11 | DIKUNJUNGI
Buat nemenin malam minggu kalian, aku kasih bonus!
Komen, dong! Biar aku tau pendapat kalian tentang cerita ini...
Seneng banget bacain komen kalian satu-satu!!
***
Gie terbangun karena dering hp. Ia meraih hp di atas nakas dan melihat nama Fabian di layar. Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi.
"Hallo, Koh?" Sapa Gie dengan suara parau.
"Besok ada rapat darurat pemegang saham. Agendanya buat nyopot kamu dari jabatan dewan komisaris anak perusahaan Tan Group. Kenapa kamu nggak cerita?" Cecar Fabian.
"Gie juga baru tau dari Koh Bian." Gie tidak terdengar kaget atau panik. Perusahaan yang dimaksud, pasti yang dimana Fabian juga jadi pemegang saham mayoritas.
"Kamu berantem lagi sama Opa Atmodjo?"
"Iya. Gie kabur gara-gara nggak mau dijodohin sama calon jaksa yang keluarganya punya firma hukum rekanan Tan Group."
Ia bisa mendengar Fabian menghela napas di seberang. "Kamu kabur kemana? Nomormu masih nomor Indonesia."
"Gie numpang di rumah Galang."
"Galang?" Ulang Fabian tak mengerti.
"Iya. Gallagher Elang Anthaka. Koh Bian kan kenal."
"GALANG??" Gie sampai harus menjauhkan speaker dari telinganya.
"Iya, Koh. Galangnya Koh Bian."
"Kok bisa? Kalian kenal dimana?"
"Panjang ceritanya."
"Oke. Aku ke situ sekarang!" Hening sejenak. Gie bisa mendengar samar-samar Fabian sedang bicara dengan seorang cewek. Mungkin Ullie, tunangannya. "Ullie juga ikut. Kamu jangan kemana-mana!"
Gie mau kemana lagi emang? Matanya masih ngantuk berat begini.
***
Pintu depan diketuk saat Gie dalam posisi Adho Mukha Svanasana, badan menelungkup dengan lutut terangkat sambil meluruskan kedua kaki hingga tubuh membentuk huruf 'V' terbalik. Di balik kaos super kebesaran Galang, Gie hanya mengenakan bra dan celana dalam. Cewek itu bangkit berdiri untuk membuka pintu.
"Hai, calon pengantin!" Sapaan ceria Gie disambut tatapan horror kedua tamunya. Ullie dan Fabian buru-buru mendorong tubuh Gie ke dalam rumah seraya menutup pintu.
"KAMU GILA YA PAKE BAJU BEGINI DOANG? NANTI KALO TETANGGA LIAT GIMANA??" Semprot Ullie di depan wajahnya.
"GALANG!!" Seru Fabian.
Gie menutup kedua telinganya karena berisik. "Galang lagi keluar beli sarapan." Jawab Gie. Dia berjalan santai ke meja makan, memamerkan kedua kaki jenjang dan celana dalam yang mengintip dari balik kaos. Penampilannya sudah seperti model majalah dewasa. Lengkap dengan rambut berantakannya. Ullie mengangkat satu tangan untuk menutupi kedua mata Fabian.
Pintu depan dibuka oleh Galang. Kepala Fabian dan Ullie kompak menoleh ke belakang.
"Gue liat mobil lo di depan. Tumben pagi-pagi?" Galang membawa kantong plastik berisi dua bungkus makanan.
Mereka bertiga menyusul Gie ke meja makan.
"Ck. Lo nggak pengen pake baju? Ada tamu!" Tegur Galang pada Gie.
Fabian dan Ullie saling berpandangan.
"Kan nggak punya baju." Jawab Gie santai sambil mengupas kulit jeruk yang baru dia ambil dari atas meja.
"Ambil di lemari gue kan bisa! Sana!"
Diusir Galang, Gie langsung naik ke atas.
Fabian menatap heran interaksi kedua orang yang ia kira tidak saling kenal itu. Begitu Gie menghilang, Fabian dan Ullie langsung duduk di kursi meja makan. Posisinya bersebelahan. Galang jadi merasa seperti sedang disidang.
"Banyak yang terjadi, Bi. Gue nggak sempat cerita lo. Sori." Ujar Galang memulai. Ia meletakkan bungkusan di atas meja, lalu duduk di depan mereka berdua.
"Sejak kapan mas Galang akrab sama Regina?" Tanya Ullie penuh selidik.
"Pertama ketemu dia dua ato tiga bulan lalu. Baru seminggu belakangan ini dia jadi sering nginep di tempat gue."
"Jadi kamu Gal-Gal yang dimaksud Gie waktu itu?" Kali ini Fabian yang bertanya.
"Gal-Gal apaan dah?" Galang mengernyit tak suka pada panggilan aneh itu.
"Ceritain dari awal gimana kalian bisa saling terlibat gini! Tadi di telepon Gie sempat bilang kalo kamu juga dituntut oleh Stefan, cowok yang dijodohin sama Opa Atmodjo." Fabian mengabaikan pertanyaan Galang barusan.
Galang menghela napas berat sebelum mulai bercerita. Ia menjelaskan secara sistematis dan meninggalkan detail-detail kecil yang tidak perlu seperti kebiasaan tidur berjalan Gie saat malam. Fabian dan Ullie mendengarkan dengan seksama.
Gie turun tak lama kemudian. Bajunya masih sama. Hanya saja kali ini dia sudah pakai celana pendek milik Galang. Kalau dilihat-lihat, Gie makin imut kalau pakai baju laki-laki. Apalagi kalau kebesaran begitu. Saat menuruni tangga, ia sibuk mengikat tali celana agar tidak melorot.
"Bahas apa?" Tanya Gie. Ia duduk di sebelah Galang. Tangan kanannya mencomot jeruk yang kulitnya sudah dikupas oleh Galang.
"Bahas kalian berdua." Jawab Fabian.
"Oh."
"Kamu dicari sama Opamu?" Ullie ingin memastikan. Sedikit banyak dia sudah tahu tentang latar belakang keluarga Gie dari Fabian. Dia jadi bersimpati pada Gie.
Gie mengangguk. Kedua matanya yang kecil jadi semakin sipit saat menatap kedua tamu yang kini memandangnya dengan ekspresi simpati. "Jangan sekali-kali kasihan sama Gie! Gie nggak suka!" Ujar Gie dengan nada datar.
"Mulutnya emang sering ngeselin gini?" Tunjuk Galang pada Gie.
Ullie spontan mengangguk.
Fabian membuang muka.
Telunjuk Galang yang sedang teracung padanya digigit oleh Gie, membuat cowok itu langsung mengaduh kesakitan.
"Lo sama aja kayak anjing lo! Suka gigit!" Protes Galang sambil melindungi kedua tangan.
Gie mendengus. "Dollar nggak pernah gigit orang kalo nggak Gie suruh!"
"Berarti lo lebih parah dari anjing lo si Dollar." Giliran Galang yang mendengus. "Peliharaan dikasih nama mata uang. Kok nggak sekalian Euro ato Pounsterling." Gerutunya.
"Waktu Dollar bayi emang pernah kepikiran ngasih nama Poundsterling."
Mendengar respon Gie, Galang makin sebal. Ia melempar kulit jeruk pada Gie. Gie membalas dengan melempar kulit jeruk juga. Mereka berakhir lempar-lemparan kulit jeruk.
"Gie nggak pernah kayak gini, kalo kamu penasaran." Bisik Fabian seakan menjawab pertanyaan tak terucap Ullie.
"Mas Galang juga nggak pernah sebel sama orang." Balas Ullie.
Fabian melerai mereka berdua. "Masalah kalian ini serius, lho! Fokus dulu, bisa?"
Gie dan Galang berhenti melempar kulit jeruk. Bukan karena teguran Fabian barusan, melainkan sudah tidak ada kulit jeruk lagi yang bisa dilempar.
"Lo bersihin lantai gue ntar!" Ujar Galang. Gie hanya mengerucutkan bibir.
Ullie mengeluarkan laptop Fabian dan meletakkannya di atas meja. Sebaiknya ada yang memulai lebih dulu. Sebagai mantan asisten Fabian, cewek blasteran Jawa-Perancis itu langsung peka dengan apa yang akan dikerjakan Fabian saat ini. Ia mendorong laptop ke hadapan mantan bos sekaligus tunangannya. Fabian memandang Gie yang kelihatan masih ogah-ogahan mengurus masalah hidupnya sendiri.
"Kalo kamu dicopot besok, pemegang saham lain bakal gelisah. Bisa-bisa anak perusahaan lain juga ngadain rapat pemegang saham dadakan. Ngerti posisimu?" Fabian berusaha menjelaskan pada Gie. Cewek itu hanya memutar bola mata.
"Kenapa sih Opa nggak sekalian coret nama Gie dari daftar warisan? Kelar perkara. Bikin ribet hidup Gie aja!" Gie mengomel pada dirinya sendiri. Namun curahan hatinya itu membuat ketiga orang di depannya berpikir.
"Opa Atmodjo melakukan ini karena mereka udah kehilangan kontrol atas kamu. Aku dengar dari Tania kalau keluargamu sampai make Janesa lagi buat nyari kamu."
"Janesa kerja buat Gie. Jadi agen ganda."
Galang bertukar bahasa isyarat pada Ullie, penasaran siapa Janesa yang sedang mereka bicarakan. Ullie menggeleng tidak tahu.
Fabian memutar layar laptop untuk memperlihatkan pada Gie kurva saham. Angka-angka yang tidak dimengerti oleh Galang dan Ullie. Mereka berdua sepakat untuk menyingkir ke ruang tengah yang berseberangan dengan ruang makan. Galang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua. Fabian tidak biasa sarapan. Gie juga tidak bakal doyan nasi kuning. Jadi ia putuskan untuk menjadikan Ullie teman sarapannya hari ini.
"Jadi sekarang mas Galang tinggal sama Gie? Pacarnya mas Galang emang nggak cemburu liat dia di sini?" Tanya Ullie sebelum menyuapkan sesendok nasi kuning dan perkedel ke dalam mulut.
"Udah putus. Baru kemarin."
"Hah?? Gara-gara Regina??"
Galang menggeleng. "Lea selingkuh sama atasannya. Dua tahun." Ia sudah tidak merasakan apa-apa saat mengatakan situasinya pada Ullie. Membuat adik sahabatnya itu mengernyit. "Kenapa lo mikir kalo kami putus gara-gara Gie?"
"Dia sering bikin orang salah paham." Jawab Ullie jujur.
Galang manggut-manggut. "Lo sendiri emang nggak pernah cemburu liat Bian masih akrab sama mantannya?"
Ullie menggeleng. "Dulu sempat cemburu. Sekali lagi, Regina itu sering bikin orang salah paham. Aku nggak ngerti apa yang berusaha dia lakukan sampai dia sendiri yang bilang. Terus setelah aku tau, ternyata hubungan mereka itu sebenarnya nggak lebih kayak aku sama mas Anton. Bedanya mereka nggak sedarah."
"Ternyata ada ya kakak adek ketemu gede?" Dari nada suaranya, Galang terdengar ragu.
"Mereka kakak adek ketemu sejak balita. Mas Bian sendiri yang cerita kalo dia ikut nemenin mamanya Regina lahiran. Dia ikut pegang tangan Regina waktu masih bayi merah. Makanya pas denger Gie kena masalah lagi sama Opanya, Mas Bian langsung cemas."
"Gie sering berantem sama Opanya?"
"Sering sih enggak. Tapi sekali berantem bisa bikin geger grup perusahaan. Contohnya kayak sekarang. Kali terakhir mereka berantem pas Mas Bian mutusin pertunangan mereka. Regina sampai kabur ke Paris. Perusahaan keluarga Mas Bian harga sahamnya anjlok. Satu skandal minor efeknya gede banget ke perusahaan."
Galang terdiam. Ia memandangi Gie dan Fabian yang sedang berdiskusi di meja makan. Wajah keduanya serius. Sepertinya ia mulai mengerti sumber stress Gie sampai membuat penyakit tidur berjalannya kumat. Hidup di tengah-tengah keluarga yang seperti itu pasti membuat sakit kepala.
"Aku lihat kalian akrab." Komentar Ullie membuat perhatian Galang kembali padanya.
"Akrab apanya!" Dengus Galang.
"Buktinya dia cuek aja berkeliaran di rumah pake baju mas Galang. Mana nggak pake celana! Aku penasaran kalo malem kalian ngapain aja." Kedua alis Ullie bergerak naik turun untuk menggoda Galang.
"Mesum banget pikiran lo mentang-mentang mau kawin!" Galang hampir menjitak kepala Ullie kalau saja cewek itu tidak meliukkan kepala lebih dulu.
"Halaaah! Nggak usah sok polos deh mas!" Mulut Ullie masih gatal ingin menggoda. "Cewek secantik itu. Bodinya killer. Di rumah nggak pake baju. Masa liatnya nggak nafsu sama sekali? Mas Galang jadi homo habis putus sama cewek?"
"Sembarangan!" Galang benar-benar ingin menjitak Ullie. "Iman gue kuat."
Sejujurnya, iman Galang jauh dari kata kuat. Butuh latihan keras agar pertahanan dirinya tidak ambrol setiap melihat Gie berkeliaran di rumahnya sambil mengumbar kulit dengan cuek. Lea selalu pakai pakaian tertutup dan sopan. Tingkahnya juga tidak agresif, apalagi sengaja menggoda terang-terangan. Beda dengan Gie yang hampir menggunakan setiap kesempatan yang dipunya untuk mengajaknya tidur bersama. Meskipun ia tahu semata-mata hanya untuk mencegahnya agar tidak tidur berjalan. Tapi cowok dewasa mana yang tahan jika digoda cewek seperti Gie?
Nah. Untuk apa juga dia jadi membandingkan Lea dan Gie yang seperti bumi dan langit. Lea sopan, Gie agresif. Lea tukang selingkuh, Gie penggoda. Galang mengacak rambutnya sendiri tanpa sadar.
"... sementara tinggal di apartemenku." Keduanya menoleh karena mendengar obrolan Fabian dan Gie yang melenceng dari urusan bisnis.
"Apartemen yang mana?" Tanya Gie.
"Yang di Surabaya Timur. Dekat rumah Ullie."
Gie menghela napas. "Koh Bian tau Gie nggak bisa. Janesa bakal langsung curiga sama Koh Bian lah! Dia tau kalo kita dekat."
"Lah. Kamu bilang dia kerja buat kamu!"
"Agen ganda. Dia nggak berusaha keras buat cari Gie. Tapi sekali ketahuan, dia bakal langsung lapor ke Opa."
Fabian mendecakkan lidah. "Dia setianya sama siapa, sih?"
"Sama yang berani bayar dia paling tinggi."
"Terus sampai kapan kamu tinggal di sini? Ngerepotin Galang. Apalagi kalian kan nggak ada hubungan apa-apa, masa tinggal bareng?" Nada suara Fabian mulai terdengar agak menyebalkan bagi Gie karena seperti sedang pemanasan sebelum khotbah.
"Justru biar ntar ada hubungan apa-apa. Kan Gie lagi pendekatan sama dia."
Galang tersedak nasi kuning yang sedang dikunyahnya. Ullie melirik sekilas.
Kedua alis Fabian menyatu. "Jangan becanda kamu! Dia punya pacar, Gie."
"Udah putus kemaren." Sahut Gie dengan wajah songong.
"Tetep aja nggak bisa! Kalian nggak boleh tinggal bareng!"
"Why nooooootttt? Koh Bian sama Ullie juga udah kayak suami istri pagi-pagi gini barengan. Semalam kalian nginep, kan?"
Kali ini giliran Ullie yang tersedak. Galang menepuk-nepuk punggungnya pelan sambil menawarkan air.
"Beda! Kami mau nikah!"
"Gie juga mau nikah!"
"Woii!" Protes Galang tidak diindahkan oleh Fabian atau Gie.
"Sekali nggak bisa tetap nggak bisa, Gie!"
"Gie nggak peduli! Malahan Gie berencana buat punya anak sama Galang!"
Ullie kaget. Galang apalagi.
"Don't you dare (Jangan berani-berani)!" Desis Fabian.
"Gie bisa lakukan apapun yang Gie mau! Koh Bian sendiri yang bilang."
Entah siapa yang mulai lebih dulu, tapi keduanya sudah saling berdebat pakai nada tinggi.
"Tapi bukan yang ini! Jangan bertindak gegabah! Kalo kamu bikin keluargamu heboh lagi, bukan cuma kamu yang kena, tapi Galang dan orang-orang di sekelilingnya juga. Kamu nggak sadar kalau keluargamu menaruh standar tinggi buat masa depanmu?"
"Maksud Koh Bian apa? Galang nggak cocok buat Gie? Apa sekarang Koh Bian juga mau ngatur hidup Gie?! Gie kira Koh Bian ngertiin Gie! Ternyata sama aja!" Gie tiba-tiba bangkit berdiri hingga membuat kursi yang tadi didudukinya terpental ke belakang. "SEMUANYA SAMA!!" Jerit Gie sebelum ia berlari menuju lantai tiga.
Ullie buru-buru menghampiri Fabian. Berusaha mencegahnya untuk mengejar Gie yang sedang histeris.
"Tenang dulu! Kamu lagi emosi!" Ullie belum pernah melihat Fabian seemosi ini. Wajahnya sampai merah dan napasnya naik turun.
"Anak itu sudah gila." Ujarnya sambil mengacak rambut.
Galang yang sejak tadi menonton sambil terpaku langsung berdiri menghampiri mereka.
"Sebaiknya kalian pulang dulu." Ujar Galang.
"Lang-" Kata-kata Fabian dipotong oleh Galang. "Gie nggak akan mendengarkan siapa-siapa dalam kondisi begini. Biar dia sendiri dulu. Nanti kalian gue kabarin." Ia memberi isyarat pada Ullie agar segera membawa tunangannya pergi. Ullie mengangguk dan langsung membereskan meja.
"Aku titip Gie, ya? Kalo ada apa-apa sama dia tolong segera kabari aku." Pesan Fabian dengan suara lebih tenang.
"Gue juga minta tolong lo buat bantu nyelesain masalah apapun yang lagi terjadi sama Gie di perusahaan keluarganya." Fabian mengangguk. Ia tersentuh karena ternyata Galang peduli pada Gie.
Sepeninggal Fabian dan Ullie, Galang menyusul Gie ke atas. Dilihatnya pintu kamar Gie terbuka lebar. Semua barang berhamburan di lantai. Laci kabinet tergeletak di atas karpet, menumpahkan semua isinya yang tak seberapa. Lampu tidur di atas nakas juga berpindah ke bawah. Kaca pigura yang berisi lukisan hiasan dinding pecah. Pecahannya berserakan di lantai. Galang berjingkat menghindari pecahan itu untuk mendekati Gie yang sedang duduk di lantai menghadap jendela. Ia bersandar di sisi tempat tidur sambil memeluk kakinya.
"Gie?" Galang berjongkok di sebelah cewek itu. Rahang Gie mengatup. Bibirnya membentuk sebuah garis lurus. Tatapannya seakan ingin melubangi dinding.
"Gie nggak minta dilahirkan di keluarga itu." Desisnya. Entah pada siapa. Gie mendongak menatap Galang. Ekspresinya sama seperti saat Gie terakhir kali memandang Stefan, dan juga saat ia memandang Lea kemarin. "Kalau Gie bukan pewaris Tan Group, kamu mau sama Gie nggak?" Pertanyaannya membuat Galang terdiam. Ia duduk di sebelah Gie.
"Gue nggak pernah liat lo sebagai calon pewaris perusahaan multinasional. Gue liat lo sebagai elo. Lo masih Gie." Galang menyandarkan tubuhnya di sisi tempat tidur sambil bersila.
"Keluarga Gie menganggap Gie sebagai aset. Sebagai alat untuk bikin perusahaan tetap bertahan dan makin besar." Gumam Gie pelan. Ia meletakkan dagu di atas lutut. Ekspresinya melembut. "Gie bukan aset." Lanjutnya pelan.
"Lo pernah bilang apa yang lo mau ke keluarga lo?"
Gie menggeleng.
"Terus keluarga lo bisa tau darimana keinginan lo apa?"
"Gie nggak boleh punya keinginan."
Galang memandang Gie. Ia mulai memahami cewek itu. Galang mengulurkan tangannya untuk mengusap puncak kepala Gie. Membuat cewek itu mendongak menatapnya.
"Lo tinggal di sini. Sama gue. Lo boleh melakukan apapun keinginan lo selama ini. Nggak ada yang ngekang lo lagi."
Kedua mata Gie berkaca-kaca. "Kalo kamu terlalu baik sama Gie, nanti Gie nggak mau lepasin kamu." Ujarnya.
Galang tertawa kecil, menganggap ancaman Gie angin lalu. "Terserah lo, deh."
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top