19. MTAL - Villa Jenderal Ahmad Yani
Olaaa! Lama gak jumpa👋! Masih semangat kan, baca kisah Ana dan Om Pierre yang tak kunjung sudah? Kalo iyaa, jangan lupa vote🌟 dan spam comment💬 yang banyaakk dan semangatt! Mohon maaf apabila masih ada typo yg luput dari revisian. Maklum, namanya juga manusia, xixixi.
Happy reading guys🤗
°°°
Terparkir dua mobil di halaman rumah Jenderal Nasution. Mobil-mobil itu akan dipakai untuk perjalanan mereka menuju Vila Jenderal Ahmad Yani. Setelah berdiskusi pada diri sendiri, Pak Nas akhirnya bersedia memenuhi undangan Pak Yani di Vila pribadinya.
"Bagaimana, Yer? Semua barang sudah ditaruh?"
Pierre yang sedang menyusun barang terakhir di bagasi mobil, sontak menoleh dan mendapati Pak Nas berdiri di belakangnya.
"Sudah, Pak Nas. Ini barang bawaan terakhir, baju ganti Ade."
"Baik, kalau dirasa semua barang sudah ditaruh, ayo kita berangkat. Sudah jam delapan. Jangan terlalu lambat, nanti cuaca akan panas kalau sudah memasuki jam sepuluh." kata Pak Nas setelah melirik sekilas jam yang melingkar di tangannya.
"Baik, Pak Nas."
Pak Nas berlalu sedetik dari jawaban Pierre. Pierre pun berbalik kembali untuk menutup bagasi mobil. Tetapi setelahnya, Pierre dikejutkan oleh kehadiran seorang wanita yang berdiri tepat di sampingnya.
"Astaga, An! Kau buat kaget!"
"Santai aja kali. Nih, air dingin dari Bu Nas buat lo di perjalanan." Ana menyerahkan sebotol air mineral dingin ke Pierre. Pierre pun mengambil botol itu.
"Terima kasih."
"Sans." jawab Ana singkat, lantas berlalu begitu saja.
Pierre menatap perempuan itu yang berjalan menjauh. Alis Pierre mengerut bingung. Biasanya bila bertemu seperti kejadian tadi, perempuan itu pasti akan mengoceh panjang lebar. Sementara sekarang, Ana jadi irit bicara. Selain itu, Pierre juga bingung dengan jawaban Ana tadi. Dia tak mengerti bahasa yang Ana ucapkan.
Pierre berusaha menepis pikiran yang sama sekali tidak penting itu. Ia pun berjalan hendak masuk ke dalam mobil. Namun, suara ribut banyak orang menghentikan niatnya. Pierre menoleh ke sumber suara. Ia lihat, Bu Nas tampak mendorong-dorong kecil Ana ke arahnya. Ana terlihat memberontak. Di sana juga ada Alpiah dan Yanti yang diam saja melihat perdebatan dua orang itu.
"Kamu di mobil dengan Pierre saja, An."
"Ih, Ibu, gak mauuu! Ana kan udah booking duluan tadi malem naik mobil bareng sama Pak Nas dan Bu Nas!"
"Iya, tapi muatannya tidak cukup. Kamu tidak sendiri kok di sana. Kan ada Yanti dan Alpiah."
"Ada apa ini, Bu?" Pierre menghampiri kejadian tempat perkara.
"Nah, itu orangnya langsung jemput kamu, loh! Nih, Pierre, angkut Ana!"
Bu Nas mendorong kuat tubuh Ana, lantas berlari kabur. Dorongan Bu Nas itu lumayan kuat sampai-sampai Ana menabrak tubuh Pierre di depan. Pierre yang memiliki insting cekatan, langsung menahan kedua pundak Ana namun posisinya seperti agak memeluk. Menyadari posisinya saat mendarat, Ana sontak memekik kemudian menjauh. Ana menoleh kesal ke arah Bu Nas yang sudah masuk ke mobil. Wanita paruh baya itu tidak ada tanggung jawabnya atas apa yang telah ia lakukan.
"Senyum, Yer!" teriak Hamdan mengacungkan jempol. Hamdan lalu masuk ke dalam mobil yang di dalamnya ada Bu Nas, Pak Nas, Mardiah, dan Ade. Pierre tahu bahwa Hamdan tadi bermaksud menggodanya.
Mobil yang dikendarai Hamdan melaju lebih dulu. Ana menatap kesal kepergian mobil itu. Mereka ditinggal.
"Sudah lah Kak Ana, jangan marah-marah." kata Yanti lesu melihat tingkah Ana itu. Saling diam beberapa saat, akhirnya Ana pun berujar ketus kepada Pierre.
"Yaudah, ayo jalan! Lama!"
"Baik, Nyonya besar."
Mata Ana melotot marah mendengar jawaban Pierre. Sementara Alpiah dan Yanti menahan tawa melihat kelakuan dua sejoli yang tak pernah akur itu.
°°°
Rombongan Pak Nas sampai ke lokasi yang disebutkan pada undangan. Sesampainya di sana, mereka dihadapkan pada hutan yang membentang luas. Vila milik Jenderal Yani berada di tengah-tengah hutan. Oleh karena itu, mobil tidak bisa masuk. Satu-satunya cara untuk sampai ke sana adalah dengan berjalan kaki.
Pak Nas menghela napas. "Yah, sepertinya cuma sampai di sini mobil bisa masuk. Seterusnya, kita harus berjalan kaki. Ayo,"
"Seriously?! Harus lewat hutan?! Pak Yani yang bener aja beli Vila di sini!" teriak Ana yang langsung ditegur Pierre.
"Hush! Jangan berteriak! Kau bisa memancing makhluk buas!"
"Masih mending makhluk buas. Kalau hantu? Hiiii!" sahut Yanti bergidik.
Bu Nas berdecak, "Ngelantur, mana ada hantu saat pagi cerah begini."
"Kan bisa saja, Ma,"
"Sudah-sudah, semakin lama nanti kita sampai kalau terus diam mengobrol di sini." Pak Nas menengahi, kemudian melangkah lebih dulu.
Mereka melewati hutan yang rimbun serta jalan yang lumayan terjal. Setapak jalan di penuhi batu kecil maupun besar. Ukuran jalan pun tak begitu lebar.
"Lihat! Ada burung!" Ade berteriak spontan, membuat semua orang menengok ke arah yang ia maksud.
"Wah, iya, benar..." Ana mengulas senyum terkagum melihat burung yang bertengger di atas dahan pohon.
Senyuman Ana ini rupanya tak luput dari pandangan Pierre. Diam-diam tanpa sepengetahuan Ana, Pierre memotret wanita itu menggunakan kamera miliknya. Namun, siapa sangka perbuatan Pierre ini diketahui seseorang.
"Waahh, berdosa kamu, Yer!"
Pierre tersentak, buru-buru menjauhkan kameranya dari jangkauan Hamdan.
Hamdan tersenyum miring. "Parah kamu Yer, kuberitahu Ana ya!"
"Tutup mulutmu!"
Pierre spontan membekap mulut Hamdan. Hamdan memberontak berusaha membuka bekapan telapak tangan Pierre di mulutnya. Perseteruan dua orang ini tak lama disadari oleh Alpiah.
"Kalian kenapa?"
"Tidak ada!" Pierre dengan cepat melepaskan bekapan tangannya dan menjauh dari Hamdan. Sementara Hamdan yang baru saja disiksa Pierre, memperlihatkan tatapan membunuh ke pria itu.
"Kenapa burung itu mematuk pohon, Ma?" tanya Ade polos yang kemudian di jawab Mardiah.
"Karena kalau dia menyahut, itu burung beo namanya."
"Iya, seperti Ade!" tambah Alpiah mencubit pipi Ade gemas. Bibir Ade mencebik.
"Ade tidak seperti itu!"
Tawa semua orang pecah melihat anak kecil berusia lima tahun itu cemberut dengan bibir yang maju ke depan. Ade menenggelamkan wajahnya kedalam pelukan sang ibu. Ia merajuk.
°°°
Setelah beberapa lama melewati hutan, sampailah mereka di sepetak tanah luas. Berdiri satu-satunya rumah yang diyakini mereka bahwa itu adalah vila Jenderal Ahmad Yani. Tegak juga sebuah tenda yang menaungi ramainya orang di sana. Jenderal Nasution sudah tidak asing lagi dengan wajah-wajah di sana. Semua rekan-rekan sesama Jenderal rupanya turut di undang. Nasution kira, hanya dirinya dan keluarga. Syukurlah keadaan ramai, jadi dia tidak merasa canggung. Tapi di satu sisi, Ana terhenyak di tempat. Ana perhatikan wajah-wajah sepanjang matanya memandang.
"In--ini... Semua Jenderal yang jadi korban kebiadaban PKI hadir?! Keenam Jenderal itu sekarang ngumpul jadi satu?!"
Ana berteriak histeris di batin. Jiwanya amat terguncang. Ana syock berat. Bahkan saking syocknya, Ana merasa sulit mengedipkan kedua matanya.
"Kenapa kau?" Pierre menyikut Ana pelan. Sedari tadi ternyata Pierre menyadari perilaku Ana. Ana tampak seperti orang yang habis melihat hantu. Pierre jadi khawatir.
Ana tersadar. Barulah ia dapat mengedipkan kedua matanya. Kepala Ana menggeleng beberapa kali.
"Ng--nggak! Gu--gue... Gue cuma capek aja! Ma--makanya diem!" dua detik setelahnya, Ana pura-pura marah seperti biasa agar Pierre tidak terus-terusan menatapnya curiga. "Haelah, elo mah ganggu ketenangan gue aja!"
Pierre memutar bola mata malas, lantas berdecih. Ia membuang muka, tidak menjadikan Ana objek pusat lagi. Setelah memastikan fokus Pierre berubah, Ana baru bisa bernapas legah.
Jenderal Ahmad Yani menghampiri rombongan Jenderal Nasution. Tuan rumah itu menyapa Pak Nas, tak lupa dengan uluran tangan.
"Selamat datang, Bang. Lama tidak berjumpa,"
Pak Nas belum merespons. Pria itu malah menatap uluran tangan Pak Yani, rekan kerjanya yang dulu amat dekat.
"Apeni, apeni, apeni? Kok diem-diem bae? Aduh, buset, srepet, canggung banget gilaaakk! Pak Nas ngapa diem dah?! Tolong dong Pak Nas, jangan buat aing gigitin piring ya, karena gemes sama kelakuan situuu! Sambut dong jabatan tangannya! Sambuuuttt, buruaaann, ya Allah, ya Tuhankuuu!" batin Ana resah luar biasa.
Mendadak suasana berubah jadi canggung berkat tindakan Pak Nas itu. Orang-orang di sana melirik panik ke Pak Nas. Mereka juga sama seperti Ana, gelisah dengan Pak Nas yang belum menyambut uluran tangan Pak Yani.
Padahal, Pak Nas diam karena pikirannya sedang terbang ke masa lampau. Di mana dulu, dia pernah dekat dengan pria ini. Sering berdiskusi, bermain bersama, bahkan mengobrol santai. Pak Nas sudah menganggap Pak Yani selayaknya Adik. Tetapi, karena sebuah keputusan dari atasan, hubungan mereka jadi renggang. Ini kali pertama mereka bertemu di luar jam kerja setelah peristiwa itu.
Sadar sudah lama berkelana ke masa lalu, Pak Nas pun akhirnya menyambut uluran tangan itu. Semua orang bernapas legah ketika melihat dua lelaki itu saling berjabat tangan.
"Ya, sudah lama sekali. Apa kabar?"
"Baik, kabarku baik. Terima kasih sudah datang. Mari, bergabung. Yang lain sudah menunggu."
Pak Yani selaku tuan rumah, dengan ramah mengarahkan rombongan keluarga Pak Nas ke meja tamu. Bu Nas menyerahkan kue yang telah ia buat kepada Bu Yayu, istri Pak Yani. Istri kedua Jenderal itu pun akrab. Ketika suami mereka sedang dalam masalah, mereka tidak ikut serta. Hubungan keduanya tetap akur. Bahkan mereka tetap sering bertemu untuk belanja bersama ataupun bertemu sekadar bercerita.
Karena semua orang yang diundang sudah hadir, Pak Yani pun membuka kata sambutan.
"Selamat pagi semua, rekan-rekan kerja saya beserta keluarga yang bersedia hadir. Saya senang sekaligus tersanjung. Di tengah kesibukan, saudara-saudara dapat menyempatkan hadir di jamuan kecil-kecilan yang saya adakan. Sebenarnya, jamuan ini saya peruntukan untuk Amelia yang baru saja lulus ke seleksi SMA sederajat. Itu merupakan suatu keberkahan yang patut dirayakan. Saya harap, saudara-saudara yang hadir puas dengan hidangan sederhana dari kami."
Di akhir kata, Pak Yani menyelipkan sedikit candaan. "Yayu itu yang buat. Kalau keasinan, itu tandanya dia mau kawin lagi."
"Ah, Mas ini bercandanya jelek!" Bu Yayu mengibaskan tangan dengan wajah yang tampak malu karena digoda sang suami. Candaan Pak Yani tadi tak elak membuat seluruh tamu undangan tertawa.
"Ku kira, kau berulang tahun tadi." ucap salah satu tamu, ialah Letnan Jenderal Suprapto.
Sosok Jenderal itu Ana tatap lekat. Di dalam otaknya mulai mengingat beberapa fakta sejarah tentang kematian Jenderal itu. Saat malam terjadinya penculikan itu, Letjen Suprapto sulit tertidur lantaran giginya baru saja dicabut. Jenderal itu diculik dalam keadaan menggunakan kemeja piyama, sarung kotak-kotak, dan sandal. Tak siap berpakaian rapih dulu.
"Tidak. Ah, Kangmas ini masa lupa. Kan, yang ulang tahun duluan di bulan Juni itu Bapak." Pak Yani menjawab dengan nada kecewa yang dibuat-buat, sebab Pak Suprapto melupakan tanggal lahirnya. Bapak yang dimaksud oleh Pak Yani adalah Pak Soekarno.
"Tapi, untunglah bukan ulang tahun kau. Aku lupa menyiapkan kado soalnya. Titip doa saja semisal benar kau yang berulang tahun. Berdoa semoga agar kau tidak cepat emosi. Sudah banyak anggota-anggota yang melapor diteriaki dan dimarahi habis oleh kau."
Tawa Pak Yani pecah mendengar pengakuan Letjen Suprapto. Tak elak orang-orang pun juga tertawa mendengar pengakuan tersebut, kecuali Ana. Mana bisa Ana tertawa di saat otaknya tengah menerawang masa depan orang-orang yang kelak akan bernasib naas ini. Seolah durasi waktu dunia melambat, ketika Ana melihat tawa orang-orang yang ada di sana. Kebahagian mereka, siapa sangka akan berganti duka dalam hitungan bulan.
"Bapak jangan banyak tertawa, nanti giginya sakit." celetuk Ana, seketika menghentikan tawa orang-orang. Semua pandangan langsung mengarah ke Ana.
"Eh? Ini siapa?" Pak Suprapto menatap Ana dengan kening berkerut. Tatapannya mengedar ke seluruh orang, meminta jawaban. Kehadiran Ana yang asing, baru disadari para Jenderal lain.
"Dia Ana yang beker--"
"Calon istri Pierre!" Mardiah menyela Pak Nas yang akan menjelaskan.
"Hah? Yang benar kau, Yer?" tanya Letjen M. T. Haryono kaget.
"Tidak, Jenderal! Jangan percaya, Mardiah! Suka mengada-ngada dia itu!"
"Ah, tapi kau ingin kan? Jujur saja, kau!" Mardiah senyum-senyum lebar menggoda Pierre. Alis wanita itu naik turun. Mulut Pierre terbuka ingin membalas tuduhan Mardiah, namun sudah didahului Bu Nas.
"Eh, apa ini? Sudah-sudah, kalian jangan bertengkar! Mardiah, kamu pindah tempat duduk saja dengan Hamdan sana. Biar Ana yang di dekat Pierre. Dua orang ini suka bertengkar memang." Bu Nas tersenyum tidak enak pada orang-orang.
"Cieee... Yang duduk berduaaa!"
"Heh, sudah Mardiah! Kamu ini!" tegur Bu Nas, karena Mardiah masih saja mencoba menggoda Pierre dan Ana. Pierre tampak diam, namun dengan muka menekuk.
"Jadi, ini tadi Ana siapa?" Jenderal Ahmad Yani bersuara, mengembalikan topik pembicaraan yang sempat teralihkan.
"Anastasya, Jenderal. Anastasya Princessa Nasution."
"Loh? Anakmu, Nas?" Jenderal S. Parman menoleh cengo ke Jenderal Nasution. Bukan hanya Jenderal S. Parman. Semua orang jadi ikut menoleh ke satu orang yang sama.
"Bukan kok, Pak, bukan!" sanggah Ana dengan cepat memberi klarifikasi sebelum Pak Nas. Kini seluruh mata jadi beralih ke Ana. "Memang kebetulan saja marga kami sama. Ya, jadi gitu. Hehe, mohon maaf lahir batin."
Alis Pierre mengerut. Merasa aneh dengan Ana yang tiba-tiba minta maaf seperti lebaran. Tapi setelah Pierre pikir ulang, kelakuan Ana itu sudah biasa. Wanita itu memang aneh. Jika tidak aneh, malah itu bukan Ana.
"Oalah..." Pak S. Parman mengangguk beberapa kali. Setelah itu, Pak Yani membuka topik obrolan baru sembari semua orang menyantap hidangan.
"Yer, kudengar-dengar Adikmu si Roos akan menikah?"
"Betul, Pak. Keluarga sudah sepakat bulan Juli nanti jika tak ada halangan."
"Wah, bagus-bagus. Kami ini diundang tidak?"
"Tentu diundang, Pak. Semuanya akan saya undang, karena saya, Roos, dan sekeluarga merasa tersanjung apabila semua Jenderal dapat hadir di acara kami."
"Adikmu saja mau menikah, Yer. Kau kapan? Masa kau dilangkahi Adik sih?" sindir Jenderal Pandjaitan. Semua orang kompak terkekeh meledek Pierre, kecuali Ana. Pierre yang disindir begitu, tersenyum kikuk.
"Pierre kan sama Ana katanya tadi." ujar Jenderal Sutoyo sontak membuat Ana dan Pierre terbelalak. Kena lagi mereka.
"Njir, gak di rumah, gak di sini, kena mulu perasaan gue,"
Mardiah tergelak puas mendengar ucapan Jenderal Sutoyo. Ia senang karena tampaknya Jenderal Sutoyo satu aliansi dengannya. Pierre menengok Mardiah dengan tatapan maut, menyuruh wanita itu diam. Namun Mardiah tidak peduli. Dia bahkan mengejek Pierre dari kejauhan.
"Sudah-sudah. Kalian ini, suka sekali meledek Ana dan Pierre." Pak Yani menengahi. Ana tertawa merasa dibela. "Kalau begini terus, mereka benar-benar menikah bagaimana? Harus siap amplop isi banyak kalian."
Ana yang semula senang, langsung terbelalak. Rupanya Pak Yani bukan menengahi, malah ikut menggoda. Tidak ada yang bisa diandalkan di sini. Semua orang menyerangnya.
°°°
Selesai menyantap hidangan, para Jenderal berkumpul di lapangan untuk memainkan beberapa permainan. Seperi Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution yang bermain golf. Dan keempat Jenderal lain memainkan badminton.
"Kita dulu sering sekali bermain golf tiap sore." Pak Nas membuka percakapan seraya tangannya berancang-ancang mengayunkan stick golf.
"Ya, terakhir kapan?"
"3 tahun yang lalu." Pak Nas menjawab setelah bola golf berhasil dia pukul. Pak Nas dan Pak Yani sama-sama mengamati bola golf itu yang melambung ke udara.
"Dan Abang masih saja tak sehebat diriku dalam menembak." sambung Pak Yani setelah golf itu terlihat tak masuk ke lubang.
Pak Nas tertawa kecil, lantas berpindah posisi dengan Pak Yani. "Kau cobalah. Aku ingin melihat, apakah keahlianmu masih sama seperti 3 tahun yang lalu."
"Tidak mau sombong, tapi kualitasnya masih sama tuh." Pak Yani mengedikkan bahu dengan wajah sombong terlihat jelas.
"Ya, ya, ya, buktikan saja dulu baru besar cakap."
Pak Yani terkekeh dan mengambil posisi. Matanya mengamati dengan seksama stick yang akan ia dorongkan ke bola. Ana yang sedari tadi juga berdiri di sana, ikut merasa tegang.
Tak!
Bola golf yang Pak Yani pukul melambung tinggi ke udara. Mata Ana menyipit memperhatikan bola itu apakah jatuh ke lubang tepat sasaran. Ucapan Pak Yani pun nyatanya selaras dengan tindakan. Bola itu secara sempurna masuk ke lubang.
"WOHOOO! ANJAY, BUSET, SREPET, MASUK PAK EKOOO!" teriak Ana sangat heboh hingga membuat semua orang yang berada di sana menoleh kaget ke arahnya, terutama Pak Yani dan Pak Nas yang berdiri dekat dengan wanita itu.
"Pak Eko siapa?" tanya Pak Yani dengan alis mengerut menatap Ana. Kemudian Pak Yani menoleh ke Pak Nas yang sama-sama bingung.
Menyadari tindakannya sukses menarik fokus semua orang, Ana tertawa canggung. Ia tersenyum tidak enak ke semua orang, lantas memberi penjelasan ke Pak Yani.
"Pak Yani maksud saya, Pak. Hehe, tadi lidah saya keseleo Pak, makanya salah sebut nama orang."
"Ada ya yang begitu? Lucu juga," kata Pak Yani malah membuat Ana ketar-ketir. Perkataan Pak Yani mirip Dosennya saat menyindir mahasiswa caper di kelas.
"Pa maksud? Ini Pak Yani gak nganggep gue bocah freak kan ya?"
"Ana mau coba?" tawar Pak Nas berhasil menghempaskan hati Ana yang ketar-ketir. Pak Nas menyerahkan sticknya kepada Ana. "Bisa main golf?"
"Sedikit, Pak."
"Oke, cobalah. Kami mau lihat."
"Oke, Pak Nas! Markicob!" seru Ana kembali melontarkan kalimat aneh lantaran terlalu bersemangat.
"Apa itu markicob?" tanya Pak Yani.
"Mari kita coba, Pak."
"Oh, jadi itu singkatan, ya?"
"Nah, iya, Pak! Seratus juta buat Pak Yaniii! Pajak seratus persen ditanggung pemenang!" seru Ana mengacungkan dua jempol. Pak Yani dibuat speechless.
Pak Nas menggelengkan kepala sudah maklum dengan sikap aneh Ana. Ia lalu berbisik ke Yani.
"Memang begitu Anaknya. Rada-rada aneh, tapi jangan takut. Baik kok."
"Abang jamin?"
"Jamin!"
Mendengar Pak Nas berkata dengan yakin seperti itu, Pak Yani pun percaya bahwa Ana adalah wanita normal. Andai saja Pak Nas tidak memberi jaminan demikian, mungkin Pak Yani sudah menganggap Ana kurang waras dan patut menjaga jarak.
"Sebentar, saya ambilkan bola yang baru dulu." Pak Yani melenggang pergi meninggalkan Ana dan Pak Nas. Setelah jarak Pak Yani lumayan jauh dari mereka, Ana pun mendekatkan jarak ke Pak Nas. Wanita itu berbicara pelan.
"Tadi Pak Nas dan Pak Yani ngomongin apa? Jangan bisik-bisik dong, Ana mau tau uga. Kepo tau."
"Ngomongin kamu!" sentak Pak Nas membuat Ana cemberut.
"Dih, Pak Nas, jangan jujur-jujur amat napa?"
"Jujur itu buat mujur, An."
"Affaahh iyyaahh?"
Mata Pak Nas membulat kaget mendengar kalimat yang lebih ajaib dari Ana. Wajah kaget Pak Nas itu tampak lucu di mata Ana. Ana tertawa geli. Sampai di suatu detik, seseorang menepuk bahunya. Membuat Ana kaget dan spontan mengarahkan ujung lancip stick golf ke leher seseorang itu.
Orang yang menepuk pundak Ana rupanya Pak Yani. Tubuh Pak Yani menegang di tempat dengan mata membulat menatap stick golf yang mengarah ke lehernya. Semua orang yang awalnya sibuk terhadap urusan masing-masing, sontak terdiam di tempat juga lantaran terkejut dengan pemandangan yang mereka lihat.
Stick golf itu mengarah ke leher Pak Yani, tepat di denyut nadi. Beruntung Ana tidak melakukan sentakan kuat saat mengayunkan stick golf itu. Kalau sempat Ana melakukan hal itu, mungkin Pak Yani akan mati di tempat. Pasalnya ujung stick golf itu terbuat dari besi dan tajam.
"Ana."
Suara Pak Nas menyadarkan Ana. Mata Ana yang semula menajam, berubah sendu seketika. Ana langsung mundur dan menjauhkan stick golf itu dari leher Pak Yani. Ana menatap Pak Yani dengan pandangan bersalah.
"Pp--Pak! Sa--saya ben--bener minta maaf! Saya... Saya gak sengaja!" mohon Ana, suaranya bergetar. Mata wanita itu pun berair menahan tangis.
Pak Yani diam, tidak merespons permintaan maaf Ana. Hal itu membuat Ana semakin merasa bersalah dan takut. Tepatnya yang paling kuat itu adalah rasa takut. Ana takut terhadap pandangan orang-orang atas tindakannya. Apalagi yang hampir ia celakai adalah seorang Jenderal.
Namun, Pak Yani diam bukan karena tak mau memaafkan Ana, melainkan memikirkan kejadian tadi. Kejadian saat Ana mengarahkan stick golf tepat sasaran ke denyut nadinya di leher. Pak Yani kaget akan kepekaan Ana yang sama persis seperti prajurit-prajurit ABRI. Memiliki kepekaan yang gesit dan tepat sasaran seperti itu bisa didapat karena sering latihan. Bukan hal yang mudah, bukan pula karena bakat.
Pak Yani menatap Ana lekat. "Anak ini macam bukan Anak orang biasa. Dia seperti sudah dilatih sejak lama oleh orang yang berpengalaman. Seperti gerakan seorang Jenderal."
°°°
Waktu pun berlalu begitu cepat. Tak terasa, semburat jingga telah memenuhi langit sore. Para Jenderal beserta keluarga berangsur-angsur pulang. Rombongan keluarga Pak Nas menjadi yang terakhir beranjak.
"Aku pulang dulu, ya," pamit Pak Nas menjabat tangan Pak Yani. Keduanya berpelukan sejenak.
"Hati-hati di jalan, Bang." pesan Pak Yani. Pak Nas pun tersenyum hangat.
"Ya, terima kasih, sampai berjumpa lagi."
Selepas berucap demikian, Pak Nas berbalik hendak masuk ke mobil. Semua keluarganya sudah berada di dalam mobil. Namun, belum saja Pak Nas meraih gagang pintu mobil, Pak Yani bersuara sontak menghentikan niatnya.
"Bang!"
Pak Nas menoleh. "Ya, Yan?"
"Di pesta ulang tahun Bapak nanti, Abang bawa juga si Ana ya?"
Alis Pak Nas sontak mengerut. Entah mengapa Pak Nas merasa aneh dengan permintaan Yani. Padahal itu adalah permintaan biasa. Tanpa diminta pun, ia akan membawa Ana. Namun, Pak Nas tidak mau ambil pusing. Ia mengiyakan saja permintaan Yani itu.
Setelah perbincangan singkat itu, Pak Nas masuk ke mobil. Melihat suaminya yang sempat berbalik lagi, membuat Bu Nas penasaran. Perasaan Bu Nas mengatakan pembicaraan tadi bukanlah pembicaraan yang biasa.
"Ada apa?" tanya Bu Nas.
"Sepertinya Yani memiliki kecurigaan yang sama seperti kita. Mengenai Ana."
Jawaban suaminya itu spontan membuat Bu Nas menoleh ke belakang di mana mobil rombongan Ana dan Pierre berada. Tak lama Pak Nas menyusul menoleh ke belakang. Tatapan kedua orang itu menuju ke satu objek yang sama, yaitu Ana.
°°°
Bersambung...
Jadi gimana part kali ini? Seru atau tidaaa?! Terima kasih ya, yang masih menanti cerita ini dengan semangat. Masih setia untuk vote apalagi spam comment. Saya seneng banget. Saya suka tau baca-baca komentar kalian. Moodboster banget hihi. Bagi yang belum vote, segera vote yaa!
Oh ya, saya gak tau panggilan akrab sesama Jenderal itu apa, jadi saya buat saja Pak Yani manggil Pak Nas abang, karena lebih tua Pak Nas umurnya. Dan, umur-umur para Jenderal sudah saya sesuaikan ya menurut tahun lahir mereka. Pak S. Parman lahir di tahun yang sama kayak Pak Nas, jadi gak manggil pakek embel-embel "Abang" kayak Pak Yani ke Pak Nas. Okedoki👌. Sampe sini paham kan?
Fakta Sejarah!
1. Pada malam penculikan itu, Mayjen Suprapto memang tidak bisa tidur lantaran sakit gigi habis dicabut dan beliau saat di jemput cakrabirawa hanya menggunakan piyama tidur serta sarung. Sumber dari buku: "Sang Patriot Biografi Resmi Pierre Tendean".
2. Pak Yani memang mempunyai Vila, namun lokasi Vila tidak dicantumkan berada di mana. Dan Pak Yani serta Pak Nas juga sering menghabiskan waktu bersama dengan bermain golf. Dua informasi ini tercantum pada sumber: Historia.id
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top