére, restoran hotel yang sedang mereka tempati.
"Koh Bian." Gie hampir menangis saat menyebut nama cowok itu.
Amélie dan Paula duduk mengawasi Gie di meja yang tak jauh dari tempat mereka duduk. Gie memandang mereka penuh benci karena merasa dikhianati.
"Kamu kurusan. Apa yang terjadi?" Wajah Fabian mendung saat menanyakannya. Ia tak suka melihat raut muka Gie yang lesu. Ada bayangan hitam di bawah kedua mata sipitnya yang cantik.
Gie menepuk-nepuk punggung tangan Fabian. "Pengantin nggak boleh stress mikirin urusan orang lain!" Cewek itu berusaha kelihatan baik-baik saja. Fabian mengamatinya lekat-lekat, seakan tahu ada yang ganjil padanya.
"Gimana kabarmu, Gie?"
Gie memaksakan sebuah senyum manis. "The worst year ever, but I can manage (Tahun terburuk, tapi Gie bisa mengatasinya)."
Jawaban ceria Gie membuat kedua alis Fabian makin bertemu.
"Penerbangan kemarin lancar?" Tanya Gie.
Fabian mengangguk. "Ada Galang sama Anton yang nemenin. Mereka di kamar sekarang. Mungkin sebentar lagi turun buat makan siang."
Senyum Gie lenyap. Wajahnya mendadak kosong saat mendengar nama Galang.
Kebetulan macam apa ini?
Dunia seakan sedang menertawainya saat dilihatnya Anton datang ke restoran dengan diikuti Galang. Cowok yang sangat Gie rindukan itu terpaku di tempat saat bertemu pandang dengan Gie, namun tak lama kemudian dia segera pulih dan tersenyum pada Gie.
Rasanya Gie makin ingin menangis.
"Hai, Gie!!" Sapa Anton sebelum menarik kursi di sebelah Fabian.
Gie membalas sapaan Anton dengan sebuah senyum. Suaranya tercekat di tenggorokan sehingga tidak bisa bicara. Galang menarik kursi di sebelah Gie. Hanya kursi itu yang kosong. Galang menyentuh punggung Gie dan mengelusnya sekilas sebagai sapaan. Tatapan Gie tak lepas darinya.
"Ini nggak ada yang bahasa Inggris?" Anton mengernyit saat membaca buku menu dalam bahasa Jerman.
Gie berinisiatif untuk menukar buku menu yang ada di depannya dengan yang dipegang Anton. Kakak Ullie itu malah garuk-garuk kepala, makin tidak mengerti.
"Pesenin, Bi. Aku nggak ngerti mana yang enak." Anton mengoper buku menu pada Fabian.
Gie dan Galang masih sama-sama saling terdiam. Cewek itu tidak ingin mengambil resiko mengobrol terlalu banyak dengan Galang karena cemas dengan tatapan dua asistennya di meja belakang. Mereka akan melaporkan apa saja yang mereka lihat pada Maminya.
"Kamu diawasin?" Tanya Galang dengan suara rendah. Gie mengangguk.
"Dollar ada di kamar." Galang mengambil lap putih dan menyerahkannya pada Gie. "Tulis di sini nomor kamarmu. Nanti aku yang anter Dollar."
Gie buru-buru mengambil sebuah lisptick dari dalam tas. Dia menuliskan nomor kamarnya.
"Jangan kasih aku anggur ato sampanye, gampang pening!" Anton menyuruh adik iparnya tidak memilih-milih minuman beralkohol sebagai teman makan. Fabian menurut. Dia langsung membalik halaman.
Galang langsung melipat lap yang bertuliskan nomor kamar Gie dan meletakkannya di sebelah piring agar tidak terlalu kentara.
Gie memanggil pelayan. Ia membuka-buka buku menu yang berbahasa Jerman. Seorang pelayan langsung menghampiri meja mereka.
"Grüezi Mitenand (Halo semua)." Sapa pelayan itu.
"Grüezi (Hai)." Gie balik menyapa dengan senyum lebar. Ia menunjuk salah satu menu sambil bicara fasih dengan bahasa Swiss-Jerman. Galang memandanginya kagum.
"Kalian pesan apa?" Tanya Gie pada Fabian dan Anton. Fabian mewakili Anton menjawab dengan menunjuk menu salad berisi scallop goreng dan risotto. Kini Gie beralih pada pelayan lagi. "Gebratene jakobsmuschel mit basilikum-pesto, pfifferlingen und cherrytomaten (Scallop goreng dengan saus pesto dan jamur Chanterelle). Und... Cremiges carnaroli risotto mit pfifferlingen und frühlingszwiebel (Dan... Risotto kuah krim, jamur Chanterelle, dan daun bawang). Zwei (Dua)." Gie memandang Galang. "Kamu pesan apa?"
Galang yang tercengang melihat kemampuan bahasa asing Gie hanya bisa menjawab, "Samain aja."
Gie menyebutkan pesanannya lagi, dan diakhiri dengan, "Merci vilmal (Terima kasih)."
Anton reflek bertepuk tangan saat pelayan itu pergi. "Baru kali ini liat orang jago bahasa Perancis selain Ullie."
"Itu bahasa Jerman." Sahut Gie.
Anton menurunkan tangan karena cegek (istilah: kehabisan kata-kata karena terbukti salah).
***
Tengah malam, saat semua orang terlelap, Galang memutuskan untuk pergi ke kamar Gie di lantai lima dengan membawa Dollar. Semoga Gie tidak sedang dalam pengawasan kalau jam segini.
Gie membuka pintu kamar dan menyuruh Galang segera masuk.
Begitu kamar ditutup, Gie langsung mengambil alih Dollar dalam gendongan Galang. Ia menenggelamkan wajahnya di leher berbulu anjing itu. Dollar terus menyalak senang sambil menjilati wajah Gie, membuat cewek itu tertawa sambil menangis haru. Galang tersenyum melihatnya.
"Gie juga kangen kamu. Boleh peluk, ya?" Tanpa menurunkan Dollar atau menunggu respon dari Galang, Gie sudah menghambur ke pelukan cowok itu. Galang balas memeluknya. Dia munafik kalau bilang tidak kangen juga dengan Gie. Sesekali ia mengusap kepala Gie.
Lama sekali mereka berpelukan. Galang sih tidak masalah, sampai ia merasakan bahu Gie bergetar. Gie menangis. Galang tidak memaksa cewek itu untuk melepas pelukan. Ia hanya bisa menepuk-nepuk kepala Gie halus.
"Mau duduk?" Tawar Galang ketika kakinya mulai kram.
Gie mengangguk lalu melepas pelukan. Dollar juga ia turunkan. Anjing itu langsung berlarian kesana kemari, menjelajah kamar barunya. Wajah Gie sudah merah dan sembab. Ia tidak berani mendongak karena malu kelihatan cengeng di depan cowok yang ditaksirnya.
Galang pura-pura tidak melihat. Ia menggandeng Gie untuk mengajaknya duduk di sofa terdekat.
"Ini hpmu." Galang mengeluarkan hp milik Gie yang tertinggal di rumahnya.
Gie mengusap pipinya yang basah oleh air mata. "Maaf Gie nggak pamit waktu itu. Semuanya terjadi tiba-tiba."
Galang mengangguk.
"Maaf juga selama ini Gie nggak ngabarin kamu. Akses komunikasi Gie ditutup keluarga."
Galang mengangguk lagi.
"Makasih udah rawat Dollar."
Satu tangan Galang terulur untuk mengusap air mata yang jatuh ke pipi Gie. "Malam ini kamu cengeng banget." Godanya.
"Gie udah nahan lama. Pas ketemu kamu malah jadi begini." Sahut Gie dengan suara bergetar.
"Gimana kabarmu?" Tanya Galang.
Gie menggeleng. "Gie mau menikah sebentar lagi."
Dahi Galang berkerut. Ia merasa seperti baru saja disiram es dari atas kepala. "Kapan?"
"Belum tau." Gie mengedikkan bahu. "Aiden, tunangan Gie, nawarin hubungan terbuka. Jadi Gie masih bisa punya pasangan lain meski terikat pernikahan dengan dia."
Dahi Galang makin berkerut. "Kamu setuju?"
"Tergantung kamu mau sama Gie atau enggak." Jawaban polos Gie membuat Galang tiba-tiba jadi emosi. "Mau kemana?" Gie heran karena Galang tiba-tiba bangkit dari duduknya.
"Tugasku cuma nganter Dollar." Gie terganggu dengan nada suara Galang barusan. Terdengar acuh dan jauh.
"Gie masih mau kamu di sini."
Galang tidak menanggapi dan langsung pergi keluar dari kamar Gie. Cewek itu tidak menyusulnya karena perlu waktu untuk mencerna keadaan yang baru saja terjadi. Apa yang salah dari kata-kata Gie tadi?
***
Seperti ucapannya dua hari lalu, Fabian sibuk bekerja. Anton sampai geleng-geleng kepala melihat adik iparnya itu sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Padahal besok sudah acara resepsinya dengan Ullie. Biasanya pengantin kan mengambil cuti demi melangsungkan acara sakral mereka. Hanya Fabian saja yang tidak terlalu peduli.
"Yang penting udah resmi jadi suami istri." Jawab Fabian tiap kali ditanya.
Galang dan Anton juga sibuk. Mereka diberikan tugas untuk mengawasi pengiriman souvenir pernikahan dari Zurich ke Lauterbrunnen, sebuah desa yang jauhnya sekitar 98 km dari Zurich. Anton juga tidak mengerti kenapa keluarga Hartono memilih lokasi itu untuk resepsi.
"Dari kemarin nggak liat Gie. Dia kemana?" Tanya Anton saat mereka sudah kembali ke hotel. Galang mengedikkan bahu. "Kalian kenapa? Berantem? Kayak Ullie sama Bian aja."
Galang tidak merespon, dia sibuk dengan laptopnya, membaca laporan pekerjaan di bengkel yang masih belum selesai direnovasi.
"Oi, cok! Malam nanti kita mau ngapain?" Anton sedang nganggur, jadi dia menganggu Galang yang bekerja.
"Gue nggak pengen jalan." Jawab Galang tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop.
"Yaudah di hotel aja. Bikin acara bachelor party buat Bian."
"Ngapain? Kan udah lewat."
"Karena udah lewat makanya bikinin buat Bian. Merayakan hari terakhirnya jadi lajang kemarin."
"Terserah elo, deh."
"Aku pesan bir, ya? Sambil makan kacang."
"Nggak berbobot banget bachelor party lo!"
"Sama ngundang penari striptease." Anton memainkan alisnya untuk mendapat dukungan Galang.
"Emang ada?" Tanya Galang penasaran.
"Nggak tau. Coba aja tanya Gie!"
Galang mendecakkan lidah. Mana bisa tanya Gie?
Bisa-bisa dia digantung terbalik kalau Gie tahu dia mengajak penari striptease ke dalam kamar. Anton tertawa melihat ekspresi jutek Galang.
"Takut ya bro sama Gie? Udahlaaah, jujur aja! Kalian sebenarnya ada hubungan, kan?"
Galang mendengus. Hubungan terlarang, yang ada. Galang diminta jadi selingkuhan cewek bersuami. Gila aja!
"Keliatan jelas tau, nggak?" Lanjut Anton lagi.
"Apanya?"
"Kamu sama dia. Kalo jauhan, bawaanmu emosi terus. Tapi kalo dekat malah melempem kayak kerupuk. Kayak mentega dipanasin. Kayak-"
"Bacot lo minta dilempar?" Potong Galang.
"Tuh, kaaan!"
Sumpah ya, mulut Anton lemes banget jadi cowok! Mungkin kebanyakan bergaul sama Mamanya terus ketularan jadi ibu-ibu biang gosip. Padahal badannya gede macam Ade Ray. Sungguh kombinasi yang bikin ngelus dada.
***
Sepagian itu Gie gelisah. Ryan, pilotnya mendadak tidak bisa dihubungi. Dua jam lagi, acara resepsi akan dimulai. Dua asistennya sudah sejak tadi selesai mendandaninya. Gaun bridesmaid dari Tania berupa kebaya dengan payet-payet sederhana. Untuk menyesuaikan dengan selera Gie, bagian punggungnya tembus pandang, memamerkan setiap lekuk Gie yang indah. Di beberapa bagian ada aksen batik nusantara. Gie menggumam puas dengan hasil karya designer langganan Tania.
"Cowok-cowok itu sudah pada siap?" Gie bertanya pada dua asistennya yang hanya merespon dengan saling pandang. Gie menggeram kesal. Ia buru-buru keluar dari kamar untuk menyusul pengantin dan para best mannya.
Pintu suite Fabian digedor keras oleh Gie. Cewek itu sudah tidak sabar. Bagaimana mereka akan tiba ke lokasi resepsi dalam waktu kurang dari dua jam?
"Panggilkan butler. Gie mau dobrak pintu ini!" Paula segera melakukan apa yang disuruh.
Tak berapa lama, pintu dibuka oleh Galang.
Cowok itu kelihatan baru bangun tidur. Rambutnya berantakan.
Ketika melihat Gie, kedua matanya mengerjap. Cewek itu selalu cantik, namun kali ini pengecualian. Gie kelihatan jauh lebih cantik daripada hari-hari biasanya. Ya, dia cantik, meskipun kedua matanya yang sipit itu sedang memicing menatapnya.
"Kalian. Belum. Siap." Desis Gie seakan siap meledak kapan saja.
Begitu sadar apa yang sedang Gie maksud dengan kata 'siap', Galang buru-buru masuk lagi ke dalam kamar. Meninggalkan pintu yang terbuka lebar. Cowok itu membangunkan Fabian dan Anton yang saling berpelukan di lantai berlapis karpet. Botol-botol bir Gambrinus yang sudah kosong berserakan di lantai, begitu juga dengan sampah-sampah sisa makanan. Gie masuk ke dalam dan menghitung setiap botol.
Tiga cowok ini berpesta semalaman dan menghabiskan 36 botol bir sekali minum.
Gie memandangi mereka bergantian.
Galang yang kesulitan membangunkan kedua temannya buru-buru menciprati mereka dengan air yang diambil dari kamar mandi.
"Bangun!! Masa lo telat ke resepsi lo sendiri?!" Galang menggoyangkan tubuh Fabian dan Anton. Fabian langsung bangkit duduk. Begitu melihat Gie dengan gaunnya, kedua mata Fabian membulat lebar. Dia langsung melompat untuk masuk ke dalam kamar mandi.
"Pilot Gie nggak bisa dihubungi. Kita nggak mungkin naik kereta karena sekarang tanggal 1 Agustus."
"Kenapa sama 1 Agustus?" Kepala Fabian muncul dari pintu kamar mandi.
"Hari Kemerdekaan Swiss!! Semua layanan penyedia pilot tutup! Dan semua kereta penuh ngangkut penumpang!" Gie akhirnya memekik untuk menunjukkan kekesalannya.
"Ada Galang. Nggak usah khawatir!" Fabian masuk lagi ke kamar mandi.
Kini Gie menatap Galang. "Apa maksudnya?"
Anton bangkit duduk lalu menguap lebar. "Galang bisa milotin pesawat, Gie." Cowok bertubuh besar itu menggaruk kepala lalu berdiri. Ia berjalan menuju kamar mandi lain yang kosong.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top