2. MTAL - 16 April 1965

Akan ada penjelasan yang saya buat di bawah. So, nanti simak ya. Semisal ada typo, mohon maaf karena manusia gak luput dari kesalahan. Happy reading😉

°°°

"Papa emang Jendral, tapi Papa nggak akan bernasib kayak keenam Jendral itu!"

Setelah berucap demikian, secara tidak diduga-duga, Ana berlari keluar. Ia menuruni tangga terburu-buru. Berjalan menuju dapur pun sama. Tak kalah terburu-buru. Sembari kakinya melangkah, Ana terus berteriak. Memanggil nama Papanya.

"Paaa! Papaaa!"

Pak Nasution yang tengah menarik kursi meja makan berniat duduk, sontak menoleh ke sumber suara. Di mana ia melihat, Ana sedang berlari menuju ke arahnya.

"PAPA!"

Tubuh Pak Nasution hampir terjengkang ke belakang, kalau tidak tangannya dengan sigap memegang kursi sebagai tumpuan. Ana datang-datang langsung menghambur ke dalam pelukannya.

"Eh, kenapa ini? Kamu kenapa, An?" tanya Pak Nasution kebingungan. Ia mengusap rambut Anaknya itu. Pak Nasution merasakan, Ana menangis di dalam pelukannya.

"Papa jangan mati..." lirih Ana mengungkapkan.

Pak Nasution tambah dibuat kebingungan. Ia tidak mengerti, alasan Anaknya tiba-tiba menyangkut pautkan ia dengan kematian.

Pak Nasution mendongak, kala melihat istrinya datang. Pikirannya langsung menemukan jawaban, tatkala melihat sosok istrinya. Ana tiba-tiba bertingkah aneh seperti ini, pasti ada pemicu. Ini ulah istrinya. Begitu tebakan Pak Nasution.

Lewat tatapannya, Pak Nasution melempari tuduhan yang ia perkirakan. Tahu makna tatapan suaminya, Bu Nasution mengendikkan kedua bahu. Memberi jawaban lewat isyarat, bahwa ia juga tidak tahu.

Perlahan, Pak Nasution melepaskan pelukan putrinya. Ia menangkup wajah Anaknya yang sembab.

"Ana... Ana, Nak. Papa gak akan mati, sayang. Siapa yang bilang begitu, hm?"

"Papa kan, Jendral. Pasti Papa banyak musuh. Iya, kan?" jawab Ana segugukan. "Papa jujur sama Ana. Papa ada musuh gak, di tempat kerja?"

Ucapan Ana membuat Pak Nasution tertegun. Tidak ia sangka, putrinya bisa berpikiran sejauh ini. Memikirkan hal-hal yang dia sendiri saja hiraukan.

"Nggak, sayang. Papa gak ada musuh. Semua teman kerja Papa baik-baik."

Ana menggeleng kuat. Menampik ucapan Papanya yang jujur. "Nggak! Papa pasti bohong! Papa mana tau, kalau Papa punya musuh atau nggak! Sama kayak keenam Jendral itu!"

Alis Pak Nasution mengerut. Coba mencerna ucapan Anaknya. Dan dua detik setelahnya, ia baru paham mengapa anaknya bisa tiba-tiba membahas hal semacam ini. Pak Nasution pun terkekeh.

"Jadi, karena ini? Nggak mungkin dong, sayang. Papamu ini cerdik! Tenaangg,"

Ana mendengus. Bibirnya cemberut, lalu memukul dada Papanya pelan. "Tenang, tenang! Ingat ya, Pa! Ana gak mau jadi anak yatim! Papa harus liat Ana nikah dulu!"

"Berarti setelah kamu nikah, Papa boleh mati gitu?"

"Gak gitu juga!" sentak Ana, membuat Pak Nasution tertawa.

"Sudah, sudah. Mending kita cepet makan malam, sebelum film G30S/PKI mulai." ujar Pak Nasution, sekilas melirik jam yang menempel di dinding dapur. Berlawananan arah dengan posisi ia dan Ana berdiri. Jadinya, Ana ikut menoleh ke arah jam.

"Kita mau nonton film itu, setelah makan, Pa?"

"Iya, kamu temenin Papa begadang nonton G30S/PKI mau gak?"

Belum sempat Ana menjawab, Alaska yang berdiri di kursi meja makan seberang menyahut.

"Duuhh, Pa. Sorry banget nih ya. Keknya Alaska gak bisa deh, nobar G30S/PKI malam ini. Setelah makan malam, Alaska mau pergi bareng temen tongkrongan."

"Siapa yang izinin, kamu?"

"Diri sendiri, Pa." cicit Alaska menjawab. Ia menggaruk tengkuk. Risih dilihat Papanya penuh selidik.

"Temen tongkrongan atau cewek bokingan?" cibir Ana pedas.

"Heh, Kak! Mulut lo dijaga ya! Sembarangan aja kalo ngomong! Gue ini remaja baik-baik! Suka banget buat fitnah lo, Kak!" timpal Alaska tidak terima. Telunjuknya menunjuk Ana sangsi.

"Bukannya lo yang suka buat fitnah?! Bahkan fitnahan lo itu melebihi fitnah Dajjal!"

"Gue Dajjal, lo Yajuj Majuj nya!"

Mulai terjadi perang mulut di antara Kakak beradik itu. Namun dengan cepat, Pak Nasution melerai. Sebelum fitnah mulut berubah menjadi adu pukul. Kemungkinan itu kadang terjadi.

"Aduuhh, sudah sudah! Ana, biarin aja adikmu itu pergi! Kalau dia tetap di rumah, kamu pasti akan emosi terus."

"Bener juga." gumam Ana membenarkan.

"Jadi, Papa bolehin Alaska pergi kan ya, malem ini?" tanya Alaska dengan mata berbinar.

Pak Nasution berdehem di awal ucapan. "Terserah, kamu! Tapi, jangan pulang terlalu malam! Paling lambat jam sepuluh, sudah sampai rumah."

Alaska melirik ke arah jam dinding. Sekarang sudah pukul setengah sembilan. Sedikit sekali waktunya di luar, kalau pulang jam sepuluh malam.

"Yah, Pa... Sebentar banget! Jam dua belas lah. Ya, Pa, ya?!" bujuk Alaska, berharap Papanya mengabulkan permintaannya. Namun, justru jawaban pedih yang ia terima.

"Gak usah pulang aja sekalian!"

Mendengar jawaban Papanya, diri Alaska tersentak. Sedangkan Ana puas bukan main melihat wajah kecewa Adiknya.

"Pfftt, mampos!"

Alaska tahu Ana sedang menertawainya. Ia melirik Kakaknya sinis. Detik selanjutnya ia baru membalas ucapan Papanya dengan nada kecewa.

"Iya deh, pulang jam sebelas."

Pak Nasution terbelalak. Perasaan bukan begitu kesepakatan awal yang ia kehendaki. Ingin menimpali lagi, tapi Pak Nasution rasa itu hanya akan membuang waktu. Oleh karena itu, Pak Nasution tidak melanjuti. Ia lebih memilih duduk memulai makan malam bersama.

°°°

Berkumpulah tiga orang anggota keluarga Nasution. Duduk di depan televisi, ditemani teh dan pisang goreng sebagai camilan selama menonton.

Film yang mereka tunggu-tunggu akhirnya tayang. Mereka langsung memasang sikap serius, kala film G30S/PKI di putar. Terutama Pak Nasution. Ia adalah orang yang paling semangat menanti film ini diputar di layar kaca, setiap tanggal tiga puluh September.

"Kok Om Pierre bisa membaca surat dalam gelap?"

"Om Pierre berdoa, ya?"

"Tidak, Om Pierre sedang baca surat."

"Dari Medan pasti,"

Adegan film terus berjalan. Kali ini mempertontonkan anak-anak Jendral Nasution, yaitu Yanti Nasution dan Ade Irma Nasution mendatangi kamar Pierre Andries Tendean. Di adegan ini, Pierre sedang membaca surat kiriman dari Rukmini Chamim, kekasih hatinya di Medan.

"Baca surat kok kaya berdoa?" tanya Ade polos.

"Nah, tunggu. Sekarang, tutup mulut dulu ya, sampai Om selesai baca surat."

"Tapi, ongkos tutup mulut tidak ada..." timpal Yanti, memberi kode ke Ade. Ade mengangguki itu. Pierre tersenyum, karena dua anak ini pandai bersekongkol.

"Paling bisa,"

"Emang, yang buat tutup mulut apa coba? Jari?"

"Hooh, gak ada. Tuh, terbuka." Ade membenarkan ucapan Kakaknya. Ia menunjuk mulutnya.

"Nih,"

Tiba-tiba, Pierre mengeluarkan dua batang coklat dari dalam kantong celananya. Dua batang coklat tersebutlah yang memang dinanti Yanti dan Ade sedari tadi. Ongkos tutup mulut, kata mereka. Dua anak Jendral Nasution itu memang suka meminta coklat kepada Pierre.

Setelah Yanti dan Ade pergi, Pierre kembali larut membaca secarik surat yang di berikan sang pujaan hati. Dan bertepatan dengan ini pula, film terputus berganti iklan untuk beberapa saat.

Ketika iklan menjeda film, Ana yang berada dalam posisi berbaring di paha Papanya, melirik ke arah meja TV. Di atas meja itu, tergeletak oleh-oleh Papanya yang sempat ia tolak.

Ana beranjak dari posisinya. Ana yang tiba-tiba berjalan menuju meja TV, membuat Papa dan Mamanya bingung. Mau apa Anak itu ke sana?

Ternyata Ana mengambil buku novel yang Papanya berikan. Ana kembali merebahkan kepala di paha Papanya, setelah mengambil novel tersebut.

"Ini buku Om Pierre yang tadi di adegan baca surat kan, Pa?"

Kepala Pak Nasution mengangguk mengiyakan. "Iya, kenapa emang?"

Ana membuka buku novel Pierre yang ia pegang. Lembaran demi lembaran Ana lihat acak. Sembarangan membuka, Ana menemukan salah satu foto Pierre. Di buku itu, Pierre berfoto memakai baju Ajudan lengkap.

"Aslinya ganteng, ya?" gumam Ana. Kemudian, Ana mendongak melihat Papanya yang juga tengah menatapnya. "Sayang banget meninggal. Padahal masih muda."

Pak Nasution bergumam menanggapi. "Dan kamu tau gak, Na? Pada saat itu, Pierre mau menikah loh, di bulan November sama cewek namanya Rukmini. Tapi, gak jadi karena pristiwa malam berdarah itu berhasil merenggut nyawanya."

"Serius?!" Ana terbelalak. Tubuhnya agak terlonjak. "Rukmini yang ngasih surat ke Pierre tadi? Yang kata Anak Jendral Nasution yang paling gede, surat dari Medan?"

Pertanyaan beruntun Ana, diangguki Pak Nasution sekali. Mendapat pembenaran dari Papanya, mendadak Ana terdiam. Memikirkan betapa tragisnya kisah hidup Pierre Tendean ini. Selama ini yang ia tahu, Pierre hanyalah seorang Ajudan dari Jendral besar bernama Nasution.

Bola mata Ana beralih menatap sampul buku Novel Biografi Pierre Tendean yang Papanya beri. Sampul buku itu menampilkan wajah tampan Pierre yang tengah tersenyum sejurus dengan tatapan Ana. Entah mengapa, Ana jadi merasa Pierre sedang tersenyum menatapnya. Alhasil, Ana juga ikut tersenyum, seraya tangannya bergerak membelai foto Pierre di sampul depan buku.

Tingkah Ana yang membelai wajah Pierre di sampul buku, rupanya di tatap intens oleh Papanya sambil tersenyum hangat. Di sela-sela Ana larut dalam belaiannya, Pak Nasution menyahut. Membuat belaian tangan Ana terhenti.

"Kalau mau tau kisah hidup Kapten Pierre, buku itu adalah jawaban dari segala tanda tanya kamu. Buku itu lengkap membahas kisah hidup beliau, dari kecil sampai nyawanya berakhir."

Ana masih menatap wajah Pierre untuk sejenak. Ucapan Mamanya sewaktu di kamar ternyata benar. Papanya memberikan buku novel ini sebagai oleh-oleh pasti ada sebab. Dan, buku ini rupanya berguna juga untuk dirinya.

Ana mendongak lagi. Menatap Papanya dengan senyum menghiasi. "Makasih banyak ya, Pa, udah kasih buku ini ke Ana. Maaf, tadi Ana sempet buang bukunya. Papa pasti sakit hati."

Di akhir ucapan, Ana menunduk sedih. Sungguh ia merasa bersalah sudah membuang buku biografi seseorang sehebat Pierre Andries Tendean.

"Nggak, kok. Mana ada Papa sakit hati." Pak Nasution lalu mengusap lembut rambut Ana. "Semoga dengan buku ini, kamu jadi semangat dan suka belajar sejarah negara kita."

"Siapa bilang, Ana gak suka belajar sejarah? Ana suka kok! Tapi, cuma sejarah yang tertentu aja." protes Ana.

"Nah, itu yang salah di kamu. Setiap sejarah itu haruslah di pelajari. Karena sejarah, gak akan pernah terlepas dari pembangunan Indonesia sampai bisa semaju ini."

Terdapat jeda di ucapan Pak Nasution. Ana menunggu setiap kata yang akan Papanya lontarkan.

"Kamu akan mati-matian belajar sejarah, jika kamu yang menjadi bagian sejarah itu." sambung Pak Nasution. Setelah itu, beliau diam dengan tatapan lurus mengarah ke TV.

Sementara Ana, masih kepalanya mendongak menatap Papanya dari posisi rebahan di paha beliau. Ana diam menatap Papanya lekat, dengan otak yang terus berpikir maksud dari ucapan Papanya itu apa. Ana tidak bisa memahami.

Di kursi seberang, Bu Nasution tiba-tiba menguap. Ana dan Papanya jadi terintruksi. Sepertinya, kantuk menyerang Mamanya itu lebih cepat.

"Aduuhh, Mama ngantuk nih! Apa boleh, Mama tidur duluan? Kalian gak papa kan, nonton berdua aja tanpa Mama?" tanya Bu Nasution memastikan.

"Gak papa, sayang. Kamu tidur aja. Biar saya ditemani Ana." jawab Pak Nasution mewakilkan. Sempat ia mengusap kepala Ana gemas, tatkala nama Ana ia sebutkan sebagai teman menonton.

Bu Nasution pun berdiri, namun belum beranjak. Ia harus memastikan benar-benar dulu.

"Yakin, nih? Nggak bakal berantem, kan?"

"Nggak dong, Mamaku sayang... Kami udah temenan. Ya gak, Pa?"

Tangan Ana terkepal. Kepalan tangannya itu terangkat ke atas, memberi kode agar Papanya membalas pula dengan kepalan tangan. Dan, untunglah Papanya itu paham. Kepalan tangan Ana itu pun mendapat sambutan serupa.

"Yoi!" seru Pak Nasution.

Bu Nasution bergumam. Mengiyakan saja. "Oke, lah! Mama tinggal ya!"

Selepas berucap demikian, Bu Nasution putuskan melangkah pergi meninggalkan ruang keluarga.

Saat Bu Nasution melewati saklar lampu, Suaminya bersuara. "Mijn beste, (Sayangku,) tolong matikan lampunya."

Permintaan suaminya itu, Bu Nasution laksanakan. Saklar lampu ia matikan. Seisi ruang tv pun jadi gelap. Bertepatan dengan lampu mati dan Bu Nasution pergi, iklan berakhir. Film G30S/PKI, kembali di putar. Ana dan Papanya menonton film itu hikmat.

Adegan film terus bergulir maju. Kali ini, adegan mempertontonkan kedatangan pasukan Tjakrabirawa ke rumah tujuh Jendral yang menjadi target penculikan PKI. Saat adegan ini, tangan Ana tiba-tiba saja mencengkram erat baju Papanya. Buku novel Pierre berada di dalam pelukan.

"Telepon sudah terputus! Di mana Nasution?!"

"Pak Nasution, sedang tidak ada di rumah! Beliau ada di Bandung, sudah dua hari belum pulang! Kalian datang ke sini hanya untuk membunuh Anak saya?!"

Di adegan itu, keluar Pierre yang membawa senjata. Ketika sudah sampai di luar, banyak prajurit Cakrabirawa yang menghadangnya. Senapan mereka tertuju ke Pierre, membuat Pierre mau tak mau melakukan genjatan senjata.

"Berhenti! Turunkan senjata! Angkat tangan! Di mana Nasution?!" gertak salah satu pasukan Cakrabirawa, dengan pistol yang mengacung siap menembak.

"Saya Nasution,"

Bersamaan dengan pengakuan bohong Pierre, Ana bergumam. Menyesali perbuatan Pierre yang berujung mengorbankan nyawanya.

"Kenapa lo harus ngaku begitu, Pierre!"

Suara rentetan tembakan, memenuhi kesunyian ruang TV. Mata Ana terpejam takut. Ia tak sanggup mendengar suara tembakan yang begitu nyata baginya. Ana jadi membayangkan, jikalau dia di posisi anak para Jendral yang diculik pada malam itu. Apa dia akan bersikap sama? Menangisi mayat Ayah mereka yang di gotong tidak manusiawi oleh pasukan Cakrabirawa ke dalam mobil Jep. Pikiran buruk Ana mengenai Papanya adakah musuh atau tidak, kembali datang gara-gara film G30S/PKI ini.

"PAPIIII!"

Jeritan pilu dari Chatrine, salah satu Anak Jendral Pandjaitan, yang menangis seraya membaluri wajah dengan darah Papanya, membuat Ana bergidik ngeri. Ana sudah tidak kuasa melihat adegan biadab di film G30S/PKI ini. Ana pun menyembunyikan muka di perut Papanya, jadi berposisi membelakangi TV.

Pak Nasution merasakan cengkraman putrinya yang semakin menjadi. Juga, sekujur tubuh Ana bergetar hebat. Pak Nasution jadi kasihan dengan Anaknya itu. Anaknya ketakutan. Untuk menghilangkan rasa takut Anaknya, Pak Nasution mengecilkan volume TV. Supaya suara tembakan sekaligus jeritan pilu keluarga korban yang ditinggalkan, tidak terlalu Ana dengar.

"Coba bayangin, kamu yang ada di posisi anak-anak Jendral itu." celetuk Pak Nasution, beranggapan dengan ini, ia bisa mencairkan suasana. "Atau, misalnya aja nih. Malam ini, tiba-tiba rumah kita di datangi pasukan asing. Dan mereka mencari Papa."

"Aaaa, Papaaa! Apaan siihh?!" rengek Ana.

Rupanya perkiraan awal Pak Nasution salah. Ucapannya tadi gagal mencairkan suasana, tetapi malah memperkeruh keadaan. Ana yang semula hanya ketakutan, sekarang berubah jadi menangis.

Pak Nasution terbelalak, kala melihat Ana sudah menangis segugukan menyembunyikan wajah. Segera Pak Nasution bertindak. Membujuk Anaknya agar berhenti menangis.

"Papa bercanda, sayang. Cuma bercanda..."

"Bercanda Papa gak lucu! Kita udah bahas ini tadi! Papa bilang, Papa nggak akan matiii!"

Tangisan Ana bertambah. Kepanikan Pak Nasution ikut bertambah pula. Ia takut, tangisan Ana sampai di pendengaran istrinya yang ada di kamar. Nanti, ia malah mendapat amukan istrinya itu. Istrinya sudah mewanti-wanti mereka supaya tidak bertengkar di tinggalkan berdua saja, saat wanita itu tidur.

"Iya, iya, Ana. Papa nggak akan mati, kok. Maafin Papa ya, sayang. Sudah... Sudah..." Pak Nasution mengusap kepala Anaknya sayang. Usapannya itu ia harap bisa menangkan Ana.

Dan, cara itu berhasil. Ana berhenti merengek, tetapi masih dalam posisi sama. Menyembunyikan muka di pelukan Papanya. Ana membiarkan saja Papanya mengusap-usap kepalanya. Ana sangat menikmati usapan lembut Papanya. Usapan lembut itu berefek pada diri Ana. Ana jadi mengantuk. Larut dalam usapan tangan Papanya, tanpa sadar Ana menutup mata. Ia tertidur, dan Pak Nasution sepertinya tidak sadar lantaran wajah Ana yang bersembunyi.

Terlelap dalam tidur, Ana merasakan posisinya berubah. Meski tertidur, Ana ingat benar posisinya terakhir kali memejamkan mata adalan menyamping. Tapi, mengapa sekarang ia rasa posisinya terlentang lurus. Saat masih dalam keadaan memejamkan mata, alis Ana berkerut. Bingung memikirkan kejanggalan ini. Apa Papanya sudah memindahkan ia ke kamar?

Karena penasaran, Ana pun putuskan untuk bangun. Perlahan namun pasti, Ana membuka kedua mata. Pertama, pandangannya agak rabun. Ana belum tahu benar ia sedang berada di mana. Entah masih di ruang TV, atau sudah di kamarnya.

Tapi, rabun itu tidak bertahan lama. Akhirnya, Ana bisa melihat jelas sekelilingnya. Betapa terkejutnya Ana setelah sadar, jika sekelilingnya berbeda dengan kamar maupun ruang TV rumahnya.

Ana terlonjak, "Hah, ini di mana?!"

Kepala Ana mengedar ke segala penjuru arah. Jelas sekali tempat ini asing baginya.

"Paaa! Papaaa! Mamaaa! Papa, Mama, di manaa?!" teriak Ana panik.

Tak lama dari teriakannya, pintu ruangan terbuka. Ana terkejut bukan main, melihat satu wanita yang baru menginjak remaja dan satu lagi masih kecil, berdiri di ambang pintu.

Siapa mereka ini?!

Itu yang terlintas di kepala Ana, kala melihat orang yang asing baginya datang.

"Wahhh, Kakak cantiknya sudah bangun..." ucap wanita yang kecil. Ana perkirakan, usianya baru sekitar lima atau enam tahun.

Kemudian, Anak itu berseru, "Ayah! Mama! Kakak cantik tadi sudah sadar!"

Sepasang pria dan wanita datang, memenuhi panggilan Anak kecil tadi. Mereka datang memasuki kamar di ikuti kedua wanita yang sebelumnya berdiri di ambang pintu.

"Nak, alhamdulillah kamu sudah sadar!" kata seorang wanita yang datang bersama pria. Sepertinya mereka suami istri.

Ana menjauhkan tubuh, ketika empat orang itu mendekatinya di ranjang. Mata Ana menatap takut mereka bergantian.

"Siapa kalian?!" bentak Ana bertanya. Bentakan Ana itu membuat mereka terkejut.

Jujur, Ana baru pertama kali menginjakkan kaki di tempat yang ia anggap asing ini. Tetapi, entah mengapa Ana tidak merasa asing lagi dengan wajah seorang pria yang turut datang bersama istrinya ini, wanita yang bertanya pada Ana tadi. Ana seperti pernah bertemu dengan pria ini. Tapi di mana?

"Nak, kamu tenangkan diri dulu." sahut si pria yang ditanyakan oleh otak Ana. "Kamu baru sadar. Nanti, setelah kamu agak tenang, barulah kami memperkenalkan diri."

"Saya tanya, kalian ini siapa?!"

Ana tidak menghiraukan perintah pria paruh baya di depannya. Ia tetap kekeuh bertanya, sampai menemukan jawaban.

Karena terus di desak, pada akhirnya si pria paruh baya menuruti keinginan Ana. Ia pun memperkenalkan diri, setelah sebelumnya sempat melirik istrinya di sebelah. Lirikan itu berupa pertanyaan, apa ia harus memperkenalkan diri sesuai keinginan Ana.

"Baiklah, baiklah. Saya, Abdul Haris Nasution." pria yang memperkenalkan diri sebagai Nasution itu, menunjuk dirinya sendiri. "Maaf, atas keteledoran Ajudan baru saya, jadinya Nona sampai tertabrak mobil kami."

Mendengar pengakuan pria yang menyebut dirinya Nasution, lengkap dengan nama kepanjangan. Ana merasakan sekujur tubuhnya kaku. Pikiran Ana terpecah belah, memikirkan apa pendengarannya sempat salah barusan?

"Na... Nas... Sution?" beo Ana tergagap-gagap.

Pak Nasution meggangguki pertanyaan Ana itu. Berarti, pendengarannya tidak salah. Buktinya setelah Ana bertanya ulang untuk memastikan, pria itu memangguk membenarkan.

"Anda benar Nasution?! Jendral Nasution yang itu?!" tanya Ana, mengulangi pertanyaan yang sama. Dan lagi-lagi, pertanyaan Ana pun mendapat jawaban yang sama. Kali ini, yang menjawab istri Pak Nasution.

"Iya, benar. Suami saya adalah Jendral Nasution. Memangnya kenapa?" setelahnya wanita itu bertanya dengan tatapan curiga.

Bingung, panik, takut. Tiga perasaan itu memenuhi diri Ana. Tak sengaja Ana menyadari kalender yang menggantung di dinding. Bergegas dari itu, Ana berjalan menuju kalender tersebut untuk memastikan bahwa ketakutannya salah.

Tetapi, tahun yang terpampang di kalender tersebut, sudah menjadi bukti telak bagi Ana.

"Seribu sembilan ratus enam puluh lima?!" syock Ana.

Seketika kakinya lemas. Ana menoleh ke arah empat orang yang kini menatapnya bingung. Dengan mata yang berkaca-kaca, Ana melihat mereka.

"Ini beneran tahun sembilan ratus enam puluh lima?!"

"Ya, ini benar tahun sembilan ratus enam puluh lima, tepatnya tanggal enam belas April." jawab Pak Nasution.

Sedetik dari jawaban beliau, tiba-tiba saja Ana terduduk di lantai. Langsung menangis segugukan. Hal itu membuat Jendral Nasution beserta keluarga panik.

"Kamu kenapa, Nak? Ada apa? Kenapa menangis? Apa ada yang sakit?" tanya Bu Nas beruntun. Bu Nas turut memeriksa tubuh Ana. Mungkin saja ada luka. Akan tetapi, pertanyaan Bu Nas tadi malah dibalas racauan Ana yang tak jelas.

"Papaaa... Mama... Tolongin Anaaa! Ana kejebak di sini, Pa, Ma! Ana mau pulaangg! Toloongg!"

Bu Nas menoleh ke suaminya. Mereka sama-sama bingung mengapa Ana bisa sehisteris ini. Menangis segugukan nan hebat, membuat Ana kelelahan. Alhasil, tubuhnya lemas dan Ana kembali pingsan.

"Nas! Nas! Gadis ini pingsan lagi! Bawa dia kembali ke kasur!" titah Bu Nas. Segera Jendral Nasution sigap menggendong Ana. Membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Bu Nas menatap lekat wajah Ana yang sedang dalam keadaan pingsan. "Nas, sebenarnya kamu menemukan gadis ini di mana?" tanyanya kepada Jendral Nasution.

"Saat di perjalanan bersama Pierre, mobil tidak sengaja menabraknya. Gadis ini entah dari mana sudah ada di tengah jalan. Seperti menabrakan diri sendiri." jelas Jendral Nasution. Spontan Bu Nas menoleh. Merasa penjelasan suaminya tidak masuk akal.

"Apa?! Bagaimana bisa, Nas?!"

°°°

Bersambung...

Fyi untuk urusan film G30S/PKI yang Ana tonton pas bagian Pierre ngaku sebagai Jendral Nasution, itu memang saya sesuai kan seperti dialog di film. Kalo yang aslinya mengatakan, Pierre tidak pernah mengaku sebagai Jendral Nasution. Tetapi, Pierre mengaku sebagai "Ajudannya Nasution". Naas, mungkin emang takdir, pasukan Cakrabirawa dengarnya cuma bagian Nasution aja. Jadi, mereka mengira Pierre adalah Nasution, sebab beberapa pesuruh PKI yang diperintah untuk menangkap para Jendral, kebanyakan didatangkan dari pulau Jawa. Alhasil, mereka salah paham. Oke, ngerti kan yak? Jangan pula kalian yang salah paham gez, kayak pasukan Cakrabirawa😭

Sumber: Buku Sang Patriot, Pierre Tendean; pengakuan Alpiah (Pengasuh Ade Irma Suryani Nasution) sewaktu di malam berdarah. Bisa kalian baca sumber yang sudah saya cantumkan itu yaa😊

Sudah selesai baca, jangan lupa vote & commentnya untuk menunjukkan kalau kalian readers yang budiman😁

Thanks, lop yu tomat❤🍅

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top