20. MTAL - Hadiah Dari Pakistan

Hati-hati ranjau typo bertebaran di mana-mana. Apabila menemukan typo, maklumkan saja. Sudah saya revisi, kalo luput dari kesalahan, mohon maaf namanya juga manusia🙏☺.

Jangan lupa VOTE & SPAM COMMENT-NYA😚

HAPPY READING GUYS😃🤗

°°°

Keluarga Pak Nas tengah sarapan bersama seperti hari-hari biasa. Anggota keluarga lengkap berkumpul di meja makan, menikmati hidangan yang telah dibuat oleh Bu Nas, Ana, Alpiah, dan Mardiah.

"Heemm..., siapa yang membuat sayur lodeh ini?" tanya Pak Nas, raut wajahnya tampak menikmati cita rasa sayur lodeh yang telah ia makan.

"Ana. Enak kan?" Bu Nas menatap suaminya berseri, seperti satu pendapat.

Pak Nas mengangguk membenarkan. Melihat reaksi pemilik rumah puas dengan masakannya, Ana tersenyum simpul. Tentu saja senang. Terlebih Pak Nas sendiri sampai memujinya.

"Makasih, Pak, Bu. Padahal, Ana baru belajar loh." kata Ana sok-sok merendah. Kenyatannya ia tertawa sombong di batin.

"Whahaha, iya dong! Siapa dulu yang masaakk? Anaa gitu loohh! Senggol gak nih, bos? Senggol gak? Slebew!"

"Baru belajar saja sudah seenak ini. Kamu benar-benar pandai dalam apapun ya, An." ujar Pak Nas, tambah membuat Ana senang.

Sampai di suatu detik, rasa senang Ana berganti ketegangan hati ketika Pak Nas melanjut kata-katanya lagi. "Seperti waktu kamu mengarahkan stick golf tepat sasaran ke leher Yani. Itu juga lebih pandai. Di mana belajarnya?"

"Ah... It--itu..." suara Ana terdengar parau. Bibirnya dibuat kelu, sulit menjawab pertanyaan Pak Nas.

Ana bingung mau menjawab apa. Jika ia bilang belajar dari Papanya, Pak Nas pasti akan melontarkan pertanyaan lagi yang lebih spesifik. Ana merasa Pak Nas sudah mulai curiga dengan identitasnya. Wajar saja, sebab ia tanpa sadar sering mengeluarkan beberapa jurus ABRI yang pernah diajarkan Papanya.

Semua orang menunggu jawaban Ana, termasuk Pierre. Pierre memperhatikan lekat wajah Ana yang benar-benar tegang. Mata wanita itu bergerak tak tenang ke sana ke mari. Karena ekspresi Ana yang demikian, membuat Pierre merasa ada yang Ana sembunyikan. Jujur saja, Pierre juga memiliki kecurigaan terhadap Ana. Sudah tiga kali ia melihat gerakan yang tak biasa dari Ana. Pertama saat waktu Ana dilecehkan, kedua saat di kantor polisi, ketiga saat bermain golf di rumah Pak Yani. Parahnya, Pak Yani yang menjadi sasaran Ana setelah polisi.

"Anjriittt, gue mau jawab apaaa?! TBL, TBL, TBL!" batin Ana frustasi.

"An?" Pak Nas memanggil Ana, menyadarkan wanita itu dari lamunan.

"Kamu tidak apa-apa, An? Mukamu tegang sekali." kata Bu Nas khawatir. Mata Ana terlihat berair dan merah.

Ana menggeleng. "Gak papa, Bu. Ana... Itu... Eemm..., kemarin Ana benar-benar gak sengaja, Pak, ngarahin stick golf itu ke leher Pak Yani. Cius deh!" Ana mengangkat dua jarinya ke udara. "Ana minta maaf banget, kalo kelakuan Ana kemarin gak sopan dan mempermalukan Bapak di depan Pak Yani. Ana sadar, tindakan Ana kemarin salah."

Ana menundukkan wajah lesu. Kedua tangannya berada di atas pangkuan, saling meremas. Pak Nas yang melihat Ana seperti itu, jadi tidak tega dan merasa bersalah sebab pertanyaannya membuat Ana bersedih.

"Tidak apa, An. Bapak hanya penasaran saja. Tidak usah kamu pikirkan."

Sadar suasana sudah tidak enak, Bu Nas cepat-cepat ambil tindakan.

"Aih, masa itu sudah berlalu. Sekarang pikirkan hadiah apa yang akan kita beri untuk Bapak. Acaranya tinggal seminggu lagi loh."

"Oh, iya, kau benar, Na. Ana, kamu nanti ikut ya, ke acara ulang tahun Bapak."

Ana menatap Pak Nas dengan raut wajah bingung. Mata wanita itu berkedip dua kali. "Bapak siapa? Pak Nas ulang tahun?"

Tawa Pak Nas pecah. Ia geleng-geleng kepala merutuki lontaran pertanyaannya tadi. Pak Nas lupa yang ia ajak bicara itu Ana. Mana tahu Ana yang dimaksud Bapak itu siapa. Salahnya yang tak menyebut nama.

"Pak Soekarno," jelas Pak Nas. Barulah Ana mengerti. Ana ber-O panjang.

"Ikut dong, masa nggak! Harus itu mah!" ujar Ana bersemangat. Pak Nas tersenyum tipis, senang sudah mengembalikan sosok Ana yang ceria.

"Ajegilee, gue bakal dateng ke birthday party-nya Pak Soekarno. Anjay, mo cakep-cakep ah, siapa tau Pak Soekarno kepincut. Bjiirr, ngakak! Takut banget. Ga, ga, ga, amit-amit ya Allah. Canda tadi, cuma bercanda huhu."

°°°

Dari dapur, Ana membawa dua cangkir teh hangat di atas nampan. Ia membawakannya menuju ruang tamu. Teh itu diperuntukan untuk Pak Nas dan tamunya. Sepertinya orang penting. Pasalnya Pak Nas sampai berpakaian ABRI lengkap pagi-pagi sekali untuk menyambut tamu ini. Padahal dia hanya di rumah.

Memasuki ruang tamu, Ana sempat memperhatikan tamu itu. Seorang pria paruh baya memasuki kepala 5. Wajahnya terlihat seperti orang luar. Orang india.

"Rada mirip Amitabhacan ya, si Om." batin Ana. Badan Ana bersimpuh sopan untuk menaruh dua cangkir teh di atas meja.

"Terima kasih, An." kata Pak Nas. Seperti biasa, kata ajaib itu tak pernah tinggal di lisan.

"Sama-sama, Pak Nas." balas Ana menyunggingkan senyum tipis ke Pak Nas dan tamu itu. Saat Ana tersenyum ke arah tamu itu, tamu itu juga membalas dengan senyuman.

"Who is she?" tanya orang itu kepada Pak Nas. Ana pura-pura tidak mendengar. Ia terus melangkah pergi, padahal kupingnya terpasang kuat lantaran ia yang sedang dibicarakan.

"Her name is Ana. She's a maid here."

Tamu itu menganggukan kepalanya. Meski membelakangi, Ana merasa bila diperhatikan oleh tamu tersebut.

"She's still young. Seems like a good person."

"Yes, she is a very nice person." Pak Nas membenarkan, membuat Ana tersipu malu.

"Anzay, anzay, gue dikatain orang baik di mari. Padahal kalo di rumah, gue dikatain nenek lampir sama Adek gue. Emang dasar ati si Alaska jelek kali ye,"

"Panglima Ashgar Khan, do you have meet President Soekarno?"

"Already yesterday. On behalf of Pakistan, I am very grateful to Indonesia for the assistance of a number of warplanes, patrol boats and submarines to the Andaman Islands. Even though, Indonesia has longer direct and indirect relations with India than we do. (Sudah kemarin. Atas nama Pakistan, saya sangat berterima kasih kepada Indonesia atas bantuan sejumlah pesawat tempur, kapal patroli, dan kapal selam ke Kepulauan Andaman. Padahal, hubungan diplomatik India dan Indonesia sudah terjalin cukup lama daripada kami."

Ana yang hendak menuju dapur, langsung mengubah tujuan. Ana bersembunyi di tembok. Ia penasaran dengan topik pembicaraan Pak Nas dan tamu itu. Apalagi setelah mengetahui siapa gerangan tamu yang datang. Ternyata sesama Jenderal perwakilan negara Pakistan. Terlebih mendengar inti pembicaraan bahwa Indonesia mengibahkan material tempur kepada Pakistan.

"Apa ini? Indonesia lagi ngebantu negara Pakistan untuk perang melawan India kah? Tapi setau gue, Indonesia punya hubungan yang baik sama India. Kok bisa-bisanya ngebantu perang negara lain untuk ngelawan negara sahabat? Padahal Perdana Menteri India pertama kan, bestie-nya Pak Hatta. Katanya Indonesia negara non-blok, kok ikut perang? Konfrontasi Indonesia dan Malaysia aja juga belum beres. Hadeuuhh..."

Banyak pertanyaan hilir mudik di kepala Ana, sehingga membuatnya pusing sendiri. Namun, fakta yang ia terima tak ia sesali. Berkat itu, Ana jadi tahu ternyata di tahun 65 Indonesia lumayan ikut andil dalam beberapa peristiwa penting dunia.

"Not a big problem. It is the duty of fellow Muslims. After all, President Soekarno seemed happy to help. You should be thanking the Air Force Commander, not me. (Bukan masalah besar. Sudah tugas sesama muslim. Lagipula Presiden Soekarno tampak senang membantu. Seharusnya Anda mengucapkan terima kasih kepada Panglima Angkatan Udara, bukan saya.)" balas Pak Nas diakhiri tawa.

"I will also thank him. (Saya juga akan berterima kasih kepada beliau.)" jeda tiga detik. "Oh yeah, i brought some gifts from Pakistan. I hope Mr. Nasution likes it. Amir, bring it here. (Oh ya, saya membawa beberapa hadiah dari Pakistan. Saya harap, Tuan Nasution menyukainya. Amir, bawa kemari.)"

Ana mengintip, penasaran dengan hadiah yang dibawa oleh perwakilan Pakistan itu. Mata Ana spontan membulat lebar ketika mengetahui hadiah apa yang Tuan dari Pakistan itu bawa. Sepanjang mata memandang, Ana melihat warna kuning emas yang mencolok. Banyak guci-guci keramik terdiri dari teko, tempat kue, karpet, dan kain-kain sutra warna warni.

"Ah, Mr Ashgar, this is too much. (Ah, Tuan Ashgar, ini sangat berlebihan.)" ujar Pak Nas tidak enak. Matanya memandang resah semua barang-barang itu. Pak Nas tidak suka sesuatu yang berlebihan.

"This is nothing compared to Indonesia's aid. (Ini tidak seberapa dibandingkan dengan bantuan Indonesia.)"

"Barang ini seharusnya untuk Bapak atau Yani. Mereka paling suka barang-barang glamour seperti ini." batin Pak Nas. Dua orang itu memiliki selera yang sama, maka dari itu Soekarno lebih dekat dengan Yani ketimbang dirinya. Dan ini jugalah penyebab hubungan ia dan Yani menjadi renggang.

"What was President Soekarno also given something like that? (Apakah Presiden Soekarno juga diberi barang seperti itu?)"

"Yes, and he was very happy."

"Reaksi yang wajar." balas Pak Nas di batin.

"Ana!"

Ana tersentak kala mendengar namanya dipanggil Pak Nas. Ia keluar dari tempat persembunyian menguping. Bergegas Ana menghampiri Pak Nas.

"Yoi, Pak! What happened aya naon ini teh?" tanya Ana kepada Pak Nas, namun matanya mengarah ke barang-barang mewah memanjakan yang berjejer di depan.

"Susun barang-barangnya ke dalam. Panggil Alpiah dan Mardiah untuk bantu-bantu, kamu."

"Wokey, Pak!"

"Na,"

Ana yang berbalik hendak pergi, menoleh kembali sebab Pak Nas memanggil lagi.

"Apa, Pak?"

Telapak tangan Pak Nas melambai, menyuruh Ana mendekat. Ana pun bergerak mendekat dengan dahi mengerut bingung. Pak Nas kemudian membisikkan sesuatu yang berhasil membuat Ana terkejut.

"Nguping ya, kamu?"

"Isshh, apaan sih, Bapak?! Nggak lah, mana ada! Nguping kan, dosa!" elak Ana. Meski begitu, Pak Nas tetap tidak percaya.

"Bohong juga tambah dosa."

"Ya Allah, Pak, kagak! Suer tekewer-kewer dah!"

"Hah?" Pak Nas terbelalak, menatap Ana dengan wajah cengo. Bahasa Ana yang aneh pun keluar. Menurut Pak Nas, bahasa aneh Ana yang kali ini lebih aneh. Menggelitik saat masuk ke pendengaran.

"Ah, udah lah, Pak Nas! Bapak mah suka iseng!" gerutu Ana hendak pergi, namun kembali dihentikan Pak Nas.

"Kalo mau tau, nanti Bapak jelaskan. Jangan suudzhon dulu ya!" peringat Pak Nas seakan tahu isi otak Ana. Sepertinya Pak Nas menyadari jika Ana menguping percakapan mereka.

"Iya! Ditunggu ya klarifikasinya, Bapak Jenderal Nasution!" tuntut Ana. Ana juga menunjukkan tatapan tajam. Lewat tatapan itu tersirat bahwa ucapannya tidak main-main. Sedangkan Pak Nas yang ditatap tajam begitu tidak marah. Malah ia tertawa.

"Iya, iya! Aman itu, An!"

Pak Nas tersenyum lebar menatap kepergiaan Ana. Ditatapnya terus Ana sampai wanita itu menghilang dari pandangan.

"You guys are very close like daughter and father." celetuk Panglima Ashgar Khan yang sedari tadi diam mengamati interaksi antara Ana dan Pak Nas.

"Ah, really? I already think of Ana as my own daughter. (Benarkah? Saya memang sudah menganggap Ana seperti putri sendiri)."

Beralih ke Ana yang memasuki dapur. Ia menghampiri Alpiah dan Mardiah yang sedang memotong buncis dan memetik toge. Di sana juga ada Bu Nas yang tengah menggoreng pisang. Bu Nas sempat melirik kedatangan Ana.

"Mbak Mardiah, Mbak Alpiah, bantu Ana yok!"

"Bantu apa, An?" tanya Alpiah.

"Pak Nas minta tolong susun barang-barang yang ada di depan. Hadiah dari Panglima Pakistan, tamu Pak Nas sekarang itu loh."

"Hadiahnya apa tuh, An?" kali ini Mardiah yang bertanya penasaran, sebab mendengar barang yang dimaksud adalah hadiah dari luar negeri.

"Tadi Ana liat ada guci-guci gitu, piring sama gelas, karpet, ada banyak kain sutra juga lah!"

"Wah, barang bagus tuh! Cepat bawa masuk ke dalam!" celetuk Bu Nas semangat, tiba-tiba saja sudah berdiri di dekat mereka. Ketiga wanita itu saling lempar pandangan. Sama-sama kaget dengan kehadiran Bu Nas, juga respons wanita itu yang semangat sekali.

°°°

Ana dibantu oleh Alpiah dan Mardiah menaruh hadiah-hadiah itu ke sebuah ruangan. Tidak bisa disebut gudang, karena ruang itu bersih dan tampak terawat. Namun memang banyak barang-barang di sana. Sepertinya lebih cocok disebut ruang penyimpanan.

Ana menaruh gulungan kain-kain sutra di sudut ruangan. Di situ juga ada beberapa barang, salah satunya tertutupi kain putih. Ana penasaran barang jenis apa yang ditutupi menggunakan kain putih itu.

"Ini apaan, Mbak?"

"Mesin jahit Bu Nas. Sudah lama tidak dipakai." sahut Mardiah, menjawab setelah matanya melirik objek yang Ana maksud.

"Mesin jahit? Boleh Ana lihat, Mbak?"

"Buka saja."

Setelah mendapat persetujuan dari Mardiah, Ana membuka kain penutup putih itu. Dan benar saja. Mesin jahit tua zaman dulu tanpa bantuan pedal listrik.

Ana menatap mesin jahit itu cukup lama. Kemudian, tak sengaja matanya bertabrakan dengan kain sutra yang kebetulan letaknya bersebelahan. Bola mata Ana bergerak menatap dua objek itu bergantian. Beberapa saat setelahnya, muncul sebuah ide di otak wanita itu.

"Mbak Mar, kalo Ana minjem mesin jahit ini boleh gak?"

"Tidak tahu. Coba tanya Bu Nas."

Sesuai yang dikatakan Mardiah, Ana pun mendatangi Bu Nas. Bu Nas sedang duduk menyuapi Ade di meja makan.

"Bu Nas."

Fokus Bu Nas yang mengarah ke Ade, lantas berubah haluan menatap Ana di depannya. "Ya, An? Ada apa? Sudah ditaruh barang-barang pemberian dari Panglima Pakistan itu?"

"Sudah, Bu." jawab Ana singkat. Beberapa detik selanjutnya, Ana buka suara lagi. "Bu... Itu..."

"Iya? Apa, An?" Bu Nas memperhatikan Ana sepenuhnya. Bu Nas sadar, ada suatu hal yang ingin Ana sampaikan.

"Bu, Ana ketemu mesin jahit di sana."

"Oohh, mesin jahit saya itu. Kenapa?"

"Saya boleh minjem gak, Bu? Untuk jahit baju?" tanya Ana hati-hati.

Bu Nas tersenyum lembut. "Boleh dong! Pakai saja, An, jangan sungkan begitu. Saya juga sudah tidak pernah lagi memakainya. Terakhir pas Ade umur 3 tahun. Kamu bisa menjahit?"

"Bisa, Bu, sedikit-sedikit. Ana pernah diajarin Mama."

"Wah, hebat! Tingkatkan!" Bu Nas memberi apresiasi. Bu Nas menaruh piring makanan Ade di atas meja, lalu berdiri. Bu Nas memegang kedua bahu Ana. "Pakai saja, tidak apa-apa. Daripada menganggur."

"Tapi, Bu, kain yang mau saya pakai rencananya kain yang diberi dari Panglima Pakistan itu."

"Ya ampun, Ana, tidak apa! Toh, beliau memberikan hadiah-hadiah itu untuk orang rumah ini. Kamu kan juga masuk hitungan!" ujar Bu Nas gemas. Bu Nas masih memasang senyumannya. "Pakai saja, ya!"

Ana ikut tersenyum. "Terima kasih, ya, Bu. Terima kasih juga karena sudah menganggap Ana seperti keluarga di sini."

Bu Nas mengangguk, lantas menarik tubuh Ana ke dalam pelukan. Bu Nas memeluk dan mengusap rambut Ana sayang selayaknya Anak sendiri. Ketika merasakan usapan lembut Bu Nas, Ana jadi teringat Mamanya. Usapan serta kehangatan dekapan yang Bu Nas berikan sama persis seperti Mamanya. Bu Nas dan Pak Nas, kedua orang itu mengingatkan kepada kedua orang tuanya. Sebenarnya di sini Ana merasa dekat dengan orang tuanya, lantaran kemiripan Bu Nas dan Pak Nas. Bu Nas sama-sama keturunan Belanda dan pintar menjahit seperti Mamanya. Dan Pak Nas sama-sama seorang Jenderal Angkatan Darat seperti Papanya.

"Iya, Ana. Semoga kamu betah di sini. Ibu sayang kamu, begitu juga Bapak. Kami sudah menganggap kamu seperti Anak sendiri." ujar Bu Nas. Ana yang mendengar itu hanya bisa membatin miris. Menyayangkan keinginan mereka yang tak selaras.

"Saya juga sayang Bu Nas dan Pak Nas, semua orang di sini. Kalian orang baik. Tapi saya tetap ingin pulang. Saya rindu keluarga saya di rumah."

°°°

Hari-hari berlalu sampai kepada hari kelahiran orang nomor satu Indonesia pada tahun 1965 pun tiba. Malam acara ulang tahun Presiden Soekarno terselenggara di Istana Merdeka. Tidak seperti acara di Villa Jenderal Ahmad Yani. Kali ini rombongan keluarga Jenderal Nasution yang pergi hanya Pak Nas, Bu Nas, Pierre, dan Ana. Pierre selaku Ajudan bertugas untuk menyetir. Bu Nas dan Pak Nas, suami istri itu tentu duduk di kursi belakang. Dan itu artinya yang duduk di sebelah Pierre adalah Ana.

"Nas, kamu yakin dengan rencana ini? Astaga, bisa-bisanya Yani punya ide gila semacam ini! Kamu pun sama! Kamu juga gila karena menyetujui ide ini, Nas!" Bu Nas tampak mengoceh. Ia memarahi suaminya yang hanya bisa pasrah duduk di ujung kasur. Kedua orang itu sudah siap, namun masih berada di kamar. Ada sesuatu hal penting yang mesti mereka bicarakan dengan kepala dingin sebelum pergi.

"Ya Allah, Na, mau bagaimana lagi! Hanya ini satu-satunya cara. Aku jamin tidak akan ada korban jiwa. Kamu tau kan, aku sangat menyayangi Ana? Tidak mungkin aku membiarkan Anak itu terluka!"

"Tapi rencana kalian ini akan mengacaukan acara Bapak, Nas!" timpal Bu Nas geram.

"Kami akan menjalankan rencananya di penghujung acara. Aku dan Yani sudah menyusun rencana ini baik-baik, kamu tenang saja."

Bu Nas diam beberapa saat untuk mengatur napas. Ia dan suaminya saling pandang. "Apa Yayu juga tahu mengenai rencana ini?"

"Aku tidak tahu apakah Yani memberitahu Yayu. Aku memberitahukan rencana ini kepadamu agar kamu tidak kaget nantinya."

Bu Nas diam, tidak menjawab. Akhirnya ia tahu alasan mengapa Pak Nas bersikeras tak ingin Ade dan Yanti ikut. Hal ini dikarenakan suasana akan menjadi kacau nantinya.

"Ah, terserah kalian lah! Aku tak mau ikut-ikutan!" Bu Nas kemudian berlalu pergi meninggalkan kamar. Pak Nas yang melihat kepergian istrinya itu menghembuskan napas berat.

Meski Bu Nas pergi meninggalkan Pak Nas lebih dulu di kamar, namun suami istri itu tetap keluar rumah bersamaan. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Di luar, mereka mendapati Pierre yang sudah menunggu di sebelah mobil.

"Loh, Pierre, mana Ana?" Bu Nas celingak-celinguk memandang ke dalam mobil, namun tidak ada siapa-siapa.

"Belum selesai berias sepertinya, Bu." jawab Pierre asal menerka. Hanya itu kemungkinan yang masuk akal penyebab wanita terlambat.

"Waduh, banyak nampaknya persiapan Ana malam ini."

"Iya, Pak, mungkin karena yang akan ia temui Presiden?"

"Hahaha, betul juga kamu, Yer!" Pak Nas tertawa mendengar jawaban Pierre.

Tak lama dari tawa pak Nas itu, terdengar bunyi hak sepatu wanita yang beradu dengan lantai marmer dari arah belakang mereka. Bu Nas dan Pak Nas spontan menoleh ke belakang.

"Pak, Bu, udah lama ya, nunggu? Maaf banget Ana telat."

Ucapan Ana tidak mendapat balasan, karena orang-orang yang Ana ajak bicara tampak melongo. Mata tiga orang itu membulat sempurna menatap Ana. Ekspresi mereka seperti sedang berhadapan dengan hantu.

"A--an... Ke--kenapa kamu berpakaian seperti itu?!"

°°°

Bersambung...

Hayoo, baju apa yang Ana pakek sampe buat Pak Nas, Bu Nas, dan Pierre kaget banget kayak gitu? Terus, rencana apa sih yang disusun kedua Jenderal itu? Wah gawat ini kalo dua Jenderal dah bergerak. Gak kebayang deh, se-chaos apa next part! Mau lanjut? VOTE🌟 & COMMENT💬 DULU DONG JANGAN LUPAAA, SUPAYA SAYA SEMANGAT UPDATE NEXT PART YANG PASTINYA MENEGANGKAN BETUL😃👍

Fakta Sejarah!

1. Ternyata pada tahun 1965, Indonesia pernah memberi dukungan moril maupun materil loh kepada Pakistan ketika berperang melawan India. Alasan Soekarno lebih mendukung Pakistan daripada India ialah karena sesama negara dengan mayoritas penduduk Muslim. Alasan lain adalah kebijakan luar negeri India yang membela Malaysia ketika Indonesia terlibat konfrontasi dengan Malaysia. Ingat kan, Konfrontasi Indonesia-Malaysia? Penyebabnya karena India bagian dari Commonwealth atau negara-negara persemakmuran Kerajaan Inggris. Oh, ya tanggal kedatangan Ashgar Khan saya buat FIKSI YA di cerita ini. Aslinya dia datang ke Indonesia tanggal 10 September 1965.

2. Perdana menteri pertama India itu temennya Pak Hatta loh sewaktu bersekolah di Belanda. Iya, si Jawaharlal Nehru.


3. Tapi meski Indonesia dukung Pakistan ketimbang India dalam perang, hubungan kedua negara, Indonesia-India tetap baik kok. Bahkan Indonesia pernah memberikan dukungan pasokan beras ke India. Perdana Menteri kita, Pak Sutan Syahrir selaku yang mempunyai ide.

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top