2 | FASHION WEEK
2 Bulan kemudian di Paris – Perancis.
Paris Fashion Week. Satu-satunya waktu dalam setahun yang paling difavoritkan oleh Gie. Tahun ini diselenggarakan bertepatan pada musim gugur. Gie sangat suka musim gugur. Di kamus Gie, musim gugur selalu identik dengan haute couture, yang tidak lain menjadi ajang pagelaran seni fashion dari designer-designer ternama dunia yang terkenal atas karya-karya berkualitas tinggi mereka. Hanya di saat seperti inilah Gie bisa memanjakan hasratnya dengan menonton serta mendapatkan pakaian, sepatu, atau perhiasan yang nantinya akan dibuat khusus untuknya.
"Hadiah datanggg..." Amélie, asisten yang merangkap sebagai penata rias masuk ke kamar tempat Paula sedang menata rambut Gie.
"Dari?" Tanya Gie tanpa memalingkan kepala. Ia bisa melihat pantulan Amélie dengan jelas lewat cermin di depannya.
Amélie membaca kartu ucapan dari designer kesukaan Gie. "Georges Hobeika." Ujarnya sebelum mengeluarkan sebuah dress putih gading berpotongan dada rendah yang terlindung plastik transparan. "To Mademoiselle Regie Tan. Here is my welcome gift for you. (Untuk nona Regie Tan. Ini adalah hadiah 'Selamat Datang' untukmu.)"
Gie tersenyum mendengarnya.
Regie Tan adalah nama asli yang didapatkannya sejak terlahir sebagai generasi ke-8 keluarga Tan. Salah satu keluarga konglomerat Indonesia pendiri Tan Group yang menaungi beberapa anak perusahaan besar produsen semen, rokok, makanan, dan juga stasiun TV. Gie percaya diri menyandang nama itu saat di luar negeri. Kalau di Indonesia, ia lebih suka dikenal sebagai Regina Atmodjo, sang fashion influencer. Atmodjo adalah nama depan Opanya. Atmodjo Tan.
"Amélie siapin untuk Gala besok, ya?" Cowok plontos kemayu itu menggantung dress yang baru datang ke dalam kloset Gie.
"Kamu jadi pulang ke Indonesia, nih?" Kini giliran Paula yang bertanya pada Gie. Cewek itu memandang bule Perancis yang sudah bekerja untuknya selama di Paris.
"Oui. Setelah fashion week berakhir."
"Kukira kamu betah di sini." Paula menyemprotkan hair spray ke poni Gie setelah melindungi wajahnya lebih dulu.
"Grand-père (kakek) mau Gie pulang secepatnya." Jawab Gie sambil scroll-scroll Instagram. Sebuah postingan baru dari Aldo menarik perhatiannya. Aldo mengunggah sebuah video pendek yang menunjukkan deru mesin Lamborghini. Di dalam mobil itu, terlihat sosok orang yang familiar baginya. Sosok itu mirip cowok yang pernah bertemu dengan Gie di apotek dua bulan lalu. Cowok itu sedang tersenyum, menikmati suara deru mesin dari balik kemudi. Gie buru-buru mengirim pesan pada Aldo.
From: RegieTan
Cowk di postingan terakhirmu. Siapa?
Tak butuh waktu lama bagi Aldo untuk membalas.
From: AliandoHartono
Bang Galang. Knpa?
From: RegieTan
His number. Now. (Nomornya. Sekarang.)
From: AliandoHartono
+62 81xxxxxx. Buat apa sih?
Gie mengabaikan pesan dari Aldo agar bisa langsung menyimpan nomor Galang di kontak. Tidak Gie kira kalau keberuntungan berpihak padanya. Sejak Fabian memutuskan pertunangan dengannya dan menyuruhnya untuk bertemu lebih banyak orang, sosok Galang selalu muncul di kepala. Galang secara konstan menjadi patokan tertinggi alam bawah sadarnya dalam menilai cowok-cowok yang baru dikenal Gie selama di Paris.
Yang ini tidak segagah Galang.
Dia tidak punya satu alis yang terpotong.
Dia tidak sesantai Galang.
Dia tidak seramah dan sebaik Galang.
Dia tidak semenarik Galang.
Selama dua bulan mereka tidak bertemu, maka dalam dua bulan itu pula Gie sibuk membandingkan semua orang yang dilihatnya dengan Galang.
"Kalau kita terus membandingkan cowok lain dengan satu orang cowok yang sering muncul di kepala. Artinya apa?" Gie menyuarakan rasa penasarannya.
"Kamu jatuh cinta, chéri (sayang)." Jawab Amélie yang tahu-tahu muncul di sebelahnya.
Gie tiba-tiba merasa bersemangat. "Cinta? Serius?"
Amélie yang bernama asli Alain Dujardin itu melempar selendang merahnya ke belakang leher sebelum membenahi make up Gie. "Oui. Siapa cowok beruntung ini?" Tanyanya.
"Just someone I know. (Cuma seseorang yang kukenal.)" Bibir Gie tak henti tersenyum.
***
Gie duduk di kursi paling depan bersama para editor majalah fashion ternama. Jika tamu lain sibuk untuk mengabadikan momen sepanjang pagelaran busana itu, lain halnya dengan Gie. Dia duduk diam dengan punggung ditegakkan, memerhatikan dengan serius setiap koleksi yang ditampilkan. Sesekali ia mengangguk sebagai tanda persetujuan pada baju yang akan dipilihnya nanti. Sejauh ini sudah ada lima koleksi Giambattista Valli yang diincarnya.
Hpnya berdering dari dalam tas Birkin-nya. Gie mengabaikan panggilan itu, masih ingin fokus dengan barisan para model terakhir yang akan masuk untuk memamerkan koleksi terbaik. Namun keinginannya tidak sejalan dengan siapapun yang sedang berusaha menghubunginya. Tanpa mengalihkan pandangan dari panggung run away, Gie mengambil Hp dari dalam tas.
"Ya?"
"Gie? Ini mami. Ryan lagi perjalanan buat jemput kamu sekarang."
"Sekarang? Gie lagi di Giambattista Valli haute couture, mi! Besok juga masih ada undangan ke Chanel sama Gaultier. Ini Fashion Week, lho! Gie nggak mau pulang!"
"Nggak bisa, Gie! Harus pulang sekarang. Opa mau kamu nyampe Surabaya selambat-lambatnya besok malam. Makanya Ryan bawa jet pribadi buat jemput kamu. Kayaknya udah di bandara sekarang."
"Ada apa sih emangnya? Gie mau dijodohin sama siapa lagi?"
"Kamu pulang dulu. Kita bicara di rumah."
"Gie nggak mau pulang dan ninggalin Paris Fashion Week kalo mami nggak bilang ada apa!"
"Opamu sakit."
Butuh beberapa detik untuk Gie mampu mencerna apa yang baru dikatakan Maminya.
"Gie, Opa sakit. Pulang, ya?"
"Ini bukan akal-akalan Opa aja, kan?" Tanya Gie memastikan.
"Mami lagi nggak bercanda. Pergi ke bandara sekarang! Paula sudah mami suruh untuk nganter barang-barangmu ke sana."
Gie menghela napas panjang. Ia memandang tak rela pada koleksi baju yang baru dipamerkan para model. Tahun ini hidupnya bakal hampa.
***
Gie tak punya waktu untuk jetlag. Perjalanan delapan belas jam dilalui Gie dalam keheningan. Selain Ryan sang pilot, co-pilot, dan pramugari, hanya dia dan Dollar yang menjadi satu-satunya penumpang dalam pesawat pribadi keluarganya itu. Untungnya Gie sempat mengganti gaunnya semalam dengan kaos hitam longgar dan celana panjang Ann Demeulemeester sebelum turun di Surabaya. Kini dia sedang dalam perjalanan menuju rumah keluarganya.
Begitu dia tiba, semua orang sudah berkumpul di ruang keluarga. Opa, Oma, Mami, Papi, dan Tante Yvonne. Seluruh anggota keluarga sudah menunggunya. Gie memperhatikan Opa yang kelihatan baik-baik saja. Ia mendengus kesal. Seharusnya ia sudah menduga kalau keluarganya akan melakukan apa saja untuk membuatnya kembali kemari, termasuk membohonginya.
"Duduk, Gie!" Perintah Opa sebelum ia menyesap tehnya.
Gie duduk di kursi kosong terdekat.
"Kenapa kamu pergi ke Paris?"
"Supaya nggak ketemu kalian." Jawaban Gie itu membuat semua orang gemas ingin menjitak kepalanya kalau saja Opa tidak sedang bicara.
"Fabian mau menikah. Kamu tau siapa calonnya?"
Kedua mata sipit Gie memicing curiga. "Kenapa nanya-nanya?"
"Opa hanya ingin tau. Perempuan mana yang bisa membuat Fabian mencampakkan kamu."
Gie menghela napas dengan dramatis. "Kami nggak bisa nikah. Opa aja yang maksa."
"Gie!" Tegur Papi.
"Gie ini capek, lho! Pulang-pulang bukannya disambut malah disidang!"
"Siapa suruh kamu ke Paris!" Bentak Opa.
Gie mendengus sebal sambil melipat kedua tangannya. "Opa nyuruh Gie buru-buru pulang ngapain? Gie capek, nih. Mau pulang terus tidur!"
"Anak kok nggak ada sopan santunnya!" Kali ini giliran Yvonne yang menghardik Gie. "Kalau bukan cucu tunggal keluarga ini, udah dari kemarin-kemarin kamu kudepak ke jalan!"
"Yvonne, jaga mulutmu!" Mami menegur adiknya dengan nada dingin.
"Cici terlalu manjain dia, sih! Liat tuh, besarnya jadi kurang ajar!" Yvonne tak mau kalah.
"Kalo tante ngiri bilang aja! Makanya nikah, punya anak! Biar tau ngegedein anak gimana rasanya!" Sahut Gie.
Yvonne menghambur naik ke meja yang memisahkan mereka. Mungkin Tantenya itu sudah meraih Gie kalau saja Papi tidak menahan kakinya. "Lepas! Biar kurobek mulutnya!" Yvonne coba meraih Gie yang masih duduk tenang di tempatnya. Oma yang sedang merajut di sebelah Opa hanya bisa menghela napas. Peralatan jahit berjatuhan dari meja akibat tendangan kaki Yvonne. Mami geleng-geleng kepala melihatnya.
"Sudah!" Suara Opa menggelegar, membuat Yvonne turun dari meja. Ia membetulkan baju yang berantakan akibat emosinya barusan. "Gie, Opa mau kamu besok kenalan sama cucu ketiga keluarga Kim. Calon jaksa."
"Gie nggak mau."
"Harus mau! Perjodohanmu sama Fabian batal, setidaknya kamu dapat laki-laki yang sepadan sebagai gantinya!"
"Kenapa sih ngebet banget nyuruh Gie nikah? Tante Yvonne tuh jodohin!"
Yvonne mengepalkan kedua tangannya. Gatal sekali ingin mencakar wajah Gie.
"Yvonne mandul! Kalopun menikah dia nggak akan bisa punya anak. Cuma kamu satu-satunya harapan keluarga ini. Umurmu sudah dua tujuh! Sudah waktunya kamu menikah dan memberi kami keturunan." Opa menjelaskan dengan nada galak. Yvonne yang sedang disinggung hanya bisa berdiri diam meski sakit hati penyakit mandulnya dibawa-bawa.
Gie sibuk memandangi kuku-kukunya yang dilapisi nail art bebatuan Swarovski. Cewek itu tidak mau menikah. Kalaupun terpaksa, satu-satunya cowok yang terlintas di kepalanya hanya Galang.
"Kamu dengar Opa ngomong apa, Gie?" Tanya Papi.
Ah! Lagi-lagi Gie mendesah dramatis. Bisakah dia hidup tanpa diatur-atur?
"Oke, oke. Kenalan aja, kan?" Akhirnya Gie mengalah. "Udah, kan?" Gie bangkit berdiri. Dia tidak betah berada di rumah ini lama-lama, auranya jelek buat kesehatan kulit Gie. Ketika ia memutuskan pergi, tidak ada yang menahannya. Buru-buru ia keluarkan Hp untuk menghubungi Fabian.
"Hallo, Gie?"
"Koh, dinner yuk! Gie baru landing."
"Loh, kamu udah nyampe Surabaya?"
"Udah, barusan. Mood Gie jelek. Mau makan steak."
Tak butuh waktu lama bagi Fabian untuk menyetujui ajakan Gie. "Oke. Ketemu di restoran biasa, ya?"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top