7. MTAL - Pasangan Serasi
Siap ketemu Ana dan Pierre?
Sebelum baca, pastikan dulu VOTE part ini yok. Jadilah readers yang budiman. Jangan sider, coba hargai penulis. Yang udah vote tapi belum comment, semoga bakal ada kemajuan. Mendadak kasih comment😁
Semisal masih ada typo, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan. Happy reading...
°°°
Mata Ana mengerjap berkali-kali. Tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Nenek di depannya berkata ia dan Pierre merupakan sepasang pengantin baru. Pakai menanyakan usia anak pula. Sementara Pierre, pria itu mungkin bereaksi sama seperti Ana. Bedanya, pria itu lebih tenang menyikapi ketimbang Ana.
"Nek, maaf. Kami berdua... Bukan pasangan." kata Ana meluruskan. Ia menunjuk dirinya sendiri dan Pierre di sebelah.
"Bukan pasangan?" ulang Nenek itu kurang yakin. Nenek itu bahkan menurunkan sedikit kaca matanya, untuk melihat lebih teliti Ana dan Pierre di depan.
"Yaps, bukan. Dia ini... Dia... Teman saya. Kami mau beli susu untuk Anak atasan kami. Begitu, Nek."
"Oalah..." setelah sesaat terdiam, akhirnya Nenek itu paham. Beliau tertawa. "Maaf-maaf, saya sudah salah sangka. Saya pikir, kalian pengantin baru. Habis kalian serasi sekali."
Ana dan Pierre serentak saling pandang, begitu Nenek di depan mereka mengatakan mereka serasi. Padahal kenyataannya tidak sama sekali. Serasi dari mana. Setiap bertemu saja, bawaannya mereka ingin bertengkar terus.
"Jadi, berapa umur Anak Atasan kalian itu?"
Ana menoleh ke Pierre, lalu ia merapatkan tubuh dan berbisik. "Umur Ade berapa, sih? Kasih tau oy, gue gak tau."
Pierre berdecak. Dalam hati, Pierre merutuk, "Wanita ini banyak tidak tahunya. Lantas apa yang ia tahu?"
"Lima tahun." jawab Pierre singkat, setelah ia membatin.
Ana mengangguk seraya ber-o ria. Kemudian Ana memberi tahu Nenek itu sesuai informasi yang ia dapat dari Pierre.
"Umurnya lima tahun, Nek."
"Oh, lima tahun. Sepertinya itu susu khusus Anak lima tahun." Nenek itu menunjuk deretan susu ke tiga. "Ada banyak pilihan merk. Kalian tinggal pilih saja."
"Eh? Iya, Nek. Btw, makasih banyak ya, Nek." jawab Ana tersenyum canggung dengan hati membatin gusar.
"Njir, sama aja tau gak?! Gue juga gak tau merk susu Ade yang mana! Nih Ajudan cogan, gue rasa juga gak tau susu Ade merknya apa." saat membatin, Ana sekilas melirik Pierre dengan alis mengeret.
Pierre menyadari hal itu. Melihat alis Ana yang menunjuk rasa kesal, Pierre hanya bereaksi datar. Ia tidak tahu apa yang Ana pikirkan dengan ekspresi tajam seperti itu. Pra-duga Pierre, Ana pasti tengah membicarakannya di otak atau batin. Dan itu benar.
"Sama-sama. Kalau begitu, saya lanjut belanja lagi. Oh, ya, saya juga doakan semoga kalian memang menikah! Hahaha!"
Sontak Ana dan Pierre melongo. Mereka menatap cengo kepergian Nenek tadi yang setelah berucap, beliau juga tertawa. Ucapan Nenek itu berbalut doa serta harapan, lantaran ia sudah merasa cocok dengan Ana dan Pierre dalam sekali temu.
Ana berdehem canggung. "So... Susu Ade merk-nya apa? Jangan bilang lo juga gak tau?"
Pierre berdecak mendapati tudingan Ana. "Mungkin yang itu,"
Pierre kemudian menunjuk salah satu susu di deretan yang sebelumnya Nenek tadi beri tahu. Ana memicingkan mata, coba melihat kotak susu mana yang Pierre tunjuk. Setelah tahu dan ia selidiki benar-benar, Ana lantas mengajak Pierre bergegas mengambil susu itu supaya bisa pulang.
"Yok lah, Mas Ajudan! Temenin gue ke sana."
"Kenapa pakai ngajak-ngajak segala? Anda kan bisa ke sana sendiri. Lagipula itu dekat."
Ana menoleh ke Pierre yang bersedekap dada. Ana lalu menggeram kesal. "Lo kan Ajudan! Kalo gue kenapa-kenapa pas ke sana, gimana? Semisal ada penculik, terus gue di bekap dan di bunuh, gimana? Terus, mayat gue di buang ke dalam sumur yang diameternya tujuh puluh lima senti, ke dalamannya cuma dua belas senti. Gimana, hayo? Lo mau tanggung jawab?"
"Hiperbola, mana muat manusia masuk ke dalam sumur sekecil itu." cibir Pierre dengan mata berputar malas.
"Yeee, ngeyel lo di bilangin. Ada tau! Entar lo ketemu dah!" ucap Ana asal-asalan, sedetik kemudian ia terbelalak. Ucapannya tadi merupakan spoiler.
"Hih, astaghfirullah Ana... Kamu ini berdosa bangeettt!"
"Cepatlah!" ajak Pierre setengah hati. Pada akhirnya Pierre mau ikut pergi menemani Ana ambil susu di sana. Melihat keinginannya terpenuhi, Ana terkikik senang.
Setelah mengambil susu, mereka lalu pergi ke kasir untuk membayar barulah bisa pulang. Saat perjalanan menuju kasir, suasana agak ramai. Banyak orang-orang melintas. Saking banyaknya orang, Ana sampai tertingal jauh di belakang. Karena takut Ana hilang, Pierre putuskan untuk memperlambat langkahnya.
"Aishh, lama sekali! Sudah ku pelankan langkah, tapi dia masih saja jauh di belakang." gerutu Pierre. Tidak mau menunggu lebih lama lagi, Pierre putuskan berbalik ke belakang menghampiri Ana.
Sesuatu yang tidak terduga terjadi. Datang-datang Pierre langsung menyambar pergelangan tangan Ana, tanpa sepatah kata terucap. Pierre menggenggam tangan wanita itu. Menggeretnyanya paksa, sehingga langkah Ana jadi lebih cepat mengikuti dia di belakang.
"Demi bulu ketek Alaska yang baunya sampe ke Bikini Bottom! Gue digandeng cogan dong! Ya Allah! Sesek napas gue! Cepetan dah balik mobil, rasanya mau ngejatohin diri di lante gueee! Aaaghhh!"
Selesai membeli susu, mereka pergi ke parkiran. Mereka berdua benar-benar menunggu Mitzi dan Roos di sana. Tidak ada percakapan yang tercipta. Pierre dan Ana, dua orang itu sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sampai suatu ketika, Ana yang terlebih dahulu bicara. Ana memanggil nama Pierre lantang.
"Pierre!"
Sontak Pierre menoleh. Salah satu alisnya terangkat penuh tanda tanya, alasan apa yang membuat Ana memanggilnya.
"Gue mau nanya deh,"
"Apa?"
"Tapi, ini agak ke pribadi sih. Emm, gue gak yakin lo mau jawabnya." ujar Ana ragu. Pierre melihat keraguan itu. Pierre yang hanya diam saja tanpa respons apapun, sudah Ana ambil kesimpulannya bahwa Pierre tidak mengizinkan.
"Apa dulu yang mau Anda tanyakan?"
Dagu Ana spontan terangkat. Ana menatap Pierre tidak percaya. Dugaannya tadi ternyata salah. Ana pun berdehem sebentar, menyiapkan diri untuk melontarkan pertanyaannya kepada Pierre nanti.
"Kayaknya lo orang berada ya. Em, maksudnya, orang mampu gitu. Keliatan dari perawakan lo dan saudara-saudara lo."
"Ya, saya memang orang yang cukup berada. Itu bagi orang-orang. Ayah saya adalah seorang Dokter Spesialis Jiwa. Memangnya kenapa dengan itu?" sela Pierre, belum sempat Ana menyudahi ucapannya.
Gara-gara Pierre menyela, Ana jadi merasa canggung lagi. Menurut Ana, Pierre sudah nampak menunjukkan aura tidak senang dengan topik pembahasan ini.
"Itu... Emm. Ke--kenapa lo harus susah-susah jadi Tentara? Seorang Ajudan pula. Dengan jabatan Papa lo, lo bisa dapet pekerjaan yang lebih." tanya Ana, berusaha memberanikan diri melanjutkan pertanyaannya yang sempat tertunda.
Sebenarnya Ana sudah tahu jawabannya. Ana tahu benar mengenai latar belakang keluarga Pierre yang berada. Hanya saja, Ana ingin mendengar jawaban ini langsung dari mulut Pierre. Ana melirik takut-takut Pierre yang menatapnya tanpa berkedip. Sungguh, Ana takut pertanyaannya menyinggung perasaan Pierre.
"Pertanyaan klasik yang sudah sering saya dengar dari orang-orang," kata Pierre. Akhirnya pria itu bersuara setelah lama terdiam. Sekilas Ana melihat seulas senyum samar di bibir Pierre. "Keluarga saya sudah dapat banyak dari Negara. Sekarang, saatnya saya jadi milik Negara."
Ana tercengang dengan jawaban yang Pierre berikan. Kata-katanya tadi adalah contoh kecil, bagaimana seorang Pierre Tendean mengetahui di mana kaki dia berpijak pada apa yang dicita-citakannya sejak awal. Menjadi prajurit dan mengabdi kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Seketika Ana terharu mendengar jawaban Pierre itu. Kisah hidup Pierre pun mendadak masuk dalam pikirannya. Bagaimana Kapten Pierre Tendean ini ditembaki di adegan film G30S/PKI yang ia tonton. Melihat sosok Pierre yang masih sehat bugar di hadapannya, membuat Ana sulit membayangkan jasad terakhir Pierre ketika di angkat dari lubang buaya.
"Nona, Anda kenapa? Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya Pierre, mulai panik tatkala melihat mata Ana berkaca-kaca. Setelah itu setetes air mata Ana jatuh. Menambah rasa panik Pierre.
"Nona, kenapa Anda menangis? Nona Ana. Hei. Anda bisa mendengar suara saya? Nona?" tanya Pierre lagi.
Pierre bahkan memberanikan diri menepuk pipi Ana, demi menyadarkan wanita itu. Pasalnya Ana tidak memberikan respons. Wanita itu hanya terdiam kaku dengan air mata yang terus mengalir.
"Nona Anasthasya!"
Grep!
Sesuatu yang tidak terduga oleh Pierre sebelumnya, terjadi dalam durasi singkat. Ana tiba-tiba memeluk Pierre erat, ketika tubuh pria itu mendekat sibuk menepuk pipinya. Ana tidak tahu apa yang mendorongnya sampai nekat memeluk Pierre. Yang pasti, Ana terharu dan sedih.
"A--pa yang. Nona, lepas! Anda jangan memeluk saya begini, tidak enak dilihat orang!" berontak Pierre, tapi pelukannya belum juga Ana lepas. Ana malah meracau ucapan aneh.
"Makasih, ya. Makasih banget. Maaf gak bisa nolong kamu di malam itu. Maaf... Ba... Badan kamu pasti sakit semua, ya. Di... Di sana pasti gelap dan sempit, kan? Iya, kan? Hiks, hiks!"
Beberapa detik Pierre sempat tertegun mendengar segala racauan Ana. Timbul lipatan bingung di dahinya. Pierre tidak paham dengan situasi yang menimpanya sekarang. Tapi, Pierre tetap berusaha melepaskan pelukan Ana.
"Aghh, Nona... Lepas! Jangan begini!"
Namun naas, pelukan Ana ini belum berhasil terlepas juga sampai Mitzi dan Roos datang. Mitzi dan Roos yang serempak membuka pintu belakang mobil, dikejutkan dengan adegan yang mereka lihat.
"Astaga Pierre! Lagi?!"
"Ya Tuhan, Kakak!"
"Tidak! Ini tidak seperti apa yang kalian lihat!" geleng Pierre yang masih berusaha melepaskan pelukan Ana. Ini kali kedua Mitzi memergokinya dalam posisi dekat sekali dengan Ana.
"Ya Tuhan, tolong lah! Kenapa hari ini aku sial sekali?!"
°°°
Besok harinya, tibalah saat Mitzi dan Roos pulang ke Semarang. Pierre yang mengantar mereka ke stasiun kereta pada sore hari sekitar jam empat. Di saat itu, ia sudah bebas dari jam tugas sebagai Ajudan Jendral Nasution. Ana turut hadir mengantar dua saudari Pierre. Tapi bukan Pierre yang mengajak, melainkan Mitzi dan Roos. Siapa lagi jika bukan mereka berdua. Terpaksa Pierre mengajak Ana, kalau bukan karena keinginan saudari-saudarinya itu.
"Hati-hati diperjalanan. Titipkan salamku ke Papi dan Mami di Semarang. Semoga kalian sehat selalu." pesan Pierre, seraya memeluk Mitzi dan Roos bergantian.
"Kamu juga, Pierre. Makan jangan telat, jaga kesehatan." balas Mitzi. Ia mendapat laporan, kalau Pierre suka telat makan.
Pierre tertawa garing. "Akan ku usahakan."
"Diusahakan, harus!" tekan Mitzi dengan bibir cemberut. Lalu sorot matanya beralih ke Ana. "Anaaa, teman baru kuuu!"
Kedua wanita itu lantas berpelukan. Tak lama Roos ikut bergabung. Jadilah mereka bertiga saling berpelukan erat satu sama lain. Pierre sebagai pria berusaha memaklumi sikap wanita jika bertemu teman wanitanya. Pasti heboh.
"Kamu juga Ana, jaga kesehatan. Betah-betah di rumah Pak Nas."
"Iya, Mitz. Kamu juga loh. Roos." tatapan Ana mengarah ke Roos. "Jaga kesehatanmu juga. Pokoknya kalian sekeluarga."
"Iya, Ana. Semoga lain waktu kita bisa bertemu lagi!" kata Roos antusias. Wanita itu menggenggam kedua telapak tangan Ana erat.
"Kalau ada kesempatan." angguk Ana disertai senyum haru. Senang rasanya bisa berkenalan dengan Anak-anak keluarga Tendean. Tidak melalui cerita orang lagi, melainkan secara langsung.
Lama berbincang, Mitzi dan Roos pun masuk ke dalam kereta karena kereta akan segera berangkat. Roda kereta mulai bergerak. Seiring kereta pergi, tak henti-hentinya Ana melambaikan tangan.
Kereta sudah lumayan menjauh, namun Ana masih belum beranjak pergi. Pierre yang melihat itu jengah. Pria itu pun memutuskan pergi sendiri kembali ke mobil, meninggalkan Ana seorang diri. Pierre pikir, Ana pasti akan sadar lalu mengejar kepergiannya.
Tapi ketika di penghujung stasiun, sedikit lagi menginjak ke pintu keluar, kaki Pierre spontan berhenti melangkah. Perasaannya mendadak tak karuan sudah meninggalkan Ana.
Pierre lantas berbalik. Di belakangnya, tak ia temukan sosok Ana. Ia hanya melihat beberapa orang yang melintas. Langsung saja perasaan tak karuan Pierre itu berubah cemas.
"Ke mana dia?" monolog Pierre gusar. Pierre menatap ke segala penjuru arah, tetap saja sosok Ana tidak ia temukan.
Pierre mulai melangkah mencari sosok Ana. Membelah kerumunan orang-orang. Terus mencari dengan rasa panik menyelimuti, akhirnya Pierre menemukan Ana. Wanita itu berada tak jauh dari tempat semula ia melepas kepergian Mitzi dan Roos.
Pierre kemudian mendekati wanita itu yang tengah membantu pedagang kerupuk. Begitu sampai, Pierre malah dimarahi Ana. Padahal seharusnya ia yang marah terhadap wanita itu.
"Heh, Mas Ajudan! Bantuin nih! Yee, ngeliat doang! Lo ke mana aja sih, tadi?"
"Anda yang ke mana saja?!" timpal Pierre ngegas, sembari membantu Ana memungut bungkus-bungkus kerupuk si pedagang yang jatuh berserakan.
"Lo gak liat, gue tetep di mari? Masa cewek cantik macam Bidadari turun dari Syurga jatuh ke hatimu ini, lo gak liat?"
Diri Pierre bergidik ngeri mendengar pengakuan pede Ana terhadap dirinya sendiri. Membandingkan dirinya dengan Bidadari. Pasti kalah jauh. Tidak ada mirip-miripnya. Ana lebih mirip hantu ketimbang Bidadari. Itu yang Pierre lihat.
"Terima kasih ya, sudah menolong saya. Maaf, jadi merepotkan." ujar Ibu-ibu si penjual kerupuk itu, setelah semua kerupuk dagangannya terpungut.
"Gak masalah, Bu. Santuy itu mah. Btw, kerupuk Ibu kenapa bisa jatoh? Ibu ditabrak orang lewat?" tebak Ana kelewat suudzhon. Mata Ana memicing curiga.
Ibu itu yang mendengar ucapan salah sangka Ana, malah tertawa. Ibu itu pun meluruskan. "Bukan. Saya jatuh sendiri. Mungkin karena kelelahan, belum makan seharian."
"Ih, kok Ibu belom makan? Makan dong Bu, entar sakit loh."
"Mau makan apa, Dek? Uang saja tidak punya. Kerupuk-kerupuk saya satupun belum ada yang terjual." ungkap itu sedih, tapi berupaya bercerita dengan senyuman.
Hati Ana yang mendengar jadi tersentuh. Hatinya tergerak ingin membantu. Tapi, nasib dia pun juga sama seperti Ibu itu. Sama-sama tidak punya uang, terlempar ke zaman ini dalam keadaan miskin. Hanya ponsel yang ia miliki sebagai satu-satunya barang kekayaan. Tidak mungkin ponsel itu ia jual.
Melintas sebuah ide di otak Ana, tatkala bola matanya mengarah ke Pierre di sebelah. Akhirnya ia tahu bagaimana masalah ini bisa terpecahkan.
"Ibu, tunggu sebentar di sini ya. Sebentar aja, entar saya balik lagi." pesan Ana, lantas ia menarik tangan Pierre menjauh untuk mengikutinya. Perlakuan Ana itu tentu membuat sang empu yang punya tangan terkejut.
"Heh, heh! Kenapa Anda narik-narik tangan saya begini? Lepas! Tidak sopan!"
Sesuai apa yang Pierre mau, genggamannya Ana lepas kasar. Bibir Ana mengerucut. "Tuh, udah gue lepas!"
Pierre berdecak, menarik tangannya jauh dari Ana. Ia mengusap tangannya berkali-kali. Usapannya tepat di posisi cekalan Ana tergenggam.
Tubuh Ana mendadak saja mendekat ke Pierre. Tingkah Ana yang drastis berubah aneh, langsung memberi sinyal peringatan bahaya ke Pierre.
"Mau apa, Anda?" tanya Pierre curiga. Perasaannya tidak enak.
"Minta duit dong." kata Ana, singkat padat dan tidak bertele-tele. Ana juga mengangkat telapak tangannya ke atas.
"Hah, buat apa?" kaget Pierre. Giliran Ana lagi yang berdecak.
"Buat Ibu tadi lah. Lo gak denger, Ibu tadi belom makan karena gak ada duit? Lo gak kasian dengernya? Wah, sumpah, kalo lo gak kasian... Fix sih! Lo gak berperikemanusian! Dih, ganteng-ganteng kejam!" cerocos Ana panjang lebar, padahal Pierre hanya melontarkan pertanyaan singkat. Harusnya Ana beri balas singkat juga.
"Jangan suka ngomong yang tidak-tidak!" gerutu Pierre.
Selanjutnya tangan pria itu tampak merogoh-rogoh saku celana yang ia kenakan. Sadar Pierre akan mengeluarkan uang sesuai permintaannya, Ana mengintip hal itu diam-diam dengan senyum senang.
Dan benar saja. Sebuah dompet keluar dari saku celana pria itu. Beberapa lembar uang, Pierre ambil. Rencananya, Pierre sendiri yang mau memberi uangnya kepada Ibu itu, tapi didahului oleh Ana. Seenaknya saja tangan wanita itu mengambil sembarang salah satu lembar uang yang Pierre keluarkan.
"Hei!"
"Makasih yak!" ucap Ana sambil terkikik geli. Uang yang Ana ambil bernilai lima ribu rupiah. "Gue balik ke sana dulu yak, ngasih nih duit ke Ibu itu. Lo ikhlas gak nih? Harus ikhlas, lo! Jangan gak ikhlas, Yer, itung-itung sedekah. Gini kan enak, makin cakep deh lo. Udah yak, gue ke sana. Makasih sekali lagi manieezz!"
Sebelum Ana melangkah pergi kembali ke tempat Ibu tadi, sekilas ia sempat mencubit pipi Pierre gemas. Sontak Pierre memegang syock pipinya yang baru saja Ana cubit. Cubitan singkat itu ber-efek sangat besar bagi Pierre. Gara-gara itu, jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Pierre sendiri yang punya badan, tidak mengerti apa yang tengah ia rasakan.
"Wanita aneh. Suka sekali buat orang jantungan."
Tidak mau ambil pusing, Pierre memutuskan untuk menghampiri Ana di sana. Dari kejauhan wanita itu tampak memberikan selembar uang lima ribu yang tadi ia beri, kepada si Ibu penjual.
"Bu, saya beli kerupuknya."
Ibu penjual itu terkejut, namun tidak bisa menahan rasa bahagianya. Akhirnya ada pembeli. "Mau beli berapa bungkus kerupuknya?"
"Emm, kalo semua berapa?"
"Se... Semua? Adek mau beli semua kerupuk saya ini?" tanya Ibu itu kurang yakin. Ana mengangguk santai. Anggukan Ana itu jadi menepis rasa kurang yakin Ibu tadi. Tersadar, beliau melanjutkan. "Se... Semuanya seribu, Dek."
"Yaudah, saya beli semuanya." Ana menyerahkan selembar uang lima ribu ditangannya ke si Ibu.
Ibu itu menerima dengan rasa terkejut. "Dek, uangnya besar sekali. Ibu tidak punya kembaliannya."
"Gak usah pakek kembalian, Bu. Kembaliannya ambil aja untuk Ibu."
"Se... Serius, Dek?" tanya Ibu itu, lagi-lagi dibuat terkejut dengan tindakan Ana. Dan lagi-lagi pula jawaban yang ia terima sama. Anggukan kepala mantap oleh Ana.
"Saya beli ya, Bu."
"Iya, Dek. Terima kasih banyak." girang Ibu itu seraya menyerahkan semua kerupuk yang telah Ana beli.
"Sama-sama, Bu."
"Ibu doakan, semoga Adek dan Suami sehat selalu, panjang umur, dan banyak diberikan rezeki yang berlimpah." doa Ibu itu sembari tersenyum tulus terpancar, yang berbanding terbalik dengan respons Ana dan Pierre. Dua orang pria dan wanita itu terkejut. Sudah dua kali dalam satu hari ini, mereka dikira pasangan suami istri.
"Ng... Bu, mon maap nih. Dia bukan suami saya."
"O--oh? Hahaha, maaf, Dek. Saya kira suami istri tadi, soalnya serasi sekali." kekeh Ibu itu yang Ana balas pula dengan kekehan garing. Ana dan Pierre saling lirik canggung berkat ucapan Ibu itu.
"Tapi, saya doakan moga berjodoh, karena sayang serasi begini." sambung Ibu itu tidak terduga, menyentak Pierre dan Ana yang kesekian kalinya.
"Aamiin yaa rabbal a'lamiin!" jawab Ana sementara di batinnya. Tidak Ana sia-siakan doa Ibu itu, terlepas ia tahu doa itu tak akan jadi nyata.
°°°
Setelah lama berkelana di jalanan, tibalah Ana dan Pierre kembali ke kediaman Jendral A. H. Nasution. Di teras rumah, hadir Pak Nas dan Bu Nas yang duduk santai di kursi. Mereka melihat kehadiran Pierre dan Ana yang turun dari mobil. Dari kejauhan, Pak Nas dan Bu Nas melemparkan senyum ke dua orang itu. Senyuman itu Pierre dan Ana balas. Pierre juga memberi gerak hormat kepada Atasannya di seberang.
Ana berjalan girang menghampiri Pak Nas dan Bu Nas diteras. Kedua tangan Ana yang menenteng banyak kerupuk, menjadi perhatian utama Pak Nas beserta istri.
"Kerupuk dapat dari mana kamu, An?" tanya Pak Nas penasaran.
"Iya, An, banyak sekali. Siapa yang belikan?"
"Pas di stasiun kereta api tadi, Pierre yang belikan." jawab Ana, menoleh ke arah Pierre selaku objek yang ia ceritakan. Pada saat Ana menoleh, pas sekali Pierre tengah berjalan masuk ke Paviliun Ajudan.
"Pierre yang belikan?" ulang Pak Nas bertanya. Pria itu tersenyum simpul, mendengar penuh minat cerita Ana tentang Ajudan barunya.
"Iya, baik banget dia. Udah ganteng, baik, gak neko-neko. Cuma agak sensian aja sih, tapi tetap dikategorikan Ajudan idaman lah, Pak Nas." jeda tiga detik, Ana kembali berucap. Kata-katanya ini entah sadar atau tidak ia ucapkan. "Andai Ajudan Papa begitu. Mungkin, Ana bakal betah di rumah terus. Ini, Ajudan tua-tua semua macam Pak Suryo, Pak Hasan."
Selepas berucap demikian, Ana melenggang pergi masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Pak Nas dan Bu Nas dengan rasa terkejut.
"Tuh kan, Na! Apa saya bilang!"
"Iya, Nas, tapi Bapaknya Jendral yang mana? Kamu aja belum tau," tukas Bu Nas greget.
Alhasil, sepasang suami istri itu pikirannya di penuhi rasa penasaran dengan latar belakang Ana dan keluarga.
°°°
Bersambung...
Gimana part kali ini gezz? Wkwk, si Ana rempong banget ya mulutnya. Beda banget sama Pierre yang kalem. Tapi kok, bisa-bisanya mereka suka dikira pasangan suami istri. Serasi pula. Ketemu aja sering berantem, gimana bisa dikatakan serasi. Ngaco-nya buat hati deg-degan ya bund😂
Sudah baca part ini, jangan lupa VOTE & COMMENT-nya, ya. Hargailah Penulis dan jadilah Readers yang budiman😉
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top