12 | MEDIASI

From: Bian

Gie ga bisa tinggal di tempatmu. Biar nanti kujemput klo dia merasa baikan.

From: GallagherElang

Drpda lo sm dia baku hantam di rmh gw, mending lo jgn kesini.

From: Bian

??

From: GallagherElang

Gw kasih ijin Gie tinggal.

From: Bian

Ga ngerepotin?

From: GallagherElang

Gpp. Ntar gw pulangin klo masalahnya kelar.

Usai membereskan kekacauan yang dibuatnya sendiri, Gie turun ke bawah mengenakan baju yang dipakainya semalam. Satu tangannya menenteng sepatu hak tinggi, sedangkan tangan yang lain membawa kacamata dan tas jinjing. Saat melihat Galang sedang berdiri di depan meja makan dengan sebuah tas di pundak, dahinya berkerut.

"Ngapain bawa tas?"

Kepala Galang mendongak dari hp yang sedang dipegangnya.

"Abis dari kantor pengacara gue janjian nge-gym sama Anton. Isinya baju sama sepatu." Tunjuk Galang pada tas yang dibawanya. "Kita berangkat bareng?"

Gie menggeleng. "Taksi Gie nunggu di depan. Kamu nyusul." Gie memasang sepatu, membuatnya kelihatan lebih tinggi beberapa senti. Kacamata hitam dikenakannya dengan dagu terangkat. Galang tersenyum melihat mood Gie sudah kembali seperti sedia kala.

"Tolong kasih ini ke tante Yvonne. Gie udah nggak bisa pake lagi." Gie menyerahkan sebuah kartu kredit padanya. Galang menerima kartu itu tanpa mengatakan apa-apa. "Inget kan apa yang dibriefing Gie semalem? Jangan ngomong apa-apa kecuali tante Yvonne kasih ijin!"

Galang hanya membuat simbol 'oke' dengan telunjuk dan jempolnya tanpa memandang Gie.

***

Gie dan Yvonne punya mata sipit yang sama. Hidung sama-sama mancung. Bedanya bibir Yvonne sangat tipis, sedang bibir Gie penuh. Wajah Gie kekanakkan, sedangkan wajah Yvonne seperti wajah ibu tiri antagonis. Jika sedang menatap orang yang tidak mereka suka, ekspresi mereka sama. Galang yang duduk di ujung meja memandangi pasangan tante dan keponakan itu bergantian. Di kanan kiri mereka duduk masing-masing dua pengacara.

Di sisi satunya, Stefan duduk diapit dua pengacara juga. Hidungnya masih dibalut perban. Galang merasa puas tonjokannya masih meninggalkan bekas padahal sudah seminggu berlalu.

"Nggak mau damai?" Tanya Yvonne sekali lagi. Nada suaranya datar.

"Satu-satunya cara untuk damai adalah saudara Galang mengajukan permohonan maaf secara lisan dan tertulis. Lalu saudari Regie Tan meneruskan perjodohan yang sudah diatur keluarga dengan saudara Stefan."

Gie tertawa setengah mendengus. Cewek itu melepas kacamatanya lalu membawa tubuhnya ke depan agar salah satu lengan bisa bertumpu di tepi meja. "Sekalipun dunia runtuh, Gie nggak mau berasosiasi dalam bentuk apapun dengan kamu."

Galang diam sejak tadi. Dia tidak dapat kesempatan atau sinyal diperbolehkan bicara. Cowok itu hanya menonton usaha mediasi yang berlangsung sia-sia sejak tadi.

"Gie." Teguran dari Yvonne membuat Gie menyandarkan tubuhnya kembali ke kursi.

"Kami sangat menyayangkan kekeraskepalaan pihak saudari Regina dalam menghadapi situasi ini. Klien kami merasa sangat dirugikan atas apa yang terjadi kemarin. Kami akan mengajukan tuntutan atas penganiayaan ke pengadilan."

Yvonne tersenyum tipis. Salah satu pengacara di sebelahnya membuka berkas dan meletakkannya di tengah meja, agar rekan-rekannya dapat membaca. Pengacara yang duduk di sisi kiri Gie membalik layar laptop, isinya rekaman CCTV.

"Dari catatan kepolisian, disebutkan bahwa saudara Stefan telah melakukan tindakan penganiayaan sebanyak dua belas kali dalam enam tahun terakhir. Semuanya selalu berakhir pencabutan tuntutan oleh korban. Ini menjelaskan kalau saudara Stefan sebagai penggugat sudah sering mendapat kasus yang serupa. Bedanya, kali ini saudara Stefan yang jadi penggugat."

Pengacara-pengacara Stefan nampak berpikir.

"Ini rekaman CCTV restoran yang membuktikan kalau klien kami menjadi pihak yang dirugikan oleh sikap temperamental penggugat. Untungnya ada anjing dan orang baik yang membantu klien kami. Bisa dianggap sebagai tindakan pembelaan."

Semua mata mengarah pada layar laptop.

"Dia menyuruh anjingnya menggigitku!!" Stefan menggebrak meja.

Galang mulai meragukan status Stefan yang digadang-gadang sebagai calon jaksa. Dari pembawaannya dia tidak nampak seperti orang berintelektual.

Yvonne memandang Galang. "Tolong ceritakan apa yang terjadi versi anda." Ujarnya. Gie sama sekali tidak memandang Galang sepanjang mediasi. Tatapannya terpaku pada sosok Stefan, seakan sedang merencanakan pembunuhan di dalam kepalanya.

"Saya hanya datang menyelamatkan mbak itu-" Tunjuk Galang pada Gie dengan dagu. "-karena mas ini-" Lalu beralih pada Stefan, "-bertindak kasar. Itu tindakan spontan saya karena pada saat kejadian tidak ada satupun yang bertindak. Meskipun di rekaman itu ada anjing yang sudah lebih dulu membela, saya nggak lihat. Saya datang agak belakangan."

"Kamu dan Gie saling kenal?" Lanjut Yvonne.

Galang menggeleng. "Pertama liat dia di restoran. Terakhir hari ini di sini." Ia berbohong dengan lancar.

"Regina mengajaknya keluar dari restoran. Banyak yang liat! Tanyakan apa yang mereka bicarakan di luar." Sanggah Stefan.

"I kissed him." Jawaban Gie membuat semua orang kecuali Yvonne terkejut. "Rekaman CCTV yang dipasang di tempat parkir bisa membuktikannya."

"Kenapa anda menciumnya?" Giliran pengacara Stefan yang bertanya.

"Gratitude (Ungkapan terima kasih). Gie bersyukur dia di sana. Karena terbawa perasaan jadi Gie cium dia. Setelah itu Gie pulang."

Pihak Stefan saling berpandangan.

"Apa yang dikatakannya benar?" Mereka memandang Galang.

Galang mengangguk mengiyakan. Dia kelihatan bingung sekaligus malu. Gie masih tidak mau memandangnya.

Yvonne mencondongkan tubuhnya ke depan, "Firma hukum kalian sudah menjadi rekanan Tan Group selama dua dekade. Akan sangat disayangkan jika masalah kecil ini sampai berbuntut putusnya hubungan bisnis di antara kita."

Ada ancaman tersirat dari kata-kata Yvonne barusan.

Setelah membaca situasinya, kini Galang mengerti apa yang sedang pihak Gie rencanakan. Mereka sengaja menunjuk pengacara dari firma hukum yang sama dengan Stefan, alias firma hukum keluarganya. Dengan begini, mereka akan merasa serba salah harus membela siapa. Jelas mereka tidak akan merugikan pihak Gie karena Tan Group adalah klien mereka paling besar.

Kalau Galang tidak salah, skenario ini sudah direncanakan Gie sejak lama. Ia mendengar sendiri pembicaraan di telepon Gie dengan tantenya beberapa malam yang lalu. Galang tersenyum kecil karena merasa kagum atas kecepatan berpikir Gie.

"Kami tentu tidak ingin itu terjadi." Salah satu pengacara Stefan menutup mapnya sambil tersenyum lebar. "Akan kami diskusikan dulu dengan klien kami. Maaf karena sudah menyita waktu berharga kalian hari ini."

"Om!" Stefan setengah memekik.

Oh, ternyata pengacara di sebelahnya adalah Omnya sendiri.

Gie bangkit berdiri lebih dulu. Ia mengenakan kacamatanya.

"Jangan panggil Gie ke sini untuk masalah yang bisa kalian atasi sendiri!" Ujarnya datar sebelum melangkah keluar dari ruang pertemuan. Cewek itu memberi kesan mendalam bagi Galang atas sifat dan sikap bitchy­-nya.

Semua pengacara menyusul keluar, diikuti Stefan yang terus merengek pada Omnya sambil mengekor di belakang mereka. Kini hanya tinggal Yvonne dan Galang.

Galang mengeluarkan kartu kredit yang tadi dititipkan Gie padanya untuk diserahkan pada Yvonne. Tante Gie juga mengeluarkan sebuah amplop coklat tebal lalu meletakkanya di atas meja setelah mengambil kartu kredit.

"Ini biaya hidup Gie selama satu minggu. Nanti ada yang mengirimkan lagi untuknya setiap minggu selama kalian bersama. Kamu akan dikabari kapan dan dimana."

Uang? Isi amplop coklat ini segepok uang?

Galang hanya memandangi amplop itu.

"Saya berterima kasih karena kamu mau menampung keponakan saya." Lanjut Yvonne dengan wajah yang masih datar. "Sebisa mungkin saya akan buat dia tidak terlalu merepotkan kamu. Kalau uang ini kurang, kamu bisa kabari saya kapanpun." Ia mengeluarkan sebuah kartu nama hitam mengkilap dan meletakkannya di depan Galang.

"Saya bantu dia bukan karna ingin dibayar." Ujar Galang dingin.

"Tepat sekali. Uang ini memang bukan untuk kamu, tapi untuk Gie. Menampung dia pasti butuh biaya. Jangan sampai kamu merasa dirugikan."

Galang manggut-manggut. "Gie punya alergi? Makanan atau yang lain?"

"Dia alergi kemiskinan." Yvonne memperhatikan ekspresi tidak mengerti Galang. "Meski kelihatannya dia seperti nggak butuh uang, gaya hidupnya perlu dibiayai."

Oh. Galang mengerti sekarang.

"Gie sulit beradaptasi. Nggak punya teman. Kadang-kadang terlihat seperti maniak kalau sudah ingin sesuatu. Bertahanlah dengannya selama beberapa minggu ke depan. Saya minta tolong." Meski mengatakannya dengan ekspresi datar, Galang menangkap kesan setengah memohon dari Yvonne.

***

Perasaan Gie tidak enak sejak dia keluar dari lift. Ia merasa ada yang sedang membuntutinya. Dari balik kacamata hitam, matanya melirik kanan dan kiri tanpa menoleh. Ada beberapa pria mencurigakan yang sejak tadi memperhatikan Gie. Ada juga yang sedang berdiri di depan pilar, terang-terangan menatapnya. Jantung Gie berdegup kencang.

Masih ada beberapa lantai lagi sampai dia turun ke lobi. Ia menuruni eskalator yang sepi, lalu berbalik lagi untuk naik lewat eskalator di sebelahnya. Gie berusaha agar tidak kelihatan panik. Ia berpura-pura sedang menghubungi seseorang. Tapi sikap gugupnya kentara sekali dari tangannya yang gemetar. Ia berjalan cepat menuju lantai atas. Orang-orang yang sedang mengawasinya berjalan mengikuti sambil menjaga jarak.

Gie sampai harus berhenti di balik pilar agar bisa menormalkan degup jantungnya yang tidak terkendali. Ia menahan diri agar tidak menangis. Bukan waktunya jadi cengeng.

Ia merasakan tangannya ditarik oleh seseorang. Gie memekik tertahan saat tubuhnya dibawa masuk melewati pintu tangga darurat. Wajahnya menghadap dada seorang cowok. Gie hafal bau cologne bercampur krim cukur ini. Ketika ia mendongak, wajah familiar Galang sedang mengintip keluar pintu tempat mereka masuk tadi. Gie langsung memeluknya. Merasa lega ternyata Galang yang bersamanya.

"Kamu nggak papa?" Bisik Galang sambil menepuk-nepuk halus kepala Gie. Cewek itu menggeleng, masih tidak sanggup menemukan suaranya sendiri. "Kamu kenal mereka siapa?" Gie sebenarnya agak kaget karena sekarang Galang sudah tidak pakai logat Jakarta 'gue-lo' lagi padanya. Ada peningkatan. Pikir Gie terharu.

Gie mendongak lagi. Dagunya menempel di dada Galang. Terganggu dengan kacamata cewek itu, Galang melepasnya. Kini dia bisa melihat kedua mata Gie yang berkaca-kaca. "Itu orang-orang suruhan Opa." Cicit Gie untuk menjawab pertanyaan Galang. Cowok itu merasa buruk hanya dengan melihat ekspresi ketakutan Gie, begitu kontras dengan sikapnya tadi saat keluar dari ruang pertemuan.

Galang menurunkan tas gym ke lantai, lalu melepaskan kedua tangan Gie yang memeluk tubuhnya. "Kamu ganti baju, ya?" Ia mengeluarkan baju dan celana, serta sepatu dari dalam tas.

Tanpa banyak bicara, Gie menurutinya. Ia melepaskan sepatu lalu dengan cuek mengangkat dress yang dikenakannya. Galang yang tak menyangka Gie akan ganti baju saat itu juga, langsung memalingkan tubuh ke belakang. Wajahnya menengadah ke atas. Satu tangannya mengelus dada. Memohon kekuatan dan ketabahan.

"Udah."

Galang berbalik memandangnya lagi. Seperti yang diduga, kaos tanpa lengan dan celana kolor nampak kedodoran di tubuh Gie. Sepatunya juga longgar di kaki cewek itu. Galang mengambil sebuah topi dari dalam tas.

"Gulung rambutmu ke atas!" Begitu Gie menahan rambut separuh birunya di atas kepala, Galang memasang topi untuk menutupi rambut Gie yang mudah dikenali. "Kamu jalan sambil nunduk. Pegang tanganku. Jangan jauh-jauh!" Tangan Gie otomatis menggenggam tangan kanan Galang. "Ntar dulu, mau aku beresin!" Cowok itu menurunkan tangan Gie untuk memungut baju dan sepatu Gie yang tergeletak di lantai agar bisa dimasukkan ke dalam tas.

Mereka berdua berjalan bersisian keluar dari tangga darurat menuju lobi. Orang-orang suruhan Opa Atmodjo masih berkeliaran mencari-cari Gie. Saat berpapasan dengan salah satu dari mereka, Gie menunduk dalam-dalam. Galang memeluk pundaknya sambil berbisik di telinga Gie, "Nggak papa. Tegakkan punggungmu."

Keduanya sampai di mobil Wrangler Rubicon putih familiar milik Galang. Semua kaca film jendela Galang gelap, tidak bisa dilihat dari luar. Gie baru bisa melepas topi dan bernapas lega. Galang melempar tas ke kursi belakang.

"Kamu nggak jadi nge-gym?" Tanya Gie penasaran saat mereka sudah di jalan.

"Masih bisa ntar. Aku antar kamu pulang dulu."

***

Suara gonggongan Dollar membuat Gie langsung melompat turun dari mobil yang belum sepenuhnya berhenti. Galang sampai panik dan mengerem mobilnya mendadak. Tapi dilihatnya cewek itu mendarat tanpa mematahkan salah satu anggota tubuh. Galang menghela napas lega.

"Dollaaaarrr!" Gie berlutut untuk membuka kandang tempat Dollar dikurung di atas koper. Barang-barang Gie diletakkan di garasi Galang oleh entah siapa. Hanya cewek itu yang tahu siapa pengirimnya.

Begitu turun mobil, Galang geleng-geleng kepala melihat pasangan ibu dan anak beda spesies itu berpelukan. Dollar menjilati wajah Gie seakan sudah berpisah lama bukannya satu malam saja.

"Seneng udah reuni lagi?" Tanya Galang.

Dollar memandangnya sambil menyalak senang. Gie menenggelamkan wajahnya di leher berbulu Dollar, membuat Galang tersenyum kecil melihat mereka. Tanpa banyak bicara, cowok itu membawa koper besar Gie agar bisa dipindahkan ke dalam rumah. Hari ini dia resmi menampung Gie dan Dollar.

Selesai memindahkan koper Gie ke kamar tamu, Galang turun lagi ke lantai dua. Dilihatnya Gie masih temu kangen dengan Dollar di atas karpet depan sofa.

"Aku mau keluar dulu. Ada perlu." Pamit Galang saat mengambil kunci mobilnya di atas meja makan.

"Kemana?" Kepala Gie dan Dollar menyembul dari atas sofa.

"Ketemu temen. Kalo kamu lapar, ada makanan di kulkas. Tinggal dipanasin aja." Usai mengatakannya, Galang keluar rumah.

Gie dan Dollar saling berpandangan. "Gimana caranya manasin makanan?" Gumam Gie lesu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top