10 | KONTRAK

Galang langsung pergi ke bengkel sepulangnya dari hotel. Hpnya mati karena kehabisan baterai. Jadi tadi ia minta tolong Gie untuk dipesankan ojek online. Bukannya ojek, Gie malah meminta resepsionis hotel untuk memanggilkan taksi supaya lebih cepat. Awalnya Gie menawarkan untuk mengantar Galang, tentu saja cowok itu menolak. Ia ingin memberi jarak pada mereka berdua agar tidak terbiasa bergantung satu sama lain.

"Habis darimana bos?" Tanya Dani begitu melihat Galang turun dari taksi.

"Dugem." Jawab Galang asal. Ia langsung masuk ke dalam kantor administrasi bengkel agar bisa mengisi ulang baterai hpnya.

"Tadi ada mbak Lea ke sini cari bos."

Seakan membuktikan ucapan Dani, muncul notifikasi lima panggilan tak terjawab dari Lea saat Galang menyalakan hp kembali. Ia menancapkan kabel pengisi daya ke hpnya tanpa merespon notifikasi itu.

"Dia bilang apa?"

"Mbak Lea nyari bos ke rumah pagi-pagi, nggak ada. Terus dateng kesini, saya bilang belum dateng. Pas nanya bos kemana, saya bilang nggak tau. Abis itu nanya lagi, apa pergi sama mbak-mbak Cina yang matanya sipit. Saya bilang nggak tau. Maksudnya mbak Gie ya bos?"

Galang bergeming. Moodnya jadi jelek saat menyadari kalau permasalahannya dengan Lea belum terselesaikan.

"Makasih, Dan." Galang menepuk pundak Dani dan menyuruhnya kembali bekerja.

Ada satu pesan masuk dari nomor tak dikenal.

From: +62 81xxxx

Sepatu kamu ketinggalan.

Galang memandangi kakinya yang beralaskan sandal hotel.

From: +62 81xxxx

Udah Gie pesenin yg baru soalnya sepatu kamu bolong-bolong kena gigit Dollar. Nanti siang sepatunya dateng ke bengkel.

From: +62 81xxxx

Makasih buat yg semalam.

From: GallagherElang

Ok.

Galang menyimpan kontak baru itu dengan nama 'GIE'.

Sebenarnya Galang sudah mengikhlaskan sepatunya. Ia punya firasat sekalipun ia menolak kebaikan Gie, cewek itu tetap akan keukeuh memberikannya sepatu baru. Kalau paket berisi sepatu ia tolak, maka Gie pasti datang sambil melempar sepatu baru itu ke depan wajahnya.

***

Lea datang sesaat sebelum Dani menutup bengkel.

"Galang mana?" Tanya Lea dengan wajah jutek.

Dani menunjuk kantor administrasi dengan jempol. Lea langsung masuk ke sana.

Galang sedang membaca laporan keuangan saat Lea menghambur masuk ke dalam.

"Kenapa seharian kamu susah dihubungin?" Lea meletakkan kedua tangan di pinggang, wajahnya kesal. Galang tak mendongak sama sekali. "Kenapa nyuekin aku?" Lanjutnya saat melihat Galang tak merespon sama sekali.

Cowok itu menutup laptop, lalu mengangkat kepala. Ekspresinya dingin.

"Kita putus aja, ya?"

Ekspresi terkejut tidak dapat disembunyikan dari wajah Lea. "Kamu becanda, kan? Kenapa kita putus?"

"Kamu tau alasannya. Masa perlu aku jelasin?"

Lea mengambil kursi untuk duduk di seberang meja Galang. "Aku salah apa?" Tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Wajahnya agak pucat. Galang membuang muka, tidak ingin luluh.

"Selingkuh. Sama atasanmu di kantor. Dan membodohiku selama dua tahun terakhir."

Lea terdiam agak lama. "Mak-maksud kamu apa?"

"Aku lagi nggak mood basa-basi. Kita putus. Alasannya karena kamu selingkuh."

"Buktinya mana??"

Galang menghela napas. "Kalo aku nunjukkin buktinya, kamu bakal malu." Ia bangkit dari kursi menuju pintu. "Kita pacaran udah lama, jadi bonding kita lumayan kuat. Tapi maaf aku nggak bisa berteman dengan mantan. Kita jaga jarak dulu mulai sekarang." Galang membukakan pintu untuk Lea.

Cewek itu tiba-tiba menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bahunya berguncang saat dia sesenggukkan. Galang tidak memandangnya, cemas akan berubah pikiran jika melihat wajah sedih Lea.

"Maaf. Aku ngaku salah. Maafin aku." Lea bangkit untuk menghampiri Galang. Ia memegang tangan Galang dengan kedua tangan. "Aku sama dia udah berakhir. Aku khilaf. Nggak akan aku ulangi lagi. Saat ini aku cuma punya kamu."

"Aku juga minta maaf." Galang menurunkan tangan Lea. "Pergilah. Aku pengen sendiri."

Lea menggeleng. "Aku nggak mau pergi sebelum kamu maafin aku!"

"Akan butuh waktu buat maafin kamu. Sekalipun nanti kamu kumaafkan, belum tentu juga aku percaya kamu lagi."

"Kita udah pacaran lima tahun! Cuma segini aja rasa percayamu ke aku?"

Galang memandang Lea tak percaya. "Dua tahun kamu bohongin aku." Wajah Galang mengeras. "Ngeliat kamu begini, rasanya aku bahkan nggak mengenalimu lagi. Kamu berubah terlalu banyak."

"Aku sayang sama kamu. Aku selalu berpikir kalo kita akan menikah suatu hari."

"Aku juga. Sampai aku tau ternyata kamu bohong selama ini." Timpal Galang. Nada suaranya masih datar.

"Galang, please..." Ekspresi Lea mendadak berubah. "Apa ini karena cewek itu? Cewek yang nginep di rumah kamu kemarin."

"Ini semua nggak ada sangkut pautnya dengan Gie." Galang mulai bersikap defensif, mendadak kesal karena Lea menyeret orang lain dalam masalah mereka.

"Pasti karena dia!"

Galang geleng-geleng kepala. Dulu Lea tidak begini. Ia memandang cewek di depannya seakan sedang melihat orang asing. "Pergilah."

"Nggak mau!"

"Lea-"

Lea mendadak maju untuk menciumnya, tapi bibir cewek itu tidak sampai menyentuhnya. Galang yang berhasil pulih dari keterkejutan otomatis mundur selangkah. Dilihatnya Gie dengan wajah marah sedang memegang kerah belakang Lea hingga mencegahnya menyentuh wajah Galang.

Ekspresi Gie susah dibaca. Tapi Galang tahu kalau cewek itu sedang tidak main-main.

"Gie?" Galang mengerutkan dahi, membuat Lea spontan menoleh ke belakang.

Lea menyentak kerah belakangnya kasar hingga cengkeraman Gie terlepas.

"Apa-apaan, sih?!" Hardik Lea.

Kini Gie memandang Galang. "Ini kali terakhir Gie liat kalian berduaan." Ujarnya dingin.

"Jangan ikut campur!" Sahut Lea dengan nada tinggi, membuat perhatian Gie beralih pada cewek itu.

"Kita perlu bicara!" Sebelum pergi, Gie memandangi perut dan wajah Lea bergantian. Tatapannya penuh arti. Setidaknya bagi Lea.

Saat melihat Lea mengekor di belakang Gie, Galang terheran-heran.

Situasi apa ini?

***

Gie menghentikan mobilnya di depan sebuah café yang sudah tutup. Lampu-lampu masih menyala terang meski tidak ada pengunjung di dalamnya. Gie memberi isyarat pada Lea agar segera turun. Ia lebih dulu masuk ke dalam café. Beberapa panggilan dari Galang yang datang ke hpnya ia reject.

Janesa yang sedang mengelap gelas di belakang counter top langsung meletakkan amplop coklat di atas meja begitu melihat Gie datang bersama tamunya. Gie mengambil amplop itu tanpa mengatakan apa-apa. Ia mengambil tempat duduk di meja tengah. Lea menyusulnya. Janesa mengangkat kepala sesekali untuk memperhatikan mereka.

"Mau ngomong apa?" Kedua mata Lea nampak kurang fokus akibat apa yang baru saja dilaluinya dua hari ini.

"Kalau dilihat dari kondisimu, selingkuhanmu itu menolak bertanggung jawab. Apa Gie benar?" Gie mengeluarkan isi amplop ke atas meja. Rekam medis, foto USG, dan jadwal janji temu dengan dokter, semuanya ada.

Lea memandangi dokumen-dokumen yang terhampar di depannya. Ia tak ingin menyentuh satupun. "Darimana kamu dapet semua ini?!" Kedua mata Lea membelalak.

"Nggak penting Gie dapat darimana." Gie menyandarkan tubuhnya di kursi. "Galang udah mutusin kamu. Mau apa kamu sekarang? Berencana buat tidur sama dia dan membuat seolah-olah dia ayah dari anak dalam perutmu? Kamu mau memanfaatkan dia?"

Lea masih memandang Gie dengan wajah syok. Gie menyimpulkan kalau dugaannya benar. Ternyata Lea lebih picik dari yang ia duga.

"Sebenarnya kamu siapa? Kenapa kamu ikut campur masalah kami?" Kepala Lea sudah dipenuhi kemarahan.

"Bisa nggak kamu fokus sama masalahmu dulu?" Gie mengetukkan buku jarinya ke meja.

Janesa datang membawakan baki berisi dua gelas minuman dan dua lembar kertas bermaterai. Ia menyerahkan kertas itu pada Gie beserta sebuah pena. Gie meletakkan salah satu kertas di depan Lea agar bisa dipelajari.

"Baca dulu." Ujar Gie sebelum meminum es kopi dari sedotan.

Lea menelan ludah. Di bawah tatapan Gie, ia merasa sangat terintimidasi. Terutama setelah cewek di depannya ini tahu tentang kehamilannya. Lea membaca isi kertas itu dengan hati-hati. Sebuah kontrak. Kontrak atas janin dalam kandungannya. Cewek itu tertawa setengah mendengus setelah selesai membaca kontraknya.

"Kenapa?" Gie meletakkan gelasnya di atas meja. "Ada pasal yang lucu?" Gie mengecek setiap pasal yang sudah diketik Janesa di sana. Semuanya sesuai dengan keinginannya.

"Kenapa kamu berpikir kalau aku bakal tanda tangan kontrak bodoh ini?"

Gie mengeluarkan hpnya. Ia memutar isi rekaman yang dikirimkan Janesa pagi ini dengan volume paling tinggi. Wajah geli Lea berganti dengan ekspresi ngeri. Gie memasukkan kembali hpnya ke dalam tas jinjing Hermes setelah rekaman itu selesai diputar, meninggalkan Lea yang tercekat dengan wajah pucat pasi.

"Kalau rencanamu untuk manfaatin Galang tetep berlanjut, rekaman itu bakal dia dengar secepatnya."

"Kamu monster!" Desis Lea dengan penuh kebencian. Gie hanya tersenyum tipis.

"Baca sekali lagi kontraknya. Kalo setuju, langsung tanda tangan di bagian bermaterai."

Mau tak mau, pandangan Lea tertuju pada setiap huruf di atas kertas.

"Kamu nggak mau aborsi dan ingin mempertahankan anak itu. Siapa bapaknya di mata hukum, kamu nggak peduli. Karena selingkuhanmu nggak mau tanggung jawab, pilihanmu tinggal Galang. Sadar nggak kalo di antara kita yang sifatnya lebih mirip monster itu kamu?" Lanjut Gie sinis.

Lea tak sanggup berkata-kata. Ia hanya memandang kertas di depannya dengan tatapan kosong. "Anak ini harus punya ayah." Ia menggumam pelan. Satu tangannya terangkat untuk mengelus perutnya yang datar. "Aku perlu seseorang yang stabil secara finansial. Membesarkan anak butuh biaya."

Gie tertegun. Sebelumnya ia tidak benar-benar peduli alasan Lea mempertahankan janin dalam perutnya. Kini ia mulai mengerti. Semua itu hanya dorongan insting keibuannya.

"Kalau aku tanda tangan kontrak ini, kamu dapat apa?" Lea mengangkat wajahnya yang makin pucat. Gie tidak tersentuh sama sekali.

"Gie dapat Galang. As simple as that. (Sesimpel itu)." Ia mengedikkan bahu.

Lea tersenyum sinis. "Ternyata kamu yang suka dia." Gie tidak merespon sama sekali. Kini satu tangan Lea terangkat ke atas meja untuk mengangkat kertas kontrak. "Tolong jelaskan apa aja tunjangan yang kamu maksud di pasal nomor satu."

"Semua tunjangan. Tempat tinggal, uang, biaya kesehatan termasuk dokter dan perawat pribadi selama masa kehamilanmu. Semua kebutuhan yang remeh temeh seperti makan, pakaian. Terutama segala yang berhubungan dengan keselamatan ibu dan bayi. Setelah anak itu lahir, Gie akan kasih kompensasi besar untuk investasi jangka panjangmu."

"Kamu tau aku punya penghasilan sendiri."

"Siapa yang jamin selingkuhan sekaligus atasanmu itu akan pertahanin kamu di kantor? Kalo bukan dia yang ngeluarin kamu, maka tekanan psikologi akibat gosip di kantor yang akan mempengaruhi kamu buat resign. Kamu hamil di luar nikah, remember?"

Lea menelan ludah. Semua yang dikatakannya benar.

"Terus apa maksudnya pasal terakhir?"

Gie mambaca kertas miliknya sekilas. "The baby will be mine and mine only. (Bayi itu milik Gie dan akan jadi milik Gie seorang). Tugasmu hanya melahirkannya ke dunia dengan sehat dan selamat. Di luar itu kamu nggak ada hak lagi. Saat dia tumbuh dewasa, dia hanya tau Gie sebagai orangtuanya. Kamu oke sama itu semua?"

"Aku nggak bisa ketemu dia sama sekali?"

Gie menggelengkan kepalanya. "Sekali kamu tanda tangan kontrak ini, nasib anak itu ada di tangan Gie dan Tuhan. Artinya kamu udah menyerahkan dia ke bawah perlindungan Gie. Terserah Gie mau mengijinkan dia ketemu kamu ato enggak. Kalo Gie bilang enggak, berarti nggak ada yang bisa mengubah pikiran Gie. Meskipun suatu hari kamu berakhir sekarat dan keinginan terakhirmu sebelum meninggal adalah ketemu dia. Paham sekarang?"

Lea memandangi Gie dengan tatapan tak percaya. Baginya, Gie-lah yang monster.

"Kapan kamu menyiapkan ini semua? Apa sejak awal kamu mengincar cowokku?"

Gie tersenyum. "Kalian sudah berakhir. Gie cuma membantu Galang supaya nggak diperalat sekaligus menyingkirkan kamu dari hidupnya. Kalau dalam usaha Gie, Galang malah jatuh cinta, itu jadi bonus besar. Gie akan sangat bersyukur."

Tiba-tiba Lea menangis. "Hidupku berakhir."

"Pilihanmu ada tiga. Satu, tetap lanjut dengan Galang. Dua, tanda tangan kontrak dengan Gie. Atau tiga, menyingkir diam-diam. Pergi ke tempat jauh dan jangan kembali lagi. Gie sih pengennya kamu milih antara dua pilihan pertama. Pilihan terakhir terlalu riskan. Kamu nggak punya keluarga alias nggak punya siapa-siapa."

Lea masih menangis. Makin lama tangisannya makin kencang. Ia sampai kesulitan mengatur napasnya sendiri. Gie pernah dengar kalau pada trimester-trimester awal, biasanya ibu hamil akan sangat sensitif dan emosional. Karena tak betah, Gie memilih pergi lebih dulu sekaligus membiarkan Lea membuat keputusan. Ia pindah ke bar stool tempat Janesa menyiapkan minuman.

"Kalo seemosional itu, dia ada kemungkinan bunuh diri nggak?" Tanya Gie. Ia memandang Lea yang menangis histeris di meja.

"Kalo seperhatian itu sama dia, kenapa nggak sejak awal nyerah aja sama Galang?" Sindir Janesa. Ia menuangkan anggur ke gelas kosong di depan Gie.

"Itu bukan pilihan!" Sanggah Gie sambil menatapnya tak suka.

"Masalahmu sendiri udah banyak. Jangan ikut campur urusan orang!" Janesa tak ada maksud lain selain mengingatkan.

Gie mengangkat gelas anggurnya. Ia memandangi cairan merah di dalam gelas. "Arallea Putri. Benar-benar jadi aral melintang buat kehidupan cinta Gie."

Janesa mengerutkan dahi jijik. "Geli banget."

"Kamu masih kecil. Nggak bakal tau rasanya jatuh cinta." Gie menyesap anggurnya perlahan.

"Orang lain kalo jatuh cinta jadi bodoh. Kamu bukannya bodoh malah jadi kejam."

"Kalo kamu kenal Galang kayak aku kenal dia, kamu bakal berusaha melindungi dia biar nggak diperalat orang. Terlalu baik orangnya."

"Kamu masih tinggal sama dia?"

Gie menggeleng. "Diusir dari rumahnya."

"Berarti dia nggak sebaik itu."

Gie mendecakkan lidah. Janesa mengeluarkan hp yang berbunyi karena ada pesan masuk. Dahinya berkerut saat membaca pesan. Ia mendongak untuk memandang Gie.

"Opamu nyuruh aku buat nyari kamu. Ada masalah di rumah?"

Gie menghela napas dengan gaya dramatis. "Paling gara-gara kencan buta yang gagal sama Stefan. Dia nuntut Gie dan Galang. Pasti kabarnya udah didengar sama Opa. Tinggal nunggu waktu sampai orang-orang suruhan Opa pada ngejar Gie."

"Kamu nggak bisa kabur keluar negeri lagi. Aku bisa nangkep kamu dengan mudah sebelum kamu nyampe imigrasi."

"Iya, tau. Gie juga berencana tinggal di sini aja."

"Kamu mau aku gimana?"

Gie mengetukkan ujung jarinya di atas meja selagi berpikir. Ia memandangi mobil yang terparkir di depan café. "Lindungi Gie, ya? Bilang aja Gie kabur ke Islandia ato ke Qatar. Kemana aja kek yang kamu susah lacaknya."

Satu alis Janesa terangkat. "Bayaran dari Opamu lebih gede."

"Ck. Nanti Gie kasih tiket nonton One Ok Rock di Tokyo Dome. Sekalian free passnya. Atau kalo perlu Gie bikinin konsernya buat kamu doang. Mau nggak?"

Kedua pupil Janesa membesar ketika mendengar iming-iming dari mulut Gie. Ia tahu cewek itu serius. "Kapan?"

"Ya kalo kerjaanmu bereslah!"

"Oke." Janesa melempar lap ke bahunya. Kedua tangannya bertumpu pada pinggir meja. "Untuk sementara kamu jangan pake media sosial. Jangan nginep di hotel bintang lima. Jangan pake kartu kredit. Selalu pake uang tunai kemana-mana. Dan mobilmu..." Keduanya memandang ke arah Porsche Gie. "Jangan pake mobil itu dulu. Intinya jangan mencolok, oke?"

"Dollar masih ada di hotel Majapahit." Gie mendadak gelisah. "Gie nggak bisa balik ke sana."

"Nanti aku yang ambil Dollar. Kamu suruh orang buat jemput dia di sini."

"Kamu bakal lacak Gie dari nomor hp nggak?" Gie mengangkat hpnya.

Janesa menggeleng. "Pake aja hpmu. Blok semua nomor keluarga kecuali orang yang kamu percaya."

Mereka berdua akhirnya sepakat. Tanpa dikomando, kepala mereka kompak menoleh ke arah meja tempat Lea masih duduk sambil sesenggukkan.

"Anter dia pulang. Pastikan selamat sampai di rumah. Awasi dia selagi kita nunggu keputusannya apa." Ujar Gie.

"Aku bukan pesuruhmu!"

"Kamu pake Porsche itu buat nganter dia. Sekalian titip." Gie menghabiskan anggurnya, mengabaikan respon Janesa barusan. Mendengar Porsche Gie dititipkan padanya, Janesa langsung berubah pikiran. "Pesanin taksi buat Gie sekarang." Lanjut Gie.

"Deal."

***

Pintu depan Galang diketuk pukul sebelas malam. Ketika Galang membukanya, ia tak terkejut melihat Gie yang datang. Tanpa dipersilahkan, cewek itu langsung masuk ke dalam rumah. Tidak terlihat ada Dollar dimanapun.

"Anjing lo mana?" Tanya Galang.

"Gie tinggal di hotel."

Mereka berdua duduk di meja makan setelah Galang mengambilkan sebotol air mineral dingin untuk Gie minum. Cewek itu langsung menenggak banyak-banyak, kehausan.

"Lo apain Lea?" Tembak Galang langsung.

"Nggak diapa-apain."

"Terus lo bahas apa sama dia? Kenapa telpon gue lo reject? Lo kemana tadi?"

"Gie cuma perlu ngobrol sebentar sama dia."

"Beneran lo nggak apa-apain dia?"

Gie mendecakkan lidah. Membanting botolnya ke atas meja. "Kenapa ngekhawatirin dia, sih?" Semprot Gie sebal.

"Gue nggak khawatir sama Lea karna dia nggak mungkin bisa ngapa-ngapain lo. Lo lebih tangguh." Galang menyandarkan tubuhnya ke kursi.

"Gie sama dia ngobrol. Udah itu aja."

"Ngobrolin apa? Lo kan nggak kenal dia."

"Ngobrolin kamu lah. Kita kan sesama cewek, jadi feelnya lebih dapet kalo curhat."

Dari ekspresinya, Galang kelihatan sekali kalau tidak percaya omong kosong Gie. Ditambah cewek itu tidak berani memandangnya dari tadi.

"Kalo lo nggak cerita juga nggak papa. Gue sama dia udah selesai."

Gie mengangguk setuju.

"Gue nggak liat mobil lo tadi. Kesini naik apa?"

"Taksi."

"Gue anter ke hotel." Gie mencegah Galang yang akan bangkit dari kursi.

"Gie nggak bisa balik ke hotel."

"Kenapa lagi?" Galang kembali duduk. "Kalo ini cuma akal-akalan lo biar bisa tidur sama gue, udah nggak mempan."

Gie menggeleng. Ia menatap Galang saat bicara. "Opanya Gie nyuruh orang buat ngelacak Gie."

"Karena insiden sama Stefan kemarin?"

Gie mengangguk. "Opa orangnya keras. Nggak bakal segan buat ngehukum Gie tanpa ampun. Orang-orang suruhan Opa itu kejam. Gie pernah dikurung di bangunan bekas gudang dua hari berturut-turut tanpa makan sebelum dianter pulang ke rumah Opa."

"Serius lo?" Galang masih tak percaya.

"Gie nggak berani bohong kalo urusannya bawa-bawa Opa. Keluarga Gie mau Gie nikah terus punya anak, biar ada pewaris Tan Group setelah Gie. Opa sendiri yang bakal didik anak Gie nanti. Jodoh Gie mereka yang atur." Gie tertawa kecil. "Seumur hidup Gie diatur. Baru belakangan ini aja setelah batal tunangan sama Koh Bian, Gie jadi berani." Wajahnya sendu.

"Lo nggak bisa kabur?" Tanya Galang.

"Nggak bisa. Orang suruhan Opa yang sekarang jago ngelacak orang. Mau kabur ke ujung dunia, cepat atau lambat pasti bisa ketangkep."

Galang geleng-geleng kepala. Dia bingung harus kesal atau kasihan. "Keluarga orang kaya emang antik-antik." Komentarnya kemudian.

"Gie nggak bisa pake kartu kredit atau transaksi selain tunai. Nggak bisa nginep di hotel. Bahkan Gie nggak bisa pakai mobil Gie sendiri karena bakal kelacak."

"Terus lo mau numpang di sini?" Gie mengangguk. "Sampe kapan?" Lanjut Galang.

"Sampe masalah sama Stefan selesai. Besok kita berdua ke kantor pengacara buat mediasi. Ada tantenya Gie yang bakal bantu. Tante Yvonne satu-satunya orang di keluarga yang Gie percaya."

"Kenapa gue dibawa-bawa?"

"Stefan nuntut kita berdua."

"Oh. Gue lupa." Galang menggaruk pelipis. "Ngerepotin aja!" Keluh cowok itu akhirnya. "Kalo gue ikut, otomatis keluarga lo jadi tau dong lo lagi sama gue."

"Kita orang asing."

"Latar belakang gue bisa dilacak lah sama keluarga lo! Mereka bakal tau gue temennya Bian. Temennya Aldo. Ujung-ujungnya juga keliatan kalo kita saling kenal."

"Nggak bakal! Gie pastikan kamu nggak kelacak di radar mereka. Kamu cuma orang asing yang nolongin Gie. Besok kita pura-pura nggak kenal. Kamu dipanggil ke kantor pengacara karena tante Yvonne yang nyuruh."

"Astaga, ribet banget!"

"Kamu harus kerjasama. Kalo enggak, tante Yvonne nggak bisa bantu. Kamu mau dipenjara karena tuntutan si Stefan?"

Galang menghela napas berat. "Sekarang gue jadi nyesel nolongin elo."

"Siapa suruh nonjok orang nggak nanya dulu!"

"Lah elo waktu itu nangis pas muka lo dicengkeram sama cowok brengsek itu."

"Gie cuma akting! Biar dapet rekaman bukti buat lawan Stefan di pengadilan."

"Di sana ada CCTV yang nyorot semuanya."

"Kamera CCTVnya udah disabotase sama orang suruhan tante Yvonne biar keliatan rusak."

Galang mengelus dada tanpa sadar. "Pusing kepala gue."

"Kamu tinggal terima beres aja. Kerja sama biar kita sama-sama nggak dipenjara."

Galang hanya memandangnya. Dia kehabisan kata-kata.

"Lo tadi ke bengkel karena mau bahas ini?" Tanya Galang. Gie mengangguk.

Mereka sama-sama terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Udah malem. Lo istirahat, gih! Di kamar atas." Galang lebih dulu buka suara.

"Gie pinjem baju, boleh?"

Galang memandangi dress hitam sutra motif bunga dari Giambattista Valli berpotongan dada rendah yang nerawang di bagian kedua tangan Gie. Rambut biru Gie diikat ke atas, memamerkan lehernya yang jenjang.

"Gue cuma ada kaos. Kebesaran buat lo. Nggak papa?"

Gie mengangguk, diam-diam merasa amat bersemangat karena bisa pakai baju milik Galang untuk tidur. Kalaupun tidak dipeluk pas tidur juga tidak masalah, toh Gie bisa mengendus baju milik Galang puas-puas.

***

Galang bangun pada pukul setengah dua pagi. Kedua matanya otomatis terbuka. Badannya juga reflek turun dari tempat tidur. Tujuannya kamar sebelah. Dia perlu mengecek keadaan Gie. Siapa tahu cewek itu tidur berjalan lagi dan tanpa sengaja mencelakai dirinya sendiri. Ini sudah kali kedua Galang terbangun untuk malam ini. Begitu melihat Gie masih meringkuk damai di atas tempat tidur, Galang kembali ke kamarnya. Sejam lagi dia akan bangun untuk mengecek ketiga kalinya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top