1 | TIPE IDEAL

2 Bulan yang lalu...

Berbekal Hp di tangan, Gie mencari apotek yang buka 24 jam di sekitar rumahnya. Setelah mencari selama setengah jam lebih, jauh dari komplek apartemennya, barulah Gie menemukan satu yang masih buka. Sialnya apotek itu sedang antri panjang.

Gie buru-buru turun dari mobil. Wajahnya panik. Ia ikut mengantri sambil berdoa dalam hati agar Dollar bertahan untuk menunggunya. Jam dua pagi begini tidak ada dokter hewan yang buka. Apalagi dr. Maria, dokter hewan langganannya juga sedang pergi ke Singapura untuk seminar selama seminggu. Nomornya tidak bisa dihubungi sama sekali.

Gie berdiri di antrian paling belakang, bergerak-gerak gelisah untuk menunggu giliran. Kedua tangannya sampai gemetar karena mengkhawatirkan keadaan Dollar yang tergeletak lemas karena muntah-muntah di rumah. Saking paniknya, Gie keluar rumah hanya dengan mengenakan piyama sutra warna peach berupa tanktop dan celana pendek berenda-renda. Kakinya beralaskan sandal bulu Chanel yang biasanya hanya ia kenakan di dalam rumah. Cewek itu bergidik saat angin dingin menerpa tubuhnya yang minim perlindungan.

Di depan Gie berdiri seorang cowok tinggi dengan rambut hitam agak gondrong hampir menutupi telinga. Kepalanya terlindung oleh topi hitam berlogo Nike. Gie menepuk pundak cowok itu dua kali.

Cowok itu menoleh. "Ya?" Salah satu alisnya yang terpotong naik ke atas.

"Boleh ambil antrian kamu nggak? Anak Gie sakit keras di rumah."

Tak tega melihat dagu bergetar seperti hampir menangis di wajah oriental Gie, cowok itu tak kuasa menolak. Ia mempersilahkan Gie berdiri di depannya, memotong antrian. Gie menggumamkan terima kasih.

Cowok itu memperhatikan sebuah masker penutup mata yang terpasang di puncak kepala Gie. Kemudian tatapannya beralih untuk menilai penampilan Gie dari atas sampai bawah.

Mungkin anaknya benar-benar sakit keras, sampai buru-buru keluar rumah dengan penampilan begini. Pikirnya.

Cowok itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa cowok yang sedang nongkrong dan tukang parkir kompak memandangi Gie dengan mata membelalak plus wajah mupeng. Cowok itu mendengus sinis.

Yang namanya laki-laki kalau lihat pemandangan bening gratis begini tidak akan ada yang menolak.

Tanpa pikir panjang dia keluar dari antrian untuk mengambil jaket yang ia tinggal di atas jok motor. Tak berapa lama ia kembali ke barisan dan menyerahkan jaket bomber coklatnya pada Gie.

Ia berdeham. "Mbak, dipake!"

Gie menerima saja jaket itu tanpa banyak bicara. Ia terlalu khawatir dengan keadaan Dollar sampai tidak kepikiran yang lain. Jaket itu ia sampirkan di atas kedua pundak, tanpa benar-benar mengenakannya.

Tiba saatnya giliran Gie.

"Ci, Lectade satu ya?"

Wajah apoteker itu agak bingung, namun ia tetap mengetikkan obat yang diinginkan oleh Gie di komputer. "Maaf itu obat apa ya, mbak?"

"Isotonik. Oral rehydration."

Melihat wajah bingung sang apoteker, Gie akhirnya menunjukkan gambar dari Hpnya.

"Mbak, kan itu buat hewan."

Gie memutar bola mata. "Memang. Buat anjing pom Gie. Umurnya tiga tahun." Terdengar suara berdeham dari arah belakang. Asalnya dari ibu-ibu yang berdiri di belakang cowok tadi. Ibu-ibu itu memberi isyarat pada Gie agar tidak berlama-lama. Gie baru sadar kalau antrian di belakangnya sudah mengular lagi.

"Maaf di sini nggak jual obat untuk hewan, mbak."

Gie gelisah. Ia memejamkan mata untuk membantunya mengingat-ingat.

"Ah! Pedialyte kalo gitu. Pasti ada, kan?" Gie menyebutkan larutan elektrolit yang umum dikonsumsi manusia.

Apoteker itu akhirnya tersenyum. "Berapa, mbak?"

"Satu aja. Yang paling gede."

Apoteker pamit sebentar untuk mengambilkan obat di belakang.

Gie merasakan bahunya ditepuk dari belakang.

"Anaknya sakit apa, mbak?" Cowok yang tadi meminjamkan jaket bertanya.

"Muntah-muntah. Lemes. Kamu juga punya anak? Jenisnya apa?"

"Saya belum nikah, mbak."

"Gie juga belum."

Oh. Cewek ini sangat open minded rupanya. Kok dia nanya jenis sih tadi? Jenis kelamin maksudnya?

"Anaknya jenis apa, mbak?" Cowok itu merasa geli sendiri karena menganggap pertanyaan itu aneh.

"Pomeranian. Umurnya tiga tahun."

Ha? Jenis pomeranian? Kok mirip-mirip sama anjing?

"Itu manusia atau anjing?" Akhirnya cowok itu memberanikan diri bertanya.

"Anjing."

Ah elah, kampret! Rugi amat tadi bersimpati ngasih antrian ke cewek ini!

"Mbak, totalnya Rp 71.000,-." Apoteker itu membungkus pesanan Gie.

Gie bersiap-siap untuk scan tagihannya, bermaksud untuk membayar. "Barcode paymentnya?"

"Di sini cuma bisa tunai, mbak."

Ekspresi Gie berubah. Mata sipitnya memicing pada apoteker itu. Membuat ekspresinya kelihatan lebih judes dari aslinya.

"Kok nggak bisa? Gie nggak bawa dompet."

Lagi-lagi terdengar suara berdeham dari arah belakang. Gie langsung berbalik dan menunjukkan senyum indahnya pada sumber suara.

"Maaf, bu. Gie masih transaksi. Sebentar, ya?" Keramahan dan keelokkan wajah Gie membuat siapapun yang melihatnya terdiam. Termasuk cowok yang berdiri di belakangnya.

"Gimana, mbak? Mau bayar sekarang atau..."

Gie menggigit bibir bawahnya gelisah. Spontan ia berbalik lagi untuk memandang cowok baik yang berdiri tepat di belakangnya.

Kenapa lagi nih, cewek? Pikir cowok itu agak curiga.

"Gie boleh pinjem uang?"

Cowok itu menghela napas. Akhirnya ia maju ke depan untuk memesan beberapa obat batuk dan demam. Ia menyuruh sang apoteker untuk menjadikan satu belanjaannya dengan milik Gie.

Selesai membeli, Gie tergesa menuju mobilnya. Saat membuka pintu mobil, ia baru teringat kalau jaket cowok tadi masih menempel di badannya.

"Eh, jaketnya!" Cowok yang kebetulan juga sedang berjalan ke arahnya itu mengangguk. Kedua matanya memandangi mobil merah yang dikendarai oleh Gie. Ia bersiul kagum.

"Porsche 911 Turbo S ya, mbak? Dapet harga berapa? Kok udah masuk Indonesia, sih?"

Gie heran melihat cowok itu jadi berubah 180 derajat saat bertemu mobil Gie. Ngerti mobil juga ternyata. Tangan Gie langsung bersedekap.

"Dikirim dari Jerman."

"Kenceng?"

"560 horse power."

Cowok itu terkejut dengan pengetahuan Gie tentang mobil yang dikendarainya. Ia belum pernah kenal cewek tajir yang ngerti spesifikasi mesin. Jangankan cewek, cowokpun jarang yang mengerti. Kebanyakan dari mereka hanya punya mobil sport bagus tanpa tahu banyak tentangnya. Mereka cuma ingin menunjukkan kalau mereka mampu beli.

Cowok itu tergelitik untuk mengetes Gie lagi. "Mesinnya berapa CC?"

"Yang ini 3800 CC, konfigurasi 6 silinder. Pilihannya antara ini atau Maserati GranTurismo. Agak boros bahan bakar juga. Mau Gie jual kalo nemu pembeli yang cocok. Gie mau pake Maserati aja. Tenaganya lebih kenceng."

Cowok itu menutupi rasa takjubnya dengan sebuah senyum. "Maserati GT banyak yang denger, tapi jarang yang liat. Nggak tau deh di Indonesia ada yang punya ato enggak."

Gie manggut-manggut. "Nanti Gie jadi salah satu yang punya. Tapi harus jual yang ini dulu. Garasi Gie nggak cukup."

"Lo anak klub mobil mana?" Cowok itu memutuskan untuk bicara santai padanya, karena perawakan dan wajah Gie yang nampak seperti cewek berusia awal dua puluhan. Atau mungkin masih sembilan belas.

Gie menggeleng. "Gie nggak ikut klub mobil." Ia melepas jaket dan mengembalikannya pada cowok itu.

"Muka lo kayak familiar." Ujar cowok itu.

Gie tersenyum simpul. "Mungkin liat di medsos. Atau mungkin kamu jadi salah satu follower Gie."

Cowok itu tertawa kecil. Ia mengulurkan tangannya. "Galang."

Gie hanya memandangi tangan yang terulur itu, enggan untuk menerima. "Nomor Hp kamu berapa?" Gie mengabaikan ajakan perkenalan dari Galang. Ekspresi Galang sama sekali tak tersinggung. Ia menurunkan tangannya.

"Diajak kenalan nggak mau, tapi minta nomor Hp." Cibir Galang, masih dengan senyum.

"Gie mau ganti uang yang tadi."

"Nggak usah. Nggak bikin gue miskin, kok."

"Berapa nomor Hp kamu?"

Galang mengernyit. "Dibilangin nggak usah."

"Katanya mau kenalan? Kalau kenalan ntaran aja. Gie lagi buru-buru."

Galang tersenyum lagi. "Nggak jadi, deh. Gue udah tau nama lo. Gie, kan?"

Gie mengangguk. "Jadi nomor Hpnya?" Gie bersiap menyimpan nomor Hp Galang. Berniat untuk mengajaknya makan kapan-kapan. Bukankah cowok senang diperlakukan begitu, menganggap cewek yang sedang diajaknya kenalan memberikan sinyal baik untuknya?

"Sori, gue udah punya pacar."

Loh, kok?

Galang berbalik pergi sambil mengenakan jaket. Ia naik ke motor BMW-nya. Gie ditinggal. Begitu saja.

"Baik, ramah, setia." Gumam Gie sambil tersenyum tipis. "Tipe ideal." Gie memiringkan kepala sedikit, memandangi punggung dan motor cowok yang makin menjauh itu. Lalu ia teringat Dollar yang masih terbaring sakit di rumah. Buru-buru ia masuk mobil dan ngebut pulang.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top