16 | BUKAN IDAMAN
Galang tiba di rumah Lea. Tanpa ragu ia langsung turun dan mengetuk pintunya. Tak berapa lama, pintu dibuka oleh Lea. Wajah pucat cewek itu terkejut saat melihat ternyata Galang yang bertamu.
"Kamu hamil?" Tanya Galang langsung. Kedua alisnya menyatu.
Ekspresi terkejut Lea berubah jadi ekspresi datar. Darimana Galang tahu kalau dirinya sedang hamil? Pasti dari cewek gila itu!
Lea ingin menutup pintu, tapi ditahan oleh lengan Galang.
"Lea, apa benar kamu hamil?" Ulang Galang lagi.
"Bukan urusan kamu, Lang! Kamu lupa kalo kamu yang mutusin aku?"
"Itu anak siapa?" Galang sama sekali tak mengindahkan kata-kata Lea barusan.
Bibir Lea membentuk senyum sinis. "Cewek itu emangnya nggak ngasih tau kamu?"
Wajah Galang resah. Ia malah balik bertanya, "Selingkuhan kamu mau tanggung jawab?"
Lea membuka pintu agar Galang dapat masuk. Lebih baik mereka bicara di dalam.
"Mau minum apa?" Tawar Lea.
"Nggak usah."
Keduanya duduk di sofa ruang tamu. Tubuh Lea lebih kurus. Padahal baru beberapa hari mereka tidak bertemu. Wajahnya pucat. Sesekali ia memeluk perut ratanya tanpa sadar.
"Apa tujuan kamu datang ke sini malam-malam, Lang?" Tanya Lea. Suasana hatinya sedang tidak mendukung untuk bicara dengan siapa-siapa.
"Aku pengen tau apa cowok itu bertanggung jawab sama kamu."
Lea tersenyum sedih. "Dia udah punya istri. Kan kamu tau sendiri."
"Aku bisa bantu kamu apa?"
Wajah Lea terangkat. Ia memandangi mantan kekasihnya itu dengan tatapan sendu.
"Nikahin aku." Jawabnya.
Galang tidak terkejut, tapi tidak pula langsung menjawab.
"Kalo aku jawab begitu, pasti cewek gila itu bakal makin menggila." Lanjut Lea.
Galang belum mengerti, "Apa hubungan Gie dengan ini semua?"
"Dia nyuruh aku tanda tangan kontrak." Lea menghela napas sebelum melanjutkan, "Sebenarnya pilihannya ada dua. Kalo aku minta kamu nikahin aku, dia bakal bongkar tentang siapa ayah anak ini. Pilihan kedua, tanda tangan kontrak sama dia."
"Kontrak apa?" Galang makin bingung.
"Dia mau anak ini. Dia akan urus semua kebutuhan kami sampai bayi ini lahir. Setelah lahir, dia akan miliki bayinya."
"Tapi kenapa?"
"Cewek itu suka sama kamu. Dia kira kamu bakal nikahin aku kalau tau aku lagi hamil kayak gini. Dia nggak mau itu terjadi. Jadi dia menjamin hidup kami. Syaratnya, aku nggak boleh dekat-dekat kamu lagi."
Galang tercengang. Dia betul-betul kehabisan kata-kata.
"Kalau aku tetap sama kamu, dia ngancem akan kasih tau kalo ini bukan anak kamu." Lanjut Lea.
"Dia sendiri yang bilang kalo itu bukan anakku." Timpal Galang. Mengingat ekspresi Gie saat mengatakannya, dia tahu kalau cewek itu sebenarnya keceplosan.
"Sekarang kamu sudah tau ini anak siapa. Terus apa yang mau kamu lakukan?" Ada semacam tantangan dari pertanyaan bernada lesu dari Lea.
"Aku bakal bantu kamu. Apapun."
"Anak ini perlu ayah."
Galang terdiam lagi.
Sejujurnya bayangan akan menikahi Lea sudah lenyap tak berbekas. Galang bahkan tidak sadar sejak kapan bayangan itu hilang. Belakangan ini hidupnya dipenuhi oleh Gie dan Gie.
"Kita pikirkan kalau anak itu sudah lahir. Sekarang konsen ke diri kamu dulu. Sudah ke dokter?" Sahut Galang akhirnya.
Lea mengangguk. "Cewek itu ngirim orang suruhan buat nganter aku ke dokter. Menyiapkan segala kebutuhanku. Bahkan memastikan kalau aku makan teratur tiga kali sehari. Padahal aku belum tanda tangan kontrak sama dia."
"Orang suruhan Gie?" Galang terkejut.
Lea mengangguk. "Mulai besok aku nggak perlu ke dokter lagi. Dokter dan perawat yang bakal ngunjungin aku ke rumah." Ia mengusap perutnya. "Cewek itu susah ditebak. Semua rencana yang dia buat, siapapun nggak akan menyangka." Lanjut Lea sambil tersenyum.
"Kalau dia masih mau anak kamu?"
Lea mengedikkan bahu. "Sejujurnya aku masih nggak tau apa rencanaku nanti setelah anak ini lahir. Apa aku bisa membesarkan dia sendirian? Aku nggak punya siapa-siapa, Lang."
"Kamu masih punya aku."
Lea menggeleng. "Sudah nggak sama lagi. Dia mau kamu. Aku nggak percaya diri buat ngeklaim kamu lagi darinya. Aku malu sama kamu. Aku selingkuh dari orang yang paling peduli sama aku di dunia ini." Ia mengusap air mata sebelum jatuh. "Kamu terlalu baik, Lang. Aku malu harus ngerepotin kamu lagi."
Galang hanya bisa memandangi mantan pacarnya itu.
"Berkat cewek gila itu, aku banyak merenungi kesalahanku belakangan." Lanjut Lea.
"Gimana dengan laki-laki itu?"
Lea menggeleng. "Aku sudah nggak kerja di sana lagi. Cewek itu bilang, cepat atau lambat aku akan dipecat atau mengundurkan diri karena gunjingan orang-orang kantor. Sekarang aku pengangguran. Mas Hanung ngeblok kontakku. Dia nggak mau ketemu aku lagi. Aku nyesal, Lang. Aku nyesal anak ini punya ayah kayak dia." Tangis Lea akhirnya tumpah.
Galang ingin menenangkannya, tapi tangan Lea lebih dulu terangkat di udara.
"Di situ aja, Lang."
Galang tetap di tempatnya. "Apa perlu aku kasih dia pelajaran?"
"Nggak usah. Kamu keduluan cewek gila itu."
Galang mengernyit. "Maksudnya?"
"Cewek itu nyuruh orang buat nyoret-nyoret gedung kantor. Mau tau apa yang digambar?" Lea tersenyum seraya menunjukkan foto-foto dari hpnya.
Kedua alis Galang menyatu saat melihat foto gedung yang dipenuhi coretan vandalisme. Gambar itu berupa foto Hanung dengan penuh tulisan hinaan seperti 'tukang selingkuh', 'suami lupa pulang', 'ayah lupa anak', 'habis manis sepah dibuang', 'suamimu penyemangatku', dan lebih banyak lagi makian-makian kotor vulgar hingga membuat malu siapapun yang membacanya. Coretan itu memenuhi seluruh bagian depan gedung perkantoran berlantai dua tempat kerja Lea.
Kok bisa?
"Aku juga nggak tau kapan dan gimana caranya mereka nyoret-nyoret gedung ini tanpa ketahuan petugas keamanan. Cewek ini benar-benar gila." Lea menjawab pertanyaan yang tak disuarakan oleh Galang.
Selama ini Gie bersamanya. Tidak pernah sekalipun Gie terlihat peduli pada Lea apalagi membantu membalaskan apa yang diperbuat Hanung pada Lea.
Ternyata banyak juga yang dikerjakan Gie.
"Orang suruhan cewek itu bilang kalau vandalisme ini masih belum seberapa. Mereka mau buat hidup mas Hanung serasa di neraka sampai aku puas dan minta mereka untuk berhenti." Lea masih melanjutkan.
"Kamu kenal orang-orang ini?"
Lea menggeleng. "Kami hanya berhubungan lewat telepon. Belum pernah ketemu. Yang kesini cuma ibu-ibu pengantar makanan dan tukang bersih-bersih." Ia menyandarkan tubuhnya yang mudah lelah ke sofa. "Dulu aku sangat benci sama dia. Aku kira dia monster. Ternyata dia monster baik."
Otak Galang masih berusaha mencerna hal-hal yang baru dikatakan oleh Lea.
"Sebaiknya kamu pulang. Rumah ini diawasi 24 jam nonstop. Mereka pasti tau kamu di sini. Sekarang pun aku yakin kalo mereka bisa mendengar obrolan kita. Pasti ada kamera tersembunyi dan penyadap di sekitar sini."
***
Gie tergesa melepas earset yang sedang terpasang di salah satu telinganya.
Dia ketahuan.
Dipandanginya layar hp sambil cemberut.
"Gimana sih Janesa, nyadap orang kok bisa ketahuan!" Ia menggerutu.
***
Galang pulang larut malam. Ia mengira kalau Gie pasti sedang menunggunya. Cewek itu pasti penasaran dia pergi kemana dan membicarakan apa. Tapi kalau ucapan Lea benar tentang alat penyadap yang dipasang di rumahnya, Gie mungkin akan bersikap biasa-biasa saja. Toh dia sudah tahu kalau tidak ada yang terjadi di rumah Lea.
Lantai dua gelap gulita. Meja makan sudah dibereskan. Dollar juga tidak terlihat dimanapun. Ia langsung naik ke lantai tiga.
Galang mampir ke kamar Gie yang sedikit terbuka. Dari celahnya Galang dapat melihat isi kamar. Gie tidak ada di tempat tidur. Galang membuka kamar lebar-lebar. Gie memang tidak ada di kamarnya. Hanya ada Dollar yang tidur nyenyak di atas selimut.
Lalu dimana dia?
Galang mengecek kamar mandi. Kosong.
Kamar tamu satunya. Kosong juga.
Tinggal kamarnya yang tersisa.
Benar saja. Begitu masuk kamar, Galang dapat melihat Gie sedang duduk di tepi tempat tidur menghadap jendela. Baju yang dikenakannya hanya kamisol satin berwarna putih.
"Gie?" Galang mendekatinya.
Cewek itu tidak menjawab. Menolehpun tidak.
Galang berjongkok di depan Gie. Kini dia dapat melihat kalau rupanya Gie sedang dalam kondisi sleep walking. Ekspresinya kosong.
"Gie?" Galang menyentuh pipi halus Gie. "Bangun, Gie."
Gie tidak merespon sama sekali.
Galang memandangi wajah Gie cukup lama. Diperhatikannya gurat bibir dan hidung Gie yang terpahat indah. Tuhan menciptakan cewek ini mendekati kesempurnaan. Kedua mata sipit Gie terus menatap ke depan, sesekali berkedip pelan. Kini Galang tahu sisi lain Gie yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Anehnya, sisi Gie yang baru diketahui Galang justru membuat cowok itu terpesona. Saking terpesonanya Galang, tanpa sadar tubuhnya sudah condong ke depan. Wajahnya mendekat ke wajah Gie. Tahu-tahu bibir mereka sudah bertemu. Bibir Gie lembut. Meski cewek itu tidak membalas ciumannya, Galang tidak peduli. Ia hanya ingin mengecup singkat, untuk memuaskan rasa penasarannya terhadap bibir penuh Gie di bibirnya.
Satu tangan Galang masih menyentuh pipi Gie, mengusapnya lembut.
"Gie, bangun." Bisik Galang tepat di bibir merah muda milik Gie yang sedikit terbuka. Ia mengecupnya lagi, sesekali melumatnya ringan meski tak lama.
Kedua mata Gie mengerjap. Dia agak terkejut saat melihat wajah Galang begitu dekat dengannya. Kedua mata Galang menatapnya dengan intens. Tidak pernah dia melihat Galang memandangnya begitu.
"Galang?" Suara Gie tercekat di tenggorokan.
Satu ujung bibir cowok itu terangkat ke atas. Samar. "Kamu tidur berjalan lagi." Galang menjauhkan wajahnya dari Gie. Ia kembali berjongkok di depan cewek itu.
Gie masih kelihatan sedang berusaha untuk mengembalikan orientasinya. Sedetik kemudian, baru dia sadar sedang dimana dia sekarang. Ia memandang Galang lagi.
"Kamu nggak nginap di sana?" Nada suara Gie terdengar tidak yakin.
Galang menggeleng.
"Kamu mau nikahin Lea?" Tanya Gie lagi, ekspresinya agak takut.
"Harus kujawab sekarang?" Galang balik bertanya.
Pundak Gie merosot. "Jangan." Bisiknya. Kedua mata cewek itu kini berkaca-kaca.
"Jangan apa, Gie?"
Gie mengontrol perasaannya agar air mata tidak jatuh. "Jangan patahin hati Gie." Jawabnya kemudian.
Galang menatapnya lekat-lekat. Tak berapa lama, ia bangkit berdiri. "Aku antar ke kamar." Ia mengulurkan satu tangannya pada Gie. Cewek itu menerima dengan patuh. Galang menggandeng Gie untuk menuntun cewek itu kembali ke kamarnya.
Gie langsung tertidur begitu kepalanya belum semenit menyentuh bantal. Galang membetulkan letak selimutnya. Ia duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terangkat untuk mengusap kepala Gie, menyibak rambut yang menutupi wajah cewek itu agar dia bisa memandanginya dengan jelas.
Dollar terbangun. Anjing itu berdiri lalu pindah ke sebelah Gie. Ia meletakkan kepala berbulunya di atas perut Gie, membuat Galang tersenyum. Kini ibu dan anak itu sudah lelap ke alam mimpi.
***
"Jadi mas Galang itu pak bos, terus mbak Gie itu bu bos. Gitu, kan?"
Panjul dan Charli sedang memandangi para pekerja yang pagi ini datang untuk menurunkan material di depan bengkel.
"Sekarang bos kita ada dua. Bos utama masih mas Galang. Bu bos itu kayak permaisurinya." Sahut Dani ngasal. Mereka memang baru dapat kabar kalau Gie berinvestasi pada bengkel Galang dan berencana untuk merenovasi bangunan. Jadi sekarang area bengkel yang bisa dipakai kerja lebih sempit. Mobil Mustang dan Audi yang belum selesai dibetulkan menjadi pelayanan terakhir mereka sebelum Galang menutup bengkel untuk sementara sampai bengkel selesai direnovasi.
"Terus mbak Lea siapanya?" Joko jadi bingung.
"Anggep aja selir."
"Kok selir? Kan dia istri pertama." Memet ikutan nimbrung.
"Eh, yang pacaran lama bertahun-tahun belum tentu juga jodoh. Mbak Lea istri pertama, tapi permaisurinya tetap mbak Gie."
"Emang boleh gitu?" Kini giliran Kriting yang bertanya.
"Kalo di bengkel kita begitu, ya boleh."
"Halah! Bilang aja karna bu bos lebih cakep, kan?" Charli menoyor kepala Dani.
"Duitnya juga lebih banyak kali! Liat aja tuh dia! Dari atas sampe bawah kalo pada dijualin paling bisa dapet motor dua!" Dani menunjuk Gie yang sedang berdiri mengawasi para pekerja sambil bersedekap. Cewek itu mengenakan kacamata hitam seperti biasa. Dollar duduk di sebelah kakinya, ikut menonton.
"Anjingnya juga?"
"Ya jual aja kalo berani!"
Yang lagi diomongin datang menghampiri mereka. Para karyawan Galang itu langsung berdiri tegak, siap menerima perintah.
"Kalian pengen makan siang apa?" Tanya Gie.
Delapan orang di depannya saling pandang. "Bukannya ada katering, bu bos?" tanya Bowo.
Gie menggeleng. "Hari ini kateringnya libur. Jadi Gie mau pesan makan siang buat kita. Mau apa?"
"Apa aja terserah bu bos." Jawab Dani.
Gie berpikir sejenak. "Pizza? Sushi?" Tawarnya. Tanpa menunggu jawaban, Gie langsung mengetikkan pesanan di hp. Ia berbalik pergi untuk menghampiri Galang yang baru keluar dari bengkel. "Kartu kredit kamu nomornya berapa?"
"Jangan belanja aneh-aneh!" Meski dengan nada mengancam, Galang tetap mengeluarkan dompetnya.
"Pak, ini ditaruh mana?" Tanya seorang pekerja bangunan.
"Oh, sebentar!" Galang menyerahkan dompetnya pada Gie, lalu pergi ke dalam lagi.
Kedelapan montir yang sedang menonton sejak tadi hanya geleng-geleng kepala.
"Lihat kan sekarang? Bu bos itu permaisuri. Jangankan cinta, dompet seisinya aja dikasih!" Celetuk Dani.
***
Gie sedang berbaring di atas sofa sambil membaca desain bengkel baru yang dikirimkan oleh arsiteknya pagi ini. Ia mengenakan kaos dan celana pendek milik Galang karena kehabisan baju. Induk semangnya sendiri sedang mengurus baju Gie yang batal dicuci kemarin. Daripada mesin cuci rusak, Galang mengalah untuk mencucikan untuknya. Dollar berbaring di atas perut Gie. Bulunya lebih pendek dan rapi, baunya juga wangi. Pokoknya Dollar jadi makin cakep setelah digrooming.
Usai menjemur baju, Galang duduk di sofa di sebelah kepala Gie. Ia capek. Tanpa aba-aba, badan Gie merambat ke atas sampai kepalanya kini berpindah ke pangkuan Galang. Cowok itu tidak protes karena sedang malas.
"Bagus. Gie suka." Gie menunjuk kertas berukuran A3 di tangannya. Galang setuju. "Kalo renovasi dimulai, karyawan kudu diliburin juga." Lanjut cewek itu.
Galang kelihatan berpikir sejenak. Ia meletakkan kedua lengan di atas sandaran sofa dengan posisi santai. "Pake sistem cuti giliran. Separuh boleh cuti buat liburan ke rumah mereka masing-masing di luar kota. Sisanya tetap di bengkel. Material-material yang ditaruh bengkel harus dijaga biar nggak ilang."
"Ilang? Kenapa bisa ilang?" Gie tak mengerti.
"Biasanya ada maling yang suka ngambilin material bangunan. Makanya di lokasi-lokasi pembangunan biasanya ada petugas keamanannya."
Gie manggut-manggut. "Mereka ngambilin material buat apa, ya?"
"Dijual lagi."
"Wah, kok pinter banget! Gie aja nggak kepikiran, lho!"
Galang hanya tersenyum kecil.
"Gie boleh nanya nggak?"
"Apa?"
"Alis kamu kenapa bisa begitu?" Gie menunjuk alis terpotong di pelipis Galang.
"Waktu kecil kena paku."
"Hah?" Gie jadi ngeri sendiri membayangkan wajah seseorang bertemu paku.
"Dulu waktu main sama adek, aku jatuh terus kena paku."
Dahi Gie berkerut. "Kamu punya adek?"
Galang mengangguk. "Kami kembar nggak identik. Beda tiga jam."
"Kamu kembar??" Gie terkejut karena dia baru tahu hal ini. Dia memang belum memeriksa latar belakang Galang sama sekali. "Wow!" Gie benar-benar terkesima. "Namanya siapa?"
"Malorie Elsa Anthaka."
"Oh, cewek?"
Galang mengangguk. "Dia psikolog. Punya klinik di daerah Surabaya Pusat."
Gie tersenyum lebar. "Pasti dia cantik banget."
"Tau darimana?"
"Kembarannya ganteng!"
Galang tak tahan untuk tak mendengus. Bisa ngegombal juga nih cewek!
"Kamu sendiri gimana?" Giliran Galang yang bertanya.
"Gie kenapa?"
"Punya saudara?"
"Gie anak tunggal. Generasi ke-8 keluarga Tan. Sepupu Opa menikah sama Opa Hartono. Jadi Koh Bian dan Aldo masih ada hubungan kerabat sama Gie."
"Oh, gitu?" Galang baru tahu hal ini. Pantas hubungan mereka dekat. Ternyata masih kerabat. "Terus kamu sekarang jadi calon pewaris tunggal?"
Gie mengangguk. "Urutan setelah Opa masih ada mami. Habis itu Gie. Baru habis itu tante Yvonne. Kalo Gie punya anak, posisi tante Yvonne kegeser lagi."
"Yang ngatur kayak gitu siapa?"
Gie mengedikkan bahu. "Hirarki keluarga."
"Tante kamu nggak punya anak?"
"Mandul. Lagipula tante Yvonne juga nggak tertarik buat nikah."
"Jadi dari kecil kamu sering main sama Bian karna nggak punya saudara?"
Gie mengangguk. "Mamanya Koh Bian sama maminya Gie itu sahabatan."
Galang manggut-manggut. Dia ingin menanyakan sesuatu tapi ragu. "Gie?"
"Ya?" Wajah Gie mendongak untuk menatapnya.
"Tentang Lea." Galang mengusap leher belakang dengan satu tangan. "Kenapa kamu bantu dia? Lea orang asing buat kamu."
"Dia lagi hamil. Bukannya udah jelas?" Satu alis Gie terangkat ke atas.
"Tapi kenapa? Segitu pengennya punya anak?"
Gie menurunkan pandangan. "Gie pengennya punya anak dari rahim Gie sendiri."
"Terus kenapa kamu bantu Lea? Sampai nyuruh orang buat ngebalas Hanung."
"Nggak tau. Gie pengen aja." Kepala Gie mendongak lagi. Kini dia tersenyum lebar.
Kenapa Galang tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya? Isi kepala Gie itu pada dasarnya sederhana. Dia akan melakukan apapun yang dia inginkan. Motivasinya? Hanya dia dan Tuhan yang tahu.
Mendengar jawaban sederhana Gie, tangan Galang terulur untuk mengusap kepala cewek itu. "Kadang-kadang kamu orangnya random. Random dalam arti yang baik." Puji Galang tulus.
"Masuk tipe cewek idaman kamu nggak?"
Galang mengangkat tangannya dari kepala Gie. "Enggak." Jawabnya.
Gie langsung mengerucutkan bibir. Jalannya masih panjang buat bikin Galang bertekuk lutut padanya.
Hal yang dia tidak tahu, sebenarnya Galang sudah membuka celah di hatinya untuk menunggu Gie masuk. Dia hanya tidak yakin, apakah boleh mengundang Gie masuk secepat ini.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top