17 | DIJEMPUT

Aku tuh paling susah nemu waktu buat upload pas weekend kek gini.

Kadang pas lagi longgar, bisa upload sampe dua bab. Kadang pas lagi hectic, malah ga upload sama sekali.

Jadi nggak bisa setepat waktu hari-hari biasa yang pas siang udah up bab baru.

Maaf ya buat yg nungguin.

I'll try my best to upload new chapters on timeee!

Selamat baca! Komen votenya juga yaa klo suka!

***

Galang sedang sikat gigi saat Gie berdiri sambil menyandarkan tubuh di ambang pintu. Ia memandang Gie lewat cermin. Alisnya terangkat sebelah seakan sedang mengatakan 'Apa?'.

"Bobok sama Gie, ya?" Wajah Gie memelas.

Galang menggeleng tegas. Ia segera berkumur dan membuang isi mulutnya ke wastafel. Kedua tangannya bertumpu pada sisi wastafel.

"Besok kita ke dokter. Minta polisomnografi." Ujarnya.

Gie menghela napas. "Sudah pernah. Hasilnya normal."

Galang masih memandangnya. Dia tidak mau tidur bersama Gie. Bukan dia tidak percaya pada cewek ini, justru yang tidak dia percaya adalah dirinya sendiri. Ia menghela napas juga.

"Kamu tidur di kamarmu sendiri. Aku yang jagain dan bangunin kamu kalo misalnya kamu tidur berjalan lagi." Sahut Galang akhirnya.

Meski dengan wajah ditekuk, Gie tetap kembali ke kamarnya.

Seperti janjinya, setiap dua jam sekali Galang bangun untuk mengecek keadaan Gie. Cewek itu tidur lelap di sebelah Dollar. Tidak kelihatan ada tanda-tanda akan bangun untuk tidur berjalan. Gie masih mengenakan baju milik Galang, membuat cowok itu semakin heran kenapa hanya saat ada dirinya atau Gie mengenakan pakaiannya baru cewek itu tidak tidur berjalan lagi.

Masa iya sekarang Galang jadi pawang supaya Gie nggak kambuh?

***

Hari minggu.

Bengkel Galang tutup.

Dia berencana untuk mengecat ulang langit-langit dapur yang menghitam gara-gara habis dibakar Gie beberapa hari lalu. Permukaan dapur yang berada di bawah spot yang akan dicat ulang sudah dilapisi plastik agar debu akibat amplasan tidak bertebaran. Galang mengenakan kacamata pelindung dan masker. Ia hanya mengenakan celana pendek dan bertelanjang dada, duduk di atas ladder. Tangannya bergerak konstan untuk mengamplas permukaan langit-langit yang hitam.

Mendadak pintu depan terbuka. Gie baru pulang dari yoga paginya bersama para lansia. Dia memeluk Dollar dan sesekali ngobrol dengan anjing itu membahas cuaca. Ketika melihat Galang yang bertelanjang dada di atas ladder, langkahnya terhenti. Otaknya juga ikut berhenti bekerja. Ia memandangi punggung belakang Galang. Otot bahunya kelihatan padat sekaligus lentur pada waktu bersamaan seiring dengan gerakan tangannya mengamplas langit-langit. Kini Gie bisa melihat dengan jelas tato angka romawi di punggung atas Galang.

XXI-VIII. 21-8. Gie memiringkan kepalanya untuk menerka-nerka angka apa itu. Untuk sementara, biar Gie menikmati pemandangan indah di depannya dulu.

Selesai mengamplas, Galang melepas pelindung wajah dan matanya sebelum turun ke bawah, mengambil cat primer. Ia terkejut saat melihat Gie berdiri diam tak bergerak seperti patung di belakangnya.

"Sejak kapan di situ?" Tanya Galang setelah rasa terkejutnya reda.

"Dari tadi." Gie nyengir lebar. Tangannya gatal untuk menyentuh punggung dan perut Galang yang liat. Jadi ini hasil nge-gymnya selama ini?

Gie suka. Suka sekali.

"Kenapa senyum-senyum??" Galang mulai merasa risih dengan tatapan Gie yang terus-terusan fokus pada tubuhnya, seakan sedang melakukan pelecehan secara terang-terangan.

"Gie boleh-"

"Enggak." Potong Galang langsung sebelum Gie selesai bicara.

Gie langsung cemberut. Sambil menghentakkan kaki dia pindah dari dapur menuju tangga.

"Biasa aja jalannya! Nanti rumahnya roboh!"

Mendengar teguran Galang, kaki Gie berjalan pelan-pelan menuju tangga lantai tiga. Sesekali dia berjinjit dan jalan lambat agar rumah kesayangan Galang ini tidak roboh oleh kakinya. Galang mengulum senyum sampai Gie menghilang.

***

Hari berganti minggu. Minggu berganti menjadi bulan.

Sudah hampir dua bulan Galang menampung Gie di rumahnya. Rutinitas mereka akhir-akhir ini sama. Sibuk dengan renovasi dan perombakan sistem secara besar-besaran. Galang mengurus renovasi, sedangkan Gie membuat sistem perusahaan baru sesuai dengan standarisasinya. Ada lima orang kepercayaan Gie yang ditarik dari beberapa perusahaan berbeda untuk datang membantu. Mulai dari mengurus perijinan, sistem operasi standar, memesan alat dan mesin baru untuk bengkel, sampai merekrut karyawan baru. Delapan orang montir Galang juga dibagi dua untuk membantu Galang dan Gie. Pokoknya mereka sangat sibuk sampai tidak memikirkan hal lain selain pembukaan bengkel yang baru.

Pulang ke rumah, Gie dan Galang hanya sempat makan, istirahat, dan kalau sedang sama-sama longgar atau tidak kelelahan, mereka membicarakan perkembangan pekerjaan masing-masing. Tidak seperti perkiraan Galang sebelumnya, Gie benar-benar berkepala dingin dalam berbisnis. Dia bukan tipikal orang yang suka memaksakan kehendak pada pemilik asli, meskipun dia sendiri adalah investor. Jika ada yang tidak cocok, Gie hanya memberikan saran serta sebab akibat yang mungkin ditimbulkan dari pendapat Galang. Selebihnya, Galang yang memutuskan. Cowok itu merasa amat puas dengan kerja sama mereka sejauh ini. Gie merupakan partner paling sempurna dalam berbisnis yang pernah ia temui.

Baru partner bisnis, belum ke hal lain.

Karena kesibukan mereka itulah Gie akhir-akhir ini tidak sempat lagi menggoda Galang untuk minta tidur bersama. Energinya sudah habis untuk bekerja seharian.

Tanpa Gie sadari, Galang tetap bangun tengah malam setiap hari untuk mengecek keadaannya. Cowok itu bahkan menyiapkan beberapa kaos dan celana miliknya agar bisa dipinjam oleh Gie sebagai baju tidur. Gie jelas kegirangan. Dengan begitu dia bisa lelap tidur tanpa sleep walking.

***

Sesi yoga dengan para lansia baru selesai. Gie berjalan pulang ke rumah sambil menguap lebar. Dollar berlari kecil di sebelahnya. Sesekali Gie meregangkan tubuhnya sambil jalan. Tiba-tiba tenggorokannya haus. Dari kejauhan dia melihat ada lapak kecil penjual minuman berwarna kuning. Gie tidak bawa uang, tapi kakinya tetap mendekat ke sana.

Ternyata yang jual masih bocah-bocah. Dua anak laki-laki seusia tujuh-delapan tahunan. Mereka minum es dagangan mereka sendiri pakai plastik dan sedotan. Kepala mereka mendongak ketika melihat Gie datang. Mereka buru-buru berdiri untuk menyambut pelanggan. Es di plastik masih digenggam.

"Selamat datang, kak! Silahkan minumannya!" Ujar mereka bersamaan.

Gie sampai tepuk tangan karena suara mereka berhamonisasi dengan bagus.

"Ini apa?" Tunjuk Gie pada kotak bening berisi minuman. Kelihatan segar.

"Es, kak. Rasa lemon."

"Rasa jeruk!" Rekan penjualnya mengoreksi.

"Lemon!" Si penjual pertama tidak terima.

"Jeruk! Bungkusnya gambar jeruk!"

"Lemon itu, bukan jeruk!"

Gie melerai mereka berdua. "Jeruk sama lemon itu sama-sama citrusnya. Satu keluarga."

Kedua bocah penjual itu memandang Gie. Entah mengerti atau tidak.

"Harganya berapa?" Lanjut Gie.

Kedua penjual kompak mengangkat lima jari.

"Lima puluh ribu?"

Mereka menggeleng. "Lima ribu aja kak!"

"Oh. Di sini boleh kredit dulu, nggak? Bayar belakangan. Gie haus, nih."

Kedua penjual saling pandang. "Nggak bisa, kak. Hanya terima tunai."

"Yahh..." Gie mendesah kecewa. Ia memilin cincin di telunjuknya. Kemudian muncul sebuah ide. Ia melepas satu cincin Spinelli Kilcollinnya yang paling sederhana. Ia menunjukkan cincin itu pada kedua penjual. "Gie beli pake cincin ini, boleh?"

Lagi-lagi kedua penjual saling pandang. Sesekali mereka menyedot es dari sedotan, membuat Gie menelan ludah karena makin haus.

"Ini dari designer kesukaan Gie. Cincinnya emas 18k. Kemarin Gie beli harganya masih sekitar dua ribuan dollar. Nggak tau kalo sekarang." Gie masih tidak menyerah.

"Berarti mahal nggak?" Tanya salah satu dari mereka.

"Bagi Gie nggak mahal. Tapi cincin ini seharga 5.694 es plastik kalian."

Mereka berdua sibuk menghitung dengan sepuluh jari, lalu digabungkan. Setelah beberapa kali menghitung, tidak dapat juga hasilnya. Intinya sih sama. Mahal.

"Yaudah, kak. Sini cincinnya!"

Gie menyerahkan cincin itu pada mereka selagi menunggu esnya dituangkan ke plastik.

Tak berapa lama, seplastik es jeruk/lemon sudah di tangan Gie. Kedua penjualnya berterima kasih karena Gie mau mampir. Gie juga berterima kasih karena mereka membantu menghilangkan dahaganya. Mereka berpisah saat transaksi berakhir.

"Disimpan atau dijual?" Tanya si rekan penjual ketika mereka masih memandang cincin emas di telapak tangan.

"Nanti aja tanya mama dulu." Ujar si penjual pertama seraya memasukkan cincin ke saku celana bergambar tokoh Ultraman.

Keduanya lanjut minum es dari sedotan sambari menunggu pelanggan berikutnya. Begitu muncul satu cewek yang sama-sama sedang mereka taksir, kedua penjual itu buru-buru menyambut.

"Selamat datang, Cecil! Silahkan esnya!!" Ujar mereka bersamaan.

"Nggak mau! Nanti dimarahin mama! Es kalian kan dari minuman sachet dikasih air! Nanti Cecil batuk pilek, huh!!" Cewek manis yang gigi depannya ompong satu itu memalingkan muka sembari mengayuh sepeda pinknya meninggalkan lapak sederhana mereka.

***

"Ah choo! Uhukk..."

Sampai rumah, Gie sudah batuk dan hidungnya gatal. Sesekali ia mengusap ingus yang terancam jatuh dari hidung.

"Kenapa?" Galang yang baru selesai menggoreng telur, sosis, dan mengangkat roti panggang untuk sarapan terheran-heran karena Gie bersin dan batuk sekaligus. Padahal tadi sebelum berangkat yoga dia baik-baik saja.

"Nggak tau..." Suara Gie sudah serak. Tenggorokannya gatal. "Uhukkk..." Kedua matanya jadi berair. Dia batuk-batuk lagi.

Galang buru-buru mengambilkan air putih untuk Gie. "Minum dulu." Ia membantu mengusap punggung Gie saat cewek itu minum dengan rakus. "Sakit?" Tanyanya kemudian sambil menyentuh dahi Gie yang hangat.

Gie duduk di kursi meja makan sambil memegangi tenggorokannya yang terus-terusan gatal. "Tadi Gie minum es." Lapornya pada Galang.

"Es apaan?" Cowok itu mengernyit.

"Ada yang jual di pinggir jalan. Es lemon katanya."

"Yang jual siapa?"

Gie mengedikkan bahu. "Masih anak-anak."

Galang langsung menyalakan kompor. Di atasnya diletakkan sebuah panci kecil yang diiisi air. Ia mengambil beberapa jahe dari lemari es sebelum memotongnya kecil-kecil dan mencemplungkan semuanya ke dalam panci berisi air. "Aku buatin jahe panas. Buat ngeredain tenggorokanmu."

"Gie ngerasa nggak enak badan juga." Sambung Gie dengan nada manja. Dia tidak bermaksud terdengar manja, tapi pembawaannya memang begitu kalau sudah di sekitar Galang.

"Hari ini nggak usah ke bengkel. Istirahat di rumah."

Gie tidak menjawab. Dia kepikiran pekerjaan yang belum tuntas dikerjakannya kemarin.

"Istirahat, Gie. Kamu jadi begini mungkin karena kecapekan juga. Masih ada orang di bengkel. Mereka kompeten, kok." Lanjut Galang saat melihat ekspresi penuh pertimbangan Gie.

"Tapi nanti siang kamu pulang, kan?" Tanya Gie penuh harap.

Galang mengangguk. "Kita makan siang bareng di rumah."

Gie tersenyum lemah.

"Mau ke dokter?" Tawar Galang. Ia tidak tega melihat wajah lesu dan pucat Gie. Sepertinya kelelahan akibat bekerja baru benar-benar memberi efek pada tubuh Gie sekarang. Ditambah ramuan es yang tadi diminum Gie jadi semakin mempercepat penyakitnya keluar.

Cewek itu menggeleng sebagai respon. Ia batuk-batuk lagi.

Galang mengambil gelas dan memasukkan beberapa sendok madu ke dalamnya. Saat air jahenya mendidih, ia mematikan api dan menuangkannya ke dalam gelas yang sama. Ia mengaduk ramuan itu sebelum memberikannya pada Gie.

Cewek itu memegang gelas panas untuk menghangatkan telapak tangannya yang dingin.

"Jangan makan gorengan dulu." Piring isi telur, sosis, dan roti panggang yang awalnya Galang siapkan untuk Gie malah ia habiskan sendiri. Sebagai gantinya, ia membuat roti isi selai buah untuk Gie sarapan.

Gie menghirup uap panas dari gelas. "Galang..."

Kepala cowok itu mendongak untuk memandangnya.

"Hari ini kudu ke bengkel, ya?" Wajah Gie memelas, seperti yang sudah-sudah saat ia sedang ingin sesuatu. Bedanya hari ini ditambah nada manja. Kalau tidak enak badan begini, Gie bawaannya ingin manja-manja. Terutama pada Galang. Usaha dulu, siapa tahu Galang luluh.

"Nanti siang aku pulang, Gie."

"Jangan lama-lama, ya?"

"Hmm."

***

Seharian badan Gie meriang. Tapi bukan merindukan kasih sayang. Galang tidak akan pernah kasih cuma-cuma ke dia.

Gie demam. Badannya panas tapi dia kedinginan. Dulu-dulu, baru bersin dua kali berturut-turut dia langsung mengontak dokternya, minta kunjungan ke rumah.

Sekarang?

Hanya obat flu dan segelas jahe madu yang ditinggalkan Galang untuknya.

Jadilah Gie seharian bergelung di sofa sambil selimutan. Dollar bermain sendirian dengan mengejar ekornya  di depan TV.

Tidur Gie yang tidak nyenyak diganggu oleh suara ketukan pintu. Gie melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul sepuluh pagi. Masa iya Galang udah pulang?

Suara ketukan terdengar lagi.

Dengan gontai Gie bangkit untuk membuka pintu.

Bukan Galang yang datang. Melainkan dua orang laki-laki berbadan besar mirip mafia. Gie langsung tahu kalau mereka adalah orang suruhan Opanya. Cewek itu balik badan, berniat untuk lari atau sembunyi. Tapi tubuhnya lebih dulu ditarik paksa dari belakang. Mulutnya dibekap oleh sapu tangan yang dibubuhi obat bius. Tubuh Gie sudah lemah akibat sakit. Ia tidak dapat berontak terlalu keras. Dalam hitungan menit obat bius bereaksi. Ia jatuh tertidur dalam dekapan salah satu dari mereka.

Tubuh Gie dibawa pergi. Yang tertinggal di rumah itu hanyalah gonggongan kecil Dollar mencari-cari Gie.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top