15. MTAL - Perang Air

Halooo! Ada yang rindu cerita ini? Seberapa banyak yang rindu Ana dan Om Pierre?! Komen dong! Oh ya, jangan lupa juga tinggalkan banyak komentar yaa, sebagai bentuk dukungan. Supaya saya semakin semangat ngetiknya. Jujur, saya kehilangan feel cerita ini😔. Tapi, bismillah semoga cerita ini selesai setelah saya masuk kuliah. Aamiin!

Diingatkan lagi, jangan lupa VOTE & COMMENT!

°°°

Ana keluar membawa satu ember berisi pakaian penuh. Ia akan menjemur pakaian-pakaian yang telah ia cuci. Meski sore, terik matahari masih bisa dimanfaatkan panasnya untuk sekadar mengeringkan pakaian. Ana perkirakan besok pagi pakaian-pakaian yang ia jemur sudah kering.

Di luar, Ana bertemu Pierre. Pria itu tengah mencuci mobil. Sempat beberapa detik Ana terdiam di tempat lantaran kontak matanya dan Pierre saling bertemu. Secara serempak pula kedua orang itu memutuskan pandangan dan pura-pura tidak terjadi apa-apa. Mereka fokus kembali ke kegiatan masing-masing. Pierre yang lanjut mencuci mobil, dan Ana yang melangkah menuju tempat jemuran berada. Posisi jemuran letaknya tak jauh dari mobil yang Pierre cuci. Alhasil jarak Ana dan Pierre pun tak terlampau jauh.

Diam-diam Pierre melirik Ana. Tangannya fokus mengusap mobil menggunakan spons, namun matanya mengarah ke Ana. Pierre penasaran saja apa yang sedang dikerjakan Ana. Dilihatnya Ana tengah memeras pakaian pertama.

Tanpa Pierre duga, Ana menengok ke arahnya. Spontan Pierre memalingkan pandangan. Pierre tertangkap basah tengah curi-curi pandangan pada seorang gadis. Pierre coba bersikap tenang pada pekerjaannya. Mengusap bodi mobil teratur, mengabaikan Ana yang masih menatapnya. Tidak tahu saja hati Pierre ketar-ketir saat ini.

"Apa sih, nih orang? Gak jelas banget," batin Ana jengkel.

Ana kembali melanjutkan pekerjaannya. Ingin ia mengajak Pierre berdebat lantaran sudah kepergok memandangnya. Tapi, setelah Ana pikir-pikir, itu akan membuang waktu. Menyelesaikan pekerjaannya lebih penting.

Setelah melihat Ana sudah kembali ke pekerjaannya, Pierre baru bisa bernapas legah. "Sepertinya dia tidak sadar kalau tadi aku menatapnya. Syukurlah,"

Waktu berlalu tanpa adanya percakapan diantara dua orang itu. Mereka fokus pada pekerjaan masing-masing. Pierre bersiul sembari membilas mobil dinas Pak Nas menggunakan aliran keran.

"Ck, bisa diem gak?!"

Pierre sontak berhenti bersiul dan menatap Ana dengan alis berkerut bingung. Sementara Ana menatap Pierre kesal.

"Apa?" tanya Pierre bingung.

"Lo tuh kalo kerja yang gerak tangannya, bukan mulut! Gak konsen jadinya gue kerja, tau! Lo berisik!"

"Kamu datang bulan?"

"NGGAK!" jawab Ana bernada tinggi. Ana tambah kesal karena Pierre malah bertanya hal di luar konteks pembicaraan.

"Terus, kenapa marah? Aku cuma bersiul, bukan dangdutan."

"Anj--" Ana menahan ucapannya yang akan melontarkan kata-kata kotor untuk Pierre.

"Anj apa?" tanya Pierre.

"Akh, udah lah, gak tau!"

Ana memilih kembali menjemur baju, tidak melanjutkan perdebatannya dengan Pierre. Sudah Ana perkirakan. Berdebat dengan Pierre akan buang-buang waktu saja. Membuat diri sendiri kesal jadinya.

Melihat Ana yang kesal begitu, Pierre tersenyum tipis. Sama halnya dengan Ana. Pierre kembali membilas mobil. Namun, baru beberapa detik berlalu dengan keheningan, tiba-tiba terdengar suara Ana menginterupsi.

"Sore-sore gini enaknya berjalan berdua... Bersamamu... Mengajarkanku... Apa artinya kenyamanan, kesempurnaan... Cinta..."

Ana tersentak. Sedetik dari ia bernyanyi, bajunya sudah basah kuyup disiram oleh Pierre. Pria itu. Pierre Tendean baru saja mengarahkan selang yang ia gunakan untuk membilas mobil ke baju Ana. Ana melotot menatap sekujur tubuhnya yang basah.

"PIERRE! LO--"

"Apa?" Pierre menyela Ana yang ingin meluapkan amarah. "Tadi kamu melarang ku untuk bersiul, tapi sekarang kamu sendiri malah bernyanyi."

"Oh, jadi, lo gak seneng?! Iya?!"

"Iya," jawab Pierre enteng. Ana menganga mendengar itu. Pierre menjawab tanpa dosa.

"Tapi, gak sampe disiram juga woi, Pierre! Basah baju gueee!" teriak Ana gemas.

"Tinggal ganti baju, beres."

Sekali lagi jawaban Pierre sukses membuat Ana melongo. Habis kesabaran, Ana melangkah hendak menghajar pria itu.

"PIEERREEE TENDEAANN, LO NGESELIN BANG---"

Bruk!

Baru di langkah pertama, kaki Ana malah menyenggol ember berisi pakaiannya. Alhasil baju-baju yang ia cuci jatuh ke lantai. Ana berteriak histeris.

"TIDAAAKK! PAKAIAN-PAKAIANKUUU! AAAA PIERREEE! LIAT CUCIAN GUE NOH! HUWEEEE!"

Tubuh Ana langsung merosot lemas ke tanah mengikuti pakaiannya. Ana mencak-mencak frustasi. Bukan perkara gampang mencuci pakaian sebanyak itu, apalagi Ana mencuci tanpa bantuan mesin seperti di masa depan. Masa ini mesin cuci belum ada. Semua masih serba tradisional.

"Hadeh..." Pierre geleng-geleng kepala diikuti helaan napas. Pierre bergerak mengambil pakaian-pakaian Ana itu. Ia masukkan kembali ke ember. "Tidak terlalu kotor. Pakaian-pakaian ini masih bisa terselamatkan tanpa perlu dicuci. Tinggal dibalas saja pakai air. Biar aku saja yang cucikan."

"Ya iya lah! Lo yang salah, lo lah yang tanggung jawab!"

"Iya," jawab Pierre mengalah saja. Padahal jelas ini salah Ana. Wanita itu sendiri yang ceroboh tak sengaja menyenggol ember pakaiannya. "Sekarang kamu masuk saja ke dalam, An. Ganti pakaianmu. Basah begitu, nanti kamu bisa masuk angin."

"Anjir! Kok, jadi mendadak so sweet gini nih orang?! Emang gak jelas! Labil lo, Yer!"

Ana menurut. Tanpa bicara apa-apa lagi, Ana berbalik hendak masuk ke dalam rumah mengganti pakaian. Namun, belum lagi sampai ke pintu masuk, Pierre bersuara.

"Aku minta maaf, An."

Deg!

Ana terdiam di tempat. Jantungnya berdetak kuat.

"Maaf, sudah membuat bajumu basah."

Ternyata Pierre bersuara lagi, membuat jantung Ana tambah memompa kuat. Ana tidak tahu reaksi aneh macam apa yang ia rasakan ini. Padahal permintaan maaf adalah suatu yang biasa apabila sudah melakukan kesalahan. Semua orang tanpa terkecuali harus mengucapkan itu. Tapi, saat Pierre yang mengucapkan, rasanya begitu spesial. Ucapan yang sederhana, berganti jadi penuh kesan.

°°°

Anak masuk ke dalam rumah dalam keadaan basah. Ana mengambil handuknya yang berada di dalam kamar, lalu ia gantungkan ke leher. Sebelum menuju kamar mandi, Ana harus melewati dapur dulu karena Rumah Pak Nas hanya memiliki satu kamar mandi dipakai bergantian untuk anggota keluarga. Saat melewati dapur, Ana berjumpa dengan Bu Nas dan Mardiah yang sedang masak. Melihat pakaian Ana yang basah kuyup, tentu spontan mereka bertanya.

"Ya ampun, An! Bajumu kenapa? Kok bisa basah kuyup begini?" Bu Nas langsung mendekati Ana, begitu juga Mardiah.

"Ulah Pierre noh, Bu, nyiram air cucian mobil ke baju Ana. Makanya baju Ana bisa basah begini." adu Ana mencebikkan bibir.

"Nah, kan, betul kata Mardiah tadi, Mbak. Pasti Ana yang berteriak tadi dan itu karena ulah Pierre."

Ana sontak menoleh ke Mardiah yang berbicara. Ternyata teriakannya sampai ke dalam rumah. Ana jadi malu sendiri karena teriakannya mudah diketahui orang dalam sekali dengar. Sudah semacam memiliki ciri khas.

"Ketahuan banget ya, Mbak?" tanya Ana tidak enak. Ana tersenyum canggung sedikit.

"Iya lah. Kamu kalo sampai berteriak begitu, siapa lagi kalau bukan karena ulah Pierre."

"Pierre tuh Mbak, yang mancing emosi Ana duluan."

"Sudah, sudah, An." Bu Nas segera menyela. "Kamu mending segera mandi dan berpakaian, An. Dibiarkan begitu dengan kondisi basah kuyup, kamu akan masuk angin."

"Iya, Bu Nas, siap!"

"Setelah mandi dan berpakaian, ke sini lagi ya An?" kata Bu Nas sebelum Ana melangkah pergi. Alhasil Ana bertanya penasaran, ada apa gerangan Bu Nas menyuruhnya datang kembali menemui?

"Ada apa, ya, Bu?"

"Ada yang ingin Ibu bicarakan. Nanti saja, kamu mandi dulu sana."

Ana pun menurut, mengikuti titah Bu Nas. Ia lekas melangkah menuju kamar mandi. Setelah mandi dan selesai berpakaian, Ana menunaikan perintah Bu Nas tadi untuk menemuinya kembali di dapur. Sampai di dapur, Ana menemukan Bu Nas yang tengah mencuci beras. Namun Ana tidak menemukan lagi sosok Mardiah di sana. Mungkin Mardiah sedang bersama Ade.

"Bu Nas tadi mau bicara apa, ya?"

"Ini loh, An. Bisa Ibu minta tolong kamu belikan beberapa barang pokok dapur? Gula, garam, dan kopi habis, An."

"Oalah, bisa dong, Bu! Bu Nas ah, macam sama orang lain aje pakek minta tolong segala." Ana terkikik sembari tanpa saja tangannya memukul lengan Bu Nas. Sadar dengan perbuatannya, sedetik dari itu Ana langsung mengelus lengan Bu Nas yang baru saja ia pukul. Tidak lupa Ana meminta maaf. Bu Nas tertawa melihat tingkah Ana itu.

Bu Nas mengusap kedua tangannya ke baju yang basah akibat mencuci beras. Setelah merasa telapak tangannya kering, Bu Nas lantas memberikan beberapa lembar uang ke Ana.

Ana mengambil uang tersebut. "Oke, Ana pergi dulu, Bu!"

"Eh, tunggu An!" Bu Nas menahan lengan Ana. Ana menoleh bingung.

"Kenapa lagi, Bu?"

"Jangan pergi sendiri. Sudah sore sekali, sebentar lagi masuk senja. Minta temani Pierre pergi ke warung."

Mendengar nama Pierre, mata Ana melotot lebar. Kepala Ana menggeleng dengan cepat menolak. Dia dan Pierre baru saja bertengkar, apalagi ada ucapan Pierre yang sempat membuat hatinya bereaksi aneh. Ana mana bisa bertemu pria itu setelah apa yang terjadi di antara mereka.

"Gak papa, Bu! Ana bisa kok sendiri,"

"Jangan! Warung itu lumayan jauh jaraknya dari rumah. Tidak baik wanita pergi sendiri, nanti ada apa-apa."

"Sumpah, gak papa, Bu! Gak akan terjadi apa-apa! Ana jago mukul kok, Bu."

Bu Nas mendesis. Kesal mendapat penolakan Ana terus. Bu Nas lalu menarik tangan Ana. Ana kebingungan sendiri mau dibawa ke mana dia oleh Bu Nas.

Bu Nas membawanya ke Paviliun Ajudan. Tepatnya pada Pierre yang sedang duduk di teras bermain gitar dengan Hamdan. Melihat itu, mata Ana melotot. Akhirnya ia tahu Bu Nas akan membawanya ke mana.

"Pierre!"

Mendapati kedatangan Bu Nas, spontan Pierre dan Hamdan berhenti memainkan gitar, dan langsung berdiri tegap.

"Siap, Bu Nas!" jawab Pierre dan Hamdan lantang bersamaan.

"Yer, tolong temani Ana belanja ke warung."

Pierre seketika cengo. Ia seperti coba memahami perintah Bu Nas tadi. Sedangkan Hamdan menahan tawa di sebelah. Setelah Pierre pulang, ia pastikan akan menggoda Pierre.

"Pierre!"

"Iya, Bu! Siap, Bu!" jawab Pierre spontan begitu saja. Lantaran terkejut, Pierre tak sengaja berucap demikian.

"Ya Allah, Pieeerreee! Ngapa lo iyain, dah?! Yaammpooonn!" batin Ana menyesali ucapan Pierre itu. Sama seperti Ana, Pierre pun merutuki ucapannya.

"Haish, Pierre, kenapa kau iya kan?! Duh, tapi ini perintah atasan. Sulit sekali bagiku untuk menolaknya."

"Okay, jaga Ana baik-baik ya Pierre! Awas loh, jangan sampai ada luka sedikit pun. Ana ini sudah Ibu anggap sebagai Anak sendiri, mengeri kamu?"

"Siap laksanakan, Bu!" jawab Pierre tetap profesional walau hati gundah.

Selepas memberi pesan begitu, Bu Nas lantas berlalu masuk rumah. Tersisa Ana, Pierre dan Hamdan yang posisinya belum berubah. Tak lama berselang dari itu, tawa yang coba Hamdan tahan pun pecah. Hamdan tertawa puas mengejek dua sejoli itu.

"Terus. Teruskan saja tawamu yang meledekku itu, Hamdan." ucap Pierre dengan wajah datar menatap Hamdan.

"Oh, ya ampun, Pierre! Sakit sekali perutku menertawai kalian! Hahaha, sudah lah terima nasib, kalau kalian itu memang berjodoh! Hahaha!"

"Bodo amat, Bang." kini Ana yang bicara. Ia membuang pandangannya, jengah melihat Hamdan yang masih tertawa.

"Belum tau aja peristiwa tanggal tiga puluh, lo."

°°°

Bersambung...

So, gimana part ini? Setelah sekian purnama, sempat ragu bakal update lagi karena kasus plagiarisme, finally saya pun tetap update kembali. Terima kasih saya ucapkan yang udah tinggalkan jejak vote & comment. Sama yang selalu setia, dukung dan semangatin saya. Huhuhu, maafkan saya yang pemalas ini😔🙏

❤Follow IG:
Nafla_Cahya08
Nafla.Stories

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top