6. MTAL - Mall Sarinah

Putar lagu yang sudah saya sediakan di mulmet ya. Cocok banget mengiringi Ana dan Pierre lagi di Mall. Semisal masih ada typo yang ditemukan, saya mohon maaf karena manusia tidak luput dari kesalahan. Budayakan vote sebelum baca. Comment juga karena komentar kalian adalah semangat saya. Happy reading🤗

°°°

Mitzi membekap mulutnya, syock melihat posisi Pierre dan Ana saat ia datang. Dua orang beda gender itu berada dalam posisi saling berhadapan dan dekat pula. Posisi yang intim untuk sepasang insan.

"Oh, astaga kalian!" pekik Mitzi, mengangetkan Pierre dan Ana.

Saat melihat kedatangan Mitzi, langsung saja Ana mendorong tubuh Pierre agar jarak mereka berjauhan. Ana menatap Mitzi panik, begitu pula Pierre.

"Mitzi, ini tidak seperti apa yang kamu lihat! Aku dan dia--"

"Sudah! Sudah cukup!" sela Mitzi, alhasil keinginan Pierre untuk menjelaskan gagal. "Aku sudah melihatnya dengan sangat jelas. Pierre, untung yang melihat baru aku. Semisal yang melihat tadi Pak Nas atau Bu Nas? Selesai sudah!"

"Tapi, Mitzi, kejadiannya bukan begitu. Dia ini yang--"

"Ada apa ini? Kok ribut sekali,"

Untuk yang kedua kalinya, penjelasan Pierre terputus. Kali ini penyebabnya karena kedatangan Roos. Adik Mitzi dan Pierre datang dengan wajah bingung, pasalnya dari kejauhan ia mendengar keributan.

"Bukan apa-apa, Roos!" tukas Mitzi cepat. Wanita itu tersenyum lebar menunjukkan deretan giginya. "Tadi itu hanya... Pierre. Dia mengoceh, kenapa kita lama sekali."

"Haduh Kakak, wajar bila wanita lama. Mereka ingin berdandan dulu." timpal Roos, tidak terima atas penjelasan Mitzi yang sebenarnya bohong. Jadi Pierre yang kena dampak masalah.

"Tapi, dia tidak lama tuh." tunjuk Pierre ke Ana, tapi detik berikutnya ia ralat. "Aku lupa, dia bukan wanita."

Ana terbelalak, "Apa lo bilang?"

"Apa? Saya bilang, kamu bukan wanita. Ada yang salah?" balas Pierre enteng, ia malah balik bertanya. Membuat Ana bertambah kesal.

"Heh! Anak TK aja tau kalo omongan lo itu salah! Jelas gue wanita lah, yakali transgender macam Lucinta Luna! Hellaw!"

Bola mata Pierre berputar malas mendengar Ana mengoceh panjang lebar. "Saya memang bilang kamu bukan wanita, tapi kamu perempuan. Makanya, dengar dulu penjelasan orang. Jangan langsung main di potong."

Mulut Ana terbuka sedikit. Paling bisa Pierre menyangkal. Ana tahu, itu hanya akal-akalan Pierre supaya tidak terlihat salah. Padahal sebenarnya maksud pria itu memang begitu. Ingin mengatakan bahwa Ana bukanlah wanita.

"Sudah-sudah! Sampai kapan kita pergi, kalau ribut terus? Ayo, masuk-masuk!" sergah Mitzi, menjadi penengah keributan. Mitzi menarik gagang pintu mobil jok belakang. Mitzi yang berencana duduk di belakang, langsung dicegah Pierre.

"Kamu mau apa, Mitz?"

"Jelas aku mau duduk, apalagi?"

"Kenapa kamu duduk di belakang? Biasanya kamu duduk di depan."

"Hari ini aku ingin duduk dan mengobrol bersama Roos di belakang. Jadi, Ana saja yang menggantikan posisiku di depan menemanimu." alasan Mitzi yang ditolak Pierre mentah-mentah.

"Tidak! Aku tidak mau! Lagipula mengapa kamu tiba-tiba mau duduk di belakang?" Pierre memicingkan mata curiga. Ia merasa ini adalah akal-akalan Mitzi semata.

Sementara Mitzi tertawa melihat Pierre sedang mencari kebohongan dikedua matanya. Mitzi pun menimpali dengan alasan logis. "Pierre, Ana ini pendatang baru di Indonesia. Jadi, dia memang seharusnya duduk di depan, supaya bisa melihat pemandangan kota Jakarta dengan leluasa."

"Terserah kamu saja lah!" dengus Pierre mengalah. Pierre berbalik, dan melangkah tergesa-gesa masuk ke mobil.

Menyadari Adiknya itu kesal, Mitzi hanya tertawa kecil. Kemudian ia beralih menatap Ana yang diam saja. "Nah, Ana, silahkan masuk. Duduk di depan ya."

Tidak ada penolakan dari Ana. Ia menurut saja, duduk di depan bersebelahan dengan kursi pengemudi. Pada akhirnya meski sempat Pierre tentang, Ana tetap duduk di depan.

Mobil itu pun bergerak keluar melewati pagar rumah Jendral Nasution. Selama perjalanan, sunyi sempat menyelimuti mereka di dalam mobil. Sebelum pada akhirnya Mitzi membuka topik obrolan.

"Jadi, An. Berapa umurmu? Tampaknya kamu masih muda sekali."

"Dua puluh tiga tahun, Mitz." jawab Ana, kepalanya menoleh sedikit ke jok belakang.

"Tuaan kamu An, dari pada aku. Umurku masih dua puluh satu. Apa aku harus memanggilmu Kakak?" kelakar Roos. Ana pun tersenyum menanggapi, lantas menolak usulan Roos.

"Nggak usah, Roos. Panggil pakai nama aku aja. Kalo pakek embel-embel Kak, aku merasa tua."

"Lagian di tahun gue hidup, lo lebih tua dari gue Roos." sambung Ana, namun lewat batinnya.

Di tahun Ana hidup, yaitu 2021. Ana memanggil Roos, Oma. Pernah sekali Ana bertemu Roos saat kunjungan ke TMP Kalibata tiap tanggal 1 Oktober. Dan di saat itu, ia menyalami Roos.

"Baiklah, baik..."

"Umurmu dua puluh tiga, An? Berarti kamu sudah kuliah?" tanya Mitzi, tidak memutuskan obrolan mereka. Obrolan antar wanita itu sepertinya akan terus berlanjut. Diam-diam Pierre menguping obrolan mereka seraya fokus menyetir mobil.

"Sudah,"

"Ambil jurusan apa?"

"Jurnalistik." jawab Ana jujur. Sengaja Ana sesuaikan dengan jurusan kuliahnya di masa depan.

"Hebat sekali. Jurnalistik!" seru Roos, menatap Ana kagum. Sedangkan Ana hanya mengulum senyum malu.

"Jurnalistik sangat dibutuhkan sekarang, An. Kenapa kamu tidak cari pekerjaan yang berhubungan dengan keahlianmu?"

"Iya, An. Kenapa kamu malah melamar pekerjaan di rumah Pak Nas? Sementara kamu bisa dapat pekerjaan yang lebih layak," sahut Roos membenarkan ucapan Kakaknya.

"Karena mungkin ini udah takdir aku, menjadi saksi sejarah GESTAPU. Makanya aku kelempar di sini."

Berbanding terbalik dengan batinnya yang menjawab demikian, Ana malah melontarkan jawaban lain ke Mitzi dan Roos.

"Percuma dapat pekerjaan mantap, tapi tidak nyaman selama bekerja di sana. Aku udah nyaman bekerja di rumah Pak Nas. Pak Nas dan keluarga juga sepertinya orang baik. Mereka udah banyak nolong aku."

"Tapi sayang loh, An. Kamu sudah sekolah tinggi-tinggi." ujar Mitzi lagi.

"Sudah lah, lagipula title itu adalah sebuah prestasi. Bukan untuk menjadi acuan sukses atau tidaknya seseorang."

Bersamaan kepala Mitzi dan Roos mengangguk paham. Alasan Ana masuk akal untuk mereka terima. Pierre sendiri yang mendengar jawaban Ana, sedikit merasa kagum. Dari sini, Pierre mulai tertarik mendengar lanjutan percakapan tiga orang wanita itu.

Tiba-tiba, tubuh Mitzi yang searah kursi duduk Ana condong ke depan. Mitzi menaruh dagunya di pundak jok mobil.

"Kalau kekasih, bagaimana? Apa ada pria yang berhasil memikat hatimu, An?" alis Mitzi naik turun menggoda Ana.

Pierre terbatuk kecil, mendengar pertanyaan yang Mitzi ajukan. Batuknya Pierre sempat mengintruksi Ana barang sejenak. Ketika Ana melirik Pierre, pria itu langsung memasang wajah serius. Seolah tidak peduli dengan obrolan mereka.

Di sebelah, Roos menepuk pundak Kakaknya. "Mbak ini. Sudah pasti Ana punya kekasih. Lah, wong, cantik begini. Lelaki mana yang tidak terpikat."

Saat kata lelaki terlontar, mata Roos melirik ke arah kursi pengemudi. Jelas Roos menyangkut pautkan Pierre dalam obrolan mereka. Sayangnya Pierre tidak sadar tengah dilibatkan.

"Apa sih, kalian? Nggak ada cowok-cowokkan! Semua cowok sama aja, bulshit!"

Tawa Mitzi dan Roos seketika pecah. Pengakuan Ana membuat mereka terkikik geli. Sementara Pierre mengerutkan dahi tidak suka. Itu tandanya Ana memukul rata semua lelaki. Padahal tidak semua lelaki begitu, termasuk dirinya.

"Tapi, masa kamu tidak pernah bertemu lelaki yang berhasil memikat hatimu, An?" ujar Roos agak heran. Mustahil wanita secantik Ana tidak pernah ada lelaki yang mendekati.

"Emm, gimana ya? Suka heran sama diri sendiri aku, Roos. Dapet yang cakep, obrolannya gak nyambung. Pernah nemu yang se-frekuensi, dianya udah punya pacar. Nyari yang mau, akunya yang gak mau. Muter-muter di situ doang, udah!"

Sekali lagi, Mitzi dan Roos dibuat tertawa dengan balasan Ana yang berujung curhat pribadi. Terlihat Pierre yang ikut mendengar curahan hati Ana, tersenyum samar.

"Sama seperti Pierre, tuh! Cocok kalian!" seru Mitzi, membuat Pierre yang awalnya menyentir mobil dengan tenang, mendadak menginjak rem. Beruntung ia berhenti karena memang sedang lampu merah.

"Kak! Hati-hati dong!" oceh Roos. Hampir kepalanya terhantuk belakang kursi kemudi.

"Aku sudah hati-hati Roos, tapi ini semua gara-gara Mitzi! Tiba-tiba menyangkut-pautkan namaku, apa-apaan?"

"Loh, benar kataku bukan? Kamu dan Ana ini nasibnya sama. Sama-sama tidak punya kekasih. Tidak ada yang salah dengan ucapanku tadi." balas Mitzi tidak mau disalahkan. Terjadilah perdebatan kecil di antara Mitzi dan Roos.

Di tengah-tengah perdebatan sengit antara Kakak beradik tersebut, diri Ana malah berdebat dengan pikiran. Seingat Ana, Pierre Tendean punya kekasih. Tapi mengapa setelah coba ia ingat-ingat, memori itu tidak ketemu. Ana mendadak lupa nama kekasih Pierre itu siapa.

"Bukannya Pierre udah punya kekasih, ya?" celetuk Ana, spontan menghentikan adu mulut Pierre dan Mitzi.

"Hah? Kekasih? Hahaha! Pria ini mana punya kekasih!" tawa Mitzi yang dibalas dengusan sebal oleh Pierre.

"Perasaan ada deh," gumam Ana terus mengingat.

"Hei, Ana. Aku ini Kakaknya, jadi aku tahu betul Adikku ini bagaimana."

"Semacam sudah tahu betul kamu tentangku!" gerutu Pierre yang didengar oleh Ana.

Ana lantas menoleh. Ia menatap Pierre kesal. "Dengar ya. Gue ini lebih tahu tentang lo, daripada lo sendiri yang punya badan."

Akibat ucapan Ana ini, mendadak suasana heboh di mobil berganti senyap. Ucapan Ana tadi menimbulkan tanda tanya besar bagi Mitzi, Roos, terutama Pierre yang Ana maksudkan. Lagi-lagi mulut ember Ana membocorkan perkara rahasia.

Sebelum orang-orang bereaksi, cepat-cepat Ana meralat ucapannya. "Eh, canda doang elahh! Tegang amat mukanya, awokawok!"

Meski Ana sudah meralat ucapannya, ditambah pula dengan tawa garing. Mitzi, Roos, dan Pierre masih memasang sikap sama. Tegang dengan tatapan bingung saling bertanya satu sama lain.

Akhirnya salah satu dari mereka berceletuk. Ikut mengentaskan situasi canggung. Orang itu adalah Roos.

"Emm, radio diputar saja Kak. Setel musik, supaya suasana ramai sedikit."

"Radio jam segini tidak ada yang memutar lagu. Hanya ada berita." jawab Pierre, sedetik dari itu Ana menyahut.

"Roos mau denger lagu ya?"

Lontaran pertanyaan Ana, Roos beri anggukan kecil. Selanjutnya Ana tampak berpikir. Untuk mengabulkan permintaan Roos, ia bisa saja. Kebetulan Ana membawa ponsel masa depannya.

"Bakal nanya yang aneh-aneh kagak mereka, ya? Tapi, kalo gak makek musik, makin bakal canggung selama perjalanan." batin Ana bimbang.

Lama bergulat dengan batin dan pikirannya, Ana pun ambil keputusan untuk menyetel lagu lewat ponselnya. Ana pikir, itu tidak jadi masalah. Lagipula, di rumah Pak Nas ia sudah menjelaskan tentang ponselnya. Meskipun penjelasannya tadi tidak sepenuhnya benar.

"Boleh aku setel lagu lewat ini?" Ana mengangkat ponselnya. Menunjukkan ke Mitzi dan Roos. Sekilas Pierre juga ikut melihat, setelahnya ia mengarahkan pandangan ke jalan.

"Memang di benda itu, bisa memutar lagu?"

"Bisa," kepala Ana mengangguki pertanyaan polos Roos.

"Yasudah, boleh-boleh saja."

"Okedoki, Roos!"

Terlebih dahulu Ana memilih lagu yang hendak ia putar. Ana benar-benar mencari lagu yang pas. Sekalian mengenalkan lagu dari masa depan kepada orang di masa lalu. Akan jadi hal yang menyenangkan bila mereka tahu.

"Nih lagu keknya cocok, sekalian gue bisa joged-joded tiktok di mari." gumam Ana, terkikik geli ia setelahnya.

Ana yang terkikik sendiri, disadari oleh Pierre. Pria itu menatap Ana ngeri dari ujung ekor. Dugaannya benar. Wanita bernama Ana ini selain mengesalkan, dia juga tidak waras.

Lagu yang telah ia pilih pun, Ana sentuh. Sedetik dari itu, irama lagu mulai menggema. Sengaja Ana membesarkan volume suara sampai di batas maksimum.

Makanya...
Kalo ko cinta dia itu ko jaga
Sekarang su terjadi baru ko ganas
Ko bawa dia sudah biar ko puas!

Musik baru saja menggema, Ana sudah menggerakkan tubuhnya. Tingkah Ana itu tentu tidak luput dari tatapan Mitzi, Roos, dan Pierre.

Ada satu cerita tentang sebuah rasa
Yang muncul tiba-tiba
Hanya karna rasa suka
Sa ni tara tau kalo de ni suka sa
Akhirnya de pu pacar yang emosi sama sa

Ketika lirik lagu hendak masuk ke bait ketiga, gerakan Ana makin menggila. Seakan hanya ada dia saja di dalam mobil, mengabaikan Pierre yang mulai risih.

Jujur sa su bilang kalau sa ni tara tau
Sa juga tau diri tara mungkin sa mo ganngu
De yang gatal gatal sa
De yang mati gila sa
Skarang ko emosi baru ko mo rancang sa

Perlahan hentakkan musik melambat. Telunjuk Ana tanpa sadar menunjuk Pierre sebagai objek. Sesuai isi lagu ini, yang menceritakan kisah asmara rumit.

Makanya...
Kalo ko cinta dia itu ko jaga
Sekarang su terjadi baru ko ganas
Ko bawa dia sudah biar ko puas!

Tarik sisstt!

"Semongko!" seru Ana yang dari tadi hanya sekadar menggerakkan bibir, mengikuti nyanyian lagu. "AH, MANTAP!"

Jujur sa su bilang kalau
De yang gatal gatal sa
De yang mati gila sa

Gerakan Ana bertambah lincah. Gerakan wanita itu persis seperti gerakan tiktok yang sangat Ana hafal. Sejak lagu ini terputar, dan Ana asyik sendiri. Mitzi dan Roos hanya bisa terdiam menjadi penonton. Mereka cengo melihat Ana aktif sekali bergerak.

Jujur sa su bilang kalau...

"Mantap!

De yang gatal gatal sa
De yang mati gila sa, de sa de cukup!

Pierre berdecak, tatkala gerakan Ana makin tak terkontrol. Tapi anehnya Pierre tidak bertindak, semisal menghentikan Ana. Mungkin karena pria itu tidak tahu cara mematikan benda yang dari sana lah asal musik ini menggema.

Musik akhirnya berhenti selama empat menit berputar. Napas Ana naik turun, lelah sehabis bergerak lincah. Tak lama musik mati, Mitzi dan Roos yang ada di belakang serentak bertepuk tangan. Membuat Ana dan Pierre terheran-heran.

"Waaahh, hebat sekali kamu Ana! Dari mana kamu belajar gerakan selincah itu?! Kamu pernah ikut kursus tari?" kagum Mitzi mengira gerakan Ana barusan adalah tari. Padahal bukan.

"Hah, tari?" ulang Ana merasa ucapan Mitzi ada yang janggal. Sedetik kemudian Ana terkekeh. "Itu bukan tari, Mitzi. Tadi itu gerakan Dance."

"Dance? Hmm, apa bedanya dengan tari?"

"Tentu beda. Kalau tari kan, gerakannya gemulai dan teratur. Sedangkan yang tadi, beda jauh kan?"

"Hmm, benar juga." gumam Mitzi, setelah ia pikir-pikir ada perbedaan signifikan antara gerakan Ana barusan dengan sebuah tarian.

"Kapan-kapan ajari aku gerakanmu tadi ya?! Seru sekali!" pinta Roos antusias. Sang Kakak pun juga tertarik.

"Iya, An. Gerakanmu tadi sangat lincah. Cocok untuk membakar lemak. Hahaha!" Mitzi tertawa menyentuh area perutnya.

"Lemak apannya Mitz yang mau kamu bakar? Udah langsing begitu kok."

"Hih, ini karena ukuran bajuku saja yang longgar. Coba kalau ketat, kelihatan ada sedikit lipatan. Memang perlu gerakanmu itu, An."

"Jangan macam-macam Mitz, Roos." tegur Pierre, menghentikan obrolan ketiga wanita itu.

"Macam-macam apanya, Yer?" bingung Mitzi.

"Ingin mengikuti gerakan wanita ini. Gerakan aneh kok ya, diikuti."

Ana mendelik sinis mendengar komentar sewot Pierre. Diberi komentar seperti itu, Ana tidak tinggal diam. Ia pun menimpali. "Yeee, aneh dari mana sih? Lagi trending ini tuh, elahh! Lagian maklumin aja sih, namanya juga cewek. Sekedar ngobrol doang. Nih ya, kebiasaan cewek misal udah ngobrol  kalo nggak ngumpul lemak, ya ngumpul dosa."

Alis Pierre lantas saling bertautan. Tidak mengerti apa yang Ana bilang. Sementara Ana memalingkan muka ke samping, tidak ada lagi percakapan setelah itu. Mitzi sibuk mengobrol dengan Roos. Pierre dan Ana saling diam di depan sampai ke tempat tujuan.

Yaitu, sebuah Mall megah. Mall itu bernama Sarinah. Mall yang berdiri pertama kali di jakarta, diresmikan langsung oleh Presiden Soekarno.

Mereka berempat pergi ke lantai atas Mall, di mana baju-baju pria dan wanita dijual. Setibanya di sana, Ana banyak melihat baju-baju terpajang. Ada pemberitahuan harga di tiap-tiap baju itu, layaknya Mall pada umumnya.

"Mitz, ini serius satu baju harganya seribu?" cengo Ana, melihat harga yang terpasang di kerah baju itu.

"Iya, kenapa?"

"Murah banget anjir!"

"Murah apanya? Itu termasuk mahal! Seharusnya baju modelan begini delapan ratus perak!"

Kembali Ana dibuat cengo. Pengakuan Mitzi sebenarnya tidak Ana percayai, tapi melihat baju-baju di sini semuanya seharga di bawah lima ribu. Sulit Ana tepis keaslian pengakuan Mitzi.

Ana meneguk saliva, "Ternyata ucapan Papa gak bohong. Zaman dulu, sepuluh ribu bisa beli bahan pokok selama setahun!"

Mitzi yang selangkah di depan Ana, tiba-tiba berbalik. "Uang gaji Bu Nas untuk kamu di mana?"

"Oh, ada kok."

"Kemarikan," pinta Mitzi yang dituruti Ana tanpa protes. Gaji pertama yang diberikan Bu Nas pun, Ana serahkan ke Mitzi.

"Nah, sekarang, kamu ikut kami!" secara tidak diduga-duga, Mitzi menarik tangan Ana. Ana yang tidak siap, hampir terjungkal. Beruntung Ana bisa menopang baik tubuhnya.

"Heh, ini kita mau ke mana Mitz?"

Pertanyaan Ana tidak Mitzi gubris. Wanita itu malah melambaikan tangan ke Roos yang tengah memilih-milih baju.

"Roos, sudah kamu temukan baju yang cocok untuk Ana?"

"Baru satu, Mbak. Makanya bantu aku mencarinya,"

Kakak beradik itu sibuk mengobrak-abrik baju-baju di sana. Sedangkan Ana tidak tahu harus berbuat apa. Wanita itu hanya diam di tempat. Namun, mata Ana mengedar ke segala arah mencari keberadaan seseorang.

Sampailah di suatu titik. Ana menemukan sosok yang ia cari sedang menyender di dinding. Memperhatikan mereka dari jauh, dengan raut wajah jenuh.

"Diliat dari jauh aja, tetep cakep jir! Kalo cakep begini, orang buta pun mendadak bisa ngeliat Pierre!"

Asik melamun menatap Pierre, Ana tersentak lantaran lagi-lagi Mitzi menarik tangannya.

"Sini, An! Kamu coba ini! Kemari!" Mitzi menempelkan baju yang ia genggam. Tubuh Ana ia bolak-balikkan. Kini nasib Ana mirip boneka dibuat oleh Mitzi dan Roos.

"Coba yang ini juga," giliran Roos menyerahkan baju lain.

Baju tersebut Mitzi dan Roos amati. Kurang puas hanya mencoba baju dengan cara menempelkan saja di badan, Mitzi lantas memberi saran.

"Sini, kita coba saja di sana. Roos, kamu panggil Pierre ke sini." setelah memberi perintah ini, Mitzi mengajak Ana ke sebuah ruangan. Biasanya ruangan itu digunakan pengunjung untuk mencoba pakaian yang hendak mereka beli.

Pierre yang semula berdiri tenang, dikejutkan oleh kehadiran Roos. Datang-datang, Roos langsung menarik paksa tangan Pierre. Membuat pria itu bingung mau dibawa ke mana dia.

"Kak, kemari!"

"Ke mana? Roos, kamu mau membawa ku ke mana?"

Tidak ada jawaban yang Roos beri, sampai mereka berhenti di depan pintu ruangan ganti baju. Kebingungan Pierre kian bertambah. Untuk apa ia berdiri di depan kamar berganti wanita yang pintunya tengah tertutup.

"Kenapa kamu membawaku ke sini, Roos? Aku ini pria." tanya Pierre penuh penekanan, menandakan ia kesal. Sementara Roos menjawab dengan tenang.

"Kakak akan mengomentari pakaian-pakaian Ana yang telah kami pilih."

"Hah, apa?!" Pierre terbelalak.

Sebentar lagi mulut Pierre ingin melontarkan banyak protes, namun terhenti sebab pintu ruangan di depan mereka terbuka. Keluar Mitzi dari dalam sana. Alhasil, rasa protes itu Pierre lempar ke Mitzi.

"Mitz, kenapa aku pula yang kalian tunjuk untuk mengomentari pakaian wanita itu?!"

"Karena kamu pria,"

Jawaban Mitzi, sukses membuat Pierre melongo. Pierre jadi sulit berkata-kata. Sebenarnya tidak ada yang salah dari jawaban Mitzi. Jawaban wanita itu benar.

"Nah, Pierre, siap memberi komentar?"

"Hah?"

Belum sempat Pierre melanjutkan ucapannya, Mitzi di depan sudah membuka pintu. Tatkala pintu terbuka, sosok Ana keluar dengan berbalut baju yang telah Mitzi pilihkan. Penampilan Ana seketika membuat Pierre terpaku.

"Emm, so... Gimana gaes?" tanya Ana ragu-ragu. Ana canggung ditatap Pierre tanpa berkedip.

"Berputar An, supaya kami bisa melihat keseluruhan bajunya." pinta Roos senang. Permintaan Roos itu Ana turuti. Ia berputar-putar bak Princess disney.

"Bagaimana Pierre?" tanya Mitzi minta pendapat Pierre, selaku komentator. Namun Pierre tidak memberi respons. Pria itu masih diam.

"Pierre!"

"Ah, iya?" barulah Pierre tersadar setelah Mitzi membentaknya.

"Malah melamun! Bagaimana baju Ana menurutmu?" gemas Mitzi bertanya.

"E... Ba--bagus." jawab Pierre singkat dengan suara terputus-putus. Kelihatan sekali kalau pria itu gugup.

"Begitu saja?" Mitzi menatap Pierre tidak yakin. Singkat sekali penilaian pria itu.

"Iya, Mitz. Bagus!"

Kepala Mitzi mengangguk saja mengiyakan jawaban kesal Pierre tadi. Berikutnya Ana diarahkan kembali untuk mencoba baju lain. Ada lima baju beserta empat pasang sepatu yang Mitzi dan Roos pilihkan. Semua itu Ana coba satu per satu. Dan yang harus menanggung serangan jantung kecil adalah Pierre.

"Sudah belum? Sampai berapa lama aku harud berdiri di sini?" tanya Pierre jengah. Jujur ia sudah tidak sanggup menilai penampilan Ana yang setiap keluar memberikan efek luar biasa di hatinya.

"Tunggu, Yer! Satu lagi!" tahan Mitzi. Setelahnya wanita itu berseru, "Bisa dibuka pintunya, An?"

"Iya!"

Dua detik Ana menyahut, pintu Mitzi buka. Dan keluar lah Ana dengan menggunakan pakaian terakhir.

Deg!

Untuk baju terakhir ini, Pierre sulit sekali berkata-kata. Penampilan Ana berhasil mengunci tatapan Pierre.

"Pierre, yang ini bagaimana?" tanya Mitzi tersenyum lebar.

"Cantik," jawab Pierre dengan suara rendah. Hanya Roos yang dapat mendengar ucapan Pierre tadi, karena mereka berdiri sebelahan.

"Hah, cantik? Kak Pierre bilang Ana cantik, ya? Ana, kata Kak Pierre, kamu cantik!"

"Tidak ada! Kapan aku bilang begitu?!" elak Pierre panik. Di seberang Mitzi tertawa mengejek.

"Halahh, mengaku saja lah Kak! Lagian Ana emang cantik kok."

Pierre mendengus, "Sudah lah, aku ingin pergi saja. Mending aku menunggu di mobil."

"Heh, mau ke mana kamu, Yer?! Enak saja main pergi! Tugasmu itu membeli susu Ade di bawah." cegah Mitzi.

"Loh, bukan kita bersama yang membelinya?"

"Tidak," geleng Mitzi, melemparkan senyum ke Roos. "Aku dan Roos mau belanja baju sebentar. Kamu kan tidak mau menunggu lama di sini. Iya, kan? Jadi, kamu duluan saja beli susu Ade dengan Ana."

"Dengan dia?!"  kaget Pierre menunjuk Ana.

"Iya, setelah beli susu, kamu dan Ana tunggu saja kami di mobil. Kamu tau sendiri lah Pierre, kami perlu waktu agak lama memilih baju."

"Tapi, Mitz--"

"Tidak ada tapi-tapian! Cepat pergi sana dengan Ana." sela Mitzi. Ia tahu, Adiknya pasti akan protes. "Bajumu biar aku yang bayar dan bawakan, An. Uangmu kan ada di aku."

Bola mata Pierre berputar malas. Ia menghela napas berat, lantas berucap. "Terserah!"

Pria itu lalu melenggang pergi meninggalkan Ana. Melihat Adiknya itu yang main pergi, kepala Mitzi menggeleng kepala tidak habis pikir.

"Dasar, kebiasaan! Sudah An, kamu ikuti pria itu. Sampai jumpa di mobil!"

"Oke, deh! Bye!"

Lekas Ana mengangguk. Bergegas ia melangkah, berupaya mengejar Pierre. Kalau bisa menyamakan langkah dengan pria itu. Tapi apa daya. Langkah Pierre sangat besar. Sulit Ana samakan ataupun kejar.

Langkah Pierre berhenti di deretan susu kotak formula. Ana sontak ikut berhenti. Ana menatap semua susu yang di pajang.

Pierre melirik Ana kesal, "Pilihlah! Saya mana tahu susu Ade yang mana,"

"Lah, sama ege! Gue juga kagak tau susu Ade yang mana!"

"Payah," cibir Pierre pelan.

Percuma wanita ini ikut, jika tidak bisa diandalkan. Jadilah sepasang pria dan wanita itu terdiam, menatap bingung deretan susu kotak di depan mereka.

Tiba-tiba datang seorang wanita, menegur Ana. Ana lantas menoleh ke arah wanita yang Ana perkirakan sudah Nenek-nenek. Nenek itu tersenyum menyapa Ana ramah.

"Mau beli susu, ya?"

"Eh, hehehe. Iya, Nek, tapi kami gak tau yang mana." jawab Ana kikuk.

Kepala Nenek itu menggeleng kecil, "Dasar pengantin baru. Berapa usia Anak kalian?"

"Hah? Anak?" beo Pierre dan Ana bersamaan.

°°°

Bersambung...

Jadi, gini. Saya nggak tahu pasti Mall Sarinah kapan resmi dibukanya. Kek, masih simpang siur gitu loh. Ada artikel yang bilang tahun 63, 65, bahkan 66. Lagian kan, saya orang Jambi. Wajar gak tau. Justru orang Jakarta yang kebanyakan tahu. Hehehe. So, saya buat aja di tahun ini Mall Sarinah sudah ada. Anggap saja sebagian fiksi di cerita MTAL. Okedoki?

Vote dan Comment sebanyak-banyaknya, ya? See you di next chapter! Babay, lop yu tomat readers❤🍅

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top