18 | GIE KEMANA?

Hari ini dua bab, ya?

***

Galang kembali ke rumah pukul sebelas siang lebih sedikit. Dia pulang lebih awal karena khawatir dengan kondisi Gie. Satu tangannya penuh dengan makanan, sedangkan tangan yang lain berisi buah-buahan dan obat serta vitamin yang baru dibelinya di apotek terdekat.

Dari tangga depan, Galang sudah mendengar samar-samar lolongan Dollar. Anjing Gie tidak pernah melolong begitu. Buru-buru ia lari ke atas dan membuka pintu depan.

Benar saja. Dollar langsung berlari menyambutnya ketika pintu depan terbuka. Anjing itu melompat-lompat dengan gelisah.

Galang mengabaikannya. Dia pikir mungkin Dollar jadi gelisah karena Gie sedang sakit.

Dollar menggonggong lagi. Kali ini lebih keras. Suaranya agak terdengar serak. Seperti sudah kebanyakan menyalak.

Galang meletakkan kantong-kantong yang dibawanya di atas meja makan.

Ia melihat selimut bekas pakai di sofa. Ia menduga Gie habis tidur di ruang tamu sebelum pindah ke atas. Dollar masih melompat sesekali sambil mengibaskan ekor di bawah kakinya.

Galang naik ke lantai tiga, berniat mengajak Gie makan siang.

Gie tidak ada di kamarnya. Tidak ada di kamar Galang. Kamar mandi kosong. Cewek itu tidak ada dimana-mana.

Galang kembali turun ke bawah. Diceknya kamar mandi tamu yang juga kosong. Hp Gie tergeletak di atas meja depan sofa, menandakan kalau pemiliknya ada di sekitar sini.

"Gie??" Galang mencoba memanggil Gie di rumahnya yang tak seberapa besar ini. Tidak ada jawaban.

Dollar duduk di depan kakinya, mengibaskan ekor. Ekspresinya seakan mengatakan kalau 'daritadi diajak ngomong nggak didenger, dasar hooman!'

Galang merasa ada yang tidak beres. Tidak biasanya Gie pergi tanpa ditemani Dollar atau meninggalkan hpnya. Dia bukan cewek pelupa. Memangnya dia keluar kemana dengan keadaan sakit begitu?

Ia duduk di sofa bekas Gie tidur. Cowok itu terus menunggu dengan gelisah. Gie tidak kembali juga. Akhirnya ia putuskan untuk keluar rumah dan berkeliling komplek. Siapa tahu Gie berkeliaran di luar.

Satu jam mencari, Galang tidak melihat Gie dimanapun. Bahkan dia sampai mendatangi rumah Opa-Opa dan Oma-Oma yang biasanya ikut yoga bersama Gie di taman. Tidak ada yang tahu dimana cewek itu berada. Mereka bilang terakhir melihat Gie pagi ini saat yoga bersama di taman. Masih tak menyerah, Galang pulang lagi. Berharap kalau Gie mungkin sudah kembali ke rumah.

Saat ia pulang, rumah masih sama seperti terakhir kali ia datang.

Gie kemana???

***

Pukul enam sore, Anton datang ke rumah Galang dengan membawa koper besar miliknya sendiri. Sebelum ia mengetuk, pintu depan sudah terbuka duluan.

"Mau kemana?" Tanya Anton heran saat melihat Galang menenteng kunci dengan wajah kalut.

"Nyari Gie." Jawabnya pendek.

"Gie kemana?"

"Mana gue tau, bangsat! Kalo tau ya nggak dicari." Galang membuka pintu lebar-lebar. "Lo masukin aja kopernya ke dalem. Ikut gue nggak?"

Anton mengangguk. Ia memasukkan koper miliknya ke ruang tamu lalu pergi menyusul Galang yang sudah duluan turun ke garasi.

Anton agak ngeri karena jadi penumpang mobil Galang. Sohibnya ini menyetir seperti orang kesetanan. Dia sih tahu kalau Galang memang pernah jadi pembalap. Tapi pembalap kan ngebutnya di sirkuit, bukan di jalanan umum!

"Lang?"

Galang tidak menjawab, seakan pikirannya sedang fokus terhadap sesuatu selain jalanan di depannya.

"He cok, jangan kenceng-kenceng! Jantungku lemah, asu!" Mendengar hardikan Anton, akhirnya Galang menurunkan kecepatan. Penumpangnya itu menghela napas. "Ada apa? Kenapa Gie ilang? Kalian masih serumah, kan?"

"Tadi pagi dia ngeluh nggak enak badan. Gue tinggal ke bengkel, pulang-pulang udah nggak ada. Anjing sama hpnya ditinggal di rumah." Akhirnya Galang mau buka suara.

"Terus sekarang mau nyari dia kemana?"

"Gue abis ngontak Bian buat nanya alamatnya Janesa. Dia pasti tau Gie dimana."

"Wah, mau ngelabrak pacarnya?" Anton jelas salah mengira kalau Gie sudah punya pacar dan sekarang Galang sedang berusaha untuk merebut pacar orang. Isi pikirannya terlalu drama karena keseringan nonton sinetron di TV bareng Mamanya.

"Bukan pacarnya." Dahi Galang berkerut karena tak suka dengan kemungkinan itu. Dia sendiripun tidak tahu ada hubungan apa antara Janesa dan Gie.

"Terus Janesa ini siapa?" Anton masih mengejar.

"Gue turunin lo di sini mau? Bawel banget daritadi nanya mulu! Gue juga nggak kenal dia siapa."

"Padahal tinggal jawab 'nggak tau' aja kok repot!" Gerutu Anton.

Sisa perjalanan mereka dipenuhi dengan keheningan. Anton mengerti kalau temannya ini sebenarnya sedang amat panik. Kalau Galang panik, dia bakal berubah jadi asu (umpatan: anjing). Diajak ngomong bawaannya ngegas mulu. Istilahnya sih 'senggol dikit, bacok'.

Mereka tiba di depan sebuah café yang dari plakatnya tertulis 'closed' alias tutup. Kedua cowok itu turun dari mobil. Mereka melihat sekeliling.

"Ini tempatnya?" Tunjuk Anton pada café itu.

Galang mengangguk. Alamat yang diberikan oleh Fabian memang ini. Dia minta alamat Janesa dengan alasan ingin minta bantuan untuk mencari seseorang yang membawa kabur uangnya. Dia tidak mungkin memberitahu Fabian tentang lenyapnya Gie di kala rencana pernikahan Fabian yang tinggal hitungan hari. Bisa ikut-ikutan panik dia nanti.

Galang berjalan menuju pintu masuk. Dia mengintip dari jendela kaca. Café itu gelap gulita. Padahal masih sore begini.

"Cari siapa?"

Mereka dikejutkan oleh seorang cowok usia dua puluhan awal yang tiba-tiba muncul menghampiri mereka.

"Kapan cafénya buka?" Tanya Galang tanpa basa-basi.

"Suka-suka pemiliknya." Jawaban tengil cowok itu mengundang reaksi bingung Anton dan Galang. Cowok itu berkulit putih. Hidungnya mancung dan bibir merahnya tipis. Cowok cantik. Kalau rambutnya gondrong, mungkin bisa disangka cewek.

"Kalau Janesa?" Tanya Galang lagi.

Cowok itu memiringkan kepala. Sebuah seringaian tipis muncul dari bibirnya. "Kenapa cari dia?"

"Ada perlu."

Cowok itu memicingkan mata curiga. Namun tak lama. Saat berikutnya, dia sudah mengeluarkan kunci lalu menghampiri Galang.

"Minggir." Ucap cowok itu ketika Galang berdiri menghalanginya. Dia membuka pintu café yang terkunci dan mengundang kedua tamunya masuk.

Galang dan Anton saling berpandangan sebelum mereka ikut masuk ke dalam.

Cowok itu menyalakan semua lampu café. Kini tempat itu terang benderang.

"Minum apa?" Tawarnya.

"Langsung aja, deh. Janesa mana?" Galang makin mendesak.

"Aku Janesa."

Kedua tamunya terkejut. Bayangan akan sosok Janesa yang selama ini ada di pikiran Galang tidak seperti ini. Dia kira Janesa yang selama ini diceritakan oleh Gie berusia tiga puluhan, bertubuh tegap, tampang-tampang militer, kasar, dan lain sebagainya. "Lo tau dimana Gie?" Tembak Galang langsung.

Janesa membuatkan mereka masing-masing segelas minuman berwarna biru bernama blue hawaii. Tanpa alkohol. Minuman itu cepat jadinya. Tak sampai semenit dua gelas sudah terhidang di depan Galang dan Anton.

"Kamu pasti Galang." Kedua tangan Janesa bertumpu pada counter top. Ia memperhatikan Galang dari kepala sampai kaki. Galang mengangguk sebagai respon. Kini ia dan Anton sudah duduk di atas bar stool. "Kalau aku jadi kamu, Gie nggak akan kucari." Cowok itu menggeleng pelan sambil mengerucutkan bibir, seakan menegaskan kalau pencarian Galang sia-sia.

"Dimana dia?"

"Bersama keluarganya."

Jawaban Janesa membuat Galang terhenyak. Kemungkinan itu sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya. Tapi bagaimana dengan barang-barang Gie yang masih tertinggal di rumahnya?

"Dia dijemput orang suruhan Opa Atmodjo tadi siang." Lanjut Janesa.

"Dijemput paksa, ya?" Anton ingin memastikan.

Janesa tidak menjawab. Dia minum dari gelasnya sendiri.

"Gimana cara gue bisa ngehubungin dia?" Tanya Galang lagi.

"Lebih baik jangan dihubungi. Itu yang terbaik buat kamu dan dia." Janesa memberi peringatan. "Keluarga Gie nggak akan tinggal diam kalau tau selama ini dia tinggal sama kamu. Jadi sebaiknya kamu tenang-tenang di sini! Jangan buat Gie makin khawatir karna memikirkan kemungkinan kalo keluarganya akan mencelakai kamu."

"Emang Galang salah apa?" Kini Anton yang bertanya.

Lagi-lagi Janesa tidak menjawab. Dia hanya mengedikkan bahu acuh.

Sok misterius sekali! Dengus Anton.

Bukannya membalas, Anton malah mendapati teman di sebelahnya itu langsung terdiam.

"Apa lo yang ngasih tau keluarga Gie kalo dia sama gue?" Pancing Galang.

Janesa mengisi ulang gelasnya sendiri. "Memang itu kerjaanku. Kalo aku masih nggak bisa ngelacak dia setelah dua bulan, kredibilitasku malah dipertanyakan."

Tangan Galang mengepal di balik meja. Dia tahu bagaimana perasaan Gie kalau sampai keluarganya mengekangnya lagi.

"Gie itu sudah dewasa. Dia pasti bisa mengatasinya sendiri." Lanjut Janesa.

"Apa nggak ada cara lain buat Galang ngehubungin Gie?" Anton tidak ingin Galang uring-uringan selama mereka bersama.

Janesa menggeleng. "Dia yang bakal ngehubungin kamu duluan kalo dia mau."

Galang meragukan hal itu. Hp Gie kan masih tertinggal di rumahnya.

***

Mereka pulang ke rumah Galang dengan tangan hampa. Kali ini giliran Anton yang menyetir. Galang tidur di kursi penumpang. Entah tidur betulan atau hanya sedang tidak ingin diganggu. Padahal waktu berangkat tadi dia kelihatan emosi. Pulang-pulang malah diam begini.

Anton tidak berusaha mengajaknya bicara.

"Ngomong-ngomong, lo ngapain bawa koper ke rumah gue?" Tanya Galang saat mereka sudah tiba di rumah. Itupun setelah ia melihat Dollar berusaha memanjat koper besar asing di ruang tamunya.

"Lah. Masa lupa? Besok lusa kita nemenin Bian ke Zurich."

Galang mengernyit. Kok dia tidak tahu?

Anton menepuk jidatnya ketika melihat ekspresi bingung Galang. "Jadi Ullie nyuruh kita berdua buat nemenin Bian kerja di Zurich, karena dia khawatir Bian keasikan kerja terus lupa kalo ngadain resepsi di Lauterbrunnen."

"Hah?" Galang makin mengernyit tidak mengerti. Dia ini lagi sibuk-sibuknya di bengkel, kok tidak ada yang memberitahu kalau harus pergi lebih awal ke Swiss?

Anton mengangguk. "Emang belum dikasih tau Bian?"

Galang coba mengingat-ingat lagi. Saking paniknya memikirkan Gie ada dimana, dia sampai mengabaikan kata-kata Fabian di telepon tadi. Rasanya tadi dia memang mendengar Fabian menyebut-nyebut Zurich. Lalu dia menjawab 'oke'.

Astaga!

Galang mengacak rambutnya sendiri.

***

Galang terbangun saat tengah malam. Dia reflek turun dari tempat tidur untuk mengecek kamar sebelah. Saat mendapati kamar Gie kosong, dia panik. Namun kemudian dia ingat kalau Gie memang tidak ada di rumahnya lagi. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatinya. Aneh yang tidak menyenangkan. Ia duduk di tepi tempat tidur, di sisi dimana Gie biasa tidur.

Apakah Gie tidur berjalan lagi kalau saat ini Galang tidak bersamanya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top