22. MTAL - Surat Perintah Presiden
Hati-hati ranjau typo bertebaran di mana-mana. Udah di revisi, tapi maklum Authornya manusia jadi bisa khilaf. Jangan lupa seperti biasa sebelum baca BIASAKAN VOTE DULU & JANGAN LUPA SPAM COMMENT🤗.
Note: Setelah part ini bakal jarang update karena saya sudah masuk kuliah offline, dan sedang sibuk mengurus ospek MABA. Tolong baca penjelasan saya dengan baik di akhir part nanti🙏
Happy reading😘
°°°
DOR!!!
Tembakan itu melesat ke udara. Semua orang menegang di tempat atas tindakan Ana. Mereka pikir, Ana benar-benar akan menarik pelatuk tepat di kepala pria asing itu.
Beberapa detik setelah tembakan peluru itu, Ana dengan gerakan gesit langsung mengunci kedua tangan pria tadi dan mendorongnya ke meja. Kemudian Ana kembali menodongkan pisau ke kepalanya. Posisi pria itu terhimpit oleh tubuh Ana di meja.
"Katakan, siapa pesuruhmu?" tanya Ana tepat di telinga pria itu.
"Tidak tahu!" bentak pria itu tetap tidak mau jujur. Habis kesabaran, Ana berteriak geram sembari menyentak kuat tubuh pria itu di meja.
"TINGGAL NGOMONG AJA ANYINK, GUE GIBENG BENERAN AMNESIA LO!"
"Ana sudah!" bentak Pak Nas tegas. Pak Nas menatap mata Ana yang nyalang dengan tatapan memohon. "Serahkan saja dia ke kami. Kami yang akan mengurus."
"An, kami lebih paham soal ini." tambah Pak Yani membantu Pak Nas meyakinkan Ana.
Ana masih diam belum bergerak. Dia tidak yakin. Ana ingin pria ini dapat jujur di tangannya. Pasalnya pria tersebut hampir mencelakai nyawanya dengan menodongkan pistol lebih dulu.
"Anasthasya."
Kali ini Pierre yang bersuara. Ana menoleh ke pria itu. Pria itu tidak berbicara apapun setelahnya. Hanya menunjukkan tatapannya yang tenang, namun Ana merasa diyakinkan. Bujukan Pak Nas maupun Pak Yani, hanya tatapan Pierre yang mampu meluluhkan.
"Oke, tapi Ana ikut kalian." kata Ana, pada akhirnya pria itu Ana serahkan ke Pak Nas.
Ana berjalan menuju Pierre dengan mengentak-hentakan kakinya. Bibir wanita itu cemberut sebal. Pierre menyambut kedatangan Ana yang mendekat. Begitu jarak ia dan Ana sudah sejengkal, Pierre merangkul Ana.
"Sudah, jangan cemberut begitu." Pierre memasangkan kerudung Ana yang terjatuh. "Tutupi ubun-ubunmu, nanti kena angin duduk."
Ana memukul Pierre. "Gak usah sok ngelawak, gue lagi gak mood ketawa sekarang. Gue kalo lagi badmood, bawaannya pengen nelen orang."
"Waduh, seram." balas Pierre, memasang wajah pura-pura takut. Ana yang melihat itu tambah kesal. Akhirnya sepanjang jalan Ana merengek habis-habisan.
Aidit memandang Ana dan Pierre yang berjalan melewatinya. Pandangan pria itu tak terputus meski hanya punggung yang dapat ia tatap. Memang Aidit sedari tadi berada di lokasi kejadian, hanya saja mengamati dari kejauhan.
"Pak, Anda tidak pulang?"
Seorang pria berkaca mata bulat, tinggi, kurus dan berkulit sawo matang mendekati Aidit. Dia adalah Nyoto, wakil ketua CC PKI yang sangat dekat dengan D.N. Aidit.
"Belum. Aku ingin di sini sampai pekerjaan kita tuntas, meski ujung-ujungnya aku tau ini tidak akan berhasil." jawab Aidit. Aidit kemudian mengarahkan tatapan sepenuhnya ke Nyoto. "Kau tahu wanita yang berbaju merah?"
"Yang duduk bersama Bapak tadi?"
"Ya, yang duduk di antara dua Jenderal kepercayaan." terdapat jeda di ucapannya. Aidit mengisap rokok sejenak, lantas berucap lagi. "Anasthasya Princessa Nasution. Masukan nama itu di dalam daftar incaran."
°°°
Pelaku tadi digiring ke sebuah ruangan. Ruangan itu sempit dan gelap. Hanya ada satu bohlam lampu di tengah sebagai penerangan. Samping kanan dan kiri ruangan adalah kaca tembus pandang. Di situ Ana, Pierre dan semua Jenderal berdiri menonton pelaku yang di sidang oleh Pak Nas dan Pak Yani. Di kaca seberang, Aidit dan Nyoto bergabung ikut menyimak jalannya interogasi.
"Tuh orang dua kenapa di situ? Kenapa dibiarin masuk?" tanya Ana menengok ke semua Jenderal.
"Mereka juga ingin menonton." jawab Jenderal S. Parman logis.
"Tapi, Ana gak suka mereka."
Jenderal-Jenderal di sana menengok satu sama lain. Kata-kata dari mulut Ana, jujur membuat mereka yang mendengar syock.
"Ana, kami pun sama demikian dengan yang kamu rasa. Tapi, selagi dia tidak mengganggu, kami tidak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan dia." sahut Jenderal Soetoyo memberi pengertian.
"Iya, An. Jika kami mengusir tanpa mereka buat kesalahan, justru kami yang salah." tambah Jenderal Pandjaitan.
Ana diam mencerna pengertian dari Jenderal-Jenderal itu. Betul sebenarnya apa yang mereka bilang. Semuanya punya aturan. Tidak boleh sembarangan bertindak. Oleh karena itu, Ana pun tak lagi protes. Ia mengangguk mengerti, membuat para Jenderal legah.
"Tumben tidak keras kepala." celetuk Pierre di saat suasana senyap. Ana yang sudah tenang, kembali terpancing amarahnya.
"Lo ya! Siapa yang keras kepala?!" Ana melotot menatap Pierre.
"A--aku! Aku yang keras kepala." alibi Pierre gagap. Ia mengalihkan pandangan. Ana masih melotot marah menatap Pierre.
Para Jenderal yang melihat tingkah Pierre dan Ana, hanya bisa geleng-geleng kepala geli. Perasaan dua manusia itu jarang sekali akur. Semisal akur pun hanya sebentar.
"Jawab dengan jujur! Siapa pesuruhmu?!" tanya Pak Yani lantang hingga mengalihkan perhatian Ana yang melotot ke Pierre.
"Tidak akan pernah ku katakan!" jawab orang itu angkuh. Ia membuang muka.
"Hukumanmu bisa diringankan jika kau beri tahu kami, siapa pesuruhmu." ucap Pak Nas memberi penawaran. Tapi tetap saja, orang itu tak mau bicara. Ia bungkam.
"Siapa? DI/TII? Permesta?" Pak Yani menyebutkan banyak organisasi yang sebelumnya pernah menjadi dalang percobaan pembunuhan Bung Besar. Kedua tangan Pak Yani menyentuh meja untuk menumpu tubuhnya yang condong ke arah pelaku. "Atau PKI?"
Semua orang di sana terbelalak termasuk Pak Nas. Pak Nas tak menyangka Yani akan menyebutkan nama itu di saat ketua dan wakilnya ada di tempat. Tampak Nyoto tak terima, ingin mendatangi ruang interogasi namum segera Aidit tahan. Aidit tampak tersenyum menyeramkan.
"Hei, Bung Yani! Hati-hati dalam berucap. Alangkah tidak mungkin kami pelakunya, sementara kami berani menonton proses interogasi di sini."
"Siapa yang tahu?" sanggah Pak Nas cepat. Pak Nas melirik Aidit. "Tahun 1948 saat maraknya PKI Madiun, 2 kali aku dan keluarga hampir terbunuh oleh PKI dalam perjalanan Solo ke Yogyakarta."
"Begitu?" tanya Aidit tersenyum miring. "Tapi PKI tahun 1948, bukan Aidit kan yang mengetuai?"
"Apa bedanya?" gumam Jenderal Haryono.
Ana mengguncang lengan Jenderal Haryono panik. "Pak, Pak, Pak! Itu gak dilerai aja Pak Nas dan Aidit? Entar bakal berantem bisa berabe."
"Tenang, lah, An. Tidak mungkin Pak Nas begitu. Kamu sudah lama tinggal dengan beliau, jadi jangan khawatir." kata Pierre. Pria itu menarik pelan lengan Ana agar mendekat.
"Bang, sudah, jangan diladeni. Kita fokus saja yang di sini." ucap Pak Yani menengahi. Pak Nas pun setelah itu menurut dan tak membalas perkataan Aidit lagi. Ia kembali menginterogasi pelaku.
"Apa motifmu menyerang Bung Karno?"
"Tidak akan ku katakan sedikitpun, tapi rezim Soekarno mengkhawatirkan dunia." ujar pelaku tersebut, sontak membuat semua orang yang mendengar mengerutkan dahi bingung. "Mulai sekarang, kalian sebaiknya memberikan pemikiran terhadap langkah-langkah Soekarno yang akan menyebabkan jatuhnya rezim baru di Indonesia. Kalau rezim itu sampai disusupi dengan hebatnya oleh pihak komunis, akan lebih bijaksana untuk menyingkirkan rezim itu daripada harus mendukungnya."
Tampak mata Pak Nas dan Pak Yani spontan membulat. Mereka berdua kemudian saling pandang, seolah memiliki pikiran yang sama. Meski pernyataan dari pelaku terkesan abu-abu, namun Pak Nas dan Pak Yani sudah mengetahui isi ucapan itu mengarah ke mana.
Saat kedua Jenderal itu saling bicara melalui tatapan, rupanya tanpa disadari tali yang mengikat tangan pelaku di kursi sudah terlepas. Pelaku menggesekkan tali tersebut ke sebuah paku yang tertancap di belakang kursi.
Pelaku tiba-tiba berdiri dan mengambil pistolnya yang saat di pesta dansa ia todongkan ke Ana. Pistol itu memang ditaruh di meja karena sebagai barang bukti tindak kejahatan pelaku yang akan di serahkan ke sidang. Pistol itu di arahkan pelaku ke kepalanya sendiri dan tanpa pikir panjang ia menarik pelatuk.
Suara tembakan terdengar sekali, secepat itu pelaku meregang nyawa di lantai dengan kepala bersimbah darah. Ana yang melihat kejadian itu di depan mata kepalanya sendiri, menjerit histeris. Para Jenderal panik berusaha menutupi pandangan Ana, namun percuma. Ana sudah melihat semuanya. Kejadian itu cepat sekali. Pierre langsung bergerak menarik Ana pergi.
°°°
Pak Yani mengantar kepulangan Pak Nas dan keluarga di luar gedung. Pak Nas menjabat tangan Pak Yani dan berpelukan singkat sebelum beranjak pulang.
"Hati-hati di perjalanan pulang. Waspada selalu, Bang."
"Kau juga, Yan. Kita perlu meningkatkan penjagaan. Musuh semakin banyak mengincar, bahkan tak bisa dibedakan lagi mana kawan mana lawan."
Pak Yani mengangguk. "Tolong jaga Ana juga, Bang. Kasihan Anak itu. Dia syock sekali."
Pak Nas bergumam membenarkan. Tatapannya mengarah prihatin ke mobil.
"Iya, badannya masih menggigil. Besok Ana akan di bawa Yohana ke dokter."
Pak Yani mengangguk. Setelah percakapan singkat itu, Pak Nas masuk ke mobil. Mobil keluarga Pak Nas melaju keluar gedung meninggalkan Pak Yani yang berdiri memperhatikan.
Setelah mobil Pak Nas hilang dari pandangan, Pak Yani baru memutuskan masuk ke dalam gedung. Namun saat berbalik, Pak Yani dikejutkan oleh dua orang pasukan Cakrabirawa. Mereka serentak memberi hormat.
"Hormat, Jenderal!"
"Ada apa?"
Pak Yani menatap heran dua orang Cakrabirawa di depannya secara bergantian. Ia merasa aneh dengan dua orang pengawal Presiden yang menemuinya malam-malam begini. Bahkan mereka tidak menemuinya di rumah, melainkan di sini ketika situasi sedang kacau.
"Jenderal diminta menghadap Presiden."
°°°
Mobil dinas Pak Nas melaju normal menembus jalan malam. Hari sudah sangat larut. Di sekeliling sepi, tidak ada satupun kendaraan yang lewat bahkan pejalan kaki. Hanya mobil mereka. Terlebih suasana sendu sebab baru selesai hujan.
"Dingin, Bu." racau Ana yang berada di pelukan Bu Nas. Bu Nas mengeratkan pelukannya.
"Percepat lagi, Yer. Jalanan juga sepi." titah Pak Nas yang duduk di sebelah kursi kemudi. Pak Nas khawatir dengan kondisi Ana. Pierre lantas menambah kecepatan mobil.
"Nas, yang pelaku itu bagaimana ceritanya?" tanya Bu Nas yang tidak ikut menonton jalannya interogasi. Bu Nas memilih menunggu di salah satu ruangan gedung.
"Dia menembakkan diri, karena itu Ana langsung syock dan demam begini." jawab Pak Nas. Bu Nas yang mendengar itu terbelalak.
"Astaghfirullah..." Bu Nas mengelus kepala Ana sayang. Pantas kondisi Ana langsung turun drastis. Ternyata ini penyebabnya. "Tapi, sudah tahu kan, orang itu suruhan siapa, Nas?"
"Dia mengaku, tapi agak abu-abu. Namun, aku dan Yani punya praduga."
"Siapa?"
"CIA."
Mata Ana mengerjap beberapa kali. Ana berusaha menyadarkan diri ketika mendengar nama organisasi yang tak asing di pendengarannya. Ana bangun dari senderannya ke pundak Bu Nas.
"CIA? Amerika, Pak?" tanya Ana lesu. Kedua mata wanita itu pun belum terbuka sempurna.
Pak Nas menoleh sekilas ke Ana di belakang. "Iya."
"Kok, Bapak bisa yakin CIA? Apa untungnya CIA ngebunuh Pak Soekarno?"
"Bisa mengganti Presiden yang berpihak pada Amerika. Amerika menilai Bung Karno condong kepada Uni Soviet. Sebab itu, rezim Bung Karno dianggap berbahaya bagi dunia. Dunia yang dimaksud adalah Amerika. Kan, Amerika yang mengendalikan segalanya."
"Oh, iya... Uni Soviet memang gudangnya komunis sih. Gak heran lagi. Terus, Pak?"
"Sebenarnya rencana pembunuhan Bung Karno bukan ini saja. Bung Karno sering menjadi target pembunuhan."
Ana melotot kaget. "Hah?! Apa, Pak?! Sering?!"
"Iya, sering sekali. DI/TII, PRRI/Permesta, penyerangan ke Istana Merdeka dan kilang minyak di Tanjung Priok oleh penerbang tempur AURI, anggota APRI yang melemparkan granat saat mobil Bung Karno dalam perjalanan menuju gedung olahraga, dan masih banyak lagi. Mereka itu, organisasi-organisasi itu tidak mungkin berani bertindak jika tidak ada yang mempelopori. CIA dibalik itu semua."
"Iya, tapi, kok Bapak bisa seyakin itu? Ada buktinya gak?" tanya Ana mulai keras kepala. Pierre yang mendengar itu geleng-geleng kepala.
"Presiden Soekarno secara terang-terangan menyampaikan adanya konspirasi pembunuhan terhadap dirinya itu kepada Howard Jones. Dia Duta Besar Amerika. Dan ternyata Duta Besar itu sama sekali tidak menyangkal tuduhan Bung Karno."
"Anjaayyy, kusebut dia suhu!" seru Ana geleng-geleng kepala.
Pak Nas yang melihat respons Ana itu, juga ikut geleng-geleng kepala. Sikap Pak Nas demikian karena mengingat betapa keras kepalanya Ana yang mendesak jawaban jelas. Sebelum mendapatkan titik terang, ia tak akan berhenti. Namun itu pula yang membuat Pak Nas salut.
Sejenak sunyi menghiasi suasana di dalam mobil. Di saat itu pula, Pak Nas menyadari suasana malam ini agak berbeda dari malam lainnya. Sedari tadi hanya mobil mereka yang melaju di setapak jalan.
"Sepi sekali malam ini."
"Mungkin karena sudah malam, Pak, dan baru habis hujan. Orang-orang jadi berdiam di rumah saja." jawab Pierre.
"Iya, dingin-dingin begini mah enaknya bobo, selimutan di kasur. Ya, kan, Bu Nas?" sahut Ana, semakin mengeratkan pelukannya ke Bu Nas. Menganggap seolah Bu Nas adalah guling yang nyaman.
"Hooh." Bu Nas mengangguk saja mengiyakan. Ana yang memeluknya bak guling begitu tidak membuat Bu Nas risih. Malah Bu Nas juga memeluk Ana lebih erat.
Tak lama dari itu, datang dua buah mobil dari arah kiri dan kanan. Mereka melaju mengapit mobil Pak Nas. Sontak Ana yang sedang menyender manja ke Bu Nas langsung duduk tegap menengok ke arah kaca.
"Apa-apaan ini?" gumam Pierre. Pierre melambatkan laju mobil dan perlahan berhenti.
"Yer, kenapa lo berhenti?! Jangan woi!" bentak Ana mencengkeram pundak jok mobil kemudi.
"Aku ingin bertanya alasan mereka begini. Ini sudah tugasku, An."
"Yer, tapi---"
Kata-kata Ana terputus karena Pierre benar-benar keluar dari mobil. Ana menatap panik situasi di luar dari dalam mobil. Tampak 4 orang keluar dari dua buah mobil tersebut. Dua di antaranya adalah Aidit dan Nyoto. Mata Ana sontak terbelalak.
"Mau apa mereka?" batin Ana gelisah.
Tingkat gelisah Ana kian meningkat saat melihat Pierre berbicara dengan Nyoto dan Aidit seperti sedang diintimidasi. Ana tidak bisa berdiam diri lagi. Ia pun memutuskan keluar menyusul Pierre. Pak Nas dan Bu Nas terkejut melihat Ana yang tiba-tiba keluar.
"Ada apa ini?" tanya Ana ketus, tanpa sadar kedua tangannya menggenggam lengan Pierre erat.
"Ah, panjang umur! Baru saja Dik Anasthasya kami bicarakan." ucap Aidit, tersenyum lebar menatap Ana. Senyum yang terlihat mengesalkan.
"Dak, dek, dak, dek, Bapak kau lah!" batin Ana mengatai Aidit.
Aidit mengeluarkan sebuah dompet ukuran sedang dari dalam saku jasnya. Ana terbelalak. Itu dompetnya! Ana bertanya-tanya bagaimana dompetnya bisa berada di tangan Aidit. Namun belum lama pertanyaan itu muncul, Ana teringat dompetnya terakhir kali berada di atas meja tamu sebelum Bung Karno datang menjemputnya untuk berdansa.
"Itu dompet gue!"
Tangan Ana hendak meraih dompetnya, namun secepat itu pula Aidit menarik dompet Ana ke udara. Pierre yang melihat itu mengerutkan alis tidak suka. Apa-apaan yang dilakukan Aidit itu?!
Aidit menundukkan sedikit badannya menatap Ana. "Lain kali, Dik Ana, jangan lupa dengan barang yang di bawa. Untung yang baru hilang dompet. Kalau nyawa?"
Setelah berucap demikian, seulas senyum menyeramkan terbit di bibir Aidit. Seketika Ana yang awalnya melotot marah dibuat merinding. Apalagi wajah Aidit jaraknya lumayan dekat.
Namun, kehadiran Pak Nas yang tiba-tiba merebut dompet Ana mengalihkan perhatian semua orang termasuk Aidit. Pak Nas menatap Aidit nihil ekspresi.
"Terima kasih, Aidit, sudah mengembalikan dompet Ana. Kami pulang dulu, permisi."
Pak Nas kemudian memberi kode pada Pierre dan Ana untuk segera masuk ke mobil. Pierre mengangguk, lantas menarik tangan Ana untuk mengikutinya pergi.
Mobil Pak Nas bergerak pergi menjauh. Aidit menatap mobil Pak Nas dengan senyum miring tercetak.
"Jika waktunya sudah tiba, kau tidak perlu lagi memakai baju merah karena tubuhmu sudah berlumur darah."
°°°
Besok paginya, Bu Nas mendatangi Pak Nas yang sedang mengerjakan beberapa pekerjaan sebelum pergi berangkat dinas. Suaminya sudah berpakaian rapih, begitupun dirinya. Suami istri itu akan berangkat, namun dengan tujuan berbeda.
"Nas, aku pergi ke Dokter dulu ya, dengan Ana. Kamu hati-hati di jalan." pamit Bu Nas. Pak Nas menghentikan pekerjaannya, lantas mendongak menatap Bu Nas di hadapan.
"Ah, iya, Na. Kamu juga hati-hati. Pergi dengan Hamdan atau Pierre?"
"Hamdan saja, kamu dengan Pierre."
Pak Nas mengangguk mengiyakan. Setelah memberi keputusan itu, Bu Nas pergi meninggalkan ruangan. Tugas Pak Nas pun juga telah selesai. Pak Nas menutup buku, lalu memasang topi mutz miliknya yang berada di atas meja.
Baru hendak melangkah pergi, telepon ruang kerjanya berdering. Pak Nas menoleh ke sumber suara. Telepon tersebut Pak Nas terima.
"Halo?"
"Halo, Bang."
Terdengar suara Pak Yani di seberang telepon. Timbul rasa penasaran di benak Pak Nas, menanyakan ada apa gerangan Yani meneleponnya sepagi ini. Padahal mereka bisa saja bertemu di kantor, tak perlu bicara lewat telepon.
"Ada apa, Yan?"
"Bang, Ana ada di rumah?"
"Ana pagi ini mau pergi berobat diantar Yohana. Kenapa, Yan?"
"Begini, Bang. Bapak... Tadi malam selepas aku mengantar Abang pulang, Bapak memanggilku. Bapak rupanya mengajakku berdiskusi perihal Ana. Kejadian semalam semakin menguatkan rasa curiga Bapak ke Ana, sama seperti kita. Bapak pun tahu, kalau kita sedang mencari cara mengungkap identitas Ana. Lalu, Bapak bilang ingin membantu kita, Bang."
Alis Pak Nas sontak bertautan. "Membantu apa, Yan?"
"Bapak punya rencana. Katanya rencana ini setidaknya akan memberi kita jawaban. Tapi, Bang..."
Ucapan Pak Yani menggantung di telepon. Hal tersebut membuat Pak Nas geram.
"Tapi, apa, Yan? Halo? Yan?" Pak Nas memanggil Pak Yani beruntun di telepon, namun Pak Yani masih diam.
"Bapak melibatkan Bung Hatta dalam rencana ini."
Pak Nas berlari keluar dari ruangannya menuju keluar rumah. Setelah mendengar kabar dari Pak Yani, Pak Nas langsung menutup telepon tanpa menanyakan lagi alasan Soekarno melibatkan Bung Hatta dalam rencana mengungkap identitas Ana.
Pak Nas berhenti di ambang pintu keluar, lantaran melihat istrinya dan Ana belum pergi. Tapi, yang membuat Pak Nas berhenti bukan karena itu. Namun karena ia kalah cepat dari rencana Soekarno. Seorang pasukan Cakrabirawa tengah menyerahkan sepucuk surat resmi dari Presiden kepada Ana. Ana sendiri yang menerimanya.
°°°
Bersambung...
Gaes! Disimak lagi ya! Saya sudah masuk kuliah mulai tanggal 22 Agustus kemarin. Saya pun sudah kuliah aktif di kampus (offline). Jarak rumah saya dari kampus ke rumah itu 45km pulang pergi, saya gak ngekost. Capek? Tentu! Terlebih pulang selalu sore bahkan malam, karena saya selaku panitia sedang mempersiapkan ospek prodi bagi Adik-adik MABA. Jadi, dengan waktu yang sepadat itu, saya sulit membagi waktu untuk menoleh ke wattpad.
Tolong pengertiannya. Kalaupun saya update, itu pasti jarang banget. Saya tahu, kalian antuasias banget sama cerita ini. Saya senang sekali dan berterima kasih. Tapi tolong jangan di spam-spam, saya seolah dipaksa. Padahal di part kemarin saya sudah kasih tau kalau gak bisa update sering lagi karena sudah sibuk ngurus ospek maba dan persiapan kuliah. Saya bisa update kok, tapi tolong jangan dipaksa. Biarlah saya update sesuai keinginan saya dan tiba-tiba. Kecuali pas saya libur semester, boleh lah di spam minta update gitu. Ini aja saya update supaya bisa kasih pengumuman penting ini aja biar sama-sama mengerti. Mohon banget ini pengertiannya.
Note: saya gak marah, cuma lagi kasih pengertian aja. Hehe, jangan ngambek dan salah sangka ya! Love you🤍🥰
FAKTA SEJARAH!
1. Sesuai janji saya kemarin, saya akan membahas beberapa rencana pembunuhan Soekarno yang diungkap Anak beliau yaitu Bu Megawati sebanyak 23 kali. Ada beberapa rencana pembunuhan Soekarno yang fenomenal, salah satunya yang dilakukan DI/TII, PRRI/Permesta, penyerangan ke Istana Merdeka dan kilang minyak di Tanjung Priok oleh penerbang tempur AURI, anggota APRI yang melemparkan granat saat mobil Bung Karno dalam perjalanan menuju gedung olahraga, bahkan G30S/PKI. Tapi kalian tahu gak? Rencana sebanyak itu memiliki dalang yang sama.
Yaitu... Jreng, jreng, jreng! CIA! Iya, CIA. CIA berusaha menyingkirkan Bung Karno oleh banyak faktor. Pertama, karena Bung Karno dan Indonesia adalah negara Non Blok yang dinilai sama sekali tidak memberi keuntungan kepada Amerika. Kedua, karena Soekarno memberi ruang untuk PKI dan lebih condong kepada Uni Soviet yang notabenya amat bermusuhan dengan Amerika. Info selengkapnya bisa dibaca di sini.
Oke, terima kasih sudah baca part malam ini meskipun kemaleman updatenya karena baru pulang dari kampus. Jangan lupa VOTE & COMMENT SEBANYAK-BANYAKNYA karena kalian kembali akan dibuat menunggu lama untuk update. Bakal lama gak ketemu Ana dan Pierre (lagi), mohon maaf hehe🙏😅.
Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top