18. MTAL - Jenderal Besar itu Seorang Guru
Hati-hati ranjau typo bertebaran di mana-mana. Kalo ada typo, maklum. Namanya juga manusia. Eh nggak deng. Saya kan bidadari. Azeekk🤣.
Oke skip!
Jangan lupa vote & comment yang banyak! Awas gak comment. Dah menyempatkan diri saya ngetik loh ini, tadi malam begadang huhu😭
Happy reading cintaahh😘❤
°°°
Ana yang baru selesai mengerjakan pekerjaan dapur berjalan santai hendak menuju ke kamarnya. Namun di perjalanan, sontak kaki Ana berhenti melangkah ketika melewati sebuah ruangan. Ana perhatikan ruangan yang terbuka itu dari luar. Diri Ana ragu melangkah untuk masuk, namun rasa penasarannya lebih kuat.
Ruangan yang sedang ia lihat ini adalah ruangan kerja Pak Nas. Di masa depan, Ana pernah kemari sewaktu rumah Pak Nas sudah menjadi museum. Bentuk ruangan Pak Nas di masa depan dan masa lalu tak jauh beda. Meski tak jauh beda, pasti ada juga perbedaannya. Maka dari itu, Ana penasaran ingin masuk melihat perbedaannya apa saja.
"Masuk apa nggak ya? Penasaran gue. Liat secara langsung di zamannya pasti amazing banget." gumam Ana berperang dengan hati dan logikanya.
"Kalo gue masuk, Pak Nas marah gak ya? Kan, gak sopan." Ana celingak-celinguk. Kanan dan kirinya tidak ada orang sama sekali. Bu Nas menjemur di pekarangan belakang. Mardiah menyapu teras depan.
Ana mendesis, "Gak papa lah! Sekali seumur hidup dapat kesempatan emas jangan disia-siakan."
Pada akhirnya, Ana memilih kata hati. Hatinya yang menggebu-gebu ingin segera masuk. Kaki Ana melangkah pelan. Bola matanya bergerak ke sana kemari mengamati segala perabotan yang ada di ruang kerja Pak Nas. Ana yang memang usil dari sananya, tidak tahan menyentuh barang yang ia lihat. Dari mulai telepon genggam, kursi, rak buku, bahkan dinding pun Ana sentuh. Ana merasa senang saat menyentuh barang-barang ruang kerja Pak Nas. Seperti ada kebanggan tersendiri.
Langkah Ana seketika saja terhenti di depan meja. Terdapat sebuah bingkai foto di atas meja tersebut. Foto itu memotret moment Pak Nas sedang memangku Ade. Dahi Ana mengernyit. Rasa-rasanya ia pernah melihat foto ini. Foto itu tampak tidak asing di ingatannya.
Setelah Ana ingat-ingat, ternyata itu foto yang amat sering berseliweran di internet. Foto yang sangat melegenda. Tercetak senyum di bibir Ana saat memandang foto itu. Ana mengeluarkan ponselnya, berencana ingin memotret bingkai foto itu. Meski foto itu bisa ia dapati di internet secara mudah, Ana berpikir memotret langsung lebih baik.
"Ana."
Ana tersentak, kala suara seorang pria terdengar. Ana menoleh kaget ke arah pintu. Berdiri Pak Nas di sana. Ana merasa agak agak tenang setelah tahu yang datang Pak Nas, tapi selang beberapa detik saja Ana kembali panik. Benar, dia memang seharusnya panik karena pemilik ruangan datang.
"Eh, Pak Nas. Ngapain di sini, Pak?"
"Goblok, ngapa lu nanya begitu?" batin Ana dengan cepat merutuki diri sendiri sebab melontarkan pertanyaan yang tidak etis. Jelas ini ruangan Pak Nas, tentu beliau akan mendatangi ruangannya. Ana lihat Pak Nas pun berekspresi aneh.
"Eemm... Ini... Ruangan saya, An. Hehehe," Pak Nas terkekeh hambar yang anehnya pula ditiru oleh Ana.
"Oh, iya... Ini ruangan Bapak. Hehehe..."
"Jadi... Kamu ngapain di ruangan saya? Lagi cari apa?"
"Mampus gue! Langsung ditanyain dong, lagi cari apa? Serasa maling gue,"
"Itu, Pak... Ng... Gak ada sih, cum--cuma kebetulan lew--lewat aja tadi." alibi Ana, namun diragukan Pak Nas sebab bicara terbata-bata. Nampak sekali berbohong. Dari cara bicara Ana yang begitu, sebenarnya Pak Nas sudah tahu. Akan tetapi Pak Nas mengiyakan saja. Pak Nas mengangguk.
"Oohh, jadi... Tidak sengaja, cuma lewat saja?"
"I--iya, Pak!"
"Oohh..." Pak Nas mengangguk lagi. Ana menunduk tidak berani bertatap mata. Menunggu tanggapan Pak Nas selanjutnya. "Ya, sudah! Mumpung kamu di sini, An. Kamu bantu saya merapikan buku-buku di sini. Lihat, berantakan karena ulah Yanti yang mencari buku untuk belajar."
Ana menoleh sebentar ke seluruh rak buku yang Pak Nas tunjuk, setelahnya kembali menengok Pak Nas. Ana memandang Pak Nas kebingungan. Ana pikir, dia akan dimarahi atau terus-terusan diinterogasi. Mengingat Pak Nas adalah seorang Jenderal Militer. Papanya saja melontarkan banyak pertanyaan hingga merinci jika dia melakukan sesuatu.
"An?" Pak Nas menyadarkan Ana dari lamunan. "Lah, kok, melamun kamu? Lagi mikirin siapa? Pierre ya?"
"Apaan sih, Pak Nas! Nggak lah! Ngapain juga mikirin dia?" Ana membuang muka. Bibirnya cemberut kesal. Bisa juga Pak Nas menggodanya.
"Halah kamu! Malu-malu kucing kamu, An. Sudah lah, kalian itu cocok." detik selanjutnya, mendadak suara Pak Nas merendah. "Sejujurnya ya, An. Bapak mendukungmu kalau kamu sukanya, Pierre."
"Ih, kok gitu Pak?" Ana sontak menjauhkan tubuhnya lantaran kaget mendengar ucapan Pak Nas yang blak-blakan.
"Karena Bapak kenal baik Pierre, dan Ibu Pierre masih ada hubungan keluarga dengan Istri saya. Saya pun kenal baik, kamu. Jadi, tidak ada yang salah kan? Cocok!"
Setelah berkata demikian, Pak Nas berkelakar seraya memukul beberapa kali pundak Ana layaknya teman tongkrongan. Ana menatap datar punggung Pak Nas yang berpaling sesudah menepuk-nepuk lengannya.
"Ngapa Bapak-bapak suka banget dah, ngetawain hal yang gak seharusnya lucu? Ngakak kenceng pula tuh. Gue pikir, Pak Nas tipikal Bapak-bapak yang beda. Ternyata sama aja. Sama kek Bapak gue, njir!" batin Ana heran. Kelakuan Pak Nas yang sering kali random membuat dia jadi ikut berpikiran random.
Ana mengambil kemoceng yang tergantung di dinding ruangan. Sesuai titah Pak Nas yang menyuruhnya merapihkan buku-buku di rak. Banyak debu yang menempel rak buku itu, juga bukunya. Jadi, sekalian saja Ana bersihkan semuanya.
"Buku Pak Nas banyak banget deh." celetuk Ana seraya tangannya menggerakkan kemoceng ke sana ke mari. Pak Nas yang sedang memeriksa beberapa bukunya, menoleh ke Ana.
"Iya, karena saya suka baca." jawab Pak Nas, tiga detik setelahnya pria itu membuka topik cerita lain. "Kamu tau, An? Saya dulu sama sekali tidak punya pikiran mau jadi tentara."
"Lah, terus? Mau jadi apa emang? Ada-ada aja Bapak-bapak punya kelakuan." sahut Ana malah di batin. Karena tidak mendapatkan respons balik dari Ana, Pak Nas pun melanjutkan.
"Saya dulu seorang Guru."
"Etdah, buseettt!" teriak Ana kencang, spontan ia membekap mulutnya sendiri.
Pak Nas tersenyum kecil melihat respons Ana barusa. "Iya, serius saya, An."
"Tapi, kok bisa jadi tentara sekarang? Gimana ceritanya?"
Pak Nas tidak langsung bercerita. Ia berjalan duduk di kursinya. Mencari tempat nyaman sebelum memulai kisah perjalanan hidupnya yang panjang. Ana berjalan mendekat. Ia pun ikut duduk di salah satu kursi di samping Pak Nas.
"Di zaman Hindia Belanda dulu, An, kesejahteraan ekonomi cukup terjamin jika menjadi guru." kata Pak Nas yang dikomentari Ana lewat batin.
"Beda banget pas zaman gue hidup. Kesejahteraan guru justru menurun. Padahal udah merdeka."
"Menjadi guru derajatnya sama dengan priyayi. Kamu tahu kan, setinggi apa pangkat priyayi di zaman itu?"
Ana mengangguk mengiyakan seolah paham, padahal nyatanya ia sama sekali tidak tahu apa itu priyayi. Jika Ana bertanya apa itu priyayi, nanti alur cerita akan berubah ke mana-mana. Maklum, yang sedang diajak bercerita sekarang adalah Abdul Haris Nasution. Seorang Jenderal yang memiliki pikiran luas.
"Saya senang sekali waktu diterima sebagai siswa Sekolah Raja. Dapat masuk ke sekolah itu menjadi kebanggaan bagi saya, karena hanya satu siswa saja yang diterima dari tiap sekolah."
"Serius, Pak? Emang itu sekolah apaan sih? Nama sekolahnya pakek diselipin kata-kata Raja segala. Macam betul!"
Pak Nas tersenyum maklum melihat Ana yang berceloteh memprotes nama sekolah itu. "Memang nama sekolahnya itu, Ana. Pasti kamu berpikir Sekolah Raja adalah sekolah khusus Raja kan? Sekolah khusus orang-orang kaya, begitu?"
Ana tertawa hambar. Ia jadi malu sendiri atas tebakan benar Pak Nas mengenai pikirannya. Memang betul Ana berpikiran seperti tadi sebab nama sekolah itu yang ada unsur Raja.
"Bukan, An. Sekolah Raja itu adalah Sekolah Guru. Kweekschool Fort de Kock namanya. Sekolah Raja Bukittinggi."
"Bukittinggi? Pak Nas sekolah di Sumatera Barat?" tanya Ana. Pak Nas mengangguk. "Saya kira, Pak Nas sekolahnya di Sumatera Utara. Kan, Bapak orang sana."
"Tidak, saya memilih merantau mencari pengalaman baru." jawab Pak Nas, lantas setelahnya menerangkan apa itu Sekolah Raja. "Sekolah Raja itu, An, adalah tempat untuk mendidik calon-calon guru yang nantinya akan ditempatkan di daerah-daerah Hindia Belanda."
"Oh, jadi tetap aja mereka dapat keuntungan ya, Pak? Emang dasar orang-orang kolonial. Otaknya licik!"
"Bahkan Tan Malaka pun pernah bersekolah di sana."
"Waahh, Tan Malakaaa!" mata Ana langsung berbinar begitu mendengar nama Tan Malaka. Bagaimana tidak? Orang itu adalah pahlawan, namun di buku sejarah justru namanya tidak ada. Bisa dibilang Ana kagum dengan orang itu karena sosoknya yang misterius.
"Tahu?"
"Tau dong, Pak! Ya kali kagak tau Tan Malaka siapa, buset, tet, tet, tet, srepet!"
"Rustem Effendi tahu?" Pak Nas melontarkan satu nama lagi yang mengubah ekspresi berbinar Ana menjadi kebingungan.
"Gak tau!" geleng Ana jujur. Pak Nas tertawa.
"Dia adalah orang Indonesia pertama yang duduk di Parlemen Belanda Tweede Kamer sebagai wakil dari Partai Komunis Belanda."
"Gak terkenal!"
"Astaghfirullah!" takjub Pak Nas lantaran ucapan Ana yang terlampau blak-blakan.
"Lagian komunis juga, males banget!" sambung Ana dengan tampang julidnya.
"Tapi, komunis Belanda dan Indonesia beda loh ya, An."
"Apa bedanya?"
"Nantilah Bapak ceritakan di lain waktu. Bapak selesaikan dulu cerita yang ini."
"Oalah, oke-oke, Pak!"
"Ajegileee, didongengin pahlawan!" batin Ana terkikik senang.
"Zaman Bapak dulu, menjadi guru adalah pilihan yang lebih masuk akal ketimbang menjadi perwira militer."
"Kenapa gitu, Pak?" tanya Ana dengan dahi mengernyit. Perasaan dengan menjadi perwira militer justru lebih mudah mendapatkan uang. Orang-orang berseragam bahkan dijuluki sosok menantu idaman.
"Karena dulu itu, pangkat orang Indonesia di militer Belanda tak akan lebih dari letnan kolonel."
"Oalah... Gak nyangka sekarang Bapak jadi Jenderal, yak."
"Iya," Pak Nas mengangguk seraya tersenyum lebar menampilkan deretan giginya. "Seperti yang kamu tahu, An. Bapak itu suka sekali membaca. Bapak banyak membaca buku sejarah Rasulullah maupun buku yang membahas tentang perang kemerdekaan Belanda dan Prancis. Setamat dari sekolah tahun 1932, Bapak mendapatkan beasiswa untuk belajar mengajar di Bukit Tinggi. Lalu, tahun 1935, Bapak pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan 3 tahun di sana."
"Di Bandung, sekolahnya di mana, Pak?" sela Ana bertanya.
"Di HIS. Jenjang pendidikan Bapak tidak berhenti di situ saja. Bapak meneruskan pendidikan di AMS. Algemeene Middelbare School bagian B di Jakarta. Lulusnya tahun 1938."
"Gak capek, Pak?" tanya Ana memasang muka melongo. Tampang Ana itu terlihat menggemaskan sehingga Pak Nas sulit untuk menahan tawanya.
"Tidak, dong. Tidak ada kata lelah dalam menimba ilmu."
"Terus, kapan Bapak masuk dunia militer?"
"Tahun 1940, Bapak mendaftar menjadi prajurit di sekolah perwira cadangan yang dibentuk oleh Belanda. Kita mengenalnya dengan KNIL. 2 tahun Bapak ikut pelatihan di Bandung."
"Cuma selisih 2 tahun doang, tiba-tiba langsung mau jadi tentara ya bund."
"Iya. Tapi sebelum itu, Bapak sempat mengajar loh."
"Lah, iya?" takjub Ana mengetahui fakta lain dari lanjutan cerita Pak Nas.
Pak Nas mengangguk membenarkan. "Bapak sempat menjadi guru di Bengkulu dan Palembang."
"Waahh, plot twist banget ya, Bund."
"Kamu ini sering melontarkan kata-kata aneh ya, An. Band, bund, band, bund." ujar Pak Nas yang mulai panas kupingnya mendengar kalimat aneh yang dari tadi Ana lontarkan.
"Haiiss, Pak Nas ini! Tadi itu biar percakapan kita macam di acara rumpi no secret gitu loh." Ana memukul lengan Pak Nas, dan cara bicaranya pun ia julid-julidkan persis seperti pembawa acara rumpi.
"Semakin menjadi saja anehnya. Mending saya pergi, daripada makin parah kelakuanmu, An." Pak Nas berdiri, hendak beranjak namun lengannya ditahan Ana.
"Eh, Pak! Bapak belum lagi cerita soal perbedaan komunis Indonesia dan komunis Belanda! Jangan mengghosting dong, Pak!"
"Apa lagi mengghosting itu?" batin Pak Nas. Bahasa yang Ana keluarkan sukses membuat Jenderal yang terkenal genius itu kebingungan.
"Besok deh, besok. Sekarang, kamu temani Ade main di depan. Kamu tidak dengar tadi Ibu berteriak memanggil kamu untuk menemani Ade di depan?"
"Kagak!" geleng Ana polos.
"Iya, An. Dia kekurangan personil bermain. Cepat, segera temui dia. Daripada dia yang kemari menjemputmu sambil merengek."
"Iya-iya!" Ana menghela napas berat. Ia berdiri dari kursi malas-malasan. Pak Nas tersenyum tipis memandangi sosok Ana yang pergi.
"Dasar anak muda jaman sekarang. Lama-lama saya kawinkan juga dia dengan Pierre."
°°°
Sesuai yang Pak Nas bilang, Ana keluar memenuhi perintah. Ia menghampiri Ade yang sedang bermain bersama dua orang anak perempuan yang seumuran dengannya. Mereka adalah teman bermain satu komplek perumahan di sini.
"Akhirnya Kak Ana datang! Kak Ana, ayo bermain bersama kami! Kami kekurangan orang!" seru Ade girang. Ketiga Anak itu langsung menghampiri Ana.
"Main apaan"
"Lompat karet. Ini, kami sudah membuat karetnya. Kita tinggal main saja." Ade menunjukkan karet yang sudah terjalin sempurna.
"Widiihh, kalian lagi ketiban rezeki. Kakak paling jago tau main lompat karet. Suhu nih bos! Senggol dulu dong!"
"Asiikk! Kalo gitu, Kakak yang ini satu regu dengan aku, ya, De!"
Salah seorang dari tiga Anak itu menggenggam erat tangan Ana. Ana menengok Anak itu. Ditatapnya Anak itu dengan pandangan sinis.
"Paan sih, nih bocil atu! Dasar bocil prik!" batin Ana yang entah kenapa hatinya kesal saja. Padahal harusnya ia dapat memaklumi tingkah Anak-anak. Faktor karena paksaan.
"Oke! Ayo, kita hompimpa dulu!" seru Ade.
Ana dan ketiga Anak kecil itu pun melakukan hompimpa untuk menentukan siapa dulu yang bermain. Hasil yang didapat setelah melakukan hompimpa adalah regu Ana yang memainkan permainan terlebih dahulu.
"Yeeayy, kami duluan yang main! Kakak memang bawa keberuntungan buat aku!" sorak senang Anak yang memegang tangan Ana tadi.
"Iye, cil, iye! Dah, lu duluan lompat sana! Tiati ye! Kalo jatuh, tegak sendiri!" kata Ana tidak ada ramah-ramahnya.
Permainan pun di mulai. Tahap demi tahap permainan lompat karet mampu Ana dan teman satu regunya lewati. Hingga tiba tahap lompat karet yang paling susah. Ade dan temannya menarik karet tinggi-tinggi sampai mereka mesti berjinjit. Kalau untuk ukuran orang dewasa, letak karet ada di atas kepala.
Ana bersiap-siap di tempat hendak melompat. Namun mobil dinas Pak Nas yang memasuki pekarangan rumah, mengurungkan niat Ana sejenak. Pierre keluar dari mobil itu setelah memarkirkannya. Ketampanan Pierre yang lengkap menggunakan seragam dinas ketika baru saja keluar dari mobil, jujur membuat Ana beberapa detik sempat terpukau.
"Anjir, gue ngapa dah?! Bodo amat dah! Lanjut main lageehh!" Ana menyadarkan diri, lantas berlari kencang dari arah yang jauh agar dapat melompat tinggi.
Aksi Ana sukses menarik perhatian Pierre yang memang melewati tempat mereka bermain. Lompatan Ana berhasil, namun ketika mendarat Ana salah ambil posisi. Kakinya terkilir. Alhasil tubuh Ana oleng dan akan jatuh, tapi cekatan Pierre menangkap tubuh wanita itu sebelum sempat jatuh ke tanah.
Mata Pierre dan Ana bertemu. Dengan posisi yang sedemikian rupa, jarak mereka dekat sekali. Ana merasa deja vu. Awal mula terlempar ke zaman ini, Ana pernah berada di posisi yang sama persis. Berada pada rengkuhan erat Pierre.
"CIIEEE!"
Sorakan ramai menyadarkan Pierre dan Ana. Pierre yang terkejut, spontan saja mendorong tubuh Ana. Karena itu, hampir saja Ana akan jatuh lagi, namun kali ini tindakan Pierre adalah dengan menarik tangan Ana.
"Sakit, njir! Lo narik tangan gue kekencengan!" bisik Ana kesal.
"Eh, iya, ya? Maaf-maaf!" kata Pierre, lantas melonggarkan genggamannya.
"Iyi-yi, miif-miif! Nye, nye, nye," Ana menirukan cara bicara Pierre dengan nada mengejek. Melihat itu, Pierre mendengus.
"Baru saja ketemu, sudah mesra-mesraan saja." celetuk Bu Nas yang berdiri di sebelah suaminya. Rupanya yang bersorak barusan adalah Pak Nas dan Bu Nas, serta ketiga bocah-bocah itu. Ana dan Pierre hanya bisa terdiam malu. Malah yang menyaksikan adegan tadi adalah majikan mereka.
"Padahal Ana ini baru saja aku tinggal sebentar loh, Na. Cepat sekali aku kecolongan." tambah Pak Nas. Kedua suami istri itu menertawai Ana dan Pierre.
Melihat situasi makin tidak kondusif, Pierre pun bertindak. Ia melangkah mendekat dan menyerahkan sepucuk surat undangan kepada Pak Nas.
"Bapak mendapat undangan."
"Undangan apa ini, Yer?" Pak Nas membolak-balikkan undangan yang sudah berada di genggamannya.
"Mayor Subardi menyerahkan undangan ini kepada saya. Sepertinya ada pesan penting yang Jenderal Yani titipkan kepada Bapak di surat itu." terang Pierre.
Penasaran, Pak Nas pun membukanya. Ketika dibaca, Pak Nas menoleh ke semua orang. Dari raut wajah yang Pak Nas tunjukan, membuat semuanya penasaran tak terkecuali Ana. Pasalnya surat itu berasal dari Jenderal Yani. Ana pernah diberitahu Papanya bahwa hubungan Jenderal Ahmad Yani dan Jenderal Nasution renggang ketika mendekati peristiwa berdarah 65.
"Yani mengundang kita makan bersama minggu besok."
°°°
Bersambung...
Finally setelah sekian purnama terlewati. Tapi setelah ini saya gak janji bakal bisa update lagi. Ini aja saya masih kuliah, belum ada tanda-tanda dapat cuti lebaran. Praktikum masih jalan, persentasi masih jalan, kerkom masih jalan, laprak masih jalan. Sumpah semester 2 ini bener-bener sibuk. Entah udah berapa kali saya nangis di semester 2 ini.
Bagi yang follow IG saya, pasti tau kegiatan saya aja. Dari mulai:
1. Embrio Hiking (Ospek Prodi Pendidikan Biologi. Ini saya masuk hutan, disuruh masuk lumpur sama senior, disuruh megang kecoa sampe nangis 😭)
2. Lanjut Bio Expo (acara nasional Prodi Pendidikan Biologi. Saya megang Divisi Seminar, paduan suara, Pj pengkoordinasian peserta. Dibuat pulang malam terus bahkan sampe pernah jam setengah 12 malam. Pergi pun setengah 6 pagi ya sayang ya.)
3. Lalu, saya ikut PKM-K (Program Kreativitas Mahasiswa Kewirausahaan)
4. Terakhir baru-baru ini saya dikarantina di hotel selama 5 hari karena lulus seleksi top 60 PPAN (Pertukaran Pemuda Antar Negara) ke Korea. Gak menang sih, tapi dari 60 peserta itu saya dapat nominasi. Tersedia 4 nominasi saat itu. Alhamdulillah saya dapat 1 dari keempatnya.
Intinya yah, saya cerita panjang lebar di atas itu bukan minta dikasihani tapi cuma minta pengertian. Akhir kata, saya lampirkan dokumentasi 4 kegiatan yang saya ceritakan di atas
Fakta Sejarah:
1. Udah ada yang tau gak sebelumnya, kalo Pak Nas pernah jadi Guru? Kalian bisa baca kisah perjalanan Pak Nas dari menjadi Guru sampai Jenderal Besar yaa di beberapa artikel di bawah ini
2. Mayor Subardi adalah Ajudan Jenderal Ahmad Yani yang melaporkan malam penembakan Jenderal Yani ke Jenderal Sarwo Edhie (Bapak Bu Yani isteri Presiden SBY)
3. Kalo kasus yang ini tau gak? Hubungan Pak Nas dan Pak Yani lagi kurang baik loh. Padahal dulu mereka temenan sering main badminton bareng
Oke, terima kasih udah setia nunggu MTAL, gak bosen memberi semangat ke saya dan tetap baca MTAL meski digantung. Hehe, sampai jumpa lagiii. Dadah, lop u tomat❤🍅
❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top