14. MTAL - Seharum Namamu
Nih, sudah di update. Tapi gak janji update lagi. Soalnya saya lagi nabung part untuk BataviLove. Sudah saya jelasin loh ya di sini. So, jangan ada neror lagi di comment. Bacanya buat badmood nulis tau:"). Jangan takut, tetap saya lanjutin kok cerita Om Pierre. Saya gak pinter ghosting.
°°°
Ketukan pintu mengisi suasana sunyi di Paviliun Ajudan. Pierre yang sekadar tidur-tiduran, membuka kedua matanya. Ia duduk tegak dari posisi tidur. Pierre menatap pintu Paviliun yang masih terdengar ketukan dari balik sana.
"Siapa sih?" tanya Pierre risih sekaligus heran. Pierre menoleh ke jam di dinding. Ia lihat, jarum jam menunjukkan pukul lima lewat sepuluh menit.
"Siapa yang datang ke sini pagi-pagi buta?" batin Pierre bertanya-tanya seraya bergerak dari kasur, hendak membukakan pintu.
Ceklek!
Saat pintu sudah terbuka, dahi Pierre sontak mengerut. Di hadapannya ada seseorang yang berdiri mengangkat tinggi-tinggi baju dinasnya, sehingga wajah sampai batas perut orang itu tidak terlihat.
Pierre masih diam dengan dilanda kebingungan. Sampai di suatu ketika, kepala orang itu menyembul dari arah kiri.
"Tadaaa! Baju lo udah gue cuci! Sesuai aplikasi ya, Mas."
Seketika wajah Pierre datar. Ternyata orang dibalik baju dinasnya itu adalah Ana. Ana dengan senyum cerah mengembang membawakan baju Pierre di tengah pagi buta.
Dengan wajah yang masih datar, Pierre mengambil baju dinasnya yang Ana serahkan.
"Bilang apa?" tanya Ana menunggu ucapan terima kasih. Ana tersenyum bak Anak kecil yang menanti permen.
"Tidak kamu gosok? Bajunya kusut,"
Harapan Ana musnah. Senyuman Ana berganti wajah kesal. Ana mendengus. "Gak tau terima kasih banget, lo! Udah untung gue cuciin! Percuma lagi!"
"Kan, ini memang tugasmu, karena kamu yang mengotorinya."
Balasan dari Pierre membuat Ana tidak dapat berkata-kata lagi. Karena tidak dapat menimpali, Ana pun merutuk. Pierre melihat saja tanpa berkomentar apa-apa.
"Yaudah-yaudah, sini gue gosokin lagi!" ucap Ana ketus, mengambil kembali baju dinas Pierre secara kasar. Pierre sampai dibuat tersentak.
"Eh, mau ke mana?" tanya Pierre cepat. Tangannya menahan Ana yang hendak masuk ke dalam Paviliun Ajudan.
"Gosok baju lo, lah! Gimana sih?"
"Gosoknya tempat Pak Nas lah, kenapa malah di sini?"
"Emang lo kagak ada setrika? Miskin amat, Ajudan kagak disediain setrika," timpal Ana sangat menusuk di hati, hingga mampu membuat Pierre terdiam beberapa saat.
Ketika Pierre terdiam itulah, Ana memanfaatkan keadaan. Ana melanjutkan langkahnya memasuki Paviliun Ajudan. Kali ini Ana berhasil masuk sampai ke dalam. Pierre yang sudah sadar, panik setelah itu karena melihat Ana sudah ada di dalam. Bisa-bisanya Ajudan seorang Jenderal kecolongan.
Melintas Hamdan di pandangan Ana. Pria itu baru selesai sholat. Ana pun dengan girang menyapa Hamdan, namun sebaliknya Hamdan justru kebingungan.
"Hai, Bang Hamdan, baru selesai sholat ya?"
"Iya--eh, Ana? Kenapa kamu bisa di sini?"
"Ini nih, Pierre protes bajunya ngapa kagak di gosok."
Tatapan mata Hamdan lantas mengarah ke Pierre yang berdiri di belakang Ana. Raut wajah pria itu nampak risih. Hamdan terkekeh setelah itu.
"Ku kira, kamu diculik Pierre, An."
Sontak Pierre melempar tatapan sangsi ke Hamdan, sementara Ana cengo. Otaknya belum memahami maksud ucapan Hamdan.
"Eh, hahaha, nggak lah Bang. Mana bisa Ana diculik. Penculiknya udah kena mental duluan, sebelum nyulik Ana. Pierre kali yang diculik." ucap Ana tidak sadar menyebutkan nasib Pierre ke depan.
Setelah sadar, Ana membulatkan mata, dan langsung mengatupkan bibirnya. Ana menatap horor Hamdan dan Pierre bergantian. Ia memastikan apakah kedua orang itu curiga. Namun sepertinya ucapan Ana tadi dianggap Hamdan gurauan. Buktinya Hamdan tertawa kecil.
"Yasudah, gosok lah segera baju Pierre itu An, daripada dia marah-marah. Setrikanya ada di sana, ya. Kamu bisa gosok baju di meja dekat jendela itu." beritahu Hamdan. Hamdan lalu melangkah menuju pintu keluar. "Aku mau pergi keluar merokok dulu, Yer. Pintu aku buka saja ya, tidak baik kalian berdua-duaan."
Pierre memandang kesal kepergiaan Hamdan. Sempat-sempatnya pria itu melontarkan godaan. Kini, tinggal Ana dan Pierre di dalam Paviliun Ajudan. Keduanya belum berbuat apa-apa. Ana pun belum bergerak untuk menggosok.
"Sampai kapan kamu mau diam di situ? Cepat gosok saja baju saya, supaya kamu cepat juga pulangnya."
"Oh, lo ngusir gue?" Ana menatap Pierre sangsi. Pierre tidak membalas. Ia menghindari kontak mata dengan Ana.
Ana mendengus, berjalan mendekati tempat gosok yang Hamdan bilang. Ana bentangkan baju Pierre di atas meja. Diam-diam Pierre memperhatikan pekerjaan Ana di belakang. Pria itu agak heran sebab Ana tidak berbuat apa-apa lagi setelahnya, padahal baju sudah siap di atas meja. Tinggal digosok.
"Yer, ada pewangi?"
"Pewangi? Buat apa?" Pierre mendekati Ana, berdiri di sebelah. "Tidak perlu lah lagi, pakai pewangi. Gosok saja, beres. Kan, pas kamu cuci sudah dibilas pakai sabun."
"Heh, fungsi pewangi itu bukan cuman buat wangiin doang, tapi untuk licinkan pakaian! Biar mudah digosok!"
"Lah, kok kamu marah? Santai saja dong. Saya ngomongnya baik-baik, kok kamu pakai urat."
"Omongan lo tuh, mancing emosi soalnyaaa!" ucap Ana gregetan. "Udah lah, ambil aja pewangi apa susahnya? Baju dibuat tambah wangi, kok gak mau? Gue ini yah, Yer, mau buat baju dinas lo wangi, sewangi nama lo."
Detik itu juga alis Pierre mengerut, sedangkan Ana mengatup bibirnya. Lagi-lagi mulutnya salah bicara. Ana melirik Pierre horor. Dari tampang Pierre, tercetak jelas rasa curiga. Jantung Ana berdebar kuat. Kali ini jantungnya berdebar bukan karena ketampanan Pierre, tapi melihat wajah curiga Pierre.
"Apa katamu tadi? Sewangi nama saya?" Pierre mengulang ucapan Ana. Ana memejamkan mata. Ia merutuki diri sendiri. Benar saja, Pierre mencurigai bagian kalimatnya yang itu. "Setahu saya, orang yang namanya wangi itu, orang yang sudah punya jasa. Seperti Pak Nas. Kelak, nama beliau akan harum sebab beliau sudah punya banyak jasa bagi negara."
"Pesimis banget sih, lo!" sentak Ana, melempar tatapan sangsi ke Pierre. "Lo tuh, ya, masih muda. Masih bisa merintis carier. Kita gak tau kehidupan lo ke depan. Siapa tahu, lo bisa jadi Jenderal juga kayak Pak Nas."
"Dan kita, manusia, tidak ada yang tahu umur." sanggah Pierre, sontak saja membuat Ana terdiam kaku.
Ana menatap wajah Pierre berkaca-kaca. Dari ucapannya, Pierre seolah tahu bahwa umurnya tidak lama lagi. Hati Ana terenyuh mendengarnya.
"Siapa yang tahu... Bisa saja seminggu lagi saya tutup usia. Rencana Tuhan kadang susah diprediksi, Ana. Saya tidak berharap banyak. Pangkat kecil, saya tak masalah, asal jangan jasa saya yang kecil untuk negara."
Tes!
Tes!
Pierre terkisap, menyadari ada dua tetes air mata jatuh di baju dinasnya. Langsung saja Pierre menatap Ana. Wanita itu menunduk dengan pipi yang basah oleh air mata.
"Heh, Ana, kamu kenapa? Kok nangis? Kenapa, Na? Saya salah ya? Ha?" tanya Pierre panik. Ana tidak menjawab, jadinya Pierre hanya bisa menduga-duga. "Okay-okay, saya ambilkan pewangi! Kamu sedih karena itu kan? Iya, iya, saya ambilkan. Sebentar. Jangan sedih lagi ya, tapi."
Pierre hendak bergerak mengambil pewangi, namun Ana cegah. Telapak tangan Ana menggenggam lengan kekar Pierre. Pierre pun dibuat berhenti.
"Apa? Kamu butuh apa lagi? Biar saya ambilkan."
"Butuh lo."
"Ha?" Pierre cengo beberapa detik. Otaknya mendadak sulit mencerna ucapan Ana.
Ucapan Ana itu terdengar ambigu dan dapat membuat orang salah tangkap. Seperti Pierre sekarang. Tapi, Pierre tidak mau ambil kesimpulan dulu. Pierre adalah orang paling realistis sedunia. Anggaplah, sulit membuat Pierre jatuh hati.
Cengkeraman tangannya yang menahan lengan Pierre, ia lepas. Ana menghapus sisa-sisa air mata di pipinya.
"Nggak--itu. Gue gak butuh lagi pewangi. Gue cuman butuh lo di sini untuk temen ngobrol. Di sini aja."
Pierre tidak berkata apapun, namun kakinya yang mendekat menunjukkan bahwa ia setuju. Akhirnya Pierre putuskan tetap di sana. Ia duduk di tepi kasur, mengawasi Ana dari kejauhan.
Selesai menggosok baju dinas Pierre, Ana menggantungnya rapih di hanger. Ana berbalik menghadap Pierre. Bibirnya mengembangkan senyuman lebar.
"Pieeerrree! Baju dinas lo udah rapiihhh! Wangi lagiii!" seru Ana, mengendus baju dinas Pierre. "Nih, coba lo cium!"
Ana mengarahkan baju dinas itu ke sang pemilik. Niat hati ingin membuktikan bahwa baju dinas itu memang wangi. Namun, bukan ekspresi berbunga-bunga yang ia dapat dari Pierre, melainkan jeritan.
"Aduh, aduh, Ana! Muka ku panas, Ana! Panaass!"
"Anjir! Sorry-sorry!"
Cepat-cepat Ana menjauhkan baju itu yang menempel di wajah Pierre. Ana menaruh baju Pierre di atas kasur, lalu menyentuh wajah Pierre. Tangannya menangkup wajah pria itu. Dengan mata yang membuat, Ana memeriksa seluruh permukaan wajah Pierre.
"Lo gak papa, kan? Wajah ganteng lo gak ada yang luka kan? Mampus gue kalo lecet. Gue bisa digebukin fans-fans lo."
Berbeda dengan Ana yang berceloteh panjang lebar, Pierre justru sebaliknya. Pria itu membeku sebab jarak dia dan Ana sangat dekat. Saking dekatnya mereka, Pierre bahkan bisa melihat jelas permukaan wajah Ana, serta kedua mata bulat wanita itu. Bola mata Ana yang bergerak-gerak ke sana ke mari meneliti wajah Pierre, nampak menggemaskan.
Tersadar, Pierre melepaskan kedua tangan Ana. Wajahnya ikut ia jauhkan. "Tidak apa, Ana. Kamu tidak perlu khawatir."
Kemudian Pierre berdiri. Kejadian tadi membuatnya canggung, oleh karena itu Pierre berusaha menetralkan diri. Caranya Pierre pura-pura sibuk merapikan kerah baju. Tapi sebenarnya cara itu malah lebih menunjukkan kalau ia salah tingkah.
"Pekerjaanmu sudah selesai kan?" tanya Pierre yang diangguki Ana. "Jika sudah selesai, kamu boleh pergi. Terima kasih."
Ana mendelik. "Gitu doang?"
"Terus mau apa? Uang?"
"Iya lah!"
Tercetak senyum miring di bibir Pierre. Selangkah Pierre mendekat. "Biar ku ingatkan lagi kejadian tempo lalu. Kamu yang memaksa saya naik ke atas, lantas--"
"Ah, iya-iya! Tau gue, gak perlu lo ingatin lagi. Canda doang tadi gue. Kaku amat lo."
"Masalahnya bercandamu jelek! Sudah, pergi sana!" usir Pierre. Ana mendengus melewati Pierre. Pierre menatap sosok Ana yang menjauh menuju pintu.
"Dasar," gumam Pierre. Setelah Ana menghilang dari pandangan, Pierre mengalihkan pandangannya ke baju dinas yang Ana taruh di atas kasur. Tepat di sebelahnya duduk tadi.
Pierre mengambilnya. Secara perlahan, Pierre mendekatkan baju dinas itu ke hidung. Ia mengendusnya.
"Benar sih, wangi. Lumayan juga dia."
°°°
Pukul delapan pagi, Pierre keluar dari Paviliun Ajudan. Ia mengenakan baju dinas yang barusan Ana gosok. Langkah pria itu mengarah ke pintu belakang rumah Pak Nas. Pintu yang mengakses dapur.
Belum sempat kaki Pierre melangkahi satu anak tangga di depan pintu dapur, ia dikejutkan oleh Ana yang tiba-tiba menyiram satu bak air. Baju Pierre basah kuyup. Pierre terdiam kaku di tempat memandangi bajunya yang basah. Sedangkan Ana menganga syock.
"PIERRE! ASTAGHFIRULLAHALAZIM! SORRY, SORRY DORRY MORRY STROBERI, YEERRR! SUMPAH GUE GAK SENGAJA!" teriak Ana menggelegar sampai ke pendengaran orang rumah.
Pak Nas, Bu Nas, dan Mardiah. Ketiga orang itu muncul dari arah dapur. Respons mereka sama seperti Ana. Menganga syock melihat keadaan Pierre yang sudah basah kuyup.
"Yer, kamu habis kenapa?" tanya Pak Nas.
"Habis ketiban sial, Pak Nas." jawab Pierre.
"Ya sudah, masuk sini Yer! Bajumu basah loh itu. Tidak kedinginan apa?"
Pierre tertawa tidak enak, "Nanti, Pak Nas. Terima kasih,"
Drastis senyuman Pierre hilang tatkala Ana hendak mendekat berniat mengusap handuk ke bajunya. Tindakan itu percuma. Bajunya yang basah tidak akan kering oleh usapan handuk saja.
"Lagi, Ana? Bakar saja sekalian pakaian saya." Pierre menatap Ana seolah ingin melahap wanita itu.
Ana nyengir kuda. Ia menggaruk kepala. Sepertinya baju Pierre akan kembali ia cuci. Dalam hati, Ana mengutuk dirinya yang ceroboh.
"Gak papa sih. Kan, ber-urusannya sama Pierre. Cogan. Ketimbang Aidit kan?"
°°°
Bersambung...
Makasih atas vote & comment kalian. Yang pasti, cerita ini bakal tetap lanjut. Saya cuman hiatus publish karena mau namatin BataviLove dulu. Saat ini saya lagi nabung part untuk extra chapter BataviLove, sama saya kan sudah kuliah. Kuliah itu genrenya romusha dan deep web. Jadi saya harus fokus biar ipk saya tinggi.
Alhamdulillah lolos sbmptn! Tebak, saya lolos PTN dan prodi apa hayo? Ini juga berkat doa kalian di part 72 Hatta-Nafla di BataviLove kemarin. Makasih ya gaes🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top