16. MTAL - Membela Diri

Halooo gaes! Saya update lagi di tahun baru. Selamat membaca yaa! Jangan ditungguin banget update cerita ini, hehe. Jangan lupa juga vote dan spam comment setiap MTAL update, yes?! Saya maksa:v

°°°

Ana dan Pierre berjalan beriringan. Mulai beranjak pergi dari rumah hingga sudah berjalan hampir setengah perjalanan, tak satupun keduanya bicara. Mulut mereka diam, namun batin mereka ricuh.

"Apa dia masih marah soal bajunya yang basah tadi ya?" batin Pierre memandang Ana lekat. Pierre agak resah, sebab Ana mendiaminya. Ketika Ana menoleh padanya, Pierre langsung membuang muka. Jangan sampai Ana tahu kalau dari tadi ia dipandang Pierre tanpa berkedip.

Nyatanya, Ana tahu bila sedari tadi ia dipandang Pierre lekat. Insting wanita tidak bisa diragukan. Oleh karena itu Ana  berbalik memandang Pierre, karena risih ditatap terus dengan pria itu.

"Nih orang ngapa natap gue terus dah? Mencurigakan," batin Ana. Berganti, kini Ana yang memandang Pierre lekat bahkan lebih. Matanya sampai menyipit.

"Kenapa kamu menatap saya sampai sebegitunya?" celetuk Pierre membuat Ana terkisap.

"Lah? Orang lo duluan yang natap gue mulu kok!" balas Ana telak. Ana kemudian tersenyum miring. "Kenapa? Lo baru sadar ya, gue cantik, makanya lo tatap terus? Iya, kan?"

Pierre menghentikan langkahnya, Ana pun otomatis juga berhenti berjalan. Tubuh Pierre lalu berbalik sejurus dengan Ana. Pierre menatap Ana datar.

"Saya jadi penasaran. Kamu punya tingkat kepercayaan diri yang tinggi sekali seperti ini, itu karena faktor keturunan atau pernah kursus?"

"Apaan sih, lo!" sentak Ana kesal. Ucapan Pierre tidak nyambung. Ana cemberut sembari menyibak rambutnya. "Gue emang cantik kok! Asal lo tau, gue ini primadona sekolah tau!"

"Siapa yang bilang begitu?"

"Gue, Mak gue, Papa gue, sama fans gue!" jawab Ana ngegas. Pasalnya setiap ucapan yang keluar dari mulut Pierre itu, entah kenapa sukes membuat emosinya naik.

"Adikmu tidak? Siapa itu? Antartika?"

"ALASKA, PIERRE! ALASKA!"

"Ha, iya! Santai saja dong, emosi terus perasaan,"

"Ya, lo-nya yang mancing emosi gue, Pierre Tendeaaann!" balas Ana menahan geram. Pierre mengangkat kedua bahu tidak peduli, kemudian lanjut berjalan kembali. Ana ia tinggal di belakang.

Di belakang, gigi Ana beradu menahan geram. Kalau bukan pahlawan yang mempunyai jasa besar, sudah Ana pukul kepala pria itu sampai menimbulkan bunyi keras. Ana menstabilkan emosinya terlebih dahulu, sebelum lanjut melangkah menyusul Pierre.

Setelah dirasa emosinya reda, Ana menyusul langkah Pierre. Pria itu sudah meninggalkannya sangat jauh di depan. Supaya bisa mensejajarkan jalannya dengan Pierre, Ana memperbesar langkahnya. Wanita itu jadi berjalan cepat.

"Tungguin napa!" ucap Ana ketus yang sudah dapat menyusul Pierre di sebelah.

"Kamu saja yang jalannya lambat." tanggap Pierre tanpa rasa bersalah.

"Nih orang bener-bener,"

Suara ramai Anak-anak mengalihkan pandangan Ana. Ana menoleh ke sebelah kirinya, di mana terbentang lapangan luas. Banyak Anak-anak bermain di lapangan tersebut, dari mulai bola, kelengkeng, layang-layang.

"Rame juga ya, di sini." gumam Ana yang dapat di dengar Pierre.

"Setiap sore kampung memang ramai dengan Anak-anak yang bermain. Bukan hanya Anak-anak saja, orang dewasa pun turut serta meramaikan."

Ana menoleh ke seliling, dan memang benar kata Pierre. Penduduk setempat lebih banyak beraktivitas di sore hari. Orang-orang yang melintas adalah pejalan kaki kalau tidak memakai sepeda ontel. Sangat terasa sekali suasana sederhana zaman dahulu kala.

"Kamu macam tidak pernah melihat Anak-anak bermain saja." sahut Pierre lagi, tampak meremehkan di mata Ana.

"Eh, denger nih! You know lah ya, Yer, kalo gue itu hidup di luar negeri yang di mana orang tuh pada sibuk kerja. Berkarir! Sore-sore begini mah, mereka baru balik kerja, terus rebahan mengistirahatkan diri."

Pierre berdecih pelan. "Lalu, kamu pikir orang-orang di sini baru pulang dari bekerja tidak ingin mengistirahatkan diri?"

Ana menggeram. "Ngajak ribut mulu, lo!"

Tangan Ana terkepal dan mengangkat ke udara hendak melayangkannya ke Pierre. Namun sebelum itu sempat terjadi, tubuhnya tiba-tiba ditarik Pierre berputar ke lain arah. Ana cengo dengan apa yang Pierre perbuat. Baru saja Pierre menyelamatkannya dari hantaman bola. Karena Pierre menarik tubuh Ana untuk berubah posisi, jadilah bola itu mengenai punggungnya.

Mereka saling bertatapan saat momen itu berlangsung. Ana bisa melihat kedua bola mata Pierre yang cokelat. Bulu mata pria itu yang lebat dan lentik. Momen ini membuat Ana teringat saat awal-awal ia berada di rumah Pak Nas. Waktu itu ia mau kabur, malah menabrak Pierre dan berujung jatuh direngkuhannya.

Agak lama hanyut dalam tatapan, Ana pun tersadar. Segera Ana menengok ke arah punggung Pierre.

"Lo gak papa?"

Ana memeriksa punggung Pierre, apakah ada cidera. Dan hasilnya, punggung Pierre tetap seperti semula. Kekar dan tegap. Hanya baju belakangnya saja yang kotor karena hantaman bola.

"Tidak apa-apa. Sudah, jangan terlalu khawatir begitu. Hanya bola, bukan bom."

"Lo ini masih ngelawak aja!" Ana melayangkan pukulan di lengan Pierre setelah sebelumnya gagal. Pierre mengaduh kesakitan memegang lengannya.

"Siapa yang sedang melawak? Perkataanku benar,"

"Benar ataupun nggak, tetap aja gue khawatir."

"Kenapa kamu mengkhawatirkanku?"

Pertanyaan Pierre membuat Ana terdiam. Benar juga. Setelah dipikir-pikir, apa alasannya mengkhawatirkan Pierre? Ataukah karena Pierre adalah seorang pahlawan yang kisah hidupnya tragis, maka dari itu Ana takut Pierre kenapa-kenapa? Ataukah semata-mata refleks manusiawi?

Bahkan Ana sendiripun tidak tahu alasannya!

"Jawab pertanyaanku, An. Kenapa?" Pierre melontarkan pertanyaan yang sama lagi. Namun pertanyaan yang ini terkesan menuntut seolah Ana harus menjawabnya.

"Yy--yaa karena refleks manusiawi, wajar aja sih!" jawab Ana asal. Dia tidak punya jawaban pasti. Akhirnya, ia memilih opsi akhir yang dirasa logis.

"Oh, begitu," Pierre bersuara lesu. Terdengar seperti nada kecewa. Ana merasakannya. Karena itu, Ana pun bertanya sekalian memancing.

"Memangnya, lo mau jawaban apa dari gue?"

"Yang pasti adalah jawaban yang sangat mustahil sekali terucap oleh mulutmu, meski itu adalah keinginanmu."

"Hah, apa sih? Gak mudeng gue."

Pierre berdecak membuang muka. "Ah, sudah lah. Tidak perlu kamu pikirkan sekali, karena otak kecilmu itu tidak sanggup untuk memikirkannya, An."

"Kurang ajar lo!" bentak Ana. Pierre tersenyum tipis melihat respons Ana yang biasa. Ana yang emosinya selalu naik tiap berbicara kepadanya. Dan anehnya, Pierre selalu suka itu.

"Tante, Om, maaf! Itu bola saya!"

Seorang Anak laki-laki dengan napas terengah-engah mendatangi mereka. Anak itu adalah pemilik dari bola yang telah mengenai punggung Pierre.

"Ini bola kamu?"

"Iya, Om,"

Sejenak Pierre menatap bola yang berada digenggamannya, dan berganti menatap Anak laki-laki di depannya. Bola tersebut lantas Pierre kembalikan ke Anak itu. Sebuah nasihat lalu Pierre berikan.

"Lain kali mainnya hati-hati, ya. Untung yang kena Om. Kalo sampai kena pengendara sepeda yang sedang melintas, kan bisa bahaya."

"Iya, Om, maaf,"

"Yasudah, sana main lagi,"

"Iya, Om baik. Terima kasih banyak."

Anak laki-laki itu berlari riang menuju lapangan, setelah berhasil membawa kembali bolanya. Teman-temannya sudah menunggu di sana.

"Lo kalo sama Anak kecil, baik ya? Heran gue," celetuk Ana sewot.

"Kenapa harus heran? Berhadapan dengan Anak kecil memang harus baik dan lemah lembut."

"Ah, udah lah! Males gue!" balas Ana tidak mau memperpanjang. Segala jawaban yang keluar dari ucapan Pierre, tidak pernah gagal membuatnya kesal sendiri. Ana putuskan lanjut berjalan. Situasi berbalik. Sekarang Ana yang meninggalkan Pierre di belakang.

"Apa lagi salahku sekarang?" tanya Pierre kebingungan. Berada di dekat Ana, ia merasa menjadi orang yang serba salah sekali menjalani hidup.

°°°

Ana menatap barang-barang pokok yang telah dia ambil. Semua barang pokok tersebut sesuai dengan pesanan Bu Nas. Ia dan Pierre sudah sampai di toko yang Bu Nas maksud. Toko tersebut tidak terlalu besar, tapi barang-barang pokok yang dijual lumayan lenhgkap.

Ana menoleh antusias ke Pierre. "Oke, udah selesai!"

"Yasudah, bayar."

Raut antusias Ana langsung lenyap ketika mendapat respons Pierre yang biasa saja, ditambah muka datarnya. Ingin Ana, Pierre memberi tanggapa yang sama dengannya. Dengan wajah yang berseri. Karena respons datar Pierre tadi, sekarang muka Ana cemberut. 

Melihat interaksi dua sejoli di depannya, pemilik toko pun terkikik, "Mas Pierre ini. Senyum dong, kalau ngomong sama wanita cantik. Jangan kaku sekali."

"Eh--"  Pierre jadi bingung sendiri mendengar ucapan pemilik dari tokoh ini. Otaknya mendadak sulit mencerna maksud dari ucapan Mbok pemilik toko. Beda dengan respons Pierre yang dibuat linglung, Ana justru berucap menggebu-gebu mengeluhkan sikap Pierre.

"Entah nih, Bu, si Pierre emang kakunya naudzhubillah. Wajar jomblo!"

Sontak Pierre melayangkan tatapan tajam ke Ana. Ia tahu, ucapan Ana tadi adalah sindiran. Dan sindiran itu sukses. Hati Pierre terasa terhujam oleh pisau tak kasat mata. Ana yang menyadari Pierre tengah menatapnya tajam, memasang sikap acuh. Pandangannya tetap fokus menghadap depan.

"Perempuan satu ini benar-benar. Setiap bicara asal sebut, tidak pikir-pikir dulu. Kok ada ya, wanita yang seperti ini?"

Sedetik setelah Pierre membatin, pemilik toko itu selesai menghitung belanjaan. Uang pun Ana berikan, lantas kantong belanjaan tersebut Ana ambil dari tangan pemilik toko. Namun sebelum Ana dan Pierre beranjak dari tokonya, pemilik toko mengucapkan suatu hal yang mengejutkan mereka.

"Mbak cantik ini kekasih Mas Pierre kah?"

"Eh, bukan Mbok! Bukan! Dia pembantu rumah Bu Nas, sama seperti Alpiah." bantah Pierre panik. Entah kenapa ucapan santai Mbok pemilik toko ini bisa membuat jiwa Pierre terguncang hebat.

"Enak aje gue pembantu!" protes Ana memukul lengan Pierre. 

"Lah? Memang betul kamu pembantu. Kan, kamu sendiri yang menawarkan diri bekerja di rumah Bu Nas."

"Iya, tau gue. Cuma jangan nyebutnya pembantu. Yang elite dikit dong."

"Apa? Jadi, kamu mau disebut apa, kalau bukan pembantu?"

"Asisten rumah tangga."

Pierre mendengus, lantas bergumam amat pelan. "Apa bedanya?"

"Walah, pekerja di rumah Bu Nas juga toh. Maaf-maaf, tak pikir calon istri Mas Pierre tadi."

Untuk yang kedua kalinya, Pierre dan Ana terkejut mendengar ucapan pemilik toko. Pierre menggeleng keras dengan mata yang melotot, sementara Ana hanya mematung dengan mulut yang terbuka.

Entah sudah berapa orang yang mengira mereka pasangan suami istri. Ana heran. Dari sisi mana orang-orang melihat ia dan Pierre seperti suami istri? Ana merasa mereka seperti musuh bebuyutan yang tak pernah akur setiap bertemu.

°°°

Di perjalanan pulang, ucapan pemilik toko tadi masih mengitari pikiran Ana. Ana melirik Pierre di sebelahnya. Ana perhatikan wajah Pierre, tampak tenang seperti biasa.

"Apa dia gak kepikiran omongan yang punya toko tadi ya? Mukanya santuy amat. Jangan-jangan... Cuma gue yang kepikiran? Ih, gak deh! Nggak!"

"Kenapa kamu?"

Ana tersentak. Ia menoleh ke Pierre yang sedang menatapnya lekat.

"Ha, gimana-gimana?" tanya Ana balik, tidak mengerti mengapa Pierre menanyakannya.

"Kamu tadi berekspresi aneh. Bermacam-macam ekspresinya. Saya jadi takut kamu kesurupan."

"Nggak lah, ya Allah!" balas Ana tidak habis pikir dengan penuturan Pierre. "Btw, kok kita sering dikira suami istri sama orang-orang ya?"

"Itu semua gara-gara kamu."

"Loh, kok gara-gara gue?"

"Iya, lah! Kamu itu selalu dekat-dekat saya."

Mulut Ana terbuka. Siap melontarkan banyak ocehan untuk Pierre. "Eh, Pierre Tendean, denger ye?! Lo gak usah kepedean. Gue sering deket ama lo itu karena disuruh mulu. Kalo gak Pak Nas, Bu Nas, ya Anak-anaknya. Intinya, ada aja hal-hal yang buat gue harus berurusan sama, lo."

"Terserah kamu lah!" jawab Pierre acuh. Ia tidak mau memperpanjang.

Netra Ana tak sengaja menangkap pedagang telur dadar gulung. Ana tahu betul apa yang orang itu jual meski posisi mereka masih berjauhan. Sekitar mereka memang lumayan ramai orang-orang membuka lapak dagangan. Kebanyakan makanan.

"Yer, yer, bentar! Gue mau itu! Mau beli itu!" tunjuk Ana semangat. Pierre menoleh ke tempat yang Ana tunjuk.

Baru saja mengalihkan pandangan dari Ana, sosok Ana sudah berlari menuju tempat dagangan penjual telur gulung. Pierre geleng-geleng kepala sabar. Pria itu pun melangkah menyusul Ana.

"Mas, beli dadar gulungnya 10 tusuk ya!"

"Baik, Neng. Ditunggu,"

"Eh, mending lo beli es tebu di sana noh buat makan kita. Gue dah beliin lo dadar gulung nih. Makasih dulu lo ama gue. Baek kan, gue?" suruh Ana membuat Pierre melongo. Perasaan dia tidak minta dibelikan, mengapa Ana jadi minta balas budi?

"Cepetan!" gertak Ana lantaran Pierre belum bergerak juga.

Pierre mendengus. Dengan sangat terpaksa ia melangkah pergi menuju gerobak es tebu yang Ana bilang. Sementara Ana di tempatnya mengulum senyum.

Saat menunggu pesanan, seorang pria datang dan berdiri sebelahnya. Pria itu juga memesan telur gulung. Sekilas Ana melihat wajah pria itu. Sudah lumayan berumur. Pria itu melirik ke Ana, sadar bila tadi diperhatikan. Waktu pria itu melihat Ana, sebuah senyum miring muncul di bibirnya. Ana tidak tahu sebab pandangannya fokus ke depan.

Lambat laun, telapak tangan pria itu mengarah ke pinggul Ana. Ana mulai merasakan ada sebuah tangan yang menyentuhnya. Perasaan Ana mendadak tidak enak. Ana menoleh ke pria itu. Dan benar saja. Telapak tangan pria itu sedang meraba area pinggulnya. Sebentar lagi menuju bokong.

Sontak tangan Ana mengarahkan layangan kuat ke batang leher pria itu dari samping. Tubuh pria itu langsung terjengkang ke belakang. Tindakan Ana menarik minat khalayak ramai, termasuk Pierre. Pierre terbelalak melihat Ana sudah menarik kerah baju seorang pria. Pierre tambah dikejutkan saat Ana melayangkan pukulan ke pipi pria itu.

"Bajingan lo! Ngapain lo raba-raba gue, hah?! Bangsat! Mati lo!"

Bugh!

Sekali lagi, Ana melayangkan pukulan ke pipi sebelah pria itu. Ana hendak melayangkan pukulan yang ketiga, namun Pierre dengan cepat menahannya. Pierre segera menjauhkan Ana dari pria itu.

"An, An, sudah An! Kenapa kamu?!"

"Lo gak tau, nih anjing abis lecehin gue, sialan!" bentak Ana marah. Ana mendorong Pierre agar tubuhnya bebas. Ana lalu berjalan menghampiri pria itu. Ana ingin memukulnya lagi, namun Pierre kembali menahan.

"Lepasin gue!!!"

"Jangan kamu pukul lagi dia, An!"

"Terus, harus gue apain?! Gue bunuh, biar gue dapat keadilan?! Gitu mau, lo?!"

"Bukan, An! Kita bisa selesaikan secara baik-baik!"

"Gak ada kata baik-baik kalau menyangkut harga diri! Yang melahirkan peradaban, tidak pantas untuk dilecehkan! Paham, lo!" tekan Ana, menatap Pierre tajam.

Kemudian Ana berlalu. Diri Ana masih ingin memukul pria yang sudah berdiri tegak dibantu warga. Wajah pria itu tampak lebam akibat pukulan dari Ana.

Baru beberapa langkah kaki Ana mendekat, seorang polisi datang. Sontak warga yang berkerumun menepi membuka jalan untuk polisi itu.

"Ada keributan apa ini?" tanya polisi itu. Polisi itu lalu terkejut setelah melihat wajah pria yang Ana pukul.

"Tuh setan biadab ngelecehin saya, Pak!" lapor Ana.

"Jadi, Anda yang membuat wajah korban jadi begini?"

"Betul, Pak, karena saya membela diri saya yang habis dilecehkan."

"Bohong! Itu semua bohong! Saya tadi cuma mau membersihkan kotoran yang ada di bajunya!" seru pria itu. Mendengar itu, emosi Ana tentu saja naik.

"Halah kloningan dajjal, bisa aja lo membalikkan fakta! Sini, bibir lo yang gue tonjok biar gak berani lagi bohong!"

Ana melangkah maju, ingin membuktikan ucapannya. Namun polisi langsung menghalangi Ana, termasuk Pierre yang sudah terlebih dahulu menggenggam tangan Ana kuat.

"Kasus ini tidak bisa terselesaikan, jadi saudara dan saudari ikut saya ke kantor. Kita selesaikan saja di sana." polisi itu kemudian menoleh ke Pierre. "Anda, Lettu Pierre Tendean, bukan? Ajudan Jenderal Nasution?"

"Betul, Pak."

"Anda juga ikut ke kantor sebagai pendamping saudari ini."

°°°

Bersambung...

Waduh, gimana tuh?! Ana tersandung kasus. Kasian Ana😔. Semoga kasus Ana bisa selesai cepat yaa! Terima kasih bagi yang sudah vote & comment. Suka banget saya baca komentar-komentar kalian🤗

❤Follow IG
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top